Tujuh
tahun sudah berlalu dan aku baru sadar bahwa aku telah merindukan kehadirannya
sejak lama dan juga rindu untuk mendengar alunan biola yang begitu indah yang selalu dia mainkan setiap harinya bahkan nada-nadanya pun sampai melekat di dalam hatiku. Aku ingin bertemu dengannya lagi supaya aku bisa bercakap-cakap dengannya lagi, mengikutinya kemanapun dia pergi dan juga menggenggam tangannya lagi. Aku ingin bertemu dengannya lagi karena setiap kali aku bermain biola sendiri, rasanya ada yang tidak pas dalam tiap-tiap nada yang kumainkan. Walaupun banyak yang berkata bahwa permainan yang kulakukan itu indah dan enak didengar, tetapi bagiku tetap saja rasanya ada unsur yang kurang di dalamnya. Aku berharap aku bisa bertemu lagi dengannya. Walaupun hanya satu hari saja, itu bukanlah masalah bagiku. Karena hanya dengan cara itu, aku bisa melengkapi kekosongan yang ada pada nada-nada yang selalu kumainkan. Begitu pula dengan hatiku. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk bermain biola supaya dia bisa mendengar setiap nada yang kumainkan untuknya, supaya dia bisa mendengar apa isi hatiku yang sesungguhnya.
sejak lama dan juga rindu untuk mendengar alunan biola yang begitu indah yang selalu dia mainkan setiap harinya bahkan nada-nadanya pun sampai melekat di dalam hatiku. Aku ingin bertemu dengannya lagi supaya aku bisa bercakap-cakap dengannya lagi, mengikutinya kemanapun dia pergi dan juga menggenggam tangannya lagi. Aku ingin bertemu dengannya lagi karena setiap kali aku bermain biola sendiri, rasanya ada yang tidak pas dalam tiap-tiap nada yang kumainkan. Walaupun banyak yang berkata bahwa permainan yang kulakukan itu indah dan enak didengar, tetapi bagiku tetap saja rasanya ada unsur yang kurang di dalamnya. Aku berharap aku bisa bertemu lagi dengannya. Walaupun hanya satu hari saja, itu bukanlah masalah bagiku. Karena hanya dengan cara itu, aku bisa melengkapi kekosongan yang ada pada nada-nada yang selalu kumainkan. Begitu pula dengan hatiku. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk bermain biola supaya dia bisa mendengar setiap nada yang kumainkan untuknya, supaya dia bisa mendengar apa isi hatiku yang sesungguhnya.
* * *
“Lexa,
apa kau ingin pergi ke kantin?” Aku langsung memandang temanku, Cindy dengan
mata berbinar. Dia adalah temanku selama dua tahun aku menjalani di sekolah
ini. Di salah satu sekolah musik yang
terkenal yang ada di Jakarta dan jika disamakan dengan sekolah-sekolah
lainnya, maka tahun ini aku berada di kelas dua SMA dan sebentar lagi aku akan
berada di tahun ketiga, yaitu tahun terakhir. Sebenarnya aku juga sudah cukup
bosan dengan liburanku selama tiga minggu ini dan masih tersisa dua minggu
lagi. Sampai-sampai aku memutuskan untuk bermain di sekolah bersama dengan
temanku ini.
Aku
senang memiliki teman seperti dia karena Cindy begitu perhatian padaku dan juga
aku paling suka berbagi rahasia dengannya walaupun aku tau kadang-kadang dia
akan membocorkan rahasiaku pada yang lainnya. Untungnya rahasia yang ia
bocorkan bukanlah rahasia yang terlalu rahasia.
“Kau
selalu tau apa yang kumau,” ucapku sambil tersenyum senang.
“Kau
ini...” balasnya juga dengan senyuman. Langsung saja aku berdiri sambil
berjalan tepat di sampingnya. Oia, aku juga menceritakan tentang teman masa
kecilku padanya dan hampir semua tentangku, dia juga tau.
“Hei,
bagaimana dengan cinta masa kecilmu? Apa kau tidak mendapat kabar sama sekali?
Bukankah kau mengatakan bahwa kalian adalah sahabat?”
“Dia
bukan cinta masa kecilku,” ucapku sambil sedikit cemberut. “Aku masih belum
mendapatkan kabar dari dirinya dan kurasa dia juga tidak peduli denganku lagi.”
