Sabtu, 03 Januari 2015

String of Notes 7

cerpen, novel

“Apa Arvin pernah menceritakanmu bagaimana kehidupannya saat dia sedang berada di New York?”
Aku menggelengkan kepalaku dengan pelan sambil memanyunkan bibirku.
“Ada apa dengannya?”
“Selama aku berteman dengannya, aku belum pernah melihatnya berjalan dengan seorang wanita kecuali kau dan managernya.”
“Benarkah? Rasanya sulit untuk dipercaya. Sikapnya saja sudah seperti playboy,” ungkapku sambil menjelek-jelekkan Vin di hadapan temannya. Aku memang sengaja untuk mengambil kesempatan kecil ini dengan menyindirnya karena dia selalu menyindirku secara blak-blakan.
“Playboy?” sindir Joe sambil tertawa geli. “Darimana kau melihatnya sebagai seorang playboy?”
“Dia itu berbeda. Padahal, waktu pertama kali berkenalan dengannya, sikapnya benar-benar menyebalkan. Tetapi saat aku bertemu dengannya setelah tujuh tahun ini, sikapnya berubah.”
“Berubah?”
“Iya. Saat pertama kali bertemu, dia langsung memelukku begitu saja. Sikapnya benar-benar baik dan kekanak-kanakan. Dia juga sering menggangguku, seperti ingin mendapatkan perhatian dariku tetapi aku sering mengabaikannya dan aku lebih banyak berdebat dengannya. Meskipun begitu dia tetap saja menaruh perhatiannya padaku,” jelasku dengan detail. Aku tidak tau jika aku sedang memujinya atau tidak.
“Apa benar yang kau ceritakan itu Arvin? Sepertinya Arvin temanku bukanlah seorang pria yang seperti itu.”
“Apa maksudmu?”
“Arvin bukanlah seorang pria yang mudah tersenyum atau sering menggoda. Sikapnya sedikit angkuh dan pendiam. Dia hanya berbicara jika memang ingin berbicara. Dia hanya tersenyum di saat-saat tertentu saja. Dan jika aku memperhatikan dirinya lebih lagi, teman yang paling dekat yang pernah ia miliki di New York bisa kuhitung dengan jari tanganku, termasuk aku,” ungkapnya dengan penuh semangat. “Aneh. Selain itu, apalagi yang pernah ia ceritakan padamu?”
“Kurasa tidak ada sama sekali. Yang kutau hanyalah universitas mana yang ia ambil lalu dimana saja konsernya berlangsung. Itupun aku juga lebih banyak mengetahuinya dari temanku. Jika tidak, aku benar-benar tidak tau siapa Arvin yang sekarang.”
“Sebenarnya, saat aku bertemu denganmu pertama kali, aku benar-benar merasa familiar dengan wajahmu.”
“Wajahku?” tanyaku dengan cukup terkejut sambil menunjuk wajahku sendiri. Aku melihatnya yang menggangguk pelan sambil tersenyum lagi.
“Aku pernah melihatmu. Kurasa Arvin menyimpannya di sebuah album foto.”
“Album foto? Sepertinya foto yang kau lihat bukanlah aku. Mungkin saja wanita itu mirip denganku.”
“Mana mungkin,” ucapnya sambil tertawa pelan. “Bukankah aku sudah bilang bahwa Arvin tidak dengan wanita manapun di New York selain managernya itu dan kau. Apa kau pernah ke New York?”
“Aku belum pernah pergi ke New York,” jawabku dengan jujur tetapi itu bukanlah suatu hal yang menyedihkan bagiku.
“Aku pikir aku pernah melihatmu di sana tapi kurasa memang tidak dan... kurasa foto-foto itu memang kau.” Foto? Awalnya aku berpikir bahwa foto yang Arvin miliki hanyalah satu saja tetapi sepertinya dia menyimpan banyak foto tentang diriku. “Arvin banyak sekali mengambil foto tentang dirimu apalagi saat kau sedang memakai seragam sekolah.”
“Kurasa itu tidak benar. Arvin tidak pernah pulang sebelumnya.” Aku mengernyitkan dahiku sambil memberikan tatapan tak percaya padanya. Apakah dia sedang berbohong padaku dengan mengatakan bahwa dia mengenal Arvin. Tetapi sepertinya tidak. Sejauh ini dia mengatakannya dengan penuh kejujuran dan sepertinya dia memang tidak berbohong padaku.
