“Apa
Arvin pernah menceritakanmu bagaimana kehidupannya saat dia sedang berada di
New York?”
Aku menggelengkan kepalaku dengan pelan sambil memanyunkan bibirku.
Aku menggelengkan kepalaku dengan pelan sambil memanyunkan bibirku.
“Ada apa dengannya?”
“Selama aku berteman
dengannya, aku belum pernah melihatnya berjalan dengan seorang wanita kecuali
kau dan managernya.”
“Benarkah? Rasanya sulit
untuk dipercaya. Sikapnya saja sudah seperti playboy,” ungkapku sambil
menjelek-jelekkan Vin di hadapan temannya. Aku memang sengaja untuk mengambil
kesempatan kecil ini dengan menyindirnya karena dia selalu menyindirku secara
blak-blakan.
“Playboy?” sindir Joe
sambil tertawa geli. “Darimana kau melihatnya sebagai seorang playboy?”
“Dia itu berbeda.
Padahal, waktu pertama kali berkenalan dengannya, sikapnya benar-benar
menyebalkan. Tetapi saat aku bertemu dengannya setelah tujuh tahun ini,
sikapnya berubah.”
“Berubah?”
“Iya. Saat pertama kali
bertemu, dia langsung memelukku begitu saja. Sikapnya benar-benar baik dan
kekanak-kanakan. Dia juga sering menggangguku, seperti ingin mendapatkan
perhatian dariku tetapi aku sering mengabaikannya dan aku lebih banyak berdebat
dengannya. Meskipun begitu dia tetap saja menaruh perhatiannya padaku,” jelasku
dengan detail. Aku tidak tau jika aku sedang memujinya atau tidak.
“Apa benar yang kau ceritakan
itu Arvin? Sepertinya Arvin temanku bukanlah seorang pria yang seperti itu.”
“Apa maksudmu?”
“Arvin bukanlah seorang
pria yang mudah tersenyum atau sering menggoda. Sikapnya sedikit angkuh dan
pendiam. Dia hanya berbicara jika memang ingin berbicara. Dia hanya tersenyum
di saat-saat tertentu saja. Dan jika aku memperhatikan dirinya lebih lagi,
teman yang paling dekat yang pernah ia miliki di New York bisa kuhitung dengan
jari tanganku, termasuk aku,” ungkapnya dengan penuh semangat. “Aneh. Selain itu,
apalagi yang pernah ia ceritakan padamu?”
“Kurasa tidak ada sama
sekali. Yang kutau hanyalah universitas mana yang ia ambil lalu dimana saja
konsernya berlangsung. Itupun aku juga lebih banyak mengetahuinya dari temanku.
Jika tidak, aku benar-benar tidak tau siapa Arvin yang sekarang.”
“Sebenarnya, saat aku
bertemu denganmu pertama kali, aku benar-benar merasa familiar dengan wajahmu.”
“Wajahku?” tanyaku dengan
cukup terkejut sambil menunjuk wajahku sendiri. Aku melihatnya yang menggangguk
pelan sambil tersenyum lagi.
“Aku pernah melihatmu.
Kurasa Arvin menyimpannya di sebuah album foto.”
“Album foto? Sepertinya
foto yang kau lihat bukanlah aku. Mungkin saja wanita itu mirip denganku.”
“Mana mungkin,” ucapnya
sambil tertawa pelan. “Bukankah aku sudah bilang bahwa Arvin tidak dengan
wanita manapun di New York selain managernya itu dan kau. Apa kau pernah ke New
York?”
“Aku belum pernah pergi
ke New York,” jawabku dengan jujur tetapi itu bukanlah suatu hal yang
menyedihkan bagiku.
“Aku pikir aku pernah
melihatmu di sana tapi kurasa memang tidak dan... kurasa foto-foto itu memang
kau.” Foto? Awalnya aku berpikir bahwa foto yang Arvin miliki hanyalah satu
saja tetapi sepertinya dia menyimpan banyak foto tentang diriku. “Arvin banyak
sekali mengambil foto tentang dirimu apalagi saat kau sedang memakai seragam
sekolah.”
“Kurasa itu tidak benar.
Arvin tidak pernah pulang sebelumnya.” Aku mengernyitkan dahiku sambil
memberikan tatapan tak percaya padanya. Apakah dia sedang berbohong padaku
dengan mengatakan bahwa dia mengenal Arvin. Tetapi sepertinya tidak. Sejauh ini
dia mengatakannya dengan penuh kejujuran dan sepertinya dia memang tidak
berbohong padaku.
