“Bukan
begitu. Aku. Yang kumaksud,” ucapku sambil menyusun kata-kata yang ingin aku
ucapkan. Aku benci pada dirinya karena dia bisa setenang ini. Mengapa dia bisa
sedangkan aku tidak bisa. Sebenarnya apa yang ia rasakan saat ini. Apakah
menyenangkan rasanya untuk melihatku yang bertingkah menjadi seperti ini.
“Aku tau
bahwa aku terlalu mendadak untuk mengatakan hal ini padamu. Kurasa sepulang
sekolah nanti kau bisa mengatakannya padaku. Aku akan menunggumu di ruang piano
sampai jam enam sore. Di tempat dimana kau menemukanku pagi itu,” ucapnya.
“Ide
bagus,” jawabku dengan sedikit gembira. “Bolehkah aku pergi sekarang?”
Sesaat
wajah Kevin terlihat cukup terkejut karena pertanyaanku yang satu ini tetapi
kurasa dia mengerti dengan apa yang kumaksud. Setelah melihatnya tersenyum
sambil mengangguk pelan, aku langsung berdiri dari tempat dudukku sambil
tersenyum dengan canggung di hadapannya lalu akupun pergi dengan cepat dari
hadapannya. Aku pergi sambil menahan panas yang telah mengumpul di kedua pipiku
dan dengan perlahan aku merutuki hari sialku ini. Atau keberuntunganku. Aku
benar-benar tidak tau.
Aku
melangkahkan kakiku dengan sedikit gugup sambil sesekali menggigit kuku ibu
jariku. Sejak dari tadi yang kulakukan hanyalah bermondar-mandir saja di dalam
ruang kelasku yang telah kosong sekitar satu jam yang lalu itu dan aku ditemani
juga oleh Cindy yang hanya duduk terdiam saja di atas meja guru sambil terus
menatapku. Beberapa menit kemudian aku menghentikan langkahku sambil terdiam
sejenak.
“Apa kau
sudah memutuskan jawabannya?” tanya Cindy dengan acuh. Sepertinya dia sudah
bosan menungguku di sini dan melihatku seperti ini terus.
“Aku belum
memutuskannya,” jawabku sambil masih berpikir dengan keras.
“Sampai
berapa lama lagi kau harus seperti ini Lexa? Aku sudah lelah menunggumu di
sini,” tukasnya dengan nada kecewa sambil turun dari meja guru yang baru saja
ia tempati. Dia menghampiriku lalu berhenti tepat di depanku. Sambil menatapku
dia berkata, “Sebaiknya kau memikirkan apa yang kuucapkan waktu aku berada di
rumahmu saat itu. Tentang Arvin juga Kevin,” ucapnya sambil menatap lurus ke
dalam mataku. “Ingat itu,” perintahnya dengan tegas. Cindy pun melangkah pergi
tetapi sesaat aku melihat dirinya yang berbalik padaku sambil mengambil gelang
merah yang aku titipkan padanya dari saku roknya. Dia menarik tanganku lalu
mengembalikan gelang itu padaku. “Inilah takdirmu,” ucapnya sambil menutup
telapak tanganku lalu dia pun pergi untuk kedua kalinya dan meninggalkanku
sendirian di dalam kelas itu sedangkan aku hanya bisa menatap punggungnya yang
semakin menjauh dan menghilang setelah gadis itu keluar dari kelas.
“Apa yang
harus kulakukan sekarang,” tanyaku pada diriku sendiri sambil mengeluh kesal.
“Jawaban apa yang harus kukatakan pada
Arvin.” Perlahan aku membuka telapak tanganku itu sambil menatap gelang merah
itu dengan cukup lama. “Takdirku,” gumamku dengan pelan. Aku memasukkan gelang
itu ke dalam sakuku sambil berdecak melirik jam dinding yang terpasang di atas
papan putih itu. Ternyata waktu berlalu sangatlah cepat dan tanpa kusadari aku
sudah membuang banyak waktu lebih daripada yang aku kira. Aku sudah tidak
peduli lagi dengan rasa cemasku ini. Dengan pelan kakiku membawaku berjalan
keluar kelas menuju koridor. Karena sudah tidak ada murid di sini, jadi aku
bisa mendengar dengan jelas alunan piano yang berkumandang dari salah satu
ruangan yang terdapat di koridor itu. Semakin dekat alunannya terdengar semakin
jelas begitu pula dengan detak jantungku yang terdengar semakin keras juga.
Aku
menghentikan langkahku tepat di depan ruang piano. Sebelum membuka pintu itu,
aku sempat menarik nafas panjang terlebih dahulu supaya bisa membuatku terasa
lebih tenang. Saat aku menarik handel pintu yang dingin itu, aku merasa bahwa
tiba-tiba saja telapak tanganku menjadi semakin dingin tetapi aku mencoba untuk
menghiraukannya.