“Tidak mungkin. Selama tiga tahun terakhir musim panas ini, dia selalu kembali ke Indonesia. Aku tahu karena aku selalu menemaninya pulang. Begitu pula dengan bulan ini. Di New York, musim panas hanya terjadi pada bulan Juni sampai Agustus dan biasanya Arvin akan kembali ke New York saat Agustus nanti,” ucapnya sambil menerawang.
“Mengapa dia selalu kembali saat Agustus?” tanyaku sambil menatapnya dengan penuh tanda tanya. Kulihat mulut Jonathan yang terbuka tetapi ia menutup kembali seakan sedang berpikir kembali untuk memberikan jawabannya padaku atau tidak.
“Maaf, aku tidak bisa mengatakannya padamu,” ucapnya dengan tersenyum canggung.
“Ada apa?”
Pria itu melihat jam tangannya cepat-cepat. “Ternyata aku sudah harus pergi,” ucapnya dengan tak mengacuhkan pertanyaanku. Dia membayar gantungan piano kecil itu dengan sedikit tergesa. “Jika kau memang penasaran, sebaiknya kau bertanya saja dengannya langsung,” ucap Jo lalu meninggalkanku begitu saja dengan rasa penasaran yang terpendam.
Sesaat aku memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu lagi. Aku mengamati gantungan yang ada di dalam plastik itu sambil tersenyum sampai aku tidak sadar bahwa terdapat seseorang yang sedang berdiri di belakangku dan dengan iseng dia menutup mataku dengan kedua tanganya. Aku tidak tau siapa itu tetapi kemungkinan besarnya adalah...
“Arvin, apa yang sedang kau lakukan?” ucapku pada seseorang yang berdiri di belakangku.
“Arvin?” ucap sebuah suara yang begitu familiar di telingaku. Dia menarik tangannya kembali lalu menarik bahuku sehingga aku harus memutar tubuhku. “Apa kau sedang bersama dengan Arvin? Sepertinya pria yang kulihat baru saja bukanlah Arvin,” tanya Cindy dengan wajah penuh tanda tanya. “Bukankah kau berjanji bahwa hari ini kau akan pergi dengan Kevin?” tanyanya lagi dengan penasaran.
“Itu... Kevin membatalkannya,” jawabku sambil mengerutkan keningku dengan sedikit cemas. “Sebelumnya Arvin juga mengajakku untuk pergi. Jadi aku memutuskan untuk pergi dengannya setelah Kevin memberitahu bahwa dia tidak bisa datang hari ini. Lalu pria yang baru saja kau lihat itu adalah teman Arvin.”
“Lalu, dimana Arvin? Mengapa aku tidak melihatnya,” ucapnya sambil menolehkan wajahnya mencari kesana kemari.
“Dia sedang ada urusan sebentar. Sebentar lagi dia akan kembali,” ucapku sambil tersenyum bodoh. “Kau datang bersama siapa?” tanyaku kepadanya sekaligus untuk mencairkan suasana.
“Bersama teman-teman kelas,” jawabnya yang membuatku menjadi sangat terkejut.
“Apa?” tanyaku sehingga membuatku semakin bertambah panik
“Sepertinya priamu itu masih belum terlihat juga. Sebaiknya kau ikut bersama dengan kami saja,” tawarnya.
“Tidak. Aku akan menunggunya di sini saja,” tolakku mentah-mentah. Sebenarnya aku ingin bersama dengan mereka tetapi aku merasa kasihan dengan Arvin jika aku meninggalkannya begitu saja. Lagipula, mengapa dia harus menjadi guru di sekolahku. Benar-benar membuatku merasa tidak nyaman setiap kali aku berada di dekatnya. Selain itu, jika aku ikut bersama dengan Cindy maka ia akan menahanku sampai larut malam. Aku benar-benar tidak suka jika aku pulang malam jadi aku memutuskan untuk menolaknya saja.
“Tidak apa. Sebaiknya kau ikut saja bersama kami,” ucapnya sambil menarik tanganku tanpa menerima izin dariku sebelumnya. Cindy memang selalu seperti ini. Dia memang suka memaksa orang untuk mengikuti apa yang ia mau jadi malam ini aku memang benar-benar mengalami kesialan besar jika aku bertemu dengannya apalagi dalam keadaan yang seperti ini.
