Sabtu, 10 Januari 2015

String of Notes 8

cerpen, novel

“Bukan begitu. Aku. Yang kumaksud,” ucapku sambil menyusun kata-kata yang ingin aku ucapkan. Aku benci pada dirinya karena dia bisa setenang ini. Mengapa dia bisa sedangkan aku tidak bisa. Sebenarnya apa yang ia rasakan saat ini. Apakah menyenangkan rasanya untuk melihatku yang bertingkah menjadi seperti ini.
“Aku tau bahwa aku terlalu mendadak untuk mengatakan hal ini padamu. Kurasa sepulang sekolah nanti kau bisa mengatakannya padaku. Aku akan menunggumu di ruang piano sampai jam enam sore. Di tempat dimana kau menemukanku pagi itu,” ucapnya.
“Ide bagus,” jawabku dengan sedikit gembira. “Bolehkah aku pergi sekarang?”
Sesaat wajah Kevin terlihat cukup terkejut karena pertanyaanku yang satu ini tetapi kurasa dia mengerti dengan apa yang kumaksud. Setelah melihatnya tersenyum sambil mengangguk pelan, aku langsung berdiri dari tempat dudukku sambil tersenyum dengan canggung di hadapannya lalu akupun pergi dengan cepat dari hadapannya. Aku pergi sambil menahan panas yang telah mengumpul di kedua pipiku dan dengan perlahan aku merutuki hari sialku ini. Atau keberuntunganku. Aku benar-benar tidak tau.

Aku melangkahkan kakiku dengan sedikit gugup sambil sesekali menggigit kuku ibu jariku. Sejak dari tadi yang kulakukan hanyalah bermondar-mandir saja di dalam ruang kelasku yang telah kosong sekitar satu jam yang lalu itu dan aku ditemani juga oleh Cindy yang hanya duduk terdiam saja di atas meja guru sambil terus menatapku. Beberapa menit kemudian aku menghentikan langkahku sambil terdiam sejenak.
“Apa kau sudah memutuskan jawabannya?” tanya Cindy dengan acuh. Sepertinya dia sudah bosan menungguku di sini dan melihatku seperti ini terus.
“Aku belum memutuskannya,” jawabku sambil masih berpikir dengan keras.
“Sampai berapa lama lagi kau harus seperti ini Lexa? Aku sudah lelah menunggumu di sini,” tukasnya dengan nada kecewa sambil turun dari meja guru yang baru saja ia tempati. Dia menghampiriku lalu berhenti tepat di depanku. Sambil menatapku dia berkata, “Sebaiknya kau memikirkan apa yang kuucapkan waktu aku berada di rumahmu saat itu. Tentang Arvin juga Kevin,” ucapnya sambil menatap lurus ke dalam mataku. “Ingat itu,” perintahnya dengan tegas. Cindy pun melangkah pergi tetapi sesaat aku melihat dirinya yang berbalik padaku sambil mengambil gelang merah yang aku titipkan padanya dari saku roknya. Dia menarik tanganku lalu mengembalikan gelang itu padaku. “Inilah takdirmu,” ucapnya sambil menutup telapak tanganku lalu dia pun pergi untuk kedua kalinya dan meninggalkanku sendirian di dalam kelas itu sedangkan aku hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh dan menghilang setelah gadis itu keluar dari kelas.
“Apa yang harus kulakukan sekarang,” tanyaku pada diriku sendiri sambil mengeluh kesal. “Jawaban apa yang harus kukatakan  pada Arvin.” Perlahan aku membuka telapak tanganku itu sambil menatap gelang merah itu dengan cukup lama. “Takdirku,” gumamku dengan pelan. Aku memasukkan gelang itu ke dalam sakuku sambil berdecak melirik jam dinding yang terpasang di atas papan putih itu. Ternyata waktu berlalu sangatlah cepat dan tanpa kusadari aku sudah membuang banyak waktu lebih daripada yang aku kira. Aku sudah tidak peduli lagi dengan rasa cemasku ini. Dengan pelan kakiku membawaku berjalan keluar kelas menuju koridor. Karena sudah tidak ada murid di sini, jadi aku bisa mendengar dengan jelas alunan piano yang berkumandang dari salah satu ruangan yang terdapat di koridor itu. Semakin dekat alunannya terdengar semakin jelas begitu pula dengan detak jantungku yang terdengar semakin keras juga.
Aku menghentikan langkahku tepat di depan ruang piano. Sebelum membuka pintu itu, aku sempat menarik nafas panjang terlebih dahulu supaya bisa membuatku terasa lebih tenang. Saat aku menarik handel pintu yang dingin itu, aku merasa bahwa tiba-tiba saja telapak tanganku menjadi semakin dingin tetapi aku mencoba untuk menghiraukannya.
