Minggu, 10 Februari 2013

String of Notes 1

cerpen, novel

Tujuh tahun sudah berlalu dan aku baru sadar bahwa aku telah merindukan kehadirannya
sejak lama dan juga rindu untuk mendengar alunan biola yang begitu indah yang selalu dia mainkan setiap harinya bahkan nada-nadanya pun sampai melekat di dalam hatiku. Aku ingin bertemu dengannya lagi supaya aku bisa bercakap-cakap dengannya lagi, mengikutinya kemanapun dia pergi dan juga menggenggam tangannya lagi. Aku ingin bertemu dengannya lagi karena setiap kali aku bermain biola sendiri, rasanya ada yang tidak pas dalam tiap-tiap nada yang kumainkan. Walaupun banyak yang berkata bahwa permainan yang kulakukan itu indah dan enak didengar, tetapi bagiku tetap saja rasanya ada unsur yang kurang di dalamnya. Aku berharap aku bisa bertemu lagi dengannya. Walaupun hanya satu hari saja, itu bukanlah masalah bagiku. Karena hanya dengan cara itu, aku  bisa melengkapi kekosongan yang ada pada nada-nada yang selalu kumainkan. Begitu pula dengan hatiku. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk bermain biola supaya dia bisa mendengar setiap nada yang kumainkan untuknya, supaya dia bisa mendengar apa isi hatiku yang sesungguhnya.
* * *
“Lexa, apa kau ingin pergi ke kantin?” Aku langsung memandang temanku, Cindy dengan mata berbinar. Dia adalah temanku selama dua tahun aku menjalani di sekolah ini. Di salah satu sekolah musik yang  terkenal yang ada di Jakarta dan jika disamakan dengan sekolah-sekolah lainnya, maka tahun ini aku berada di kelas dua SMA dan sebentar lagi aku akan berada di tahun ketiga, yaitu tahun terakhir. Sebenarnya aku juga sudah cukup bosan dengan liburanku selama tiga minggu ini dan masih tersisa dua minggu lagi. Sampai-sampai aku memutuskan untuk bermain di sekolah bersama dengan temanku ini.
Aku senang memiliki teman seperti dia karena Cindy begitu perhatian padaku dan juga aku paling suka berbagi rahasia dengannya walaupun aku tau kadang-kadang dia akan membocorkan rahasiaku pada yang lainnya. Untungnya rahasia yang ia bocorkan bukanlah rahasia yang terlalu rahasia.
“Kau selalu tau apa yang kumau,” ucapku sambil tersenyum senang.
“Kau ini...” balasnya juga dengan senyuman. Langsung saja aku berdiri sambil berjalan tepat di sampingnya. Oia, aku juga menceritakan tentang teman masa kecilku padanya dan hampir semua tentangku, dia juga tau.
“Hei, bagaimana dengan cinta masa kecilmu? Apa kau tidak mendapat kabar sama sekali? Bukankah kau mengatakan bahwa kalian adalah sahabat?”
“Dia bukan cinta masa kecilku,” ucapku sambil sedikit cemberut. “Aku masih belum mendapatkan kabar dari dirinya dan kurasa dia juga tidak peduli denganku lagi.” Aku menghela nafas sambil menerawang ke depan. Sudah kesekian kalinya Cindy bertanya tentang itu padaku dan sudah kesekian kalinya aku tidak mendapatkan kabar apapun dari seseorang yang kutunggu. Tepatnya, sudah tujuh tahun lamanya dia menghilang. Sebenarnya aku sangat ingin mengirim surat atau email padanya, sayangnya aku bahkan tidak tau apa alamat emailnya atau alamat rumahnya bahkan nomer telepon saja aku tak memilikinya.
“Hei, bukankah itu Kevin?” ucap Cindy sambil menunjuk seorang laki-laki yang sedang sibuk membawa perkakas drum bersama teman-temannya.
“Aahh... Tampannya,” ucapku sambil sedikit berbisik. Kuakui bahwa aku menyukai kevin karena dia baik. Dia pernah menolongku beberapa kali saat aku sedang membuat acara club tetapi sayangnya kami hanya bisa bertemu dengannya saat club saja dan aku berharap di tahun ketiga nanti aku bisa satu kelas dengannya.