“Cindy, aku tidak ingin membuat Arvin khawatir. Aku sudah berjanji untuk menunggunya di sini,” bantahku sambil sedikit berbohong padanya.
“Tenang saja. Arvin pasti mengizinkanmu untuk bergabung dengan yang lainnya. Kau juga boleh mengajaknya bergabung bersama dengan kami. Aku tidak akan mengatakan pada siapapun bahwa kau sedang pergi bersama dengannya,” balas Cindy yang benar-benar membuatku terdiam dalam sekejap di balik punggungnya. Mau tak mau aku mengikutinya untuk bertemu dengan yang lainnya. Rasanya tidak mungkin aku mengundang Arvin untuk ikut bersama dengan kami.
“Lexa, ternyata kau di sini juga,” ucap Lisa, salah seorang teman sekelasku.
“Dengan siapa kau datang?” kali ini David yang bertanya. David, pria jahil yang ada di kelasku dan yang selalu membenci Samantha.
“A-aku datang bersama dengan teman,” ucapku dengan sedikit ragu.
“Siapa?” tanyanya sekali lagi dengan cukup penasaran. Dia mengambil sedikit permen kapas yang berwarna putih yang sedang ia genggam itu lalu memasukkannya ke dalam mulutnya.
“Cindy datang bersama dengan kami jadi tentu saja bukan dia orangnya,” balas salah satu temanku yang lainnya. “Jadi dengan siapa kau datang Lex?”
“Dia sedang ada urusan dan sebentar lagi dia akan kembali.” Aku merasa tidak enak hati karena sudah berbohong padanya. Tidak sepenuhnya berbohong.
“Sebaiknya kalian bersenang-senang saja sendiri,” ucap Cindy sambil membantuku. Tetapi sayangnya apa yang ia lakukan itu tidak berhasil. Mereka malah menjadi semakin penasaran.
“Apa kau pergi dengan pacarmu?”
“Aku ingin melihat bagaimana wajahnya.”
“Apakah dia tampan?”
“Ajak dia kemari. Aku ingin melihatnya.”
Teman-temanku semakin gencar untuk bertanya padaku sedangkan aku hanya terdiam di  tempat saja sambil memberikan senyuman tulus pada mereka semua sebagai penolakan halusku untuk menjawab semua pertanyaan yang mereka ajukan padaku. Aku takut jika saja tiba-tiba mereka melihat Arvin lalu mereka menghampirinya sehingga mereka berasumsi yang tidak-tidak mengenaiku dengan Arvin. Apa yang harus kukatakan lagi. Aku benar-benar berharap bahwa aku bisa menghilang dalam sekejap dalam keadaan yag seperti ini.
Arvin, tolong aku, jeritku dalam hati sambil mencoba untuk memejamkan mataku.  Di saat yang bersamaan, aku merasakan bahwa tanganku sedang ditarik oleh seseorang dan kakikupun langsung mengikuti langkahnya tanpa banyak menolak. Awalnya aku berpikir bahwa Cindy yang menarik tanganku jadi aku diam saja tetapi kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh teman-temanku menandakan bahwa terdapat seseorang yang tidak mereka kenal sedang menarikku menjauh dari mereka. Aku juga mendengar Cindy yang terus menerus menenangkan teman-temanku dan berusaha untuk meyakinkah mereka bahwa aku baik-baik saja  sampai akhirnya suara miliknya terdengar semakin menjauh. Aku memutuskan untuk membuka mataku saat itu juga sambil menoleh ke belakang dan memang benar Cindy sedang mencoba untuk mencegah mereka supaya mereka tidak mengejarku. Lalu aku menolehkan wajahku ke depan dan medapati sesosok pria yang masih menggenggam tanganku sambil menarikku semakin menjauh dari teman-temanku dan mencoba untuk membaur di dalam kerumunan. Dari belakang aku memang mengenalinya. Sudah pasti pria ini adalah Arvin tetapi sepertinya ada yang berbeda dengan penampilannya.
Ternyata memang benar ada yang berbeda dengannya. Usahanya untuk menyamar memang berhasil tetapi darimana dia mendapatkan topi hitam dan masker putih itu. Aku berdecak sambil tertawa geli. Dia memang terlihat konyol saat ini.
