Sabtu, 27 Desember 2014

String of Notes 6

cerpen, novel

“Apa?”
“Mengapa kau berubah?”
“Apa maksudmu?” tanyanya sambil mengernyitkan dahinya.
“Maksudku, saat aku bertemu denganmu, sepertinya kau bukanlah Arvin yang dulu. Kau sekarang terlihat lebih bersemangat,” ungkapku dengan jujur.
“Benarkah? Memangnya dulu aku seperti apa?” tanyanya. Ia menumpu salah siku tangannya di atas meja sambil memegang sendok yang penuh dengan nasi.
“Kau jauh lebih pendiam daripada sekarang. Kau pernah mengatakan bahwa kau tidak menyukaiku jika aku berbicara denganmu, menggenggam tanganku atau mengikutimu kemanapun kau pergi,” ucapku dengan sedikit gugup, takut jika saja tiba-tiba dia marah padaku.
“Aku bahkan tidak sadar jika aku seperti itu dulu.” Kutatap wajahnya yang sedang menerawang jauh kembali ke masa lalunya. Kata-katanya bagai lelucon di telingaku. Apa benar dia lupa bagaimana dia yang sebenarnya atu dia hanya menyembunyikannya saja. “Kalau begitu, maafkan aku,” pintanya. “Pantas saja kau sering menangis waktu itu.”
“Mengapa kau memutuskan untuk berubah?” tanyaku dengan penasaran.
“Karena aku ingin membalas apa yang telah kau lakukan padaku,” ucapnya membuatku sedikit terkejut. “Pasti rasanya tidaklah menyenagkan karena selama empat tahun aku terus menerus menghindarimu.”
“Tidak. Kau salah. Aku bahkan tidak merasakan apapun. Mungkin karena kau adalah orang pertama yang kusukai.”
“Kau menyukaiku?” Dia terkejut sambil menatapku dengan tidak percaya.
“Suka. Maksudku sebagai teman,” ucapku sambil menyembunyikan rasa maluku. “Dan juga sebagai saudara. Jadi aku mencoba untuk selalu berada di dekatmu meskipun kau menghindariku.”
“Saudara?”
“Iya. Saudara. Begitu pula dengan sekarang. Aku masih menganggapmu seperti saudaraku sendiri,” ungkapku lebih lagi. Aku memang butuh mengatakan yang sebenarnya bagaimana cara pandangku terhadap dirinya supaya tidak terjadi kesalah pahaman lebih lanjut.
“Kau... benar juga,” ucapnya sambil memandang mataku dan tersenyum lemah. “Saudara. Kurasa aku sanggup menjadi saudaramu.”
“Apa kau yakin?” tanyaku. “Sejak kecil aku memang menginginkan seorang saