Ini file terakhir, masih bersambung. Ho ho...
“Dia sudah memilik pacar,” kali ini Vin melanjutkan
kalimatku dengan datar. Saat dia mengucapkannya, tidak ada ekspresi apapun yang
tertera. Jawabannya membuat wanita itu mengangguk-angguk pelan sambil
membulatkan mulutnya. Aku sempat dibuat terkejut oleh ucapannya itu. Aku
membelalakkan mataku besar-besar sambil menatap matanya yang sepertinya tidak
berguna juga karena nasi sudah menjadi bubur. Sudah terlambat untuk menarik
kembali kata-katanya.
“Sayang sekali.
Padahal kalian berdua terlihat cocok,” ucap wanita itu lagi dengan memasang
wajah yang cukup kecewa. “Apa yang ingin kalian pesan?”
“Seperti biasa,” jawabku dengan singkat, padat dan
jelas.
“Oke,” balasnya lalu iapun mulai berjalan pergi dari
meja kami. Aku hanya ingin cepat-cepat membuatnya pergi supaya aku bisa memukul
Arvin karena telah memberitahunya yang tidak-tidak. Pria itu menatapku sambil
sedikit meringis.
“Apa yang telah aku lakukan?” ucapnya sambil mengusap
lengannya berulang kali.
“Kau tidak perlu berbohong padanya. Untuk apa kau
mengatakan padanya bahwa aku sudah memiliki pacar?” gertakku padanya tetapi dia
hanya bisa menataku dengan wajah yang penuh tanda tanya.
“Bukankah kau berpacaran dengan Kevin? Aku melihatnya
sendiri, kau dan Kevin akan...” ucapnya dengan bingung. Saat dia berbicara
seperti itu, otakku mulai berputar dengan cepat. Jangan-jangan Arvin melihat
kami berdua tetapi dia berpura-pura untuk tidak tau apa-apa.
“Apa kau melihatnya? Aku dan Kevin?” tanyaku sambil
membelalakkan mataku padanya. Aku melihat Arvin yang menghindari tatapan mataku
sambil menggarukkan kepalanya. Tinghkahnya menjadi semakin aneh saja.
“Aku melihatnya,” ucapnya tanpa rasa bersalah.
Aku melihatnya yang terlihat seperti seseorang yang
sedang tersipu malu tetapi aku mencoba untuk mencairkan suasana. “Untungnya kau
datang.” Aku sengaja menolehkan wajahku karena aku tidak ingin menunjukkan
ekpresiku padanya. Aku tau dia menoleh menatapku karena aku bisa menangkapnya
dari ekor mataku.
“Bukankah itu yang kau mau dari awal. Kevin menjadi
milikmu.”
“Awalnya.” Aku tidak tau apakah jawaban ku kali ini
bisa membantunya untuk mengurangi rasa keterkejutannya atau tidak tetapi aku
memang berusaha untuk mengungkapkan apa yang benar-benar aku rasakan. “Semakin
lama aku sadar bahwa aku tidak ingin memilikinya. Aku juga tidak tau kenapa.”
Memang aneh rasanya untuk mengatakan hal ini padanya
tetapi karena aku sudah terbiasa untuk berbicara apa adanya pada Arvin jadi hal
ini bukanlah masalah lagi bagiku. Aku terdiam begitu pula dengan Arvin tetapi
dia masih saja menatapku walaupun aku berpura-pura untuk tidak tau. Aku sempat
melihat Arvin dari ekor mataku yang mengangkat kedua sudut mulutnya sehingga
terbentuk senyum kecil. Sebenarnya, apa yang sedang ia pikirkan saat ini
sampai-sampai bisa membuatnya tersenyum seperti itu.
“Lexa...” panggilnya. Dan di saat yang bersamaan,
makanan yang kami berdua pesan datang juga. Mau tak mau dia harus menunda
kalimatnya terlebih dahulu.
“Terima kasih,”
ucapku pada wanita itu saat dia mulai meletakkan kedua piring beserta dua gelas
yang berisi teh manis dari nampan yang ia bawa.
“Apa lagi yang ingin kalian pesan?” ucapnya sebelum
pergi. Cepat-cepat aku menggelengkan kepalaku padanya supaya dia bisa segera
pergi karena aku sudah tidak sabar untuk makan. Perutku sudah berbunyi sejak
awal dan jika aku tidak mengisinya maka perut ini akan berbunyi semakin lama
semakin keras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?