“Lexa,” seru Kevin sambil menghentikan permainannya itu saat melihatku masuk dan hanya berdiri di ambang pintu saja. “Akhirnya kau datang juga,” ucapnya lagi dengan gembira. “Awalnya aku berpikir bahwa kau tidak akan datang.”
Aku mendekatinya dengan perlahan sambil menatap lurus matanya. Langkah demi langkah membuat jantungku berdetak semakin cepat. Pikiranku benar-benar kacau. Kepalaku terasa sakit dan perutku terasa mual. Semuanya benar-benar terasa berantakan.
“Apa kau sudah memikirkan jawabannya?” tanya Kevin padaku yang membuatku semakin diam dan tak berkutik.
 “Kurasa,” jawabku dengan pelan. “A-aku tidak tau,” sambungku. Kulihat Kevin yang terdiam di tempat duduknya sambil memberikan seulas senyum padaku lalu dia melanjutkan permainannya lagi.
 “Kau tau. Setiap nada yang kumainkan ini, semuanya berkaitan antara nada yang satu dengan yang lainnya. Dengan begini maka hasilnya pun pasti enak untuk didengar,” ucapnya sambil terus memainkan jari tangannya di atas tuts piano. “Tetapi jika banyak terdapat nada yang salah di dalamnya,” dengan sengaja ia menekan nada-nada yang membuat lagu itu menjadi berantakan dan tidak enak untuk didengar, “maka hasilnya akan menjadi berantakan. Begitu pula dengan pilihan dalam kehidupan. Pada awalnya kita mengagumi apa yang kita pilih tetapi terkadang kita menyesalinya. Meskipun kita menyesalinya, kita bisa memilih pilihan lain lagi meskipun masih ada masa lalu buruk yang akan terus membekas di dalam ingatan kita. Kita juga tidak bisa berhenti begitu saja di tengah jalan karena sebuah permainan musik juga tidak bisa berhenti begitu saja sebelum selesai. Kita bisa memilih untuk memperbaikinya atau melanjutkannya,” jelasnya sambil terus bermain bagaikan air yang mengalir dengan tenang. Nada-nadanya kembali teratur, tidak seperti sebelumnya.
“Pilihanmu ada di tanganmu sendiri. Jika kau menyesal, kau masih memiliki banyak pilihan lainnya.” Kevin menghentikan permainannya lalu menatapku lurus. Dia mulai bangkit berdiri lalu mendekatiku dengan tenang. Jarak kami hanya terpisah beberapa meter saja dan ia melangkah semakin dekat padaku sampai akhirnya ia berdiri tepat di hadapanku.
“Lexa, aku...” ucapnya tiba-tiba. Dia menatap wajahku lekat-lekat sehingga membuatku tersihir dengan cara pandangnya. Sekujur tubuhku mendadak menjadi kaku bahkan kakiku pun tidak ingin melangkah pergi darinya. Bukankah ini yang kuinginkan sejak dulu. Tetapi mengapa aku ingin sekali untuk menolak dirinya dan berlari dari hadapannya. Apakah aku benar-benar menyukai Kevin, atau jangan-jangan aku menyukai dirinya hanya untuk sesaat saja.
Pikiranku semakin berkecamuk saat Kevin mulai mendekatkan wajahku, semakin dekat sampai aku sendiri bisa merasakan nafasnya di pipiku. Aku memutuskan untuk menutup mataku saja karena aku tidak berani melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Waktu berjalan dengan sangatlah lambat. Rasanya aku sudah menunggu dalam waktu yang sangatlah lama. Aku menunggu dan terus menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya sampai akhirnya aku memutuskan untuk membuka mataku saat aku mendengar suara pintu yang terbuka dengan cukup keras. Segera aku mengalihkan perhatianku pada pintu itu dan pada seorang pria yang sedang berdiri di sana.
Sesaat aku memandang Kevin yang juga terkejut dengan kehadiran pria itu begitu pula denganku. Aku mundur beberapa langkah karena terkejut melihatnya tetapi sepertinya wajah yang diberikan oleh pria itu mengisyaratkan bahwa ia tidak peduli dengan apa yang baru saja akan terjadi pada kami.
“Maaf. Aku pikir ruangan ini sudah tidak ada siapa-siapa lagi,” ucap Arvin dengan tenang sambil tersenyum kepada kami berdua. “Lagipula, mengapa kalian belum pulang juga? Padahal sudah jam lima sore dan sepertinya sebentar lagi akan hujan,” tanyanya dengan wajah penasaran dan juga sambil mengingatkan kami berdua.