“Lexa,”
seru Kevin sambil menghentikan permainannya itu saat melihatku masuk dan hanya
berdiri di ambang pintu saja. “Akhirnya kau datang juga,” ucapnya lagi dengan
gembira. “Awalnya aku berpikir bahwa kau tidak akan datang.”
Aku
mendekatinya dengan perlahan sambil menatap lurus matanya. Langkah demi langkah
membuat jantungku berdetak semakin cepat. Pikiranku benar-benar kacau. Kepalaku
terasa sakit dan perutku terasa mual. Semuanya benar-benar terasa berantakan.
“Apa kau
sudah memikirkan jawabannya?” tanya Kevin padaku yang membuatku semakin diam
dan tak berkutik.
“Kurasa,” jawabku dengan pelan. “A-aku tidak
tau,” sambungku. Kulihat Kevin yang terdiam di tempat duduknya sambil
memberikan seulas senyum padaku lalu dia melanjutkan permainannya lagi.
“Kau tau. Setiap nada yang kumainkan ini,
semuanya berkaitan antara nada yang satu dengan yang lainnya. Dengan begini
maka hasilnya pun pasti enak untuk didengar,” ucapnya sambil terus memainkan
jari tangannya di atas tuts piano. “Tetapi jika banyak terdapat nada yang salah
di dalamnya,” dengan sengaja ia menekan nada-nada yang membuat lagu itu menjadi
berantakan dan tidak enak untuk didengar, “maka hasilnya akan menjadi
berantakan. Begitu pula dengan pilihan dalam kehidupan. Pada awalnya kita
mengagumi apa yang kita pilih tetapi terkadang kita menyesalinya. Meskipun kita
menyesalinya, kita bisa memilih pilihan lain lagi meskipun masih ada masa lalu
buruk yang akan terus membekas di dalam ingatan kita. Kita juga tidak bisa
berhenti begitu saja di tengah jalan karena sebuah permainan musik juga tidak
bisa berhenti begitu saja sebelum selesai. Kita bisa memilih untuk
memperbaikinya atau melanjutkannya,” jelasnya sambil terus bermain bagaikan air
yang mengalir dengan tenang. Nada-nadanya kembali teratur, tidak seperti
sebelumnya.
“Pilihanmu
ada di tanganmu sendiri. Jika kau menyesal, kau masih memiliki banyak pilihan
lainnya.” Kevin menghentikan permainannya lalu menatapku lurus. Dia mulai
bangkit berdiri lalu mendekatiku dengan tenang. Jarak kami hanya terpisah
beberapa meter saja dan ia melangkah semakin dekat padaku sampai akhirnya ia
berdiri tepat di hadapanku.
“Lexa,
aku...” ucapnya tiba-tiba. Dia menatap wajahku lekat-lekat sehingga membuatku
tersihir dengan cara pandangnya. Sekujur tubuhku mendadak menjadi kaku bahkan
kakiku pun tidak ingin melangkah pergi darinya. Bukankah ini yang kuinginkan
sejak dulu. Tetapi mengapa aku ingin sekali untuk menolak dirinya dan berlari
dari hadapannya. Apakah aku benar-benar menyukai Kevin, atau jangan-jangan aku
menyukai dirinya hanya untuk sesaat saja.
Pikiranku
semakin berkecamuk saat Kevin mulai mendekatkan wajahku, semakin dekat sampai
aku sendiri bisa merasakan nafasnya di pipiku. Aku memutuskan untuk menutup
mataku saja karena aku tidak berani melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Waktu berjalan dengan sangatlah lambat. Rasanya aku sudah menunggu dalam waktu
yang sangatlah lama. Aku menunggu dan terus menunggu apa yang akan terjadi
selanjutnya sampai akhirnya aku memutuskan untuk membuka mataku saat aku
mendengar suara pintu yang terbuka dengan cukup keras. Segera aku mengalihkan
perhatianku pada pintu itu dan pada seorang pria yang sedang berdiri di sana.
Sesaat aku
memandang Kevin yang juga terkejut dengan kehadiran pria itu begitu pula
denganku. Aku mundur beberapa langkah karena terkejut melihatnya tetapi
sepertinya wajah yang diberikan oleh pria itu mengisyaratkan bahwa ia tidak
peduli dengan apa yang baru saja akan terjadi pada kami.
“Maaf. Aku
pikir ruangan ini sudah tidak ada siapa-siapa lagi,” ucap Arvin dengan tenang
sambil tersenyum kepada kami berdua. “Lagipula, mengapa kalian belum pulang
juga? Padahal sudah jam lima sore dan sepertinya sebentar lagi akan hujan,”
tanyanya dengan wajah penasaran dan juga sambil mengingatkan kami berdua.