“Kau bisa melepas tanganku sekarang, Vin,” perintahku padanya. Pria itupun menghentikan langkahnya lalu membalikkan tubuhnya dengan perlahan dan menuruti apa yang kuinginkan. Aku menunggunya sampai dia membuka maskernya sendiri tetapi dia hanya diam berdiri sambil menatapku. Gemas aku melihatnya sampai-sampai aku sendiri yang memutuskan untuk membuka masker yang  ia kenakan. “Ternyata memang kau,” ucapku sambil tersenyum senang. “Darimana kau mendapat masker ini,” tambahku lagi sambil memperhatikan masker yang ada di tanganku.
“Kau sudah membuatku panik,” ucapnya sambil menaruh kedua tangannya di sisi pinggang. Dia menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya lagi dan ia melakukan itu selama beberapa kali. Aku yang melihatnya bertingkah seperti itu hanya bisa tersenyum saja sambil mengatakan maaf padanya karena aku telah membuatnya susah.
Pikiranku teralih saat namaku terus saja disebut dan suaranya terdengar sangat samar-samar. Bukan hanya satu saja, tetapi aku mendengar beberapa jumlah orang yang memanggil namaku. Aku membalikkan tubuhku sambil mencari-cari darimana arah suara itu tetapi karena aku tidak bisa melihatnya karena terlalu banyak orang yang berada di sekitar kami, aku memutuskan untuk membiarkannya saja. Aku melihat mata Arvin yang siaga dan dari sinar matanya, dia sedang mencemaskan sesuatu. Atau sekelompok orang.
“Celaka,” ucapnya sambil menggenggam tanganku lalu membalikkan tubuhnya dan mulai berlari dengan spontan. Aku mulai memekik pelan karena aku berada dalam keadaan yang tidak siap untuk berlari  lagi tetapi aku mencoba untuk tetap mengimbangi langkahnya. “Aku tidak tau ternyata aku bakal mengalami situasi dimana murid-muridku akan mengejarku,” ucapnya lagi sambil terus berlari tanpa menoleh kembali ke belakang. Aku juga sempat terkejut bahwa Arvin masih saja bisa bercanda dalam keadaan yang seperti ini. “Sekarang aku sudah tau bagaimana rasanya menjadi seorang penculik.”
Kami mencoba berlari melewati kerumunan yang tak ada habis-habisnya dan tak henti-hentinya juga kami mencari celah di antara setiap orang supaya kami bisa berlari sejauh mungkin dari mereka tetapi tidaklah semudah itu. Dari balik punggungnya, aku melihat Vin yang terus berusaha keras untuk tidak bertabrakan bahu dengan seseorang. Tidak hanya itu saja. Suara mereka semakin mendekat dan jika kami tidak bisa melakukannya lebih cepat lagi maka kita akan tertangkap. Aku bahkan tidak tau apa yang akan terjadi jika kami memang benar-benar akan tertangkap.
Tiba-tiba saja Arvin berbelok, membuatku sempat menabrak sekelompok anak remaja, masuk ke dalam celah sempit di antara kedua stand dengan cepat, menghindar dari dalam kerumunan dan berusaha bersembunyi sebaik mungkin. Untungnya kedua stand ini lebar dan tinggi jadi tubuh kami dapat tersembunyi dengan baik. Tetapi karena celah ini terlalu kecil untuk kami berdua, dengan terpaksa aku harus berhimpitan dengan Vin selama beberapa saat. Vin tak melepas pandangannya dari dalam kerumunan. Dia selalu waspada, tidak sepertiku yang malah mengambil kesempatan untuk memandang wajahnya. Dadanya naik turun dengan cepat, sama sepertiku. Kami berdua memang kehabisan nafas dan aku bahkan tidak tau sudah berapa jauh kami berlari. Aku mendengar namaku yang disebut semakin keras saja dan aku tau sebentar lagi teman-temanku akan melewati tempat ini.