Aku menghela nafas sambil menerawang ke depan. Sudah kesekian kalinya Cindy
bertanya tentang itu padaku dan sudah kesekian kalinya aku tidak mendapatkan
kabar apapun dari seseorang yang kutunggu. Tepatnya, sudah tujuh tahun lamanya
dia menghilang. Sebenarnya aku sangat ingin mengirim surat atau email padanya,
sayangnya aku bahkan tidak tau apa alamat emailnya atau alamat rumahnya bahkan
nomer telepon saja aku tak memilikinya.
“Hei,
bukankah itu Kevin?” ucap Cindy sambil menunjuk seorang laki-laki yang sedang
sibuk membawa perkakas drum bersama teman-temannya.
“Aahh...
Tampannya,” ucapku sambil sedikit berbisik. Kuakui bahwa aku menyukai kevin
karena dia baik. Dia pernah menolongku beberapa kali saat aku sedang membuat
acara club tetapi sayangnya kami hanya bisa bertemu dengannya saat club saja
dan aku berharap di tahun ketiga nanti aku bisa satu kelas dengannya.
“Menurutmu
di tahun ketiga nanti, apa kau bisa satu kelas dengannya?”
“Kuharap.”
“Dasar,
kau ini. Padahal kalian ini sudah sering bertemu saat club tetapi kau masih
belum saja puas,” sindirnya tetapi aku hanya bisa tersipu saja. Saat aku
berpapasan dengan Kevn, tanpa sengaja mata kami saling bertemu dan aku langsung
melemparkan senyum padanya. Aku dengar bahwa dia telah mengisi acara perpisahan
untuk angkatan tahun ketiga ini beberapa minggu yang lalu. Dia bermain piano,
alat musik yang paling sering dia mainkan. Setiap alunan yang dia mainkan
selalu membuatku tersenyum senang. Sentuhan jarinya bagai sihir karena saat dia
bermain, jari-jarinya seperti sedang menari di atas tuts piano.
“Mengapa
kau tidak berpacaran saja dengannya?” tanya Cindy secara tiba-tiba.
“Kau
tau bahwa aku tidak dekat dengannya. Lagipula aku tidak suka jika perempuan
yang menyatakan perasaannya terlebih dahulu. Itu akan terlihat aneh.”
“Tidak
ada yang peduli lagi dengan hal-hal seperti itu. Jika kau tidak bergerak cepat,
bisa-bisa kau akan menyesal nantinya.” Aku langsung terdiam sambil
kata-katanya. Kata-kata Cindy memang ada benarnya, tetapi tetap saja aku tidak setuju
dengannya.
Aku
menghembuskan nafas panjang. Di saat aku membutuhkan sebuah nasihat, aku selalu
teringat pada teman masa kecilku. Teman yang selalu kurindukan setiap harinya.
Dan karena itu, harapanku padanya supaya dia kembali semakin besar. Aku juga
berharap bahwa dia terus memikirkan tentangku sama seperti aku memikirkan
tentang dirinya.
* * *
“Aku
pulang...” seruku dengan lesu pada seisi rumah, tidak tau apakah ada yang
mendengarkannya atau tidak. Aku menaiki tiap-tiap anak tangga dengan lemas.
Saat aku berdiri di depan pintu kamarku, aku mengehembuskan nafas panjang
terlebih dahulu baru membukanya. Cahaya matahari sore yang menembus dari
jendela menerangi seisi ruangan tetapi mataku hanya dapat menatap lurus keluar
jendela. Dari sini aku bisa melihat jendela lain yang tepat berhadapan dengan
milikku tetapi sayangnya jendela itu selalu tertutup oleh tirai jadi aku tidak
bisa melihat apa yang ada di dalamnya. Aku berharap supaya tirai itu terbuka
lagi dan menampakkan sosok yang paling ingin kulihat tetapi sepertinya itu
tidak akan terjadi lagi.
“Kapan
aku bisa berbicara lagi denganmu. Bukankah kau berjanji untuk memberiku kabar.
Dasar pembohong..” Mataku mulai berair dan lagi-lagi aku menangis tetapi aku
segera menghapusnya dengan telapak tanganku. “Gara-gara kau, aku jadi suka
menangis,” ujarku sambil tersedu lalu aku mulai mengambil nafas panjang untuk
menghilangkan tangisku. Aku beranjak menuju jendelaku sambil menyibakkan tirai
putih. Mendadak tubuh dan pikiranku terasa sangat lelah. Tanpa berpikir panjang
lagi, aku menghempaskan tubuhku di atas tempat tidurku dan akhirnya kuputuskan
untuk memejamkan mataku.