“Menurutmu di tahun ketiga nanti, apa kau bisa satu kelas dengannya?”
“Kuharap.”
“Dasar, kau ini. Padahal kalian ini sudah sering bertemu saat club tetapi kau masih belum saja puas,” sindirnya tetapi aku hanya bisa tersipu saja. Saat aku berpapasan dengan Kevn, tanpa sengaja mata kami saling bertemu dan aku langsung melemparkan senyum padanya. Aku dengar bahwa dia telah mengisi acara perpisahan untuk angkatan tahun ketiga ini beberapa minggu yang lalu. Dia bermain piano, alat musik yang paling sering dia mainkan. Setiap alunan yang dia mainkan selalu membuatku tersenyum senang. Sentuhan jarinya bagai sihir karena saat dia bermain, jari-jarinya seperti sedang menari di atas tuts piano.
“Mengapa kau tidak berpacaran saja dengannya?” tanya Cindy secara tiba-tiba.
“Kau tau bahwa aku tidak dekat dengannya. Lagipula aku tidak suka jika perempuan yang menyatakan perasaannya terlebih dahulu. Itu akan terlihat aneh.”
“Tidak ada yang peduli lagi dengan hal-hal seperti itu. Jika kau tidak bergerak cepat, bisa-bisa kau akan menyesal nantinya.” Aku langsung terdiam sambil kata-katanya. Kata-kata Cindy memang ada benarnya, tetapi tetap saja aku tidak setuju dengannya.
Aku menghembuskan nafas panjang. Di saat aku membutuhkan sebuah nasihat, aku selalu teringat pada teman masa kecilku. Teman yang selalu kurindukan setiap harinya. Dan karena itu, harapanku padanya supaya dia kembali semakin besar. Aku juga berharap bahwa dia terus memikirkan tentangku sama seperti aku memikirkan tentang dirinya.
* * *
“Aku pulang...” seruku dengan lesu pada seisi rumah, tidak tau apakah ada yang mendengarkannya atau tidak. Aku menaiki tiap-tiap anak tangga dengan lemas. Saat aku berdiri di depan pintu kamarku, aku mengehembuskan nafas panjang terlebih dahulu baru membukanya. Cahaya matahari sore yang menembus dari jendela menerangi seisi ruangan tetapi mataku hanya dapat menatap lurus keluar jendela. Dari sini aku bisa melihat jendela lain yang tepat berhadapan dengan milikku tetapi sayangnya jendela itu selalu tertutup oleh tirai jadi aku tidak bisa melihat apa yang ada di dalamnya. Aku berharap supaya tirai itu terbuka lagi dan menampakkan sosok yang paling ingin kulihat tetapi sepertinya itu tidak akan terjadi lagi.
“Kapan aku bisa berbicara lagi denganmu. Bukankah kau berjanji untuk memberiku kabar. Dasar pembohong..” Mataku mulai berair dan lagi-lagi aku menangis tetapi aku segera menghapusnya dengan telapak tanganku. “Gara-gara kau, aku jadi suka menangis,” ujarku sambil tersedu lalu aku mulai mengambil nafas panjang untuk menghilangkan tangisku. Aku beranjak menuju jendelaku sambil menyibakkan tirai putih. Mendadak tubuh dan pikiranku terasa sangat lelah. Tanpa berpikir panjang lagi, aku menghempaskan tubuhku di atas tempat tidurku dan akhirnya kuputuskan untuk memejamkan mataku.
* * *
Ponselku mulai berdering nyaring dan selama kurang dari satu menit ponsel itu terus menerus berbunyi, meminta untuk diangkat tetapi sayangnya tanganku terlalu lemas untuk mengangkatnya. Aku bahkan tidak perlu bersusah payah untuk melihat cahaya ponsel yang berkelap-kelip itu. Setelah tidak ada suara lagi, akupun melanjutkan tidurku lagi. Satu menit, dua menit dan tiba-tiba saja ponsel itu mulai berbunyi lagi. Aku tersadar dari alam bawah sadarku untuk yang kedua kalinya. Mau tak mau aku mengambilnya. Sambil menyipitkan mata, aku menatap layar ponselku lama sambil menerka nomor siapa ini.