Arvin segera mendekapku, menempelkan kepalaku di dadanya sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia berusaha menutupi celah itu dengan punggungnya supaya kami berdua tidak terlihat. Dia berusaha menyembunyikan kami berdua sebaik mungkin saat mereka lewat. Selama beberapa menit, kami terus berada dalam keadaan yang seperti ini sampai akhirnya langkah kaki merekapun menjauh. Aku mencoba untuk mencari udara dan bernafas tetapi kenyataanya tidaklah semudah itu. Dari tengkuk leherku, aku bisa merasakan nafas Arvin yang panas, membuat bulu kudukku berdiri semua. Aku benar-benar tidak bisa mendengar apapun di luar sana karena saat ini aku hanya bisa mendengarkan jantung Arvin yang berdetak dengan cepat. Rasanya aku ingin kabur dari situasi yang seperti ini tetapi aku hanya bisa diam saja. Aku tidak bisa menerjang tembok yang berada di belakangku dengan mudah dan aku juga tidak mungkin mendorong Arvin kembali masuk ke dalam kerumunan, jadi aku memilih untuk diam saja. Sejenak aku bisa merasakan tangan Arvin yang mulai merenggangkan dekapannya dari pundakku karena dia tau bahwa murid-muridnya itu sudah berlari melewati kami berdua. Dia meletakkan kedua telapak tangannya di dinding belakangku, sejajar dengan kepalaku. Aku melihatnya yang masih menunduk sambil terus mengatur nafasnya. Tidak sepertiku, dia seakan-akan terlihat ingin pingsan. Walaupun samar-samar, aku bisa melihat bahwa bibirnya pucat dan wajahnya sangat berkeringat. Sesekali dahinya mengernyit seakan-akan menahan sakit dan hal ini berlangsung cukup lama. Tetapi dia mencoba untuk tertawa di hadapanku. Pikiranku mulai berputar dengan cepat. Aku menggigit bibir bawahku sambil bergidik ngeri menatapnya. Aku takut jika dia melakukan sesuatu padaku karena aku tidak suka tingkah lakunya yang sekarang ini. “Ada apa denganmu?” tanyaku sambil mencoba untuk menenangkan hatiku.
“Lain kali aku akan berpikir dua kali lagi untuk mengajakmu pergi,” candanya sambil menatapku. Mau tak mau aku mulai ikut tertawa, melakukan hal bodoh itu bersamanya. “Atau mungkin tidak ada lain kali,” lanjutnya lagi sambil melepaskan kedua tangannya dari dinding dan iapun segera memilih untuk keluar dari celah sempit ini, begitu pula denganku.
Aku menarik nafas dalam-dalam karena aku sudah mendapatkan udara malam yang beitu segar ini sebelum akhirnya seseorang memanggilku dari balik punggungku. Aku berbalik, begitu pula dengan Arvin dan aku mendesah lega saat aku menemukan Cindy dan hanya dia seorang yang sedang berdiri menatap kami berdua dengan cukup cemas. “Apa kalian baik-baik saja?” tanyanya sambil berjalan mendekati kam berdua.
“Apakah kami terlihat baik-baik saja?” tanyaku sambil mencoba untuk tidak tertawa masam.
“Maaf,” pintanya sambil mengatupkan kedua telapak tangannya, “ aku tidak bisa menahan mereka terlalu lama.”
“Tidak apa-apa. Pasti susah karena kau hanya seorang diri saja,” kali ini Arvin yang membalasnya. Kurasa dia juga sudah bisa mengatur kembali pernafasannya.
“Bagaimana jika aku mengantarkan kalian berdua pulang. Aku benar-benar merasa bersalah,” ucap Cindy masih dengan nada cemasnya.
“Tidak perlu,” kami berdua menjawab dengan bebarengan dengan suara yang masih tersisa di dalam tenggorokan kami. Selama beberapa detik kami saling berpandangan satu sama lain dan tawa kami mulai lepas lagi.
“Terima kasih tetapi kami membawa kendaraan sendiri,” ucap Arvin. Dia melingkarkan tangan kanannya di pundakku. “Lagipula aku masih ingin berdua dengannya,” ucapnya sambil menatapku dengan genit. Pipiku mulai memanas. Aku membelalakkan mataku sebesar mungkin dan memasang wajah serius untuk menatapnya.
“Apa kau bilang? Apa maksudmu?” tanyaku dengan datar dan sarkastik.
 “Tidak ada. Aku hanya bercanda,” balasnya dengan cengiran bodohnya sambil mengangkat tangannya dari pundakku. “Lebih baik kita pulang saja.”
“Sebaiknya aku menyusul yang lain saja,” ucap Cindy dengan ragu lalu iapun memutuskan untuk berjalan menjauh dari kami berdua.