* * *
Ponselku
mulai berdering nyaring dan selama kurang dari satu menit ponsel itu terus
menerus berbunyi, meminta untuk diangkat tetapi sayangnya tanganku terlalu
lemas untuk mengangkatnya. Aku bahkan tidak perlu bersusah payah untuk melihat
cahaya ponsel yang berkelap-kelip itu. Setelah tidak ada suara lagi, akupun
melanjutkan tidurku lagi. Satu menit, dua menit dan tiba-tiba saja ponsel itu
mulai berbunyi lagi. Aku tersadar dari alam bawah sadarku untuk yang kedua
kalinya. Mau tak mau aku mengambilnya. Sambil menyipitkan mata, aku menatap
layar ponselku lama sambil menerka nomor siapa ini.
Aku
meletakkan kembali ponselku karena aku tidak mengenal nomor itu sambil
membiarkan ponsel itu mati dengan sendirinya. Tetapi saat ponsel itu mati,
tidak berapa lama lagi ponsel itu mulai berbunyi lagi. Karena tidak tahan
berisik, aku mengangkatnya dengan sedikit kesal.
“Halo.
Siapa ini?” tanyaku dengan nada yang masih mengantuk. Sesekali aku membuka
mulutku lebar-lebar dan menguap.
“Alexa?”
tanya seorang pria dari seberang sana. Nadanya terdengar cukup girang dan
terkejut.
“Siapa
ini?” Aku terduduk di atas ranjangku. Mendadak aku jadi penasaran, membuat rasa
kantukku menghilang begitu saja.
“Apa
benar kau Alexa?” tanyanya dengan girang tetapi aku hanya bisa berpikir dengan
keras siapa sebenarnya pria ini. Bagaimana caranya mendapatkan nomerku ini.
“Ternyata
suaramu sudah berubah yaa..” ucapnya dengan gelak tawa yang begitu kencang.
“Si-Siapa
ini?” tanyaku lagi dengan semakin ragu. Aku mencoba untuk mengingat siapa saja
orang-orang yang telah kuberikan nomer ponselku ini tetapi sejauh ini aku juga
memiliki semua nomer ponsel mereka. Setelah beberapa saat lamanya, akhirnya
pria itupun berhenti tertawa. Mungkin dia menyadari bahwa tawanya itu telah
membuatku ketakutan.
“Maaf,
aku terlalu senang sampai-sampai aku lupa untuk mengatakan sesuatu padamu.” Dia
tetap terdengar gembira meskipun dia sudah menghilangkan tawanya itu. “Lebih
baik kau menyingkap tirai jendelamu saja jika kau penasaran,” ucapnya lagi.
Tirai. Jendela. Jangan-jangan.
Aku
segera turun dari ranjangku sampai-sampai aku hampir terjatuh sambil tetap
menggenggam ponselku. Lalu dengan cepat aku menyibakkan tirai itu ke samping
dan lagi-lagi aku menyipitkan mataku karena cahaya matahari yang tiba-tiba
masuk begitu saja, menusuk mataku sehingga membuatnya menjadi setengah tertutup.
Aku
melihat sosok pria yang sedang melambaikan tangannya sambil tersenyum senang
padaku. Sosok pria yang kukenal dan yang sangat kurindukan. Arvin.
“Sudah
lama kita tidak bertemu,” ucapnya lagi sambil masih memberikan senyum padaku
dari ponsel miliknya sampai akhirnya dia bisa membuatku tersenyum sedikit demi
sedikit.
“Dasar
bodoh. Mengapa kau baru kembali sekarang?” tanyaku sambil menahan air mataku.
“Aku
hanya mencari waktu yang tepat. Lagipula, aku memang ingin bertemu dengan
seseorang. Maka dari itulah aku kembali. Maaf karena telah membuatmu menunggu
lama. Bagaimana? Apa kau terkejut?”
“Siapa
yang menunggumu? Terkejut? Tentu saja tidak,” candaku. Sudah bertahun-tahun
lamanya aku menunggu kehadirannya dan aku masih sempat tak percaya karena dia
ada di hadapanku sekarang. Tetapi aku memang berusaha sekuat mungkin untuk
menyembunyikan keterkejutanku darinya.
“Woahh...
Kau kejam sekali. Padahal aku sudah datang jauh-jauh dari New York. Beginikah
caramu menyambutku?” Aku tertawa saat mendengar setiap kata-katanya. Ternyata
dia tidak berubah sama sekali. Selalu saja membuat orang yang berada di
sekitarnya menjadi senang. Atau sebenarnya dia memang sudah berubah. “Oia,
malam ini, kau ada acara tidak?”