Di saat Arvin berjalan memasuki ke dalam ruangan itu, kulihat Kevin yang terpaku melihatnya yang berjalan melewatinya. Rahangnya sempat mengeras selama beberapa detik. Sesaat sebelum Kevin memutuskan untuk meninggalkanku, dia membisikkan sesuatu padaku.
“Kurasa aku sudah tau jawabannya,” ucapnya dengan penuh misterius, seolah-olah dia mengetahui apa yang kupikirkan dan yang kurasakan. “Apa yang kulakukan barusan, anggap saja bahwa aku hanya sedang bercanda,” ucapnya lagi sambil tersenyum usil padaku. “Dan sebaiknya kau menentukan pilihanmu secepat mungkin sebelum kau terlambat memilih,” bisiknya lagi untuk yang terakhir kalinya.
Aku segera memastikan bahwa Kevin memang sudah tidak ada lagi di situ sebelum akhirnya aku membalikkan badanku dan menemukan Arvin yang sedang sibuk mencari sebuah buku yang terjajar rapi dan yang saling berhimpitan dengan buku-buku lainnya pada tiap-tiap rak. Dengan hati-hati dia mengeluarkan tiap-tiap buku itu lalu menyelipkannya kembali ke dalam rak karena dia masih belum mendapatkan buku yang sedang ia cari.
“Arvin...”
“Mengapa kau belum pulang juga?” potongnya tanpa ingin mendengarkan kalimatku terlebih dahulu. Dengan teliti, ia terus mencari buku yang ia perlukan.
“Kita.. bisa pulang bersama,” jawabku dengan sedikit ragu.
“Pulang saja. Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan di sini jadi kau tidak perlu menungguku,” tolaknya dengan acuh. “Lagipula, tidak baik jika sampai para guru melihat kita berdua pulang bersama,” tolaknya lagi tanpa melirikku sama sekali.
Aku hanya bisa berdiri di tempat saja sambil terus menatap punggungnya. Sepertinya hari ini Arvin terlihat berbeda. Bagaimana cara ia memandangku juga berbicara padaku, tingkahnya itu terlihat begitu berbeda dan lebih menyebalkan, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Sikapnya yang sekarang ini mengingatkan akan sikap Arvin yang dulu. Tidak terlihat begitu peduli juga tidak banyak berkomentar. Aku jadi sempat teringat dengan ucapan Jo malam itu. Bukankah sikap Arvin yang sebenarnya memang selalu seperti ini. Kurasa dia memang tidak pernah berubah. Dari dulu sampai sekarang memang seperti ini dan memang seharusnya dia seperti ini.
Setelah menemukan buku yang ia cari, ia segera melangkah mendekati pintu yang berada tidak jauh dari tempatku berdiri saat ini. Sesaat dia berhenti tepat di sampingku sambil menggenggam buku tebal yang ia bawa.
“Lexa,” ucapnya dengan perlahan dan aku berusaha untuk tidak menolehkan wajahku ataupun membalikkan badanku. Awalnya aku berharap bahwa ia akan mengatakan sesuatu yang ingin kudengar, “sebaiknya kau belajar malam ini karena besok aku akan mengadakan kuis,” tetapi sepertinya apa yang kuharapkan sangatlah jauh berbeda dengan apa yang ia katakan baru saja. Sesaat, derap langkah kakinya mulai terdengar lagi dan semakin lama semakin jauh. Setelah suara itu menghilang di ujung koridor barulah aku tersadar lalu akupun mulai menggerakkan kakiku dengan gontai.
“Ada apa dengannya hari ini?” ucapku dengan wajah cemberut. “Bukankah sebelumnya dia... ” cibirku kesal sambil mengingat setiap ucapannya yang selalu penuh godaan, begitu juga dengan tingkah lakunya.
Aku mengedipkan mataku beberapa kali dan akhirnya tersadar dengan apa yang baru saja aku ucapkan. Akupun mulai memukul-mukul kepalaku sendiri dengan kesal. “Untuk apa aku memikirkan hal itu. Lupakan. Lupakan.”
Saat aku mulai menuruni tangga, aku mendengar suara gemuruh yang cukup keras dari luar sana dan diikuti dengan suara rintik hujan yang terdengar mulai membasahi atap sekolah. Ternyata benar apa yang telah dikatakan oleh Arvin sebelumnya. Hujan memang turun sedangkan aku harus berjalan kaki menuju halte bus tetapi sepertinya aku harus menundanya terlebih dahulu selama beberapa saat.