Di saat
Arvin berjalan memasuki ke dalam ruangan itu, kulihat Kevin yang terpaku
melihatnya yang berjalan melewatinya. Rahangnya sempat mengeras selama beberapa
detik. Sesaat sebelum Kevin memutuskan untuk meninggalkanku, dia membisikkan
sesuatu padaku.
“Kurasa aku
sudah tau jawabannya,” ucapnya dengan penuh misterius, seolah-olah dia
mengetahui apa yang kupikirkan dan yang kurasakan. “Apa yang kulakukan barusan,
anggap saja bahwa aku hanya sedang bercanda,” ucapnya lagi sambil tersenyum
usil padaku. “Dan sebaiknya kau menentukan pilihanmu secepat mungkin sebelum
kau terlambat memilih,” bisiknya lagi untuk yang terakhir kalinya.
Aku segera
memastikan bahwa Kevin memang sudah tidak ada lagi di situ sebelum akhirnya aku
membalikkan badanku dan menemukan Arvin yang sedang sibuk mencari sebuah buku
yang terjajar rapi dan yang saling berhimpitan dengan buku-buku lainnya pada
tiap-tiap rak. Dengan hati-hati dia mengeluarkan tiap-tiap buku itu lalu
menyelipkannya kembali ke dalam rak karena dia masih belum mendapatkan buku
yang sedang ia cari.
“Arvin...”
“Mengapa
kau belum pulang juga?” potongnya tanpa ingin mendengarkan kalimatku terlebih
dahulu. Dengan teliti, ia terus mencari buku yang ia perlukan.
“Kita..
bisa pulang bersama,” jawabku dengan sedikit ragu.
“Pulang
saja. Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan di sini jadi kau tidak
perlu menungguku,” tolaknya dengan acuh. “Lagipula, tidak baik jika sampai para
guru melihat kita berdua pulang bersama,” tolaknya lagi tanpa melirikku sama
sekali.
Aku hanya
bisa berdiri di tempat saja sambil terus menatap punggungnya. Sepertinya hari
ini Arvin terlihat berbeda. Bagaimana cara ia memandangku juga berbicara
padaku, tingkahnya itu terlihat begitu berbeda dan lebih menyebalkan, tidak
seperti hari-hari sebelumnya. Sikapnya yang sekarang ini mengingatkan akan
sikap Arvin yang dulu. Tidak terlihat begitu peduli juga tidak banyak
berkomentar. Aku jadi sempat teringat dengan ucapan Jo malam itu. Bukankah
sikap Arvin yang sebenarnya memang selalu seperti ini. Kurasa dia memang tidak
pernah berubah. Dari dulu sampai sekarang memang seperti ini dan memang
seharusnya dia seperti ini.
Setelah
menemukan buku yang ia cari, ia segera melangkah mendekati pintu yang berada
tidak jauh dari tempatku berdiri saat ini. Sesaat dia berhenti tepat di
sampingku sambil menggenggam buku tebal yang ia bawa.
“Lexa,”
ucapnya dengan perlahan dan aku berusaha untuk tidak menolehkan wajahku ataupun
membalikkan badanku. Awalnya aku berharap bahwa ia akan mengatakan sesuatu yang
ingin kudengar, “sebaiknya kau belajar malam ini karena besok aku akan
mengadakan kuis,” tetapi sepertinya apa yang kuharapkan sangatlah jauh berbeda
dengan apa yang ia katakan baru saja. Sesaat, derap langkah kakinya mulai
terdengar lagi dan semakin lama semakin jauh. Setelah suara itu menghilang di
ujung koridor barulah aku tersadar lalu akupun mulai menggerakkan kakiku dengan
gontai.
“Ada apa
dengannya hari ini?” ucapku dengan wajah cemberut. “Bukankah sebelumnya dia...
” cibirku kesal sambil mengingat setiap ucapannya yang selalu penuh godaan,
begitu juga dengan tingkah lakunya.
Aku
mengedipkan mataku beberapa kali dan akhirnya tersadar dengan apa yang baru
saja aku ucapkan. Akupun mulai memukul-mukul kepalaku sendiri dengan kesal.
“Untuk apa aku memikirkan hal itu. Lupakan. Lupakan.”
Saat aku
mulai menuruni tangga, aku mendengar suara gemuruh yang cukup keras dari luar
sana dan diikuti dengan suara rintik hujan yang terdengar mulai membasahi atap
sekolah. Ternyata benar apa yang telah dikatakan oleh Arvin sebelumnya. Hujan memang
turun sedangkan aku harus berjalan kaki menuju halte bus tetapi sepertinya aku
harus menundanya terlebih dahulu selama beberapa saat.