“Ada
apa?”
“Jika
kau sedang tidak ada acara, aku ingin mengajakmu keluar untuk makan malam. Aku
akan mentraktirmu. Anggap saja sebagai permintaan maafku karena aku tidak
sempat memberikan kabar padamu. Kumohon...” Dia menatapku dengan tatapan
memelas. Aku sempat tercengang melihat tingkah lakunya yang seperti ini. Hanya
satu kata yang tertera di dalam pikiranku. Aneh.
“Aku
ragu...”
“Ayolah..
Kumohon.. Apa kau tidak rindu padaku?”
“Rindu?
Aku memang rindu dengan seseorang tetapi tentu saja bukan denganmu,” candaku
lagi dengan nada yang memang aku buat supaya terdengar sinis. SeRasa rinduku
semakin memuncak dan aku ingin sekali menyentuh wajahnya ataupun helai
rambutnya karena aku ingin memastikan bahwa ini benar-benar nyata.
“Benarkah?”
nadanya mulai berubah kecewa. “Kalau begitu...” Dari seberang aku melihat bahwa
dia mematikan teleponnya lalu menutup tirai jendelanya.
“O,
kemana dia pergi? Apa benar dia kecewa. Jangan-jangan aku telah membuatnya
marah.” Aku berdiri di dekat jendela selama beberapa menit sambil menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebesar
itukah dia merasa kecewa padaku. Tak lama kemudian, tiga kali ketukan pintu yang
kudengar membuatku tersadar.
“Masuklah.
Pintu tidak terkunci,” teriakku dari dalam, tetapi tidak ada balasan sama sekali.
Membuka pintu juga tidak. Akhirnya aku memutuskan untuk membuka pintu kamarku.
“Ada
apa?” tanyaku sambil menatap orang yang berada di hadapanku dan secara spontan
aku langsung menarik nafas dalam-dalam. Aku
bahkan tidak menyangka bahwa dia akan menemuiku secepat ini. “Kau.” Aku
terperangah karena melihat sosoknya yang sedang berdiri di depan kamarku.
Badannya yang jauh lebih tinggi dariku membuatku harus menegakkan leherku ke
atas supaya aku dapat melihat wajahnya dengan jelas dan wajahnya memang bukan lagi
wajah seorang anak laki-laki yang biasa kukenal. Dia memang berubah. Jujur
saja, dia jauh lebih tampan dari yang sebelumya.
“Mengapa
kau datang kemari? Darimana kau masuk? Siapa yang mengijinkanmu untuk masuk?” tanyaku dengan cukup panik tetapi dia hanya
terdiam saja sambil menatap tajam padaku. Aku bisa melihat kekecewaan yang
tersirat di dalam matanya. Aku terkejut karena dalam beberapa detik saja ia
menarik tanganku tanpa izin dariku dan yang aku tau hanyalah aku sudah berada
dalam pelukannya.
“A-Apa
yang sedang kau lakukan? Apa kau tidak sadar? Kau sudah menjadi seorang pria
dan aku juga bukan lagi gadis kecil yang bisa kau peluk seenaknya lagi. Hey!”
aku menjerit dengan kesal tetapi sepertinya tidak ada gunanya juga aku
berbicara dengannya. Pelukannya semakin mengerat, membuatku sempat kehabisan
nafas.
“Aku...
hanya ingin memelukmu saja. Dengan begini, rasa rindu yang telah kusimpan
begitu lama bisa terbalaskan juga.” Dia memang benar-benar sudah berubah. Arvin
yang kukenal mana mungkin mau memelukku
hanya karena dia rindu padaku. Dia bukanlah pria yang seperti ini. Sudah
lama rasanya saat terakhir kali dia memelukku seperti ini. Tujuh tahun yang
lalu adalah saat dimana terakhir kali dia memelukku dengan paksa seperti
sekarang ini dan itu adalah pertama kalinya dia memelukku. Saat itu dia hanya
mengatakan bahwa dia akan pergi ke suatu tempat dan dia berjanji bahwa dia akan
selalu memberikan kabar padaku juga dia mengatakan akan pulang secepatnya.
Tetapi saat itu usiaku masih sepuluh tahun jadi aku tidak sepenuhnya mengerti
dengan apa yang dia maksud. Yang aku tau hanyalah bahwa dia akan pergi dan
tidak ada lagi yang mengajari ataupun menemaniku untuk bermain biola.