Aku meletakkan kembali ponselku karena aku tidak mengenal nomor itu sambil membiarkan ponsel itu mati dengan sendirinya. Tetapi saat ponsel itu mati, tidak berapa lama lagi ponsel itu mulai berbunyi lagi. Karena tidak tahan berisik, aku mengangkatnya dengan sedikit kesal.
“Halo. Siapa ini?” tanyaku dengan nada yang masih mengantuk. Sesekali aku membuka mulutku lebar-lebar dan menguap.
“Alexa?” tanya seorang pria dari seberang sana. Nadanya terdengar cukup girang dan terkejut.
“Siapa ini?” Aku terduduk di atas ranjangku. Mendadak aku jadi penasaran, membuat rasa kantukku menghilang begitu saja.
“Apa benar kau Alexa?” tanyanya dengan girang tetapi aku hanya bisa berpikir dengan keras siapa sebenarnya pria ini. Bagaimana caranya mendapatkan nomerku ini.
“Ternyata suaramu sudah berubah yaa..” ucapnya dengan gelak tawa yang begitu kencang.
“Si-Siapa ini?” tanyaku lagi dengan semakin ragu. Aku mencoba untuk mengingat siapa saja orang-orang yang telah kuberikan nomer ponselku ini tetapi sejauh ini aku juga memiliki semua nomer ponsel mereka. Setelah beberapa saat lamanya, akhirnya pria itupun berhenti tertawa. Mungkin dia menyadari bahwa tawanya itu telah membuatku ketakutan.
“Maaf, aku terlalu senang sampai-sampai aku lupa untuk mengatakan sesuatu padamu.” Dia tetap terdengar gembira meskipun dia sudah menghilangkan tawanya itu. “Lebih baik kau menyingkap tirai jendelamu saja jika kau penasaran,” ucapnya lagi.
Tirai. Jendela. Jangan-jangan.
Aku segera turun dari ranjangku sampai-sampai aku hampir terjatuh sambil tetap menggenggam ponselku. Lalu dengan cepat aku menyibakkan tirai itu ke samping dan lagi-lagi aku menyipitkan mataku karena cahaya matahari yang tiba-tiba masuk begitu saja, menusuk mataku sehingga membuatnya menjadi setengah tertutup.
Aku melihat sosok pria yang sedang melambaikan tangannya sambil tersenyum senang padaku. Sosok pria yang kukenal dan yang sangat kurindukan. Arvin.
“Sudah lama kita tidak bertemu,” ucapnya lagi sambil masih memberikan senyum padaku dari ponsel miliknya sampai akhirnya dia bisa membuatku tersenyum sedikit demi sedikit.
“Dasar bodoh. Mengapa kau baru kembali sekarang?” tanyaku sambil menahan air mataku.
“Aku hanya mencari waktu yang tepat. Lagipula, aku memang ingin bertemu dengan seseorang. Maka dari itulah aku kembali. Maaf karena telah membuatmu menunggu lama. Bagaimana? Apa kau terkejut?”
“Siapa yang menunggumu? Terkejut? Tentu saja tidak,” candaku. Sudah bertahun-tahun lamanya aku menunggu kehadirannya dan aku masih sempat tak percaya karena dia ada di hadapanku sekarang. Tetapi aku memang berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikan keterkejutanku darinya.
“Woahh... Kau kejam sekali. Padahal aku sudah datang jauh-jauh dari New York. Beginikah caramu menyambutku?” Aku tertawa saat mendengar setiap kata-katanya. Ternyata dia tidak berubah sama sekali. Selalu saja membuat orang yang berada di sekitarnya menjadi senang. Atau sebenarnya dia memang sudah berubah. “Oia, malam ini, kau ada acara tidak?”
“Ada apa?”
“Jika kau sedang tidak ada acara, aku ingin mengajakmu keluar untuk makan malam. Aku akan mentraktirmu. Anggap saja sebagai permintaan maafku karena aku tidak sempat memberikan kabar padamu. Kumohon...” Dia menatapku dengan tatapan memelas. Aku sempat tercengang melihat tingkah lakunya yang seperti ini. Hanya satu kata yang tertera di dalam pikiranku. Aneh.
“Aku ragu...”
“Ayolah.. Kumohon.. Apa kau tidak rindu padaku?”