Sekolah ini
benar-benar sangatlah sepi tetapi karena suara hujan ini, aku merasa bahwa aku
tidak sendiri lagi. Aku menarik nafas panjang sambil menghirup bau tanah yang
sangat khas pada hari hujan dan aku sangat menyukainya. Saat aku melewati ruang
guru, aku mendapati tidak ada seorang pun di sana kecuali Arvin yang masih
duduk di kursinya sambil menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Aku berdecak
kesal karena dia telah membohongiku. Padahal tidak ada guru lagi selain dia di
sini tetapi dia malah berbohong dan menolakku untuk pulang bersamanya.
Aku mulai
melangkahkan kakiku lagi sampai akhirnya aku berhenti di depan pintu lobby
sekolah. Aku berniat untuk menunggunya di sini saja dan aku tidak tau berapa
lama waktu yang akan kuhabiskan untuk menunggunya seorang diri. Sambil
mengulurkan tanganku, hujan mulai membasahi telapak tanganku. Begitu dingin,
begitu sejuk, begitu menyenangkan rasanya. Aku mulai tersenyum sendiri saat
mengingat apa yang sering aku dan Arvin lakukan dulu. Kami berdua berjalan
berdampingan sambil bergandengan tangan di bawah sebuah payung yang cukup lebar
untuk melindugi kami dari air hujan. Bukan hanya itu saja, Vin juga sering
mengajakku berdansa di tengah-tengah lebatnya hujan. Kami berdansa tanpa
ditemani oleh berbagai macam lagu-lagu indah seperti yang terdapat di setiap
pesta-pesta mewah lainnya karena bagi kami, hujan adalah alunan lagu yang paling
merdu untuk didengarkan meskipun pada akhirnya orang tua kami akan memarahi
kami karena pada keesokan harinya kami jatuh sakit.
“Apa yang
sedang kau lakukan?” tanya seorang pria dari balik punggungku.
“Aku sedang
menikmati hujan,” balasku sambil menolehkan wajahku. Awalnya aku tersenyum
gembira karena aku berpikir bahwa Arvinlah yang datang tetapi senyumku memudar
saat aku tau siapa yang datang. Aku mencoba untuk terus berusaha tersenyum di
hadapannya meskipun dengan sedikit terpaksa. Saat aku menoleh, dari ujung
mataku, aku sempat menangkap sosok Arvin yang sedang berdiri di ujung sana dan
sepertinya dia sedang memperhatikanku juga Kevin.
“Ada apa?”
tanya Kevin sehingga membuatku terkejut.
“Tidak
apa," sanggahku sambil mencoba menyembunyikan alasanku yang sebenarnya.
"Aku pikir kau sudah pulang,” ucapku sambil sedikit berbasa-basi pada
Kevin. Aku menatap jauh di balik punggung Kevin untuk memastikan apa benar
Arvin sedang berdiri di situ tetapi yang kudapatkan nihil. Lobi sekolah itu
masih terlihat sama. Hening dan tidak ada siapapun di sana. Apakah aku sedang
berhalusinasi.
“Awalnya
aku memang akan pulang tetapi aku melihatmu yang sedang berdiri di sini seorang
diri jadi aku pikir mungkin aku bisa menemanimu sebentar saja,” ungkapnya
sambil menggenggam sebuah payung lipat transparan yang masih tertutup rapi.
“Kurasa aku
akan menunggu sampai hujan ini berhenti setelah itu aku akan pulang.”
“Apa kau
tidak pulang bersama dengan Arvin?”
“Tidak.
Sepertinya dia masih sibuk maka aku memutuskan untuk pulang sendiri saja.”
“Bagaimana
jika aku yang mengantarkanmu?” tawarnya dengan lembut. Ia mulai membuka payung
transparan yang semula ia genggam itu lebar-lebar lalu mengulurkannya depan.
Sedikit demi sedikit payung yang kering itu mulai basah oleh karena air hujan yang
turun secara bergantian. Karena payungnya yang transparan itu, aku jadi
tertarik untuk melihat setiap rintik hujan yang berbaris rapi menuruni payung
itu hingga membasahi tanah yang sudah berwarna gelap saat butiran-butiran air
berjatuhan dari langit. Aku terdiam sejenak, tenggelam di dalam pikiranku.
“Bagaimana?”
tanya Kevin lagi membuatku tersadar dari pikiranku yang kosong itu.
Aku
memberikan seulas senyum padanya. “Kurasa untuk hari ini, kau boleh
mengantarku.”