“Aku
senang melihatmu kembali,” ucapku dengan lembut. Jika aku menjadi dirinya,
mungkin aku juga rela untuk bertingkah bodoh seperti yang dia lakukan seperti
ini. Mungkin aku terlalu menjunjung tinggi harga diriku jadi aku terus berusaha
menyembunyikan rasa rinduku padanya. Hanya satu hal yang telah aku sadari saat
ini. Pelukannya begitu hangat dan nyata sampai-sampai aku merasa bahwa aku
sudah tidak kuat untuk bernafas lagi. “A-aku tidak bisa bernafas,” lanjutku
dengan nada yang tercekik.
“Maaf,”
ucapnya saat dia melonggarkan pelukannya. Dia membungkuk dan mensejajarkan
wajahnya dengan wajahku dan kedua tangannya dia letakkan di atas lututnya
sebagai tumpuan. Aku bahkan bisa melihat wajahnya dengan cukup jelas. Matanya
yang besar berwarna cokelat muda begitu pula dengan warna rambutnya yang senada
dengan warna matanya. Untuk orang Asia seperti dia, hidungnya cukup mancung
sedangkan bibirnya berwarna peach pink. Selain itu, rahangnya memancarkan ketegasan
di wajahnya, membuatnya terlihat lebih tampan.
“A-Ada
apa? Mengapa kau melihatku seperti itu?” tanyaku dengan gugup saat dia menatap
mataku dengan tajam sambil tersenyum usil.
“Sepertinya
kau baru saja menangis.”
“Menangis?
Siapa yang menangis? Untuk apa kau menangis?” Cepat-cepat aku mengusap sisa air
mata yang masih tergenang di mataku.
“Untuk...
Biar kutebak. Kau menangis karena kau rindu padaku. Benarkan?” ucapnya dengan
girang sambil masih mengamatiku. “Pipimu memerah. Berarti jawabanku benar.” Dia
mulai terkikik sendiri. Aku berdecak kesal karena dia telah menyindirku.
Perlahan
dia menundukkan kepalanya sambil mengamati seusatu. Aku bahkan tidak tau aoa
yang sedang ia perhatikan. “Ternyata kau masih memakai gelang itu juga,”
ucapnya lagi sambil terpaku pada gelang merah yang memang kupakai sejak kecil.
Aku langsung menyembunyikan tanganku di balik badanku. “Aku juga masih
memakainya. Sekalipun aku tidak pernah melepasnya,” ucapnya dengan girang.
Sesekali aku melirik pergelangan tangannya, hanya memastikan apa benar dia
masih mengenakan gelang itu. Dan ternyata memang benar dia masih mengenakan
gelang itu.
Gelang
itu adalah gelang pemberiannya dulu. Dari dulu Arvin tidak pernah memberitahuku
bagaimana dia mendapatkan gelang ini. Katanya gelang ini memiliki makna
tersendiri. Dulu dia pernah berkata bahwa gelang ini bisa mengikat perasaan
antara kedua orang yang saling memakainya walaupun kita berada dalam jarak yang
sangat jauh tetapi aku tidak pernah percaya padanya. Buktinya sekarang aku
tidak menyukainya.
“Baguslah
jika kau masih memakainya,” ucapnya sambil mencubit kedua pipiku.
Aku
sebal melihat tingkahnya. Padahal dia lebih tua lima tahun dariku tetapi
sepertinya dia lebih kekanak-kanakan dari padaku. Sebelum dia selesai tertawa,
aku langsung membalikkan badanku dan kembali ke kamar sambil menutup pintu
dengan cukup keras tetapi dengan cepat dia menyambar pintu dengan salah satu
tangannya.
“Ternyata
kebiasaanmu masih belum berubah juga. Saat kau marah, kau selalu bersembunyi di
dalam kamarmu lalu meninggalkanku sendirian,” ucapnya sambil menarik pintu
sekuat mungkin. Tentu saja tenagaku untuk mempertahankan pintu itu tidak bisa
mengalahkan tenaganya yang lebih besar. Tenaganya mungkin sudah bertambah tiga
kali lipat dari pada yang sebelumnya.
Aku
berdecak kesal saat dia berhasil membukanya dan menyelinap masuk ke dalam
kamarku.
“Jangan
tutup pintunya,” jeritku dengan pelan saat perlahan dia mulai menutup pintu
itu.
“Apa
kau takut padaku?” tanyanya dengan licik sambil masih memegang gagang pintu.
“Tidak.
Aku tidak takut padaku.”
“Kalau
begitu..” dia menarik gagang pintu itu hingga tertutup. “Seperti ini rasanya
jauh lebih baik.” Entah mengapa aku merasa tidak senang dengan kata-katanya
itu.