“Tidak mungkin. Selama
tiga tahun terakhir musim panas ini, dia selalu kembali ke Indonesia. Aku tahu
karena aku selalu menemaninya pulang. Begitu pula dengan bulan ini. Di New
York, musim panas hanya terjadi pada bulan Juni sampai Agustus dan biasanya
Arvin akan kembali ke New York saat Agustus nanti,” ucapnya sambil menerawang.
“Mengapa dia selalu
kembali saat Agustus?” tanyaku sambil menatapnya dengan penuh tanda tanya.
Kulihat mulut Jonathan yang terbuka tetapi ia menutup kembali seakan sedang
berpikir kembali untuk memberikan jawabannya padaku atau tidak.
“Maaf, aku tidak bisa
mengatakannya padamu,” ucapnya dengan tersenyum canggung.
“Ada apa?”
Pria itu melihat jam
tangannya cepat-cepat. “Ternyata aku sudah harus pergi,” ucapnya dengan tak
mengacuhkan pertanyaanku. Dia membayar gantungan piano kecil itu dengan sedikit
tergesa. “Jika kau memang penasaran, sebaiknya kau bertanya saja dengannya
langsung,” ucap Jo lalu meninggalkanku begitu saja dengan rasa penasaran yang
terpendam.
Sesaat aku memutuskan
untuk tidak memikirkan hal itu lagi. Aku mengamati gantungan yang ada di dalam
plastik itu sambil tersenyum sampai aku tidak sadar bahwa terdapat seseorang
yang sedang berdiri di belakangku dan dengan iseng dia menutup mataku dengan
kedua tanganya. Aku tidak tau siapa itu tetapi kemungkinan besarnya adalah...
“Arvin, apa yang sedang
kau lakukan?” ucapku pada seseorang yang berdiri di belakangku.
“Arvin?” ucap sebuah
suara yang begitu familiar di telingaku. Dia menarik tangannya kembali lalu
menarik bahuku sehingga aku harus memutar tubuhku. “Apa kau sedang bersama
dengan Arvin? Sepertinya pria yang kulihat baru saja bukanlah Arvin,” tanya
Cindy dengan wajah penuh tanda tanya. “Bukankah kau berjanji bahwa hari ini kau
akan pergi dengan Kevin?” tanyanya lagi dengan penasaran.
“Itu... Kevin
membatalkannya,” jawabku sambil mengerutkan keningku dengan sedikit cemas. “Sebelumnya
Arvin juga mengajakku untuk pergi. Jadi aku memutuskan untuk pergi dengannya
setelah Kevin memberitahu bahwa dia tidak bisa datang hari ini. Lalu pria yang
baru saja kau lihat itu adalah teman Arvin.”
“Lalu, dimana Arvin?
Mengapa aku tidak melihatnya,” ucapnya sambil menolehkan wajahnya mencari
kesana kemari.
“Dia sedang ada urusan
sebentar. Sebentar lagi dia akan kembali,” ucapku sambil tersenyum bodoh. “Kau
datang bersama siapa?” tanyaku kepadanya sekaligus untuk mencairkan suasana.
“Bersama teman-teman
kelas,” jawabnya yang membuatku menjadi sangat terkejut.
“Apa?” tanyaku sehingga
membuatku semakin bertambah panik
“Sepertinya priamu itu
masih belum terlihat juga. Sebaiknya kau ikut bersama dengan kami saja,”
tawarnya.
“Tidak. Aku akan menunggunya
di sini saja,” tolakku mentah-mentah. Sebenarnya aku ingin bersama dengan
mereka tetapi aku merasa kasihan dengan Arvin jika aku meninggalkannya begitu
saja. Lagipula, mengapa dia harus menjadi guru di sekolahku. Benar-benar
membuatku merasa tidak nyaman setiap kali aku berada di dekatnya. Selain itu,
jika aku ikut bersama dengan Cindy maka ia akan menahanku sampai larut malam.
Aku benar-benar tidak suka jika aku pulang malam jadi aku memutuskan untuk
menolaknya saja.
“Tidak apa. Sebaiknya kau
ikut saja bersama kami,” ucapnya sambil menarik tanganku tanpa menerima izin
dariku sebelumnya. Cindy memang selalu seperti ini. Dia memang suka memaksa
orang untuk mengikuti apa yang ia mau jadi malam ini aku memang benar-benar
mengalami kesialan besar jika aku bertemu dengannya apalagi dalam keadaan yang
seperti ini.