Sekolah ini benar-benar sangatlah sepi tetapi karena suara hujan ini, aku merasa bahwa aku tidak sendiri lagi. Aku menarik nafas panjang sambil menghirup bau tanah yang sangat khas pada hari hujan dan aku sangat menyukainya. Saat aku melewati ruang guru, aku mendapati tidak ada seorang pun di sana kecuali Arvin yang masih duduk di kursinya sambil menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Aku berdecak kesal karena dia telah membohongiku. Padahal tidak ada guru lagi selain dia di sini tetapi dia malah berbohong dan menolakku untuk pulang bersamanya.
Aku mulai melangkahkan kakiku lagi sampai akhirnya aku berhenti di depan pintu lobby sekolah. Aku berniat untuk menunggunya di sini saja dan aku tidak tau berapa lama waktu yang akan kuhabiskan untuk menunggunya seorang diri. Sambil mengulurkan tanganku, hujan mulai membasahi telapak tanganku. Begitu dingin, begitu sejuk, begitu menyenangkan rasanya. Aku mulai tersenyum sendiri saat mengingat apa yang sering aku dan Arvin lakukan dulu. Kami berdua berjalan berdampingan sambil bergandengan tangan di bawah sebuah payung yang cukup lebar untuk melindugi kami dari air hujan. Bukan hanya itu saja, Vin juga sering mengajakku berdansa di tengah-tengah lebatnya hujan. Kami berdansa tanpa ditemani oleh berbagai macam lagu-lagu indah seperti yang terdapat di setiap pesta-pesta mewah lainnya karena bagi kami, hujan adalah alunan lagu yang paling merdu untuk didengarkan meskipun pada akhirnya orang tua kami akan memarahi kami karena pada keesokan harinya kami jatuh sakit.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya seorang pria dari balik punggungku.
“Aku sedang menikmati hujan,” balasku sambil menolehkan wajahku. Awalnya aku tersenyum gembira karena aku berpikir bahwa Arvinlah yang datang tetapi senyumku memudar saat aku tau siapa yang datang. Aku mencoba untuk terus berusaha tersenyum di hadapannya meskipun dengan sedikit terpaksa. Saat aku menoleh, dari ujung mataku, aku sempat menangkap sosok Arvin yang sedang berdiri di ujung sana dan sepertinya dia sedang memperhatikanku juga Kevin.
“Ada apa?” tanya Kevin sehingga membuatku terkejut.
“Tidak apa," sanggahku sambil mencoba menyembunyikan alasanku yang sebenarnya. "Aku pikir kau sudah pulang,” ucapku sambil sedikit berbasa-basi pada Kevin. Aku menatap jauh di balik punggung Kevin untuk memastikan apa benar Arvin sedang berdiri di situ tetapi yang kudapatkan nihil. Lobi sekolah itu masih terlihat sama. Hening dan tidak ada siapapun di sana. Apakah aku sedang berhalusinasi.
“Awalnya aku memang akan pulang tetapi aku melihatmu yang sedang berdiri di sini seorang diri jadi aku pikir mungkin aku bisa menemanimu sebentar saja,” ungkapnya sambil menggenggam sebuah payung lipat transparan yang masih tertutup rapi.
“Kurasa aku akan menunggu sampai hujan ini berhenti setelah itu aku akan pulang.”
“Apa kau tidak pulang bersama dengan Arvin?”
“Tidak. Sepertinya dia masih sibuk maka aku memutuskan untuk pulang sendiri saja.”
“Bagaimana jika aku yang mengantarkanmu?” tawarnya dengan lembut. Ia mulai membuka payung transparan yang semula ia genggam itu lebar-lebar lalu mengulurkannya depan. Sedikit demi sedikit payung yang kering itu mulai basah oleh karena air hujan yang turun secara bergantian. Karena payungnya yang transparan itu, aku jadi tertarik untuk melihat setiap rintik hujan yang berbaris rapi menuruni payung itu hingga membasahi tanah yang sudah berwarna gelap saat butiran-butiran air berjatuhan dari langit. Aku terdiam sejenak, tenggelam di dalam pikiranku.
“Bagaimana?” tanya Kevin lagi membuatku tersadar dari pikiranku yang kosong itu.
Aku memberikan seulas senyum padanya. “Kurasa untuk hari ini, kau boleh mengantarku.”

Aku terbangun dari tidur soreku. Sudah tiga jam aku tertidur tetapi aku merasa bahwa aku sudah tertidur selama satu hari. Aku memegang dahiku yang tiba-tiba saja terasa pusing. Aku masih terngiang-ngiang oleh pesan dari kedua orang tuaku yang membuatku semakin tak ingin beranjak dari kamarku. Mulai hari ini sampai tiga minggu ke depan mereka tidak akan berada di Jakarta karena mereka akan merawat nenekku yang harus menjalankan operasinya karena sempat terjatuh sehingga membuat tulang kakinya patah. Tetapi mereka belum tentu akan pulang tiga minggu lagi. Sebenarnya aku tidak keberatan jika mereka meninggalkanku sendirian di rumah ini tetapi mereka malah meninggalkanku dengan Arvin hanya berdua saja di rumah ini.