Karena kesal, aku memutuskan untuk tidak berkata apapun. Aku berjalan mendahului Arvin dan mencoba untuk berbaur di dalam kerumunan tetapi aku tau bahwa Arvin menyusulku. Aku tau apa yang aku lakukan ini cukup kekanak-kanakan, tetapi aku merasa bahwa apa yang aku lakukan adalah benar karena saat Arvin mengucapkan hal itu, dia membuatku terus membayangkan dan merasakan dekapannya yang aku alami beberapa menit yang lalu jadi aku memutuskan untuk menghindarinya selama beberapa saat.
“Sebaiknya aku menggandeng tanganmu. Aku takut...” ucapnya sambil menyeimbangkan langkahnya. Dia mengulurkan tangannya untuk menggapai tanganku, tetapi aku malah menarik tanganku jauh-jauh saat aku merasakan sentuhan jarinya.
“Tidak perlu.”
“Oke. Kurasa kau benar. Sebaiknya kita pulang dari sini.”

“Lexa, siapa pria yang menarikmu kemarin?” tanya Lisa dengan begitu menggebu-gebu. Tidak hanya dia saja tetapi hampir teman-teman sekelasku yang melihat apa yang terjadi kemarin sudah mengerumuniku di meja kantin terutama para wanita.
“Aku penasaran dengan wajahnya.”
“Dia bagaikan seorang pangeran. Keren sekali.”
“Apa benar dia pacarmu?”
“Dia hanyalah seorang teman,” jawabku dengan gugup.
“Tetapi jika dia hanyalah seorang teman, mengapa pria itu menggunakan topi juga masker? Jangan-jangan pria itu mengenal kami?” tanya Lisa dengan memberikan tatapan curiga padaku. Caranya untuk menganalisa sungguh menakjubkan. Aku bahkan tidak menduga hal itu darinya.
“Apa salahnya seseorang mengenakan topi dan masker. Mungkin saja pria itu sedang sakit jadi dia sengaja menggunakan masker,” Cindy mencoba untuk membantu menyembunyikannya.
“Jangan-jangan. Apa kau mengenalnya?” tanyanya pada Cindy sambil mengacungkan telunjuknya tepat di depan wajah Cindy dengan tatapan penuh selidik.
“Aku?” tanya Cindy balik sambil menunjuk dirinya sendiri karena terkejut. “Aku tidak mengenalnya,” jawabnya dengan sedikit keraguan di dalamnya. “Aku benar-benar tidak mengenalnya,” jawabnya sekali lagi untuk membuat Lisa percaya padanya.
“Benarkah? Matamu menunjukkan bahwa kau sedang berbohong Cindy,” ucap Lisa sambil menekan setiap kata-katanya. Tentu saja yang diucapkan Lisa memang benar. Cindy memang sangat mudah ditebak jika dia sedang berbohong.
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” tanya seseorang yang berdiri tepat di luar kerumunan. Perlahan orang-orang yang berkumpul di situ mulai melangkah pergi satu persatu dan beralih pada meja yang lainnya. Hanya aku, Cindy dan Lisa saja yang tersisa di tempat itu. “Sepertinya seru sekali,” ucap Vin lagi. “Bolehkah aku mendengarkannya?” paparnya sambil tersenyum usil. Dia menatap Cindy dan Lisa dari balik kacamatanya secara bergantian lalu tatapannya terpaku saat menatapku. Dengan segera aku menolehkan wajahku karena setiap kali ia menatapku, aku selalu saja merasakan ada seusatu yang ganjil. “Sebaiknya kalian bertiga makan saja. Waktu istirahat kalian tinggal sebentar lagi. Aku tidak ingin kalian merasa kelaparan saat kalian berada dalam pelajaranku,” sarannya sambil melangkah pergi membawa nampannya dan berkumpul bersama guru-guru lainnya.
Sejak dari tadi Lisa yang berdiri di depanku akhirnya memutuskan juga untuk duduk di sebelahku. Dari tatapan matanya, aku tau bahwa dia sedang mengamati Arvin dari belakang sambil tersenyum senang. Cindy pun juga melihat tingkah Lisa yang seperti itu.