“Cindy, aku tidak ingin
membuat Arvin khawatir. Aku sudah berjanji untuk menunggunya di sini,” bantahku
sambil sedikit berbohong padanya.
“Tenang saja. Arvin pasti
mengizinkanmu untuk bergabung dengan yang lainnya. Kau juga boleh mengajaknya
bergabung bersama dengan kami. Aku tidak akan mengatakan pada siapapun bahwa
kau sedang pergi bersama dengannya,” balas Cindy yang benar-benar membuatku
terdiam dalam sekejap di balik punggungnya. Mau tak mau aku mengikutinya untuk
bertemu dengan yang lainnya. Rasanya tidak mungkin aku mengundang Arvin untuk
ikut bersama dengan kami.
“Lexa, ternyata kau di
sini juga,” ucap Lisa, salah seorang teman sekelasku.
“Dengan siapa kau
datang?” kali ini David yang bertanya. David, pria jahil yang ada di kelasku
dan yang selalu membenci Samantha.
“A-aku datang bersama
dengan teman,” ucapku dengan sedikit ragu.
“Siapa?” tanyanya sekali
lagi dengan cukup penasaran. Dia mengambil sedikit permen kapas yang berwarna
putih yang sedang ia genggam itu lalu memasukkannya ke dalam mulutnya.
“Cindy datang bersama
dengan kami jadi tentu saja bukan dia orangnya,” balas salah satu temanku yang
lainnya. “Jadi dengan siapa kau datang Lex?”
“Dia sedang ada urusan
dan sebentar lagi dia akan kembali.” Aku merasa tidak enak hati karena sudah
berbohong padanya. Tidak sepenuhnya berbohong.
“Sebaiknya kalian
bersenang-senang saja sendiri,” ucap Cindy sambil membantuku. Tetapi sayangnya
apa yang ia lakukan itu tidak berhasil. Mereka malah menjadi semakin penasaran.
“Apa kau pergi dengan
pacarmu?”
“Aku ingin melihat
bagaimana wajahnya.”
“Apakah dia tampan?”
“Ajak dia kemari. Aku
ingin melihatnya.”
Teman-temanku semakin
gencar untuk bertanya padaku sedangkan aku hanya terdiam di tempat saja sambil memberikan senyuman tulus
pada mereka semua sebagai penolakan halusku untuk menjawab semua pertanyaan
yang mereka ajukan padaku. Aku takut jika saja tiba-tiba mereka melihat Arvin
lalu mereka menghampirinya sehingga mereka berasumsi yang tidak-tidak mengenaiku
dengan Arvin. Apa yang harus kukatakan lagi. Aku benar-benar berharap bahwa aku
bisa menghilang dalam sekejap dalam keadaan yag seperti ini.
Arvin, tolong aku, jeritku dalam hati
sambil mencoba untuk memejamkan mataku.
Di saat yang bersamaan, aku merasakan bahwa tanganku sedang ditarik oleh
seseorang dan kakikupun langsung mengikuti langkahnya tanpa banyak menolak.
Awalnya aku berpikir bahwa Cindy yang menarik tanganku jadi aku diam saja
tetapi kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh teman-temanku menandakan bahwa
terdapat seseorang yang tidak mereka kenal sedang menarikku menjauh dari
mereka. Aku juga mendengar Cindy yang terus menerus menenangkan teman-temanku dan
berusaha untuk meyakinkah mereka bahwa aku baik-baik saja sampai akhirnya suara miliknya terdengar
semakin menjauh. Aku memutuskan untuk membuka mataku saat itu juga sambil
menoleh ke belakang dan memang benar Cindy sedang mencoba untuk mencegah mereka
supaya mereka tidak mengejarku. Lalu aku menolehkan wajahku ke depan dan
medapati sesosok pria yang masih menggenggam tanganku sambil menarikku semakin
menjauh dari teman-temanku dan mencoba untuk membaur di dalam kerumunan. Dari
belakang aku memang mengenalinya. Sudah pasti pria ini adalah Arvin tetapi
sepertinya ada yang berbeda dengan penampilannya.
Ternyata memang benar ada
yang berbeda dengannya. Usahanya untuk menyamar memang berhasil tetapi darimana
dia mendapatkan topi hitam dan masker putih itu. Aku berdecak sambil tertawa
geli. Dia memang terlihat konyol saat ini.