“Rindu? Aku memang rindu dengan seseorang tetapi tentu saja bukan denganmu,” candaku lagi dengan nada yang memang aku buat supaya terdengar sinis. SeRasa rinduku semakin memuncak dan aku ingin sekali menyentuh wajahnya ataupun helai rambutnya karena aku ingin memastikan bahwa ini benar-benar nyata.
“Benarkah?” nadanya mulai berubah kecewa. “Kalau begitu...” Dari seberang aku melihat bahwa dia mematikan teleponnya lalu menutup tirai jendelanya.
“O, kemana dia pergi? Apa benar dia kecewa. Jangan-jangan aku telah membuatnya marah.” Aku berdiri di dekat jendela selama beberapa menit sambil  menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebesar itukah dia merasa kecewa padaku. Tak lama kemudian, tiga kali ketukan pintu yang kudengar membuatku tersadar.
“Masuklah. Pintu tidak terkunci,” teriakku dari dalam, tetapi tidak ada balasan sama sekali. Membuka pintu juga tidak. Akhirnya aku memutuskan untuk membuka pintu kamarku.
“Ada apa?” tanyaku sambil menatap orang yang berada di hadapanku dan secara spontan aku  langsung menarik nafas dalam-dalam. Aku bahkan tidak menyangka bahwa dia akan menemuiku secepat ini. “Kau.” Aku terperangah karena melihat sosoknya yang sedang berdiri di depan kamarku. Badannya yang jauh lebih tinggi dariku membuatku harus menegakkan leherku ke atas supaya aku dapat melihat wajahnya  dengan jelas dan wajahnya memang bukan lagi wajah seorang anak laki-laki yang biasa kukenal. Dia memang berubah. Jujur saja, dia jauh lebih tampan dari yang sebelumya.
“Mengapa kau datang kemari? Darimana kau masuk? Siapa yang mengijinkanmu untuk masuk?”  tanyaku dengan cukup panik tetapi dia hanya terdiam saja sambil menatap tajam padaku. Aku bisa melihat kekecewaan yang tersirat di dalam matanya. Aku terkejut karena dalam beberapa detik saja ia menarik tanganku tanpa izin dariku dan yang aku tau hanyalah aku sudah berada dalam pelukannya.
“A-Apa yang sedang kau lakukan? Apa kau tidak sadar? Kau sudah menjadi seorang pria dan aku juga bukan lagi gadis kecil yang bisa kau peluk seenaknya lagi. Hey!” aku menjerit dengan kesal tetapi sepertinya tidak ada gunanya juga aku berbicara dengannya. Pelukannya semakin mengerat, membuatku sempat kehabisan nafas.
“Aku... hanya ingin memelukmu saja. Dengan begini, rasa rindu yang telah kusimpan begitu lama bisa terbalaskan juga.” Dia memang benar-benar sudah berubah. Arvin yang kukenal mana mungkin mau memelukku  hanya karena dia rindu padaku. Dia bukanlah pria yang seperti ini. Sudah lama rasanya saat terakhir kali dia memelukku seperti ini. Tujuh tahun yang lalu adalah saat dimana terakhir kali dia memelukku dengan paksa seperti sekarang ini dan itu adalah pertama kalinya dia memelukku. Saat itu dia hanya mengatakan bahwa dia akan pergi ke suatu tempat dan dia berjanji bahwa dia akan selalu memberikan kabar padaku juga dia mengatakan akan pulang secepatnya. Tetapi saat itu usiaku masih sepuluh tahun jadi aku tidak sepenuhnya mengerti dengan apa yang dia maksud. Yang aku tau hanyalah bahwa dia akan pergi dan tidak ada lagi yang mengajari ataupun menemaniku untuk bermain biola.
“Aku senang melihatmu kembali,” ucapku dengan lembut. Jika aku menjadi dirinya, mungkin aku juga rela untuk bertingkah bodoh seperti yang dia lakukan seperti ini. Mungkin aku terlalu menjunjung tinggi harga diriku jadi aku terus berusaha menyembunyikan rasa rinduku padanya. Hanya satu hal yang telah aku sadari saat ini. Pelukannya begitu hangat dan nyata sampai-sampai aku merasa bahwa aku sudah tidak kuat untuk bernafas lagi. “A-aku tidak bisa bernafas,” lanjutku dengan nada yang tercekik.