Aku segera beranjak dari tempat tidurku dan segera membasuh wajahku dengan air dingin. Karena perutku yang sudah berbunyi sejak dari tadi, aku tidak bisa melanjutkan tidurku. Semoga saja mereka menyisakan makanan untukku. Dan Arvin. Aku masih penasaran. Apa benar dia sempat melihat kami berdua di lobby sekolah.
Aku berjalan keluar dari kamar mandi dengan gontai sambil menahan mataku yang berat dan menyalakan lampu yang ada di kamarku itu. Sesaat mataku tertuju pada sebuah benda yang terletak di atas meja belajarku. Aku mulai melangkahkan kakiku lagi sambil masih memperhatikan benda itu. Perlahan aku mengangkatnya lalu aku mulai menghembuskan nafas pelan.
“Mengapa aku membelinya. Aku jadi menyesal,” ucapku dengan lirih sambil menatap biola kecil itu. Mengapa aku tidak memberikannya secara langsung kemarin malam saja jika aku tau akan terjadi hal yang tidak terlalu menyenangkan hari ini.
Sesaat aku sempat merasa takut dengan perasaanku sendiri. Perasaanku pada Kevin dan juga Arvin. Sebenarnya siapa yang aku sukai.
“Untuk apa aku pikirkan. Sebaiknya aku menjalani hidup seperti biasa saja,” ucapku dengan mantap pada diriku sendiri dan akhirnya aku memutuskan untuk memberikan gantungan ini pada Arvin walaupun aku tidak ingin bertemu dengannya hari ini.
Aku keluar dari kamarku tanpa suara. Aku bahkan tidak tau mengapa aku melakukannya. Lalu aku mulai menuruni tangga sambil terus memperhatikan kamar tamu yang sedang tertutup rapat. Saat aku sudah berdiri di depan pintu, aku jadi merasa menyesal karena telah mengambil keputusan ini. Aku ingin berbalik tetapi kakiku terus menahanku di sini. Pikiranku terus membujukku untuk memberikan gantungan kecil ini pada Arvin.
Aku mulai mengetuk pintu itu tiga kali dan saat Arvin memberikan jawaban, aku mulai membuka pintu itu sedikit demi sedikit sambil melirik ke dalam terlebih dahulu.
“Ada apa?” tanyanya dengan suaranya yang khas dari dekat meja yang awalnya kosong itu sekarang sudah terisi dengan berbagai macam buku dengan ukuran yang berbeda-beda dan juga alat-alat tulis yang ia gunakan untuk bekerja. Semuanya itu telah tersusun dengan rapi.
Dia sedang terduduk di kursi roda yang sudah ada sejak dulu. Aku tidak tau dia sedang mengerjakan apa di situ tetapi aku bisa melihat wajahnya yang kaku dan juga serius. Dia bahkan tidak melirikku sama sekali. Aku jadi tidak berani mengganggunya.
“Sepertinya aku mengganggu,” jawabku dengan sedikit bersalah. “Sebaiknya nanti saja aku kembali,” lanjutku lagi sambil masih mengintip dari balik pintu dan akupun mulai menutup pintu dengan perlahan.
“Apakah kau ingin menyampaikan sesuatu?” tanyanya lagi sehingga membuat tanganku berhenti bergerak.
“Sebenarnya bukanlah hal yang penting,” ucapku lagi.
“Sebaiknya kau masuk saja,” perintahnya. Dengan ragu aku masuk lalu menutup pintu yang ada di belakangku. Saat aku bertatap mata dengannya secara tidak sengaja, aku segera memperhatikan sesuatu yang lain yang ada di hadapanku.
“Apa  yang ingin kau sampaikan padaku?” tanyanya masih dengan wajahnya yang kaku itu.
“A-aku hanya ingin memberitahukan bahwa selama tiga minggu ke depan...”
“Aku sudah tau,” ucapnya sambil memotong kalimatku. “Ada yang ingin kau sampaikan lagi?”
“A-aku hanya ingin memberikan ini padamu,” ucapku sambil merogoh kantungku lalu menyerahkan gantungan itu padanya. Aku melihatnya yang tertunduk mengamati benda kecil yang ada di tanganku itu dengan cukup lama. Atmosfir di dalam ruangan ini membuatku menjadi lebih penurut daripada hari-hari sebelumnya. Kali ini aku harus berpikir dua kali untuk melakukan setiap tindakan. Aku takut jika tiba-tiba saja aku mengganggunya atau membuatnya merasa tidak nyaman.