“Kau bisa melepas
tanganku sekarang, Vin,” perintahku padanya. Pria itupun menghentikan
langkahnya lalu membalikkan tubuhnya dengan perlahan dan menuruti apa yang
kuinginkan. Aku menunggunya sampai dia membuka maskernya sendiri tetapi dia
hanya diam berdiri sambil menatapku. Gemas aku melihatnya sampai-sampai aku
sendiri yang memutuskan untuk membuka masker yang ia kenakan. “Ternyata memang kau,” ucapku
sambil tersenyum senang. “Darimana kau mendapat masker ini,” tambahku lagi
sambil memperhatikan masker yang ada di tanganku.
“Kau sudah membuatku
panik,” ucapnya sambil menaruh kedua tangannya di sisi pinggang. Dia menarik
nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya lagi dan ia melakukan itu selama
beberapa kali. Aku yang melihatnya bertingkah seperti itu hanya bisa tersenyum
saja sambil mengatakan maaf padanya karena aku telah membuatnya susah.
Pikiranku teralih saat
namaku terus saja disebut dan suaranya terdengar sangat samar-samar. Bukan hanya
satu saja, tetapi aku mendengar beberapa jumlah orang yang memanggil namaku.
Aku membalikkan tubuhku sambil mencari-cari darimana arah suara itu tetapi
karena aku tidak bisa melihatnya karena terlalu banyak orang yang berada di
sekitar kami, aku memutuskan untuk membiarkannya saja. Aku melihat mata Arvin
yang siaga dan dari sinar matanya, dia sedang mencemaskan sesuatu. Atau
sekelompok orang.
“Celaka,” ucapnya sambil
menggenggam tanganku lalu membalikkan tubuhnya dan mulai berlari dengan
spontan. Aku mulai memekik pelan karena aku berada dalam keadaan yang tidak
siap untuk berlari lagi tetapi aku
mencoba untuk tetap mengimbangi langkahnya. “Aku tidak tau ternyata aku bakal
mengalami situasi dimana murid-muridku akan mengejarku,” ucapnya lagi sambil terus
berlari tanpa menoleh kembali ke belakang. Aku juga sempat terkejut bahwa Arvin
masih saja bisa bercanda dalam keadaan yang seperti ini. “Sekarang aku sudah
tau bagaimana rasanya menjadi seorang penculik.”
Kami mencoba berlari
melewati kerumunan yang tak ada habis-habisnya dan tak henti-hentinya juga kami
mencari celah di antara setiap orang supaya kami bisa berlari sejauh mungkin
dari mereka tetapi tidaklah semudah itu. Dari balik punggungnya, aku melihat Vin
yang terus berusaha keras untuk tidak bertabrakan bahu dengan seseorang. Tidak
hanya itu saja. Suara mereka semakin mendekat dan jika kami tidak bisa
melakukannya lebih cepat lagi maka kita akan tertangkap. Aku bahkan tidak tau
apa yang akan terjadi jika kami memang benar-benar akan tertangkap.
Tiba-tiba saja Arvin
berbelok, membuatku sempat menabrak sekelompok anak remaja, masuk ke dalam
celah sempit di antara kedua stand dengan cepat, menghindar dari dalam
kerumunan dan berusaha bersembunyi sebaik mungkin. Untungnya kedua stand ini
lebar dan tinggi jadi tubuh kami dapat tersembunyi dengan baik. Tetapi karena
celah ini terlalu kecil untuk kami berdua, dengan terpaksa aku harus
berhimpitan dengan Vin selama beberapa saat. Vin tak melepas pandangannya dari
dalam kerumunan. Dia selalu waspada, tidak sepertiku yang malah mengambil
kesempatan untuk memandang wajahnya. Dadanya naik turun dengan cepat, sama
sepertiku. Kami berdua memang kehabisan nafas dan aku bahkan tidak tau sudah
berapa jauh kami berlari. Aku mendengar namaku yang disebut semakin keras saja
dan aku tau sebentar lagi teman-temanku akan melewati tempat ini.
