Nadia
Mungkinkah ini karena kemarin aku
menelpon Vinci? Itu betul-betul membuatnya marah. Aku juga bodoh, kenapa aku
menelponnya. Bukankah ini masalahku sendiri? Bukankah Vinci orang yang tidak
pernah memberikan nasihat? Jadi kenapa? Kenapa aku menelponnya kemarin?
Sekarang, dia jadi marah. Aku bodoh! Bodoh sekali.
“Hari ini, Vinci akan mengadakan
konferensi. Lebih cepat dari rencana, tapi ini kan yang kita ingin ketahui?”
Hari ini... Vinci akan mengumumkan
pertunangannya. Vina juga berpikiran seperti itu. Menyebalkan. Aku lagi susah
begini...
“Apa? Kok mukamu muram? Hari ini...
pengumuman pertunangan itu ya? Akhirnya...” Kata kak Juno dari sampingku.
“Kecewa? Karena orang yang kakak suka
akhirnya bilang pada semua kalau dia bukan milikmu lagi?”
“Hei, jangan bilang begitu. Itu sudah
kelewat jalur. Dia bukan milikku kok! Kami Cuma teman.” Kata kak Juno
tersenyum. Selalu tersenyum.
“Ada hal yang aneh! Ternyata Vinci
tidak hadir. Yang ada hanyalah seorang gadis cantik. Siapakah dia?”
“Vina!” Kata kak Juno terkejut. Kakak
benar, dia itu Vina. Vina tampak tegang dan pucat. Apa yang terjadi?
“Waktunya breaking news. Terjadi
sebuah tabrakan beruntun yang melibatkan sembilan mobil dan dua bus. Kejadian
disebabkan oleh pecahnya dua ban bus karena memuainya udara di dalam ban. Sedikit 3 meninggal dan sisanya luka-luka. Berlokasi...”
Selagi itu, gambar-gambar yang
terlihat sangat mengerikan. Semua orang siuk dievakuasi dan jalanan macet
total.
“Mobil itu!!!” Aku tidak percaya.
Mobil itu...
“Kenapa Nadia?” Tanya kak Juno cemas.
Aku nggak perduli dengan berita lain, tapi... tapi!!!
“Mobil Vinci!!! Nomor platnya... apa yang terjadi?
Jangan-jangan...” Aku meraih telepon dan menelpon Vinci. Tapi tidak ada
jawaban. Bagaimana ini? Vinci... Vinci... apa dia baik-baik saja? Tidak,
mobilnya rusak berat. Ya Tuhan, kuharap bukan dia yang naik mobil itu. Kalau
terjadi apa-apa dengan Vinci, aku... aku...
“Halo, Martin? Ya, aku tahu. Kau sudah
melihat berita? Bukan... bukan soal itu. Barusan ada di breaking news. Begini
saja, Vinci ada di sana? Apa? Jadi...” kak Juno menatap ke arahku. Aku
merasakan firasat yang tidak enak. Apa? Jangan-jangan...
“Periksalah berita itu. Dan cepat
beritakan padaku. Cepatlah!” Kata kak Juno tegas. Aku merasakan bahaya. Tidak
ada satupun yang baik-baik saja sesudah kecelakaan itu. Semuanya dibawa ke
rumah sakit negeri.
Perasaanku berkecambuk. Aku sama
sekali tidak memperhatikan sekitar waktu kakak mengajakku memastikan siapa saja
yang ada di rumah sakit. Vinci, bagaimana? Apa betul dia juga mengalami
kecelakaan itu? Tidak, jangan berpikiran macam-macam. Astaga... aku...
“Tenanglah, semuanya kan baik-baik
saja. Mungkin saja Vinci sempat bertukar mobil supaya tidak ada yang bisa
melacaknya.” Kata kak Juno menenangkanku. Tahu-tahu, aku sudah ada di rumah
sakit.
Mungkin kak Juno benar. Tapi Vinci mau
kemana sampai meninggalkan konferens persnya sendiri? Begitukah?
“Ada. Saudara Vincent. Dia dan
kira-kira 60 orang lainnya sudah dirawat. Kasihan sekali mereka, mendapat luka
seperti itu...” Kata perawat.
“Apa?! Vinci di sini? Di mana? Di mana
dia dirawat? Apa dia luka parah? Dia tidak apa-apa kan?” Aku panik. Perawat itu
sampai kebingungan.
“Di.. di ruang VIP 1, tapi...”
Ruang VIP 1, ok! Aku berlari cepat
menuju VIP satu. Ruang VIP bangunannya ada di sebelah timur kompleks rumah
sakit ini.
“Tunggu dulu, pasien tidak boleh
dijenguk! Tunggu nona!!” perawat menahanku.
“Jangan, apa perawat tidak memperhatikan
dia sebelumnya? Sumber dari berita Vinci, si bintang tenar itu.”