“Apa ini?” tanyanya sambil mengulurkan tangannya padaku lalu mengambil benda itu.
“Tidak perlu bertanya juga kau pasti sudah tau,“ jawabku sambil sedikit bercanda untuk sekedar mencairkan suasana. “Aku hanya ingin memberikan itu saja,” ucapku lagi dengan tergesa-gesa sambil membalikkan badanku. Saat aku akan beranjak pergi, aku merasa bahwa Arvin sedang menarik pergelangan tanganku.
 “Tunggu,” ucapnya dengan perlahan. Jantungku berdegup dengan cepat sambil memikirkan apa yang akan ia lakukan padaku. Karena hanya kami berdua saja yang ada di sini, aku jadi takut jika ia memperlakukanku yang tidak-tidak.
“Ada apa?” ucapku sambil membalikkan badanku. Aku melihat Arvin yang membungkuk lalu mengambil sesuatu dari lantai.
“Gelangmu,” ucapnya sambil menyodorkan gelang merah itu padaku. Pasti tadi terjatuh dari kantungku saat aku mengambil biola kecil itu. “Aku sempat memperhatikanmu selama beberapa hari ini dan aku tidak melihat gelang ini menempel di pergelangan tanganmu.”
“Aku sedang tidak ingin memakainya,” aku berbohong padanya. Aku melihat Arvin  yang menatapku dengan sedikit kecewa.
“Kau ini... membuatku kecewa saja,” ucapnya dengan pelan sambil memasang kembali gelang itu pada tanganku. Aku terpaku saat mendengar ucapannya. Ternyata aku memang membuatnya kecewa. Sebenarnya aku cukup setuju dengannya. Jika benda yang baru saja aku berikan padanya itu menghilang, aku juga akan merasa kecewa seperti dirinya yang juga kecewa padaku. “Jika kau bisa merawatnya dengan baik, maka aku akan merawat biola kecil itu dengan baik juga.”
Saat ia sudah selesai memasang, aku segera menurunkan tanganku sambil menyembunyikannya di balik punggungku bersama dengan tanganku yang lainnya. Dari balik punggungku, aku terus mengelus gelang itu. Arvin pun mulai kembali berkutat dengan kesibukannya sendiri. Sepertinya hari ini dia benar-benar tidak ingin diganggu.
Aku berjalan menuju pintu kamarnya sambil memanyunkan bibirku dengan sedikit kesal. Saat aku membuka pintu, Arvin memanggil namaku, “Lexa.” Dia memberikan jeda sebentar. Sepertinya dia sedang menunggu reaksiku selanjutnya tetapi aku hanya berdiam diri saja di ambang pintu tanpa menjawabnya. “Sebaiknya kau jangan lupa untuk belajar. Besok...”
“Aku tau,” ucapku dengan kesal sambil membanting pintu kamarnya. Aku tidak peduli jika aku memotongnya atau tidak. Toh yang dia ucapkan itu bukanlah hal yang penting. Dia bahkan tidak mengucapkan terima kasih karena aku telah memberikan benda kecil itu. Aku menatap gelang merah itu sambil menghembuskan nafasku dengan berat. Semakin lama aku mengamatinya, semakin besar keinginanku untuk melepasnya.
Aku mulai menggerutu sambil berjalan menuju dapur dengan harapan semoga aku bisa mendapatkan sedikit makanan untuk mengisi perutku ini yang masih terus berbunyi. Saat aku membuka lemari pendingin itu, aku tidak menemukan makanan satupun yang tersisa di dalamnya. Hanya tersisa buah-buahan saja di dalamnya dan aku tidak akan menyentuhnya malam ini karena aku sedang tidak ingin memakannya. Aku jadi teringat akan sesuatu. Biasanya keluargaku tidak akan pernah menghabiskan lauk itu karena ibuku selalu membuat dalam porsi yang cukup banyak tetapi karena Arvin tinggal di sini sejak beberapa minggu yang lalu, semua makanan yang tersisa dapat dihabiskannya saat itu juga. Aku tidak akan terkejut jika pria itu memiliki porsi makan yang besar karena sebagian orang-orang Eropa juga selalu memiliki porsi makan yang besar sehingga tubuh mereka juga terlihat begitu berisi. Arvin memang bukanlah orang Eropa tetapi dia sempat mejadi orang Eropa selama kurang lebih tujuh tahun. Bukan hanya itu saja. Sepertinya rasa rindunya pasa masakan Indonesia juga sangat mempengaruhi nafsu makannya. Aku menutup lemari pendingin itu dan melipat kedua tanganku sambil berpikir apa yang harus kulakukan selanjutnya. Karena bahan-bahan juga tidak ada, aku jadi terpaksa membeli makanan di luar saja. Lagipula, sudah lama juga aku tidak makan nasi goreng yang sudah menjadi langgananku sejak kecil.
