Minggu, 10 Februari 2013

Bab 17

cerpen, novel

Nadia




Ada yang aneh. Rasa gelisah, apa terjadi hal yang gawat? Ada apa ini?
Mungkinkah ini karena kemarin aku menelpon Vinci? Itu betul-betul membuatnya marah. Aku juga bodoh, kenapa aku menelponnya. Bukankah ini masalahku sendiri? Bukankah Vinci orang yang tidak pernah memberikan nasihat? Jadi kenapa? Kenapa aku menelponnya kemarin? Sekarang, dia jadi marah. Aku bodoh! Bodoh sekali.
“Hari ini, Vinci akan mengadakan konferensi. Lebih cepat dari rencana, tapi ini kan yang kita ingin ketahui?”
Hari ini... Vinci akan mengumumkan pertunangannya. Vina juga berpikiran seperti itu. Menyebalkan. Aku lagi susah begini...
“Apa? Kok mukamu muram? Hari ini... pengumuman pertunangan itu ya? Akhirnya...” Kata kak Juno dari sampingku.
“Kecewa? Karena orang yang kakak suka akhirnya bilang pada semua kalau dia bukan milikmu lagi?”
“Hei, jangan bilang begitu. Itu sudah kelewat jalur. Dia bukan milikku kok! Kami Cuma teman.” Kata kak Juno tersenyum. Selalu tersenyum.
“Ada hal yang aneh! Ternyata Vinci tidak hadir. Yang ada hanyalah seorang gadis cantik. Siapakah dia?”
“Vina!” Kata kak Juno terkejut. Kakak benar, dia itu Vina. Vina tampak tegang dan pucat. Apa yang terjadi?
“Waktunya breaking news. Terjadi sebuah tabrakan beruntun yang melibatkan sembilan mobil dan dua bus. Kejadian disebabkan oleh pecahnya dua ban bus karena memuainya udara di dalam ban. Sedikit 3 meninggal dan sisanya luka-luka. Berlokasi...”
Selagi itu, gambar-gambar yang terlihat sangat mengerikan. Semua orang siuk dievakuasi dan jalanan macet total.
“Mobil itu!!!” Aku tidak percaya. Mobil itu...
“Kenapa Nadia?” Tanya kak Juno cemas. Aku nggak perduli dengan berita lain, tapi... tapi!!!
“Mobil Vinci!!!  Nomor platnya... apa yang terjadi? Jangan-jangan...” Aku meraih telepon dan menelpon Vinci. Tapi tidak ada jawaban. Bagaimana ini? Vinci... Vinci... apa dia baik-baik saja? Tidak, mobilnya rusak berat. Ya Tuhan, kuharap bukan dia yang naik mobil itu. Kalau terjadi apa-apa dengan Vinci, aku... aku...
“Halo, Martin? Ya, aku tahu. Kau sudah melihat berita? Bukan... bukan soal itu. Barusan ada di breaking news. Begini saja, Vinci ada di sana? Apa? Jadi...” kak Juno menatap ke arahku. Aku merasakan firasat yang tidak enak. Apa? Jangan-jangan...
“Periksalah berita itu. Dan cepat beritakan padaku. Cepatlah!” Kata kak Juno tegas. Aku merasakan bahaya. Tidak ada satupun yang baik-baik saja sesudah kecelakaan itu. Semuanya dibawa ke rumah sakit negeri.
Perasaanku berkecambuk. Aku sama sekali tidak memperhatikan sekitar waktu kakak mengajakku memastikan siapa saja yang ada di rumah sakit. Vinci, bagaimana? Apa betul dia juga mengalami kecelakaan itu? Tidak, jangan berpikiran macam-macam. Astaga... aku...
“Tenanglah, semuanya kan baik-baik saja. Mungkin saja Vinci sempat bertukar mobil supaya tidak ada yang bisa melacaknya.” Kata kak Juno menenangkanku. Tahu-tahu, aku sudah ada di rumah sakit.
Mungkin kak Juno benar. Tapi Vinci mau kemana sampai meninggalkan konferens persnya sendiri? Begitukah?
“Ada. Saudara Vincent. Dia dan kira-kira 60 orang lainnya sudah dirawat. Kasihan sekali mereka, mendapat luka seperti itu...” Kata perawat.
“Apa?! Vinci di sini? Di mana? Di mana dia dirawat? Apa dia luka parah? Dia tidak apa-apa kan?” Aku panik. Perawat itu sampai kebingungan.
“Di.. di ruang VIP 1, tapi...”
Ruang VIP 1, ok! Aku berlari cepat menuju VIP satu. Ruang VIP bangunannya ada di sebelah timur kompleks rumah sakit ini.
“Tunggu dulu, pasien tidak boleh dijenguk! Tunggu nona!!” perawat menahanku.
“Jangan, apa perawat tidak memperhatikan dia sebelumnya? Sumber dari berita Vinci, si bintang tenar itu.”
