Sabtu, 17 Januari 2015

String of Notes 9

cerpen, novel


Ini file terakhir, masih bersambung. Ho ho...



“Dia sudah memilik pacar,” kali ini Vin melanjutkan kalimatku dengan datar. Saat dia mengucapkannya, tidak ada ekspresi apapun yang tertera. Jawabannya membuat wanita itu mengangguk-angguk pelan sambil membulatkan mulutnya. Aku sempat dibuat terkejut oleh ucapannya itu. Aku membelalakkan mataku besar-besar sambil menatap matanya yang sepertinya tidak berguna juga karena nasi sudah menjadi bubur. Sudah terlambat untuk menarik kembali kata-katanya.
 “Sayang sekali. Padahal kalian berdua terlihat cocok,” ucap wanita itu lagi dengan memasang wajah yang cukup kecewa. “Apa yang ingin kalian pesan?”
“Seperti biasa,” jawabku dengan singkat, padat dan jelas.
“Oke,” balasnya lalu iapun mulai berjalan pergi dari meja kami. Aku hanya ingin cepat-cepat membuatnya pergi supaya aku bisa memukul Arvin karena telah memberitahunya yang tidak-tidak. Pria itu menatapku sambil sedikit meringis.
“Apa yang telah aku lakukan?” ucapnya sambil mengusap lengannya berulang kali.
“Kau tidak perlu berbohong padanya. Untuk apa kau mengatakan padanya bahwa aku sudah memiliki pacar?” gertakku padanya tetapi dia hanya bisa menataku dengan wajah yang penuh tanda tanya.
“Bukankah kau berpacaran dengan Kevin? Aku melihatnya sendiri, kau dan Kevin akan...” ucapnya dengan bingung. Saat dia berbicara seperti itu, otakku mulai berputar dengan cepat. Jangan-jangan Arvin melihat kami berdua tetapi dia berpura-pura untuk tidak tau apa-apa.
“Apa kau melihatnya? Aku dan Kevin?” tanyaku sambil membelalakkan mataku padanya. Aku melihat Arvin yang menghindari tatapan mataku sambil menggarukkan kepalanya. Tinghkahnya menjadi semakin aneh saja.
“Aku melihatnya,” ucapnya tanpa rasa bersalah.
Aku melihatnya yang terlihat seperti seseorang yang sedang tersipu malu tetapi aku mencoba untuk mencairkan suasana. “Untungnya kau datang.” Aku sengaja menolehkan wajahku karena aku tidak ingin menunjukkan ekpresiku padanya. Aku tau dia menoleh menatapku karena aku bisa menangkapnya dari ekor mataku.
“Bukankah itu yang kau mau dari awal. Kevin menjadi milikmu.”
“Awalnya.” Aku tidak tau apakah jawaban ku kali ini bisa membantunya untuk mengurangi rasa keterkejutannya atau tidak tetapi aku memang berusaha untuk mengungkapkan apa yang benar-benar aku rasakan. “Semakin lama aku sadar bahwa aku tidak ingin memilikinya. Aku juga tidak tau kenapa.”
Memang aneh rasanya untuk mengatakan hal ini padanya tetapi karena aku sudah terbiasa untuk berbicara apa adanya pada Arvin jadi hal ini bukanlah masalah lagi bagiku. Aku terdiam begitu pula dengan Arvin tetapi dia masih saja menatapku walaupun aku berpura-pura untuk tidak tau. Aku sempat melihat Arvin dari ekor mataku yang mengangkat kedua sudut mulutnya sehingga terbentuk senyum kecil. Sebenarnya, apa yang sedang ia pikirkan saat ini sampai-sampai bisa membuatnya tersenyum seperti itu.
“Lexa...” panggilnya. Dan di saat yang bersamaan, makanan yang kami berdua pesan datang juga. Mau tak mau dia harus menunda kalimatnya terlebih dahulu.  
 “Terima kasih,” ucapku pada wanita itu saat dia mulai meletakkan kedua piring beserta dua gelas yang berisi teh manis dari nampan yang ia bawa.
“Apa lagi yang ingin kalian pesan?” ucapnya sebelum pergi. Cepat-cepat aku menggelengkan kepalaku padanya supaya dia bisa segera pergi karena aku sudah tidak sabar untuk makan. Perutku sudah berbunyi sejak awal dan jika aku tidak mengisinya maka perut ini akan berbunyi semakin lama semakin keras.


 **************************************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?