Perlahan
dia mulai melangkah mendekatiku tetapi aku mencoba untuk mundur.
“Apa
yang kau lakukan?” tanyaku dengan gugup. Tetapi dia hanya bisa tertawa saja
melihatku berkata seperti itu.
“Mengapa
kau tertawa?”
“Aku
tidak tau harus senang atau sedih kau merasa takut padaku dan menganggapku
seperti orang asing. Padahal kita sudah lima tahun berteman.”
“Tujuh
tahun adalah waktu yang lebih lama dibandingkan lima tahun. Tentu saja aku
menganggapmu seperti orang asing. Apa lagi kau baru saja pulang dari New York.
Aku tidak tau bagaimana budaya yang ada di sana. Aku juga tidak tau bagaimana
kau hidup di sana. Mungkin saja kau telah terkena berbagai macam racun
kehidupan di sana.”
“Benarkah?”
dia menghembuskan nafasnya. “Rasanya waktu cepat sekali berlalu. Aku bahkan
tidak sadar. Dibandingkan dengan dulu, sekarang kau jauh lebih cantik juga
terlihat... dewasa,” ucapnya dengan tulus. Tetapi untuk saat ini, aku tidak
bisa mempercayai ketulusannya itu.
“Kau..”
aku menyipitkan mataku saat melihatnya. “Jangan-jangan kau sedang mencoba untuk
merayuku. Jangan-jangan kau sudah menjadi playboy di sana.”
Pria
itu mulai tertawa geli. “Playboy? Kau ini ada-ada saja. Aku tidak menyukai orang
barat. Sifatku dengan mereka sangatlah berbeda. Untuk mencari seorang wanita
yang cocok itu sangatlah sulit di sana tetapi untuk mendapatkan wanita yang
satu ini, aku berharap aku bisa mendapatkannya dengan cepat.” Dia menatapku
dengan penuh rahasia sehingga membuatku berpikir siapa wanita yang dia maksud
itu.
Dia
melayangkan pandangannya ke seisi ruangan. Matanya mulai mengamati
barang-barang yang ada di kamarku satu persatu. “Ternyata banyak yang berubah
di sini. Tetapi kuharap tidak semuanya berubah.”
“Apa
yang kau maksud?”
Saat
dia melayangkan pandangannya ke dinding yang berada di dekat jendelaku, dia
terlihat sedikit terkejut. “Foto-foto yang kau tempel di situ, mengapa tidak
ada?” ucapnya sambil menunjuk dinding itu.
“Aahh..
” aku menoleh mengikuti arah telunjuknya lalu menatap dinding putih yang sudah
bersih seperti semula. “Maksudmu foto-foto saat kita masih kecil?” aku kembali
menatapnya dengan sedikit bingung. “Tentu saja aku melepasnya. Apa kau ingin
mengambilnya?”
“Tidak,”
ucapnya dengan sedikit kecewa. “Aku hanya penasaran. Bolehkah aku melihatnya?”
Sesaat
aku berdecak sambil meletakkan kedua tanganku di pinggang. “Aku lupa
meletakkannya dimana. Atau jangan-jangan aku telah membuangnya.”
“Kau
membuangnya?”
“Mungkin.
Aku lupa.”
“Sebuah
masa lalu tidak baik untuk di buang.”
“Begitukah?
Sebuah kenangan hanyalah kenangan. Kita tidak bisa kembali lagi kesana. Jika
dibuang, itu bukan masalah bagiku. Kita sekarang sudah bertemu lagi. Jika kau
ingin mengambil foto lagi, kau bisa melakukannya sekarang. Kau bisa memiliki
sebuah kenangan baru lagi.”
“Kau
ini. Benar-benar tidak bisa menghargai sebuah kenangan,” ucapnya dengan sedikit
kesal. Tapi aneh, mengapa dia bisa kesal padaku hanya karena foto. Apakah ada
rahasia yang tersembunyi di dalamnya.
“Mungkin
saat itu aku mencoba untuk melupakanmu. Maka dari itu aku melepas foto-foto
itu.”
“Melupakanku.
Lexa, apa kau membenciku?” Ia menunjuk dirinya sendiri dengan wajah yang penuh
dengan tanda tanya.
Apakah
aku membencinya? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Walaupun dia sangat
bersalah padaku tetapi aku tidak akan pernah bisa untuk membencinya. “Aku tidak
membencimu tetapi kau berbohong padaku. Aku kesal padamu. Kau mengatakan akan
memberikan kabar juga kau berjanji padaku bahwa kau akan pulang secepatnya.