Arvin segera mendekapku,
menempelkan kepalaku di dadanya sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia
berusaha menutupi celah itu dengan punggungnya supaya kami berdua tidak
terlihat. Dia berusaha menyembunyikan kami berdua sebaik mungkin saat mereka
lewat. Selama beberapa menit, kami terus berada dalam keadaan yang seperti ini
sampai akhirnya langkah kaki merekapun menjauh. Aku mencoba untuk mencari udara
dan bernafas tetapi kenyataanya tidaklah semudah itu. Dari tengkuk leherku, aku
bisa merasakan nafas Arvin yang panas, membuat bulu kudukku berdiri semua. Aku
benar-benar tidak bisa mendengar apapun di luar sana karena saat ini aku hanya bisa
mendengarkan jantung Arvin yang berdetak dengan cepat. Rasanya aku ingin kabur
dari situasi yang seperti ini tetapi aku hanya bisa diam saja. Aku tidak bisa
menerjang tembok yang berada di belakangku dengan mudah dan aku juga tidak
mungkin mendorong Arvin kembali masuk ke dalam kerumunan, jadi aku memilih
untuk diam saja. Sejenak aku bisa merasakan tangan Arvin yang mulai
merenggangkan dekapannya dari pundakku karena dia tau bahwa murid-muridnya itu
sudah berlari melewati kami berdua. Dia meletakkan kedua telapak tangannya di
dinding belakangku, sejajar dengan kepalaku. Aku melihatnya yang masih menunduk
sambil terus mengatur nafasnya. Tidak sepertiku, dia seakan-akan terlihat ingin
pingsan. Walaupun samar-samar, aku bisa melihat bahwa bibirnya pucat dan wajahnya
sangat berkeringat. Sesekali dahinya mengernyit seakan-akan menahan sakit dan
hal ini berlangsung cukup lama. Tetapi dia mencoba untuk tertawa di hadapanku.
Pikiranku mulai berputar dengan cepat. Aku menggigit bibir bawahku sambil
bergidik ngeri menatapnya. Aku takut jika dia melakukan sesuatu padaku karena
aku tidak suka tingkah lakunya yang sekarang ini. “Ada apa denganmu?” tanyaku
sambil mencoba untuk menenangkan hatiku.
“Lain kali aku akan
berpikir dua kali lagi untuk mengajakmu pergi,” candanya sambil menatapku. Mau
tak mau aku mulai ikut tertawa, melakukan hal bodoh itu bersamanya. “Atau
mungkin tidak ada lain kali,” lanjutnya lagi sambil melepaskan kedua tangannya
dari dinding dan iapun segera memilih untuk keluar dari celah sempit ini, begitu
pula denganku.
Aku menarik nafas
dalam-dalam karena aku sudah mendapatkan udara malam yang beitu segar ini
sebelum akhirnya seseorang memanggilku dari balik punggungku. Aku berbalik,
begitu pula dengan Arvin dan aku mendesah lega saat aku menemukan Cindy dan
hanya dia seorang yang sedang berdiri menatap kami berdua dengan cukup cemas.
“Apa kalian baik-baik saja?” tanyanya sambil berjalan mendekati kam berdua.
“Apakah kami terlihat
baik-baik saja?” tanyaku sambil mencoba untuk tidak tertawa masam.
“Maaf,” pintanya sambil
mengatupkan kedua telapak tangannya, “ aku tidak bisa menahan mereka terlalu
lama.”
“Tidak apa-apa. Pasti
susah karena kau hanya seorang diri saja,” kali ini Arvin yang membalasnya.
Kurasa dia juga sudah bisa mengatur kembali pernafasannya.
“Bagaimana jika aku
mengantarkan kalian berdua pulang. Aku benar-benar merasa bersalah,” ucap Cindy
masih dengan nada cemasnya.
“Tidak perlu,” kami
berdua menjawab dengan bebarengan dengan suara yang masih tersisa di dalam
tenggorokan kami. Selama beberapa detik kami saling berpandangan satu sama lain
dan tawa kami mulai lepas lagi.
“Terima kasih tetapi kami
membawa kendaraan sendiri,” ucap Arvin. Dia melingkarkan tangan kanannya di
pundakku. “Lagipula aku masih ingin berdua dengannya,” ucapnya sambil menatapku
dengan genit. Pipiku mulai memanas. Aku membelalakkan mataku sebesar mungkin
dan memasang wajah serius untuk menatapnya.
“Apa kau bilang? Apa
maksudmu?” tanyaku dengan datar dan sarkastik.
“Tidak ada. Aku hanya bercanda,” balasnya
dengan cengiran bodohnya sambil mengangkat tangannya dari pundakku. “Lebih baik
kita pulang saja.”
“Sebaiknya aku
menyusul yang lain saja,” ucap Cindy dengan ragu lalu iapun memutuskan untuk
berjalan menjauh dari kami berdua.