Aku
terbangun dari tidur soreku. Sudah tiga jam aku tertidur tetapi aku merasa
bahwa aku sudah tertidur selama satu hari. Aku memegang dahiku yang tiba-tiba
saja terasa pusing. Aku masih terngiang-ngiang oleh pesan dari kedua orang
tuaku yang membuatku semakin tak ingin beranjak dari kamarku. Mulai hari ini
sampai tiga minggu ke depan mereka tidak akan berada di Jakarta karena mereka
akan merawat nenekku yang harus menjalankan operasinya karena sempat terjatuh
sehingga membuat tulang kakinya patah. Tetapi mereka belum tentu akan pulang tiga
minggu lagi. Sebenarnya aku tidak keberatan jika mereka meninggalkanku
sendirian di rumah ini tetapi mereka malah meninggalkanku dengan Arvin hanya
berdua saja di rumah ini.
Aku segera
beranjak dari tempat tidurku dan segera membasuh wajahku dengan air dingin.
Karena perutku yang sudah berbunyi sejak dari tadi, aku tidak bisa melanjutkan
tidurku. Semoga saja mereka menyisakan makanan untukku. Dan Arvin. Aku masih
penasaran. Apa benar dia sempat melihat kami berdua di lobby sekolah.
Aku
berjalan keluar dari kamar mandi dengan gontai sambil menahan mataku yang berat
dan menyalakan lampu yang ada di kamarku itu. Sesaat mataku tertuju pada sebuah
benda yang terletak di atas meja belajarku. Aku mulai melangkahkan kakiku lagi
sambil masih memperhatikan benda itu. Perlahan aku mengangkatnya lalu aku mulai
menghembuskan nafas pelan.
“Mengapa
aku membelinya. Aku jadi menyesal,” ucapku dengan lirih sambil menatap biola
kecil itu. Mengapa aku tidak memberikannya secara langsung kemarin malam saja
jika aku tau akan terjadi hal yang tidak terlalu menyenangkan hari ini.
Sesaat aku
sempat merasa takut dengan perasaanku sendiri. Perasaanku pada Kevin dan juga
Arvin. Sebenarnya siapa yang aku sukai.
“Untuk apa
aku pikirkan. Sebaiknya aku menjalani hidup seperti biasa saja,” ucapku dengan
mantap pada diriku sendiri dan akhirnya aku memutuskan untuk memberikan
gantungan ini pada Arvin walaupun aku tidak ingin bertemu dengannya hari ini.
Aku keluar
dari kamarku tanpa suara. Aku bahkan tidak tau mengapa aku melakukannya. Lalu
aku mulai menuruni tangga sambil terus memperhatikan kamar tamu yang sedang
tertutup rapat. Saat aku sudah berdiri di depan pintu, aku jadi merasa menyesal
karena telah mengambil keputusan ini. Aku ingin berbalik tetapi kakiku terus
menahanku di sini. Pikiranku terus membujukku untuk memberikan gantungan kecil
ini pada Arvin.
Aku mulai
mengetuk pintu itu tiga kali dan saat Arvin memberikan jawaban, aku mulai
membuka pintu itu sedikit demi sedikit sambil melirik ke dalam terlebih dahulu.
“Ada apa?”
tanyanya dengan suaranya yang khas dari dekat meja yang awalnya kosong itu
sekarang sudah terisi dengan berbagai macam buku dengan ukuran yang
berbeda-beda dan juga alat-alat tulis yang ia gunakan untuk bekerja. Semuanya
itu telah tersusun dengan rapi.
Dia sedang
terduduk di kursi roda yang sudah ada sejak dulu. Aku tidak tau dia sedang
mengerjakan apa di situ tetapi aku bisa melihat wajahnya yang kaku dan juga
serius. Dia bahkan tidak melirikku sama sekali. Aku jadi tidak berani mengganggunya.
“Sepertinya
aku mengganggu,” jawabku dengan sedikit bersalah. “Sebaiknya nanti saja aku
kembali,” lanjutku lagi sambil masih mengintip dari balik pintu dan akupun
mulai menutup pintu dengan perlahan.
“Apakah kau
ingin menyampaikan sesuatu?” tanyanya lagi sehingga membuat tanganku berhenti
bergerak.
“Sebenarnya
bukanlah hal yang penting,” ucapku lagi.
“Sebaiknya
kau masuk saja,” perintahnya. Dengan ragu aku masuk lalu menutup pintu yang ada
di belakangku. Saat aku bertatap mata dengannya secara tidak sengaja, aku
segera memperhatikan sesuatu yang lain yang ada di hadapanku.
“Apa yang ingin kau sampaikan padaku?” tanyanya
masih dengan wajahnya yang kaku itu.
“A-aku
hanya ingin memberitahukan bahwa selama tiga minggu ke depan...”
“Aku sudah
tau,” ucapnya sambil memotong kalimatku. “Ada yang ingin kau sampaikan lagi?”