“Mengapa ada pria yang setampan itu,” ucap Lisa sambil melamun. Dia menumpu dagunya dengan kedua telapak tangannya yang bertumpu di atas meja kantin. “Aku berharap bahwa aku bisa berpacaran dengannya,” ucapnya sambil mendesah panjang. “Sayangnya dia menjadi seorang guru di tempat ini,” ucapnya lagi dengan nada lemah.
“Apa uniknya dia? Kurasa dia hanya tampan saja,” timpal Cindy.
“Aku selalu mengaguminya dan selalu mengikuti setiap beritanya. Kudengar dia baru saja lulus dari sekolah musik terkenal yang ada di New York. Meskipun dia baru saja lulus, bukan berarti dia tidak memiliki prestasi sama sekali. Aku selalu mengikuti setiap konsernya,” ucapnya dengan bangga. Aku ingin menyelanya karena semua cerita tentang Vin sudah pernah aku dengar sampai bosan tetapi aku sedang tidak memiliki tenaga untuk melakukannya jadi aku hanya diam di kursiku sambil memakan roti yang aku potong dengan tanganku menjadi bagian-bagian kecil. “Dia terlihat begitu tampan dengan semangat yang hebat,” lanjutnya lagi sambil mengatupkan kedua tangannya dan menunjukkan mata yang berbinar-binar.
“Kurasa dia juga sudah memiliki pacar. Mana mungkin pria tampan seperti dia masih sendiri saja,” papar Cindy sambil menatapku sedangkan aku hanya memberikan tatapan yang mengancam pada Cindy.
“Sepertinya kau benar.” Mungkin kalimat yang diucapkan Cindy itu cukup untuk menyadarkan Lisa meskipun hal yang diucapkan itu belum terbukti.
Aku bisa mendengar bahwa Lisa mendesah lagi dengan lemas. Sepertinya banyak murid-murid di sini yang menyukai Arvin. Menurutku dia adalah pria yang biasa saja, padahal aku tidak pandai menilai orang tetapi bagiku Arvin memang hanyalah seorang pria biasa. Dia hanyalah seorang teman yang paling bisa kuandalkan selama ini. Itu saja.
 “Lexa, lihat! Dia tersenyum padaku!” jerit Lisa dengan pelan sambil menggenggam tanganku lalu menggoyang-goyangkannya dengan penuh semangat. Wajahnya terlihat sangat bahagia. Meskipun dia memintaku untuk melihat Arvin, tetapi aku menolaknya dan memilih untuk tetap diam saja tanpa melihat ke arahnya. Cindy yang melihat Lisa hanya terpaku saja sambil melihat tingkahnya yang cukup aneh itu.
“Lexa, lihat! Ada Kevin di sana!” kali ini Cindy yang menjerit kepadaku dengan pelan. Arah mataku segera berlari mengikuti jari telunjuknya. Ternyata Kevin memang benar-benar ada di sana. Dia sedang berjalan di koridor menuju kantin bersama teman-temannya. Sesaat mata kami saling bertemu dan tanpa basa-basi lagi aku melemparkan senyum pada Kevin lalu dia pun membalasnya. Kulihat dia berbicara dengan temannya sejenak lalu dia mulai berlari kecil dan menghampiri mejaku.
“Hai!” sapa Kevin pada kami bertiga. “Bolehkah aku duduk di sini?” tanyanya.
“Tentu saja,” ucap Cindy sambil menarik lengan Lisa.
“Ada apa?” tanya Lisa dengan polos. Sepertinya dia memang masih belum tau apapun antara aku dengan Kevin.
“Apa kau tidak ingin membeli makanan?” tawar Cindy sambil memberikan tatapan tajam padanya. Sepertinya Cindy sedang memberikan isyarat pada Lisa untuk meninggalkan kami berdua tetapi sepertinya Lisa memang tidak menangkapnya.
“Aku tidak lapar,” balas Lisa dengan lugu.
“Temani aku saja,” ucap Cindy lagi sambil menarik tangannya dengan paksa. Meskipun Lisa terus mencoba untuk menolaknya, akhirnya dia mengikuti saja keinginan Cindy dengan cemberut. Aku melihat Kevin yang menundukkan wajahnya sambil menggigit bibir bawahnya. Dia terlihat seperti sedang menahan tawa.
 “Apa ada yang lucu?” tanyaku sesaat setelah Lisa dan Cindy meninggalkan kami berdua. Perlahan Kevin mengangkat wajahnya sambil terus tersenyum padaku.