Karena kesal, aku
memutuskan untuk tidak berkata apapun. Aku berjalan mendahului Arvin dan
mencoba untuk berbaur di dalam kerumunan tetapi aku tau bahwa Arvin menyusulku.
Aku tau apa yang aku lakukan ini cukup kekanak-kanakan, tetapi aku merasa bahwa
apa yang aku lakukan adalah benar karena saat Arvin mengucapkan hal itu, dia
membuatku terus membayangkan dan merasakan dekapannya yang aku alami beberapa
menit yang lalu jadi aku memutuskan untuk menghindarinya selama beberapa saat.
“Sebaiknya aku
menggandeng tanganmu. Aku takut...” ucapnya sambil menyeimbangkan langkahnya.
Dia mengulurkan tangannya untuk menggapai tanganku, tetapi aku malah menarik
tanganku jauh-jauh saat aku merasakan sentuhan jarinya.
“Tidak perlu.”
“Oke. Kurasa kau
benar. Sebaiknya kita pulang dari sini.”
“Lexa, siapa pria yang
menarikmu kemarin?” tanya Lisa dengan begitu menggebu-gebu. Tidak hanya dia
saja tetapi hampir teman-teman sekelasku yang melihat apa yang terjadi kemarin
sudah mengerumuniku di meja kantin terutama para wanita.
“Aku penasaran
dengan wajahnya.”
“Dia bagaikan
seorang pangeran. Keren sekali.”
“Apa benar dia
pacarmu?”
“Dia hanyalah
seorang teman,” jawabku dengan gugup.
“Tetapi jika dia
hanyalah seorang teman, mengapa pria itu menggunakan topi juga masker?
Jangan-jangan pria itu mengenal kami?” tanya Lisa dengan memberikan tatapan
curiga padaku. Caranya untuk menganalisa sungguh menakjubkan. Aku bahkan tidak
menduga hal itu darinya.
“Apa salahnya
seseorang mengenakan topi dan masker. Mungkin saja pria itu sedang sakit jadi
dia sengaja menggunakan masker,” Cindy mencoba untuk membantu
menyembunyikannya.
“Jangan-jangan. Apa
kau mengenalnya?” tanyanya pada Cindy sambil mengacungkan telunjuknya tepat di
depan wajah Cindy dengan tatapan penuh selidik.
“Aku?” tanya Cindy
balik sambil menunjuk dirinya sendiri karena terkejut. “Aku tidak mengenalnya,”
jawabnya dengan sedikit keraguan di dalamnya. “Aku benar-benar tidak
mengenalnya,” jawabnya sekali lagi untuk membuat Lisa percaya padanya.
“Benarkah? Matamu
menunjukkan bahwa kau sedang berbohong Cindy,” ucap Lisa sambil menekan setiap
kata-katanya. Tentu saja yang diucapkan Lisa memang benar. Cindy memang sangat
mudah ditebak jika dia sedang berbohong.
“Apa yang sedang
kalian bicarakan?” tanya seseorang yang berdiri tepat di luar kerumunan.
Perlahan orang-orang yang berkumpul di situ mulai melangkah pergi satu persatu
dan beralih pada meja yang lainnya. Hanya aku, Cindy dan Lisa saja yang tersisa
di tempat itu. “Sepertinya seru sekali,” ucap Vin lagi. “Bolehkah aku
mendengarkannya?” paparnya sambil tersenyum usil. Dia menatap Cindy dan Lisa
dari balik kacamatanya secara bergantian lalu tatapannya terpaku saat
menatapku. Dengan segera aku menolehkan wajahku karena setiap kali ia
menatapku, aku selalu saja merasakan ada seusatu yang ganjil. “Sebaiknya kalian
bertiga makan saja. Waktu istirahat kalian tinggal sebentar lagi. Aku tidak
ingin kalian merasa kelaparan saat kalian berada dalam pelajaranku,” sarannya
sambil melangkah pergi membawa nampannya dan berkumpul bersama guru-guru
lainnya.
Sejak dari tadi
Lisa yang berdiri di depanku akhirnya memutuskan juga untuk duduk di sebelahku.
Dari tatapan matanya, aku tau bahwa dia sedang mengamati Arvin dari belakang
sambil tersenyum senang. Cindy pun juga melihat tingkah Lisa yang seperti itu.