“A-aku
hanya ingin memberikan ini padamu,” ucapku sambil merogoh kantungku lalu
menyerahkan gantungan itu padanya. Aku melihatnya yang tertunduk mengamati
benda kecil yang ada di tanganku itu dengan cukup lama. Atmosfir di dalam
ruangan ini membuatku menjadi lebih penurut daripada hari-hari sebelumnya. Kali
ini aku harus berpikir dua kali untuk melakukan setiap tindakan. Aku takut jika
tiba-tiba saja aku mengganggunya atau membuatnya merasa tidak nyaman.
“Apa ini?”
tanyanya sambil mengulurkan tangannya padaku lalu mengambil benda itu.
“Tidak
perlu bertanya juga kau pasti sudah tau,“ jawabku sambil sedikit bercanda untuk
sekedar mencairkan suasana. “Aku hanya ingin memberikan itu saja,” ucapku lagi
dengan tergesa-gesa sambil membalikkan badanku. Saat aku akan beranjak pergi,
aku merasa bahwa Arvin sedang menarik pergelangan tanganku.
“Tunggu,”
ucapnya dengan perlahan. Jantungku berdegup dengan cepat sambil memikirkan apa
yang akan ia lakukan padaku. Karena hanya kami berdua saja yang ada di sini,
aku jadi takut jika ia memperlakukanku yang tidak-tidak.
“Ada apa?” ucapku sambil membalikkan badanku. Aku
melihat Arvin yang membungkuk lalu mengambil sesuatu dari lantai.
“Gelangmu,” ucapnya sambil menyodorkan gelang merah
itu padaku. Pasti tadi terjatuh dari kantungku saat aku mengambil biola kecil
itu. “Aku sempat memperhatikanmu selama beberapa hari ini dan aku tidak melihat
gelang ini menempel di pergelangan tanganmu.”
“Aku sedang tidak ingin memakainya,” aku berbohong
padanya. Aku melihat Arvin yang
menatapku dengan sedikit kecewa.
“Kau ini... membuatku kecewa saja,” ucapnya dengan
pelan sambil memasang kembali gelang itu pada tanganku. Aku terpaku saat
mendengar ucapannya. Ternyata aku memang membuatnya kecewa. Sebenarnya aku
cukup setuju dengannya. Jika benda yang baru saja aku berikan padanya itu
menghilang, aku juga akan merasa kecewa seperti dirinya yang juga kecewa
padaku. “Jika kau bisa merawatnya dengan baik, maka aku akan merawat biola
kecil itu dengan baik juga.”
Saat ia sudah selesai memasang, aku segera menurunkan
tanganku sambil menyembunyikannya di balik punggungku bersama dengan tanganku
yang lainnya. Dari balik punggungku, aku terus mengelus gelang itu. Arvin pun
mulai kembali berkutat dengan kesibukannya sendiri. Sepertinya hari ini dia
benar-benar tidak ingin diganggu.
Aku berjalan menuju pintu kamarnya sambil memanyunkan
bibirku dengan sedikit kesal. Saat aku membuka pintu, Arvin memanggil namaku,
“Lexa.” Dia memberikan jeda sebentar. Sepertinya dia sedang menunggu reaksiku
selanjutnya tetapi aku hanya berdiam diri saja di ambang pintu tanpa
menjawabnya. “Sebaiknya kau jangan lupa untuk belajar. Besok...”
“Aku tau,” ucapku dengan kesal sambil membanting pintu
kamarnya. Aku tidak peduli jika aku memotongnya atau tidak. Toh yang dia
ucapkan itu bukanlah hal yang penting. Dia bahkan tidak mengucapkan terima
kasih karena aku telah memberikan benda kecil itu. Aku menatap gelang merah itu
sambil menghembuskan nafasku dengan berat. Semakin lama aku mengamatinya,
semakin besar keinginanku untuk melepasnya.
Aku mulai menggerutu sambil berjalan menuju dapur
dengan harapan semoga aku bisa mendapatkan sedikit makanan untuk mengisi
perutku ini yang masih terus berbunyi. Saat aku membuka lemari pendingin itu,
aku tidak menemukan makanan satupun yang tersisa di dalamnya. Hanya tersisa
buah-buahan saja di dalamnya dan aku tidak akan menyentuhnya malam ini karena
aku sedang tidak ingin memakannya. Aku jadi teringat akan sesuatu. Biasanya keluargaku
tidak akan pernah menghabiskan lauk itu karena ibuku selalu membuat dalam porsi
yang cukup banyak tetapi karena Arvin tinggal di sini sejak beberapa minggu
yang lalu, semua makanan yang tersisa dapat dihabiskannya saat itu juga. Aku
tidak akan terkejut jika pria itu memiliki porsi makan yang besar karena
sebagian orang-orang Eropa juga selalu memiliki porsi makan yang besar sehingga
tubuh mereka juga terlihat begitu berisi. Arvin memang bukanlah orang Eropa
tetapi dia sempat mejadi orang Eropa selama kurang lebih tujuh tahun. Bukan
hanya itu saja. Sepertinya rasa rindunya pasa masakan Indonesia juga sangat
mempengaruhi nafsu makannya. Aku menutup lemari pendingin itu dan melipat kedua
tanganku sambil berpikir apa yang harus kulakukan selanjutnya. Karena
bahan-bahan juga tidak ada, aku jadi terpaksa membeli makanan di luar saja.