Aku menarik kedua kakiku dengan gontai, berjalan keluar dari dalam dapur tetapi mendadak aku menghentikan langkahku di saat yang bersamaan dengan Arvin yang juga berhenti di hadapanku sambil menatapku dengan cukup terkejut begitu pula denganku. Aku menggeser tubuhku ke kiri begitu pula dengan Arvin lalu aku memutuskan untuk beralih ke kanan tetapi Arvin juga melakukan hal yang sama dan itu terjadi selama beberapa kali. Aku tidak tau jika dia melakukan hal itu dengan sengaja atau tidak tetapi kekesalan yang awalnya mulai pudar sedikit demi sedikit mulai menumpuk lagi menjadi satu.
“Hentikan,” ucapku dengan kesal sambil menunduk dan mematung di depannya. Setelah memastikan bahwa dia benar-benar terdiam di tempat, akupun mulai mengambil langkah untuk maju tetapi ia malah merentangkan tangan kanannya dan menempelkannya pada dinding. Dengan santainya ia mulai menyandarkan tubuhnya pada dinding yang lainnya.
“Apa kau sedang menghindariku? Menatap wajahku saja tidak,” ungkapnya secara tiba-tiba. Aku tidak tau apa maksudnya. Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Tidak seperti biasanya dia menghindar dariku seperti yang sedang ia lakukan hari ini.
“Seharusnya kau sudah tau hal itu sejak pertama kita bertemu,” jawabku dengan pedas. “Sejak awal aku memang berencana untuk menghindarimu,” lanjutku lagi. “Aku bukan lagi gadis kecil yang dulu. Aku tidak akan bisa mengikutimu secara terus menerus dan sekarang aku sudah bisa memutuskan kapan aku ingin bersamamu dan kapan aku ingin menghindar darimu. Maaf jika dulu aku selalu mencarimu, selalu berbicara denganmu dan membuatmu melakukan suatu hal dengan terpaksa karenaku. Aku tau aku selalu membuatmu kesal,” ungkapku lebih dalam lagi padanya. Kami berdua sempat terdiam dalam pikiran masing-masing dan sebaiknya aku cepat-cepat pergi dari hadapannya karena aku sudah tidak tahan lagi.
“Aku sudah lapar,” gerutuku. Aku berjalan menyusup dari bawah lengannya sambil meninggalkannya berdiam diri tempat. Meskipun aku sudah berjalan beberapa meter jauh darinya, aku bisa mendengar hembusan nafas Vin yang terdengar cukup berat. Langkah kakinya mulai terdengar. Awalnya aku berpikir bahwa ia akan kembali ke kamarnya tetapi aku  mendengar langkahnya yang mulai mendekat.
“Bagaimana jika aku menemanimu? Sudah lama juga aku tidak makan di sana,” ujarnya sambil terus berjalan mengikutiku. “Lagipula, tidak baik seorang wanita pergi sendirian malam-malam.”
 “Aku sudah terbiasa sendirian tanpa ditemani oleh te-man-ku,” ucapku sambil memberikan penekanan penuh pada kata terakhir. Aku mulai mengusap-usap kedua lenganku karena udara malam yang begitu dingin saat aku berjalan keluar dari rumahku. Terdengar suara kunci yang bergemerincing dan ternyata Vin memang sedang sibuk mengunci gerbang rumahku. Aku terus berjalan tanpa mempedulikannya. Masih ada beberapa meter lagi jauhnya sebelum aku keluar dari komplek rumahku dan yang artinya masih ada beberapa meter lagi aku harus terus seperti ini bersama dengan Vin.
“Maaf,” ucapnya dengan nada menyesal. “Aku sudah mengucapkannya berulang kali. Apa kau masih belum memaafkanku juga?” Dari bunyi langkah kakinya, aku bisa mendengar bahwa ia sedang berlari kecil untuk mendekatiku. Semakin ia mendekatiku, aku semakin mengambil langkah yang lebih besar lagi untuk menghindarinya.