“Maaf,” ucapnya saat dia melonggarkan pelukannya. Dia membungkuk dan mensejajarkan wajahnya dengan wajahku dan kedua tangannya dia letakkan di atas lututnya sebagai tumpuan. Aku bahkan bisa melihat wajahnya dengan cukup jelas. Matanya yang besar berwarna cokelat muda begitu pula dengan warna rambutnya yang senada dengan warna matanya. Untuk orang Asia seperti dia, hidungnya cukup mancung sedangkan bibirnya berwarna peach pink. Selain itu, rahangnya memancarkan ketegasan di wajahnya, membuatnya terlihat lebih tampan.
“A-Ada apa? Mengapa kau melihatku seperti itu?” tanyaku dengan gugup saat dia menatap mataku dengan tajam sambil tersenyum usil.
“Sepertinya kau baru saja menangis.”
“Menangis? Siapa yang menangis? Untuk apa kau menangis?” Cepat-cepat aku mengusap sisa air mata yang masih tergenang di mataku.
“Untuk... Biar kutebak. Kau menangis karena kau rindu padaku. Benarkan?” ucapnya dengan girang sambil masih mengamatiku. “Pipimu memerah. Berarti jawabanku benar.” Dia mulai terkikik sendiri. Aku berdecak kesal karena dia telah menyindirku.
Perlahan dia menundukkan kepalanya sambil mengamati seusatu. Aku bahkan tidak tau aoa yang sedang ia perhatikan. “Ternyata kau masih memakai gelang itu juga,” ucapnya lagi sambil terpaku pada gelang merah yang memang kupakai sejak kecil. Aku langsung menyembunyikan tanganku di balik badanku. “Aku juga masih memakainya. Sekalipun aku tidak pernah melepasnya,” ucapnya dengan girang. Sesekali aku melirik pergelangan tangannya, hanya memastikan apa benar dia masih mengenakan gelang itu. Dan ternyata memang benar dia masih mengenakan gelang itu.
Gelang itu adalah gelang pemberiannya dulu. Dari dulu Arvin tidak pernah memberitahuku bagaimana dia mendapatkan gelang ini. Katanya gelang ini memiliki makna tersendiri. Dulu dia pernah berkata bahwa gelang ini bisa mengikat perasaan antara kedua orang yang saling memakainya walaupun kita berada dalam jarak yang sangat jauh tetapi aku tidak pernah percaya padanya. Buktinya sekarang aku tidak menyukainya.
“Baguslah jika kau masih memakainya,” ucapnya sambil mencubit kedua pipiku.
Aku sebal melihat tingkahnya. Padahal dia lebih tua lima tahun dariku tetapi sepertinya dia lebih kekanak-kanakan dari padaku. Sebelum dia selesai tertawa, aku langsung membalikkan badanku dan kembali ke kamar sambil menutup pintu dengan cukup keras tetapi dengan cepat dia menyambar pintu dengan salah satu tangannya.
“Ternyata kebiasaanmu masih belum berubah juga. Saat kau marah, kau selalu bersembunyi di dalam kamarmu lalu meninggalkanku sendirian,” ucapnya sambil menarik pintu sekuat mungkin. Tentu saja tenagaku untuk mempertahankan pintu itu tidak bisa mengalahkan tenaganya yang lebih besar. Tenaganya mungkin sudah bertambah tiga kali lipat dari pada yang sebelumnya.
Aku berdecak kesal saat dia berhasil membukanya dan menyelinap masuk ke dalam kamarku.
“Jangan tutup pintunya,” jeritku dengan pelan saat perlahan dia mulai menutup pintu itu.
“Apa kau takut padaku?” tanyanya dengan licik sambil masih memegang gagang pintu.
“Tidak. Aku tidak takut padaku.”
“Kalau begitu..” dia menarik gagang pintu itu hingga tertutup. “Seperti ini rasanya jauh lebih baik.” Entah mengapa aku merasa tidak senang dengan kata-katanya itu.
Perlahan dia mulai melangkah mendekatiku tetapi aku mencoba untuk mundur.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku dengan gugup. Tetapi dia hanya bisa tertawa saja melihatku berkata seperti itu.
“Mengapa kau tertawa?”
“Aku tidak tau harus senang atau sedih kau merasa takut padaku dan menganggapku seperti orang asing. Padahal kita sudah lima tahun berteman.”