Tidak ada satu janjipun yang kau tepati. Kau bahkan tidak memberikan emailmu
padaku,” aku berterus terang padanya.
“Setiap
kali aku melihat foto itu, aku selalu kesal karenamu. Aku lelah karena selalu
menunggumu sampai akhirnya aku sadar bahwa menunggumu adalah sesuatu yang
bodoh. Lebih baik membuang kenangan buruk dan memulai untuk membuat sebuah
kenangan baru,” jelasku lagi padanya dengan penuh kesal. Karena mengingat hal
yang seperti ini, aku jadi menyesal karena telah bertemu dengannya lagi.
Membuatku semakin kesal saja. Untungnya aku masih bisa meredam emosiku.
“Aahh..
Sedih rasanya untuk dilupakan apalagi dilupakan oleh orang sepertimu,” ucapnya
sambil memanyunkan bibirnya dan menatap nanar padaku. Apakah dia sedang mencoba
untuk bersikap manis di hadapanku supaya aku bisa memberikan maaf baginya.
“Memangnya
ada apa?”
“Tidak,”
ucapnya sambil mengacak-acak rambutku.
“Kau
ini kenapa. Apa kau tidak melihat bahwa aku sedang kesal padamu.” Tetapi
sepertinya Vin memang benar-benar tidak peduli dengan kekesalanku saat ini. Dia
malah menjulurkan lidahnya mengejekku.
“Itu
biolamu kan?” ucapnya sambil mendekati sebuah tas hitam yang terletak tepat di
sebelah ranjangku. Vin duduk di atas ranjangku sambil mengangkatnya. “Bolehkah
aku membukanya?” tanyanya dengan hati-hati.
Aku
tidak memberikannya jawaban dan sepertinya dia juga tidak peduli dan tetap
memutuskan untuk membukanya. Kulihat dia membukanya dengan sangat hati-hati.
Saat dia meperhatikan biola milikku, dia mulai tersenyum manis. Perlahan dia
mulai mengeluarkan biola itu. “Ternyata kau masih menyimpannya dengan sangat
baik.” Vin mulai melihat bagian depan dan belakang biola berwarna merah
kecoklatan itu secara bergantian. “Bolehkah aku mencobanya?” tanyanya lagi.
Setelah mendapat persetujuan dariku, dia langsung mengambil busur biola yang masih
terletak di dalam tas. Tidak lama kemudian, dia menyangga biola itu di dagunya
sambil mencari posisi yang enak dan tak lama kemudian dia mulai memainkannya.
Aku
tertegun saat melihatnya bermain. Lagu yang sedang Vin mainkan adalah lagu dari
Antonin Dvorak. Dia adalah seorang komponis Ceko dari aliran musik romantik. Symphony
No. 9 “From The New World”. Jika tidak salah, itulah judulnya. Ini juga
merupakan salah satu lagu yang kusukai. Entah kenapa Vin juga memilih lagu ini
untuk dia mainkan.
Saat
dia memainkan lagu ini, aku seperti kembali lagi ke dalam masa laluku dan mulai
terhanyut di dalamnya. Aku teringat, ini adalah lagu yang berhasil yang
kumainkan untuk pertama kalinya saat aku belajar dengannya dan aku ingat bahwa
Vin mengajariku dengan begitu sabar. Butuh berminggu-minggu untuk mempelajari
lagu ini dan sampai akhirnya aku bermain dengan benar di hadapannya. Semakin
lama aku semakin jatuh cinta pada musik dan akhirnya aku jadi giat belajar.
Dulu aku sering berduet dengannya. Banyak lagu yang kumainkan bersamanya. Di
satu sisi, aku merasa senang karena sekarang aku bisa mendengarkan dia bermain
lagi. Rasa rinduku pada dirinya juga pada musiknya akhirnya tercapai juga. Walaupun
membutuhkan waktu yang sangat lama, tetapi kurasa hal itu setimpal dengan apa
yang kudapat saat ini.
“Ternyata
suaranya juga masih bagus,” ucap Vin dengan senang. Aku tersenyum padanya.
“Terima
kasih,” ucapku tiba-tiba saat perasaanku perlahan berubah menjadi cukup tenang.
“Untuk
apa?” Aku melihat tatapannya yang beralih dari biola itu lalu menatapku.
“Karena
kau telah mengenalkanku pada musik dan juga mengajarku dengan sabar,” ucapku
dengan sedikit canggung. Aku melihat bahwa pria itu menatapku dengan memberikan
sebuah ulasan senyum di bibirnya. Tanpa aku sadari, aku menundukkan wajahku
karena malu.