“Oh!!! Mbak ini yang ada internet itu kan?” Tanya si perawat. Aku terkesiap. Kak Juno, apa yang dia katakan?
“Ya dia.”
“Si, silahkan kalau begitu. Mungkin, Vinci senang melihatmu.”
“Kakak?”
“Kau sudah sadar, apa yang kau inginkan? Kau cemas padanya kan? Lihat dirimu sekarang. Kau sangat memperhatikan dia. Itu artinya kau mencintai dia.”
“Kakak...” Kak Juno benar. Aku...
“Selama ini, kau Cuma terlalu sayang padaku. Dasar brother complex.” Kata kak Juno, memegang bahuku. Menyakinkanku.
“Kak Juno... inikah alasan kakak menolakku? Kakak mengerti setiap tindakanku...”
“Aku kan kakakmu yang sudah bersamamu sejak kecil. Tidak ada satupun, yang lebih mengerti dirimu selain aku.” Kata kakak tersenyum penuh percaya diri. “Nah, sekarang pergilah. Dia menunggumu.”
Vinci... menungguku? Aku langsung berlari ke arah timur gedung ini. Masuk ke gedung dan mencari kamar Vinci. Ketemu. Masih tidak ada orang. Dimanakah Pak Martin dan yang lainnya!
“Vinci!!! Kau baik-baik saja??!!!” Kataku membuka pintu dengan paksa.
“Nadia... kau ini... ribut juga ya.” Terlihat cowok ganteng yang memakai piyama rumah sakit. Ada beberapa balutan perban badannya. Kakiku lemas. Aku terduduk di lantai, Vinci...
“Apa-apaan kau ini.” Kata Vinci. Tak lama wajahnya berubah jadi panik. “Hei, kenapa? Kok kamu nangis? Jangan nangis dong!”
Ternyata aku menangis. Aku lega sekali. “Aku... aku panik. Syukurlah... syukurlah Vinci baik-baik saja. Aku sudah berpikiran macam-macam tadi. Sampai lemas...”
“Aku baik-baik saja. Gara-gara dokter yang terlalu pencemas itu, aku diperban di sana-sini. Bahkan yang Cuma luka lecet saja sampai dibalut juga.” Kata Vinci kesal. “Sudah dong. Nangisnya kayak anak kecil saja.”
“Aku ketakutan tahu!! Aku langsung datang ke sini waktu lihat mobilmu yang hancur. Kenapa kamu ninggalin konferensi pers? Kamu mau kabur ke mana lagi?”
Tangan Vinci terjulur, menyeka air di mataku. Jantungku langsung berdegub kencang waktu jarinya menyentuh kulitku. Rasanya wajahku jadi merah.
“Aku pergi... mencarimu.” Katanya. Mencariku? Kenapa? “Aku mau bilang... kalau aku menyukaimu.”
Vinci... menyukaiku? Benarkah?
“Sudah lama aku menyukaimu, tapi aku tidak sadar... bukan. Aku menyangkalnya. Aku selama ini selalu menganggapmu anak kecil. Tapi, sejak aku tahu alasan sebenarnya kau begitu ngotot soal cincin ini dan akhirnya pergi, aku sadar aku begitu pengecut. Sekarang... aku sudah memutuskan pertunanganku dengan Vina... dan mencarimu secepat mungkin. Aku begitu tak sabar ingin ketemu, tapi tiba-tiba saja mobil di belakang bannya meledak dan...”
“Sudah... tidak usah bicara apa-apa lagi.” Kataku. “Beristirahatlah.”
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kami bangkit bersama-sama. Punggungnya... begitu...
“Aku juga... sangat menyukai Vinci. Aku juga bodoh, kenapa baru kusadari sekarang. Pasti kau menyangkaku telmi kalau aku bilang begini kan?” Tanyaku. Ternyata... aku sudah memeluknya dari belakang!! Tapi itu terjadi karena refleks, jadi biarkan saja.
“Bagaimana dengan Juno... dan Haris?”
“Kak Juno bilang, aku adalah seorang brother complex berat. Dari awal, aku memang tidak mencintai dia. Aku Cuma takut kehilangan dia. Dan Haris... aku tidak mau menjadikan dia pelarianku. Memang dicintai itu bagus... dan membahagiakan. Tapi, pasangan yang saling mencintailah yang terbaik. Benar kan?”
Vinci berbalik ke arahku. Aku melihat dia tersenyum pasrah. “Dan kau baru menyadarinya setelah semua ini. Kau memang telmi.”
Dia memelukku sekali lagi. Sekali lagi sejak kami berpisah waktu itu. Dulu pelukan perpisahan, dan sekarang...
“Bertemu lagi.”



* * * *

Bodohnya ... terlalu sibuk sampai lupa sama hal ini hahahahaha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?