“Mengapa ada pria
yang setampan itu,” ucap Lisa sambil melamun. Dia menumpu dagunya dengan kedua
telapak tangannya yang bertumpu di atas meja kantin. “Aku berharap bahwa aku
bisa berpacaran dengannya,” ucapnya sambil mendesah panjang. “Sayangnya dia
menjadi seorang guru di tempat ini,” ucapnya lagi dengan nada lemah.
“Apa uniknya dia?
Kurasa dia hanya tampan saja,” timpal Cindy.
“Aku selalu
mengaguminya dan selalu mengikuti setiap beritanya. Kudengar dia baru saja
lulus dari sekolah musik terkenal yang ada di New York. Meskipun dia baru saja
lulus, bukan berarti dia tidak memiliki prestasi sama sekali. Aku selalu
mengikuti setiap konsernya,” ucapnya dengan bangga. Aku ingin menyelanya karena
semua cerita tentang Vin sudah pernah aku dengar sampai bosan tetapi aku sedang
tidak memiliki tenaga untuk melakukannya jadi aku hanya diam di kursiku sambil
memakan roti yang aku potong dengan tanganku menjadi bagian-bagian kecil. “Dia
terlihat begitu tampan dengan semangat yang hebat,” lanjutnya lagi sambil
mengatupkan kedua tangannya dan menunjukkan mata yang berbinar-binar.
“Kurasa dia juga
sudah memiliki pacar. Mana mungkin pria tampan seperti dia masih sendiri saja,”
papar Cindy sambil menatapku sedangkan aku hanya memberikan tatapan yang
mengancam pada Cindy.
“Sepertinya kau
benar.” Mungkin kalimat yang diucapkan Cindy itu cukup untuk menyadarkan Lisa
meskipun hal yang diucapkan itu belum terbukti.
Aku bisa mendengar
bahwa Lisa mendesah lagi dengan lemas. Sepertinya banyak murid-murid di sini
yang menyukai Arvin. Menurutku dia adalah pria yang biasa saja, padahal aku
tidak pandai menilai orang tetapi bagiku Arvin memang hanyalah seorang pria
biasa. Dia hanyalah seorang teman yang paling bisa kuandalkan selama ini. Itu
saja.
“Lexa, lihat! Dia tersenyum padaku!” jerit
Lisa dengan pelan sambil menggenggam tanganku lalu menggoyang-goyangkannya
dengan penuh semangat. Wajahnya terlihat sangat bahagia. Meskipun dia memintaku
untuk melihat Arvin, tetapi aku menolaknya dan memilih untuk tetap diam saja
tanpa melihat ke arahnya. Cindy yang melihat Lisa hanya terpaku saja sambil
melihat tingkahnya yang cukup aneh itu.
“Lexa, lihat! Ada
Kevin di sana!” kali ini Cindy yang menjerit kepadaku dengan pelan. Arah mataku
segera berlari mengikuti jari telunjuknya. Ternyata Kevin memang benar-benar
ada di sana. Dia sedang berjalan di koridor menuju kantin bersama
teman-temannya. Sesaat mata kami saling bertemu dan tanpa basa-basi lagi aku
melemparkan senyum pada Kevin lalu dia pun membalasnya. Kulihat dia berbicara
dengan temannya sejenak lalu dia mulai berlari kecil dan menghampiri mejaku.
“Hai!” sapa Kevin
pada kami bertiga. “Bolehkah aku duduk di sini?” tanyanya.
“Tentu saja,” ucap
Cindy sambil menarik lengan Lisa.
“Ada apa?” tanya
Lisa dengan polos. Sepertinya dia memang masih belum tau apapun antara aku
dengan Kevin.
“Apa kau tidak
ingin membeli makanan?” tawar Cindy sambil memberikan tatapan tajam padanya.
Sepertinya Cindy sedang memberikan isyarat pada Lisa untuk meninggalkan kami
berdua tetapi sepertinya Lisa memang tidak menangkapnya.
“Aku tidak lapar,”
balas Lisa dengan lugu.
“Temani aku saja,”
ucap Cindy lagi sambil menarik tangannya dengan paksa. Meskipun Lisa terus
mencoba untuk menolaknya, akhirnya dia mengikuti saja keinginan Cindy dengan
cemberut. Aku melihat Kevin yang menundukkan wajahnya sambil menggigit bibir
bawahnya. Dia terlihat seperti sedang menahan tawa.