“Bagaimana
jika kau menunjukkan kemampuanmu sebagai tanda terima kasihmu? Sudah lama juga
aku tidak mendengarkanmu main.” Vin menyerahkan biola itu padaku. Dalam
beberapa detik aku cukup terkejut dengan permintaannya tetapi aku mencoba
mengkabulkannya. Dalam posisi berdiri, aku menempelkan daguku pada biola itu
sambil berpikir lagu apa yang enak untuk dimainkan.
“Semoga
saja kau menyukainya,” ucapku saat memulai permainanku. Kali ini lagu yang
kumainkan adalah lagu dari seorang Prancis. Sama seperti Dvorak, dia juga
merupakan salah satu komponis. Pada abad ke- 20, dia merupakan komponis paling
terkemuka dari generasinya. Gabriel Faure, Apres un reve.
Sekali-sekali
aku memejamkan mataku untuk menghayati setiap nada yang kumainkan. Rasanya
menyenangkan jika aku bermain seperti ini. Damai juga tenang. Saat aku membuka
mataku, aku melihat bahwa Vin juga sedang memejamkan matanya sambil tersenyum. Aku
mencoba untuk kembali fokus. Rasanya aku sedang bermain di depan seseorang yang
hebat dan aku memang menganggap Vin sebagai seseorang yang hebat. Sepertinya
aku bermain dengan benar dan saat aku menyelesaikan bait terakhir yang
kumainkan, Vin memandangku dengan senang.
“Sepertinya
kau telah mengerjakan tugasmu dengan baik,” pujinya sehingga membuatku juga
tersenyum senang.
“Baguslah
jika kau menyukainya. Kau ingat saat kita sering berduet bersama.” Lagi-lagi
aku kembali ke masa laluku di saat kami saling bermain bersama. Kami
saling tertawa jika salah satu dari kami
ada yang membuat kesalahan. Dulu aku dan Vin satu sekolah jadi kami sering
melakukan pentas di sekolah kami. Rasanya ada kesenangan tersendiri untuk
bermain bersamanya. “Menyenangkan rasanya,” ucapku. Sedikit demi sedikit
emosiku mulai menghilang dan tergantikan oleh rasa senangku.
“Bagaimana
jika kita bermain bersama lagi?” Vin menghembuskan nafasnya, “Aku rindu saat
kita bermain bersama.”
“Jika
ada waktu, aku setuju,” jawabku. Baru saja aku akan bertanya padanya, tiba-tiba
saja ponselku berdering. “Tunggu sebentar,” ucapku sambil meletakkan biolaku di
atas ranjang lalu beranjak keluar dan menutup pintu yang ada di belakangku.
“Lexa,
kau dimana?” tanya Cindy dengan sedikit tergesa.
“Tentu
saja aku di rumah. Ada apa?”
“Aku
ingin mengajakmu keluar. Aku bosan di rumah. Apa kau bisa?”
“Aku
tidak tau apakah aku bisa atau tidak. Aku sedang menemani seorang tamu saat
ini. Bagaimana jika..”
“Tamu?
Siapa?”
“Kau
masih ingat teman yang selalu kuceritakan padamu?”
“Aku
ingat,” jawab Cindy. Beberapa saat kemudian aku bisa mendengar bahwa Cindy
sedang menarik nafas karena terkejut. “Jangan-jangan.”
“Benar,
dia ada di rumahku sekarang. Dia sudah kembali.” Karena terlalu senang aku
sampai menjerit pelan. Aku sempat lupa bahwa dia masih ada di dalam kamarku.
Aku menoleh untuk memastikan bahwa pintu masih tertutup rapat.
“Benarkah?”
Cindy menjerit senang. “Akhirnya kau bertemu dengannya lagi.”
“Seharusnya
aku yang menjerit seperti itu,” ucapku sambil tertawa pelan.
“Baguslah
kalau begitu. Bagaimana? Apakah dia tampan?” tanya Cindy dengan penasaran.
“Sebenarnya
aku tidak ingin terlalu memuji dirinya tetapi dia memang tampan,” aku
mengakuinya.
“Aahh..
Senangnya. Bagaimana jika kita pergi hari ini dan kau mengajaknya juga?”
tawarnya.
“Aku
tidak tau jika dia mau atau tidak.”
“Tanyakan
saja padanya. Beri kabar jika kau sudah medapat jawabannya.”
“Oke.”
“Kumatikan
dulu kalau begitu. Bye.”
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?