Aku berhasil untuk tidak berbicara padanya sampai aku berada di jalan besar. Untungnya saat itu sedang sepi jadi tidak terlalu banyak mobil yang berlalu lalang. Aku menoleh ke kiri karena aku sempat melihat sebuah cahaya mobil yang akan melintas. Karena aku merentangkan tanganku, mobil itupun mulai memperlambat lajunya lalu akupun melanjutkan mulai langkahku lagi. Tetapi sayangnya aku kurang waspada. Aku tidak memperhatikan sebuah mobil yang melaju dari arah sebaliknya. Alhasil, Arvin cepat-cepat menarik pergelangan tanganku dan akhirnya aku membiarkan diriku terjatuh dalam pelukan Arvin. Itu berlangsung dengan begitu cepat sehingga membuat nafasku menjadi tidak teratur dan juga berpengaruh pada jantungku yang berdegup semakin kencang. Aku tidak tau apakah jantungku berdegup karena aku sadar bahwa aku hampir saja tertabrak atau aku berdegup karena Vin memelukku atau dua-duanya.
“Aku tidak tau apakah kau sudah sangatlah lapar sehingga kau tidak memperhatikan jalan atau kau sedang memikirkan sesuatu yang begitu penting,” ucapnya dengan pelan sambil terus memelukku. Awalnya aku berpikir bahwa dia akan memarahiku karena kelalaianku sendiri tetapi dia malah tidak melakukannya.
Saat aku mendengar klakson mobil, aku mulai tersadar bahwa kami masih berada di tengah jalan. Dengan segera Vin membawaku ke pinggir jalan sambil menggandeng tanganku. Pikirannya yang tenang membuatku mencoba untuk bertindak lebih tenang dari sebelumnya.
“Thanks,” ujarku sambil menarik tanganku dari genggamannya dengan cukup keras. Aku mulai berjalan mendahuluinya lagi.
“Aku takut jika kau seperti itu lagi,” ucapnya sambil mencoba untuk menggandeng tanganku lagi dari belakang tetapi saat jari-jari tangannya bersentuhan dengan milikku, rasanya seperti tersengat dan aku langsung menarik tanganku lagi.
Aku membalikkan badanku lalu mencoba untuk menatapnya dalam kegelapan. Bahkan lampu jalan yang remang-remang pun masih tidak bisa membantuku untuk menatapnya dengan jelas. “Tidak perlu,” tolakku. “Aku akan menjadi lebih waspada lagi,” ucapku sambil mengangguk-anggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan.
Aku mulai berjalan lagi dalam diam, begitu pula dengannya. Tak lama kemudian akhirnya kami berdua sampai juga. Sebuah restoran kecil yang terletak di pinggir jalan itu memang sudah menjadi langgananku sejak kecil tetapi sebenarnya tempat ini tidak terlihat seperti sebuah restoran karena tempat ini benar-benar kecil dan kurasa tempat ini hanya bisa menampung tidak lebih dari lima belas orang saja. Ruko yang mereka gunakan ini memang tidak menggunakan pintu jadi aku bisa masuk dengan mudahnya tanpa menarik atau mendorong sebuah pintu. Sebelum masuk ke dalam pun aku sudah tau bahwa tempat ini sedang ramai pengunjung dan untungnya masih ada satu meja kecil yang tersisa untuk kami berdua. Tanpa perlu memilih tempat lagi, aku langsung melangkahkan kakiku pada meja bundar kecil itu. Aku memilih kursi yang bersandar pada dinding sedangkan Vin duduk tepat di seberangku.
“Lexa,” ucap seorang wanita yang berjalan mendekati mejaku sambil tersenyum gembira padaku. Saat aku menatapnya, aku langsung memberikan senyum padanya. “Senang melihatmu lagi di sini,” ucapnya dengan mata yang berbinar-binar. Seperti biasa, wanita paruh baya ini senang sekali menyambut setiap pelanggannya dengan senyuman lebarnya itu dan dia selalu membuatku merasa nyaman untuk berada di tempat ini. Dia sempat mengelap kedua tanganya di atas celemek putih yang selalu ia pakai, mungkin dia baru saja selesai memasak.
Aku melihatnya yang mulai tersenyum pada Arvin lalu aku menoleh dan melihat Vin yang juga dibalasnya dengan senyuman. “Astaga, kau tampan sekali,” pujinya dengan cukup berlebihan sehingga membuat Vin tersipu malu dan membuatku tertawa dengan canggung. “Apa kalian berdua saling berpacaran?” tanyanya sambil menatap kami berdua secara bergantian.

 “Tidak. Kami hanya teman,” jawabku buru-buru dengan panik. Aku tidak ingin wanita itu berpikiran yang tidak-tidak tentang kami berdua karena aku tau dia pasti akan melaporkannya pada ibuku.  Mereka berdua sudah berteman sejak lama tetapi aku tidak tau pastinya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?