“Apa ada yang lucu?” tanyaku sesaat setelah
Lisa dan Cindy meninggalkan kami berdua. Perlahan Kevin mengangkat wajahnya
sambil terus tersenyum padaku.
“Mereka berdua
terlihat sangat lucu. Itu saja,” ucapnya sambil sesekali tertawa.
“Sepertinya aku
baru pertama kali melihatmu tertawa seperti ini dari dekat,” godaku.
“Benarkah?” tanya
Kevin dengan ragu. “Bukankah kau sering memerhatikanku?” tanyanya lagi tanpa
rasa malu dan kali ini dia berhasil membuatku malu di hadapannya.
“A-apa?” tanyaku
dengan gugup. Aku mulai menggaruk-garuk kepalaku yang sama sekali tidak gatal
itu. “I-itu. Da-darimana kau tau?” jawabku dengan sedikit tergagap. Rasanya
leherku seperti tercekik. Aku kehabisan kata-kata untuk membalasnya. Padahal
aku tidak merencanakan bahwa hari ini Kevin akan menanyakan hal yang seperti
itu padaku dan mengungkapkan apa yang ia ketahui selama ini padaku.
“Tentu saja aku tau. Teman-temanku banyak yang
berkata bahwa kau menyukaiku tetapi sebenarnya aku sudah tau sejak awal,”
ungkapnya padaku. “Karena aku juga terus mengawasimu sejak awal,” ucapnya
sambil tersenyum padaku lagi.
Apa aku
tidak salah dengar? Kevin sudah mengawasiku sejak awal. Bodoh. Mengapa aku
tidak menyadarinya.
Aku mulai
menggoyangkan kakiku karena merasa tidak tenang. Irama jantungku mulai tak
karuan bahkan telingaku dapat mendengar irama detak jantungku sendiri. Mataku
mulai mencari Cindy kesana kemari tetapi aku sama sekali tidak menemukan
sosoknya begitu pula dengan Lisa.
“Ada apa denganmu?”
tanya Kevin sambil menunjukkan tatapan cemas.
“Tidak ada,”
jawabku sambil masih menggoyangkan kakiku. “Kau tau,” aku mulai menundukkan
kepalaku. Aku tidak berani melihat matanya jadi aku lebih memilih untuk
menunduk saja, “aku hanya merasa terkejut. Aku tidak tau bahwa kau akan
mengungkapkan hal ini.”
“Apakah kau tidak
menyukaiku?” tanya Kevin lagi.
“Bukan. Bukan
begitu,” ucapku sambil mengangkat kepalaku dan menggoyangkan tanganku ke kiri
dan kanan secara bergantian. Lagi-lagi aku kembali menunduk saat aku menatap
matanya dengan tak sengaja. Aku mengipas wajahku dengan kedua tanganku karena
wajahku terasa sangat panas sambil berpikir mengapa hal ini bisa terjadi.
“Apa kau kesal
padaku karena aku tidak bisa pergi denganmu?”
“Tidak. Aku tidak kesal sama sekali,” balasku
tidak ingin membuatnya kecewa. “Lagipula aku sudah pergi dengan Arvin,”
ungkapku lagi dengan pelan. Aku takut jika orang lain tau tentang hubunganku
dengan Arvin. “Tetapi kami tidak memiliki maksud apapun. Hanya karena aku sudah
berjanji padanya untuk menemaninya kemanapun ia pergi selama ia berada di
Jakarta,” sambungku tanpa ingin membuatnya curiga.
“Apa kau menyukai
Arvin?” tanyanya juga sambil setengah berbisik. Ia menatapku dengan nanar.
Sejak awal dia memang sudah tau bahwa aku mengenal Arvin jadi dia tidak terlalu
terkejut saat Arvin berada di sekolah ini. Sepertinya dia sangat berharap
padaku supaya aku mengatakan bahwa aku tidak menyukai Arvin dan memilih
dirinya.
“A-aku dengannya
hanya berteman saja. Teman kecil. Tidak lebih dari itu,” jawabku sambil
berterus terang padanya.
“Kalau begitu,
bagaimana jika aku menjadi pacarmu?” tanya Kevin secara tiba-tiba.
“Apa!?” teriakku
sehingga membuat hampir seisi kantin menoleh kepada kami berdua. Kulihat Kevin
yang menolehkan wajahnya ke kanan dan kiri dengan santai lalu ia kembali
tersenyum kepadaku lagi sedangkan aku hanya bisa menatapnya sambil sedikit
membelalakkan kedua mataku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?