Lagipula, sudah lama juga aku tidak makan nasi goreng yang sudah menjadi
langgananku sejak kecil.
Aku menarik kedua kakiku dengan gontai, berjalan
keluar dari dalam dapur tetapi mendadak aku menghentikan langkahku di saat yang
bersamaan dengan Arvin yang juga berhenti di hadapanku sambil menatapku dengan
cukup terkejut begitu pula denganku. Aku menggeser tubuhku ke kiri begitu pula
dengan Arvin lalu aku memutuskan untuk beralih ke kanan tetapi Arvin juga
melakukan hal yang sama dan itu terjadi selama beberapa kali. Aku tidak tau
jika dia melakukan hal itu dengan sengaja atau tidak tetapi kekesalan yang
awalnya mulai pudar sedikit demi sedikit mulai menumpuk lagi menjadi satu.
“Hentikan,” ucapku dengan kesal sambil menunduk dan
mematung di depannya. Setelah memastikan bahwa dia benar-benar terdiam di
tempat, akupun mulai mengambil langkah untuk maju tetapi ia malah merentangkan
tangan kanannya dan menempelkannya pada dinding. Dengan santainya ia mulai
menyandarkan tubuhnya pada dinding yang lainnya.
“Apa kau sedang menghindariku? Menatap wajahku saja
tidak,” ungkapnya secara tiba-tiba. Aku tidak tau apa maksudnya. Seharusnya aku
yang bertanya seperti itu. Tidak seperti biasanya dia menghindar dariku seperti
yang sedang ia lakukan hari ini.
“Seharusnya kau sudah tau hal itu sejak pertama kita
bertemu,” jawabku dengan pedas. “Sejak awal aku memang berencana untuk
menghindarimu,” lanjutku lagi. “Aku bukan lagi gadis kecil yang dulu. Aku tidak
akan bisa mengikutimu secara terus menerus dan sekarang aku sudah bisa
memutuskan kapan aku ingin bersamamu dan kapan aku ingin menghindar darimu.
Maaf jika dulu aku selalu mencarimu, selalu berbicara denganmu dan membuatmu
melakukan suatu hal dengan terpaksa karenaku. Aku tau aku selalu membuatmu
kesal,” ungkapku lebih dalam lagi padanya. Kami berdua sempat terdiam dalam
pikiran masing-masing dan sebaiknya aku cepat-cepat pergi dari hadapannya
karena aku sudah tidak tahan lagi.
“Aku sudah lapar,” gerutuku. Aku berjalan menyusup
dari bawah lengannya sambil meninggalkannya berdiam diri tempat. Meskipun aku
sudah berjalan beberapa meter jauh darinya, aku bisa mendengar hembusan nafas
Vin yang terdengar cukup berat. Langkah kakinya mulai terdengar. Awalnya aku
berpikir bahwa ia akan kembali ke kamarnya tetapi aku mendengar langkahnya yang mulai mendekat.
“Bagaimana jika aku menemanimu? Sudah lama juga aku
tidak makan di sana,” ujarnya sambil terus berjalan mengikutiku. “Lagipula,
tidak baik seorang wanita pergi sendirian malam-malam.”
“Aku sudah
terbiasa sendirian tanpa ditemani oleh te-man-ku,” ucapku sambil memberikan
penekanan penuh pada kata terakhir. Aku mulai mengusap-usap kedua lenganku
karena udara malam yang begitu dingin saat aku berjalan keluar dari rumahku.
Terdengar suara kunci yang bergemerincing dan ternyata Vin memang sedang sibuk
mengunci gerbang rumahku. Aku terus berjalan tanpa mempedulikannya. Masih ada
beberapa meter lagi jauhnya sebelum aku keluar dari komplek rumahku dan yang
artinya masih ada beberapa meter lagi aku harus terus seperti ini bersama
dengan Vin.
“Maaf,” ucapnya dengan nada menyesal. “Aku sudah
mengucapkannya berulang kali. Apa kau masih belum memaafkanku juga?” Dari bunyi
langkah kakinya, aku bisa mendengar bahwa ia sedang berlari kecil untuk
mendekatiku. Semakin ia mendekatiku, aku semakin mengambil langkah yang lebih
besar lagi untuk menghindarinya.