“Mereka berdua terlihat sangat lucu. Itu saja,” ucapnya sambil sesekali tertawa.
“Sepertinya aku baru pertama kali melihatmu tertawa seperti ini dari dekat,” godaku.
“Benarkah?” tanya Kevin dengan ragu. “Bukankah kau sering memerhatikanku?” tanyanya lagi tanpa rasa malu dan kali ini dia berhasil membuatku malu di hadapannya.
“A-apa?” tanyaku dengan gugup. Aku mulai menggaruk-garuk kepalaku yang sama sekali tidak gatal itu. “I-itu. Da-darimana kau tau?” jawabku dengan sedikit tergagap. Rasanya leherku seperti tercekik. Aku kehabisan kata-kata untuk membalasnya. Padahal aku tidak merencanakan bahwa hari ini Kevin akan menanyakan hal yang seperti itu padaku dan mengungkapkan apa yang ia ketahui selama ini padaku.
 “Tentu saja aku tau. Teman-temanku banyak yang berkata bahwa kau menyukaiku tetapi sebenarnya aku sudah tau sejak awal,” ungkapnya padaku. “Karena aku juga terus mengawasimu sejak awal,” ucapnya sambil tersenyum padaku lagi.
Apa aku tidak salah dengar? Kevin sudah mengawasiku sejak awal. Bodoh. Mengapa aku tidak menyadarinya.
Aku mulai menggoyangkan kakiku karena merasa tidak tenang. Irama jantungku mulai tak karuan bahkan telingaku dapat mendengar irama detak jantungku sendiri. Mataku mulai mencari Cindy kesana kemari tetapi aku sama sekali tidak menemukan sosoknya begitu pula dengan Lisa.
“Ada apa denganmu?” tanya Kevin sambil menunjukkan tatapan cemas.
“Tidak ada,” jawabku sambil masih menggoyangkan kakiku. “Kau tau,” aku mulai menundukkan kepalaku. Aku tidak berani melihat matanya jadi aku lebih memilih untuk menunduk saja, “aku hanya merasa terkejut. Aku tidak tau bahwa kau akan mengungkapkan hal ini.”
“Apakah kau tidak menyukaiku?” tanya Kevin lagi.
“Bukan. Bukan begitu,” ucapku sambil mengangkat kepalaku dan menggoyangkan tanganku ke kiri dan kanan secara bergantian. Lagi-lagi aku kembali menunduk saat aku menatap matanya dengan tak sengaja. Aku mengipas wajahku dengan kedua tanganku karena wajahku terasa sangat panas sambil berpikir mengapa hal ini bisa terjadi.
“Apa kau kesal padaku karena aku tidak bisa pergi denganmu?”
 “Tidak. Aku tidak kesal sama sekali,” balasku tidak ingin membuatnya kecewa. “Lagipula aku sudah pergi dengan Arvin,” ungkapku lagi dengan pelan. Aku takut jika orang lain tau tentang hubunganku dengan Arvin. “Tetapi kami tidak memiliki maksud apapun. Hanya karena aku sudah berjanji padanya untuk menemaninya kemanapun ia pergi selama ia berada di Jakarta,” sambungku tanpa ingin membuatnya curiga.
“Apa kau menyukai Arvin?” tanyanya juga sambil setengah berbisik. Ia menatapku dengan nanar. Sejak awal dia memang sudah tau bahwa aku mengenal Arvin jadi dia tidak terlalu terkejut saat Arvin berada di sekolah ini. Sepertinya dia sangat berharap padaku supaya aku mengatakan bahwa aku tidak menyukai Arvin dan memilih dirinya.
“A-aku dengannya hanya berteman saja. Teman kecil. Tidak lebih dari itu,” jawabku sambil berterus terang padanya.
“Kalau begitu, bagaimana jika aku menjadi pacarmu?” tanya Kevin secara tiba-tiba.
“Apa!?” teriakku sehingga membuat hampir seisi kantin menoleh kepada kami berdua. Kulihat Kevin yang menolehkan wajahnya ke kanan dan kiri dengan santai lalu ia kembali tersenyum kepadaku lagi sedangkan aku hanya bisa menatapnya sambil sedikit membelalakkan kedua mataku.

“Apa kau akan menolaknya?” tanya Kevin lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?