“Oh!!! Mbak ini yang ada internet itu
kan?” Tanya si perawat. Aku terkesiap. Kak Juno, apa yang dia katakan?
“Ya dia.”
“Si, silahkan kalau begitu. Mungkin,
Vinci senang melihatmu.”
“Kakak?”
“Kau sudah sadar, apa yang kau
inginkan? Kau cemas padanya kan? Lihat dirimu sekarang. Kau sangat
memperhatikan dia. Itu artinya kau mencintai dia.”
“Kakak...” Kak Juno benar. Aku...
“Selama ini, kau Cuma terlalu sayang
padaku. Dasar brother complex.” Kata kak Juno, memegang bahuku. Menyakinkanku.
“Kak Juno... inikah alasan kakak
menolakku? Kakak mengerti setiap tindakanku...”
“Aku kan kakakmu yang sudah bersamamu
sejak kecil. Tidak ada satupun, yang lebih mengerti dirimu selain aku.” Kata
kakak tersenyum penuh percaya diri. “Nah, sekarang pergilah. Dia menunggumu.”
Vinci... menungguku? Aku langsung
berlari ke arah timur gedung ini. Masuk ke gedung dan mencari kamar Vinci.
Ketemu. Masih tidak ada orang. Dimanakah Pak Martin dan yang lainnya!
“Vinci!!! Kau baik-baik saja??!!!”
Kataku membuka pintu dengan paksa.
“Nadia... kau ini... ribut juga ya.”
Terlihat cowok ganteng yang memakai piyama rumah sakit. Ada beberapa balutan
perban badannya. Kakiku lemas. Aku terduduk di lantai, Vinci...
“Apa-apaan kau ini.” Kata Vinci. Tak
lama wajahnya berubah jadi panik. “Hei, kenapa? Kok kamu nangis? Jangan nangis
dong!”
Ternyata aku menangis. Aku lega
sekali. “Aku... aku panik. Syukurlah... syukurlah Vinci baik-baik saja. Aku
sudah berpikiran macam-macam tadi. Sampai lemas...”
“Aku baik-baik saja. Gara-gara dokter
yang terlalu pencemas itu, aku diperban di sana-sini. Bahkan yang Cuma luka
lecet saja sampai dibalut juga.” Kata Vinci kesal. “Sudah dong. Nangisnya kayak
anak kecil saja.”
“Aku ketakutan tahu!! Aku langsung
datang ke sini waktu lihat mobilmu yang hancur. Kenapa kamu ninggalin
konferensi pers? Kamu mau kabur ke mana lagi?”
Tangan Vinci terjulur, menyeka air di
mataku. Jantungku langsung berdegub kencang waktu jarinya menyentuh kulitku.
Rasanya wajahku jadi merah.
“Aku pergi... mencarimu.” Katanya.
Mencariku? Kenapa? “Aku mau bilang... kalau aku menyukaimu.”
Vinci... menyukaiku? Benarkah?
“Sudah lama aku menyukaimu, tapi aku
tidak sadar... bukan. Aku menyangkalnya. Aku selama ini selalu menganggapmu
anak kecil. Tapi, sejak aku tahu alasan sebenarnya kau begitu ngotot soal
cincin ini dan akhirnya pergi, aku sadar aku begitu pengecut. Sekarang... aku
sudah memutuskan pertunanganku dengan Vina... dan mencarimu secepat mungkin.
Aku begitu tak sabar ingin ketemu, tapi tiba-tiba saja mobil di belakang bannya
meledak dan...”
“Sudah... tidak usah bicara apa-apa
lagi.” Kataku. “Beristirahatlah.”
Aku tidak tahu apa yang harus
kulakukan. Kami bangkit bersama-sama. Punggungnya... begitu...
“Aku juga... sangat menyukai Vinci.
Aku juga bodoh, kenapa baru kusadari sekarang. Pasti kau menyangkaku telmi
kalau aku bilang begini kan?” Tanyaku. Ternyata... aku sudah memeluknya dari
belakang!! Tapi itu terjadi karena refleks, jadi biarkan saja.
“Bagaimana dengan Juno... dan Haris?”
“Kak Juno bilang, aku adalah seorang
brother complex berat. Dari awal, aku memang tidak mencintai dia. Aku Cuma
takut kehilangan dia. Dan Haris... aku tidak mau menjadikan dia pelarianku.
Memang dicintai itu bagus... dan membahagiakan. Tapi, pasangan yang saling
mencintailah yang terbaik. Benar kan?”
Vinci berbalik ke arahku. Aku melihat
dia tersenyum pasrah. “Dan kau baru menyadarinya setelah semua ini. Kau memang
telmi.”
Dia memelukku sekali lagi. Sekali lagi
sejak kami berpisah waktu itu. Dulu pelukan perpisahan, dan sekarang...
“Bertemu lagi.”
* * * *
Bodohnya ... terlalu sibuk sampai lupa sama hal ini hahahahaha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?