Aku berhasil untuk tidak berbicara padanya sampai aku
berada di jalan besar. Untungnya saat itu sedang sepi jadi tidak terlalu banyak
mobil yang berlalu lalang. Aku menoleh ke kiri karena aku sempat melihat sebuah
cahaya mobil yang akan melintas. Karena aku merentangkan tanganku, mobil itupun
mulai memperlambat lajunya lalu akupun melanjutkan mulai langkahku lagi. Tetapi
sayangnya aku kurang waspada. Aku tidak memperhatikan sebuah mobil yang melaju
dari arah sebaliknya. Alhasil, Arvin cepat-cepat menarik pergelangan tanganku
dan akhirnya aku membiarkan diriku terjatuh dalam pelukan Arvin. Itu
berlangsung dengan begitu cepat sehingga membuat nafasku menjadi tidak teratur
dan juga berpengaruh pada jantungku yang berdegup semakin kencang. Aku tidak
tau apakah jantungku berdegup karena aku sadar bahwa aku hampir saja tertabrak
atau aku berdegup karena Vin memelukku atau dua-duanya.
“Aku tidak tau apakah kau sudah sangatlah lapar
sehingga kau tidak memperhatikan jalan atau kau sedang memikirkan sesuatu yang
begitu penting,” ucapnya dengan pelan sambil terus memelukku. Awalnya aku
berpikir bahwa dia akan memarahiku karena kelalaianku sendiri tetapi dia malah
tidak melakukannya.
Saat aku mendengar klakson mobil, aku mulai tersadar
bahwa kami masih berada di tengah jalan. Dengan segera Vin membawaku ke pinggir
jalan sambil menggandeng tanganku. Pikirannya yang tenang membuatku mencoba
untuk bertindak lebih tenang dari sebelumnya.
“Thanks,” ujarku sambil menarik tanganku dari
genggamannya dengan cukup keras. Aku mulai berjalan mendahuluinya lagi.
“Aku takut jika kau seperti itu lagi,” ucapnya sambil
mencoba untuk menggandeng tanganku lagi dari belakang tetapi saat jari-jari
tangannya bersentuhan dengan milikku, rasanya seperti tersengat dan aku
langsung menarik tanganku lagi.
Aku membalikkan badanku lalu mencoba untuk menatapnya
dalam kegelapan. Bahkan lampu jalan yang remang-remang pun masih tidak bisa
membantuku untuk menatapnya dengan jelas. “Tidak perlu,” tolakku. “Aku akan
menjadi lebih waspada lagi,” ucapku sambil mengangguk-anggukkan kepalaku dengan
penuh keyakinan.
Aku mulai berjalan lagi dalam diam, begitu pula
dengannya. Tak lama kemudian akhirnya kami berdua sampai juga. Sebuah restoran
kecil yang terletak di pinggir jalan itu memang sudah menjadi langgananku sejak
kecil tetapi sebenarnya tempat ini tidak terlihat seperti sebuah restoran
karena tempat ini benar-benar kecil dan kurasa tempat ini hanya bisa menampung
tidak lebih dari lima belas orang saja. Ruko yang mereka gunakan ini memang
tidak menggunakan pintu jadi aku bisa masuk dengan mudahnya tanpa menarik atau
mendorong sebuah pintu. Sebelum masuk ke dalam pun aku sudah tau bahwa tempat
ini sedang ramai pengunjung dan untungnya masih ada satu meja kecil yang
tersisa untuk kami berdua. Tanpa perlu memilih tempat lagi, aku langsung
melangkahkan kakiku pada meja bundar kecil itu. Aku memilih kursi yang
bersandar pada dinding sedangkan Vin duduk tepat di seberangku.
“Lexa,” ucap seorang wanita yang berjalan mendekati
mejaku sambil tersenyum gembira padaku. Saat aku menatapnya, aku langsung
memberikan senyum padanya. “Senang melihatmu lagi di sini,” ucapnya dengan mata
yang berbinar-binar. Seperti biasa, wanita paruh baya ini senang sekali
menyambut setiap pelanggannya dengan senyuman lebarnya itu dan dia selalu
membuatku merasa nyaman untuk berada di tempat ini. Dia sempat mengelap kedua
tanganya di atas celemek putih yang selalu ia pakai, mungkin dia baru saja
selesai memasak.
Aku melihatnya yang mulai tersenyum pada Arvin lalu
aku menoleh dan melihat Vin yang juga dibalasnya dengan senyuman. “Astaga, kau
tampan sekali,” pujinya dengan cukup berlebihan sehingga membuat Vin tersipu
malu dan membuatku tertawa dengan canggung. “Apa kalian berdua saling
berpacaran?” tanyanya sambil menatap kami berdua secara bergantian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?