“Tujuh tahun adalah waktu yang lebih lama dibandingkan lima tahun. Tentu saja aku menganggapmu seperti orang asing. Apa lagi kau baru saja pulang dari New York. Aku tidak tau bagaimana budaya yang ada di sana. Aku juga tidak tau bagaimana kau hidup di sana. Mungkin saja kau telah terkena berbagai macam racun kehidupan di sana.”
“Benarkah?” dia menghembuskan nafasnya. “Rasanya waktu cepat sekali berlalu. Aku bahkan tidak sadar. Dibandingkan dengan dulu, sekarang kau jauh lebih cantik juga terlihat... dewasa,” ucapnya dengan tulus. Tetapi untuk saat ini, aku tidak bisa mempercayai ketulusannya itu.
“Kau..” aku menyipitkan mataku saat melihatnya. “Jangan-jangan kau sedang mencoba untuk merayuku. Jangan-jangan kau sudah menjadi playboy di sana.”
Pria itu mulai tertawa geli. “Playboy? Kau ini ada-ada saja. Aku tidak menyukai orang barat. Sifatku dengan mereka sangatlah berbeda. Untuk mencari seorang wanita yang cocok itu sangatlah sulit di sana tetapi untuk mendapatkan wanita yang satu ini, aku berharap aku bisa mendapatkannya dengan cepat.” Dia menatapku dengan penuh rahasia sehingga membuatku berpikir siapa wanita yang dia maksud itu.
Dia melayangkan pandangannya ke seisi ruangan. Matanya mulai mengamati barang-barang yang ada di kamarku satu persatu. “Ternyata banyak yang berubah di sini. Tetapi kuharap tidak semuanya berubah.”
“Apa yang kau maksud?”
Saat dia melayangkan pandangannya ke dinding yang berada di dekat jendelaku, dia terlihat sedikit terkejut. “Foto-foto yang kau tempel di situ, mengapa tidak ada?” ucapnya sambil menunjuk dinding itu.
“Aahh.. ” aku menoleh mengikuti arah telunjuknya lalu menatap dinding putih yang sudah bersih seperti semula. “Maksudmu foto-foto saat kita masih kecil?” aku kembali menatapnya dengan sedikit bingung. “Tentu saja aku melepasnya. Apa kau ingin mengambilnya?”
“Tidak,” ucapnya dengan sedikit kecewa. “Aku hanya penasaran. Bolehkah aku melihatnya?”
Sesaat aku berdecak sambil meletakkan kedua tanganku di pinggang. “Aku lupa meletakkannya dimana. Atau jangan-jangan aku telah membuangnya.”
“Kau membuangnya?”
“Mungkin. Aku lupa.”
“Sebuah masa lalu tidak baik untuk di buang.”
“Begitukah? Sebuah kenangan hanyalah kenangan. Kita tidak bisa kembali lagi kesana. Jika dibuang, itu bukan masalah bagiku. Kita sekarang sudah bertemu lagi. Jika kau ingin mengambil foto lagi, kau bisa melakukannya sekarang. Kau bisa memiliki sebuah kenangan baru lagi.”
“Kau ini. Benar-benar tidak bisa menghargai sebuah kenangan,” ucapnya dengan sedikit kesal. Tapi aneh, mengapa dia bisa kesal padaku hanya karena foto. Apakah ada rahasia yang tersembunyi di dalamnya.
“Mungkin saat itu aku mencoba untuk melupakanmu. Maka dari itu aku melepas foto-foto itu.”
“Melupakanku. Lexa, apa kau membenciku?” Ia menunjuk dirinya sendiri dengan wajah yang penuh dengan tanda tanya.
Apakah aku membencinya? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Walaupun dia sangat bersalah padaku tetapi aku tidak akan pernah bisa untuk membencinya. “Aku tidak membencimu tetapi kau berbohong padaku. Aku kesal padamu. Kau mengatakan akan memberikan kabar juga kau berjanji padaku bahwa kau akan pulang secepatnya. Tidak ada satu janjipun yang kau tepati. Kau bahkan tidak memberikan emailmu padaku,” aku berterus terang padanya.
“Setiap kali aku melihat foto itu, aku selalu kesal karenamu. Aku lelah karena selalu menunggumu sampai akhirnya aku sadar bahwa menunggumu adalah sesuatu yang bodoh. Lebih baik membuang kenangan buruk dan memulai untuk membuat sebuah kenangan baru,” jelasku lagi padanya dengan penuh kesal. Karena mengingat hal yang seperti ini, aku jadi menyesal karena telah bertemu dengannya lagi. Membuatku semakin kesal saja. Untungnya aku masih bisa meredam emosiku.
“Aahh.. Sedih rasanya untuk dilupakan apalagi dilupakan oleh orang sepertimu,” ucapnya sambil memanyunkan bibirnya dan menatap nanar padaku. Apakah dia sedang mencoba untuk bersikap manis di hadapanku supaya aku bisa memberikan maaf baginya.
“Memangnya ada apa?”
“Tidak,” ucapnya sambil mengacak-acak rambutku.
“Kau ini kenapa. Apa kau tidak melihat bahwa aku sedang kesal padamu.” Tetapi sepertinya Vin memang benar-benar tidak peduli dengan kekesalanku saat ini. Dia malah menjulurkan lidahnya mengejekku.
“Itu biolamu kan?” ucapnya sambil mendekati sebuah tas hitam yang terletak tepat di sebelah ranjangku. Vin duduk di atas ranjangku sambil mengangkatnya. “Bolehkah aku membukanya?” tanyanya dengan hati-hati.
Aku tidak memberikannya jawaban dan sepertinya dia juga tidak peduli dan tetap memutuskan untuk membukanya. Kulihat dia membukanya dengan sangat hati-hati. Saat dia meperhatikan biola milikku, dia mulai tersenyum manis. Perlahan dia mulai mengeluarkan biola itu. “Ternyata kau masih menyimpannya dengan sangat baik.” Vin mulai melihat bagian depan dan belakang biola berwarna merah kecoklatan itu secara bergantian. “Bolehkah aku mencobanya?” tanyanya lagi. Setelah mendapat persetujuan dariku, dia langsung mengambil busur biola yang masih terletak di dalam tas. Tidak lama kemudian, dia menyangga biola itu di dagunya sambil mencari posisi yang enak dan tak lama kemudian dia mulai memainkannya.
Aku tertegun saat melihatnya bermain. Lagu yang sedang Vin mainkan adalah lagu dari Antonin Dvorak. Dia adalah seorang komponis Ceko dari aliran musik romantik. Symphony No. 9 “From The New World”. Jika tidak salah, itulah judulnya. Ini juga merupakan salah satu lagu yang kusukai. Entah kenapa Vin juga memilih lagu ini untuk dia mainkan.
Saat dia memainkan lagu ini, aku seperti kembali lagi ke dalam masa laluku dan mulai terhanyut di dalamnya. Aku teringat, ini adalah lagu yang berhasil yang kumainkan untuk pertama kalinya saat aku belajar dengannya dan aku ingat bahwa Vin mengajariku dengan begitu sabar. Butuh berminggu-minggu untuk mempelajari lagu ini dan sampai akhirnya aku bermain dengan benar di hadapannya. Semakin lama aku semakin jatuh cinta pada musik dan akhirnya aku jadi giat belajar. Dulu aku sering berduet dengannya. Banyak lagu yang kumainkan bersamanya. Di satu sisi, aku merasa senang karena sekarang aku bisa mendengarkan dia bermain lagi. Rasa rinduku pada dirinya juga pada musiknya akhirnya tercapai juga. Walaupun membutuhkan waktu yang sangat lama, tetapi kurasa hal itu setimpal dengan apa yang kudapat saat ini.
“Ternyata suaranya juga masih bagus,” ucap Vin dengan senang. Aku tersenyum padanya.
“Terima kasih,” ucapku tiba-tiba saat perasaanku perlahan berubah menjadi cukup tenang.
“Untuk apa?” Aku melihat tatapannya yang beralih dari biola itu lalu menatapku.
“Karena kau telah mengenalkanku pada musik dan juga mengajarku dengan sabar,” ucapku dengan sedikit canggung. Aku melihat bahwa pria itu menatapku dengan memberikan sebuah ulasan senyum di bibirnya. Tanpa aku sadari, aku menundukkan wajahku karena malu.
“Bagaimana jika kau menunjukkan kemampuanmu sebagai tanda terima kasihmu? Sudah lama juga aku tidak mendengarkanmu main.” Vin menyerahkan biola itu padaku. Dalam beberapa detik aku cukup terkejut dengan permintaannya tetapi aku mencoba mengkabulkannya. Dalam posisi berdiri, aku menempelkan daguku pada biola itu sambil berpikir lagu apa yang enak untuk dimainkan.
“Semoga saja kau menyukainya,” ucapku saat memulai permainanku. Kali ini lagu yang kumainkan adalah lagu dari seorang Prancis. Sama seperti Dvorak, dia juga merupakan salah satu komponis. Pada abad ke- 20, dia merupakan komponis paling terkemuka dari generasinya. Gabriel Faure, Apres un reve. 
Sekali-sekali aku memejamkan mataku untuk menghayati setiap nada yang kumainkan. Rasanya menyenangkan jika aku bermain seperti ini. Damai juga tenang. Saat aku membuka mataku, aku melihat bahwa Vin juga sedang memejamkan matanya sambil tersenyum. Aku mencoba untuk kembali fokus. Rasanya aku sedang bermain di depan seseorang yang hebat dan aku memang menganggap Vin sebagai seseorang yang hebat. Sepertinya aku bermain dengan benar dan saat aku menyelesaikan bait terakhir yang kumainkan, Vin memandangku dengan senang.
“Sepertinya kau telah mengerjakan tugasmu dengan baik,” pujinya sehingga membuatku juga tersenyum senang.
“Baguslah jika kau menyukainya. Kau ingat saat kita sering berduet bersama.” Lagi-lagi aku kembali ke masa laluku di saat kami saling bermain bersama. Kami saling  tertawa jika salah satu dari kami ada yang membuat kesalahan. Dulu aku dan Vin satu sekolah jadi kami sering melakukan pentas di sekolah kami. Rasanya ada kesenangan tersendiri untuk bermain bersamanya. “Menyenangkan rasanya,” ucapku. Sedikit demi sedikit emosiku mulai menghilang dan tergantikan oleh rasa senangku.
“Bagaimana jika kita bermain bersama lagi?” Vin menghembuskan nafasnya, “Aku rindu saat kita bermain bersama.”
“Jika ada waktu, aku setuju,” jawabku. Baru saja aku akan bertanya padanya, tiba-tiba saja ponselku berdering. “Tunggu sebentar,” ucapku sambil meletakkan biolaku di atas ranjang lalu beranjak keluar dan menutup pintu yang ada di belakangku.
“Lexa, kau dimana?” tanya Cindy dengan sedikit tergesa.
“Tentu saja aku di rumah. Ada apa?”
“Aku ingin mengajakmu keluar. Aku bosan di rumah. Apa kau bisa?”
“Aku tidak tau apakah aku bisa atau tidak. Aku sedang menemani seorang tamu saat ini. Bagaimana jika..”
“Tamu? Siapa?”
“Kau masih ingat teman yang selalu kuceritakan padamu?”
“Aku ingat,” jawab Cindy. Beberapa saat kemudian aku bisa mendengar bahwa Cindy sedang menarik nafas karena terkejut. “Jangan-jangan.”
“Benar, dia ada di rumahku sekarang. Dia sudah kembali.” Karena terlalu senang aku sampai menjerit pelan. Aku sempat lupa bahwa dia masih ada di dalam kamarku. Aku menoleh untuk memastikan bahwa pintu masih tertutup rapat.
“Benarkah?” Cindy menjerit senang. “Akhirnya kau bertemu dengannya lagi.”
“Seharusnya aku yang menjerit seperti itu,” ucapku sambil tertawa pelan.
“Baguslah kalau begitu. Bagaimana? Apakah dia tampan?” tanya Cindy dengan penasaran.
“Sebenarnya aku tidak ingin terlalu memuji dirinya tetapi dia memang tampan,” aku mengakuinya.
“Aahh.. Senangnya. Bagaimana jika kita pergi hari ini dan kau mengajaknya juga?” tawarnya.
“Aku tidak tau jika dia mau atau tidak.”
“Tanyakan saja padanya. Beri kabar jika kau sudah medapat jawabannya.”
“Oke.”
“Kumatikan dulu kalau begitu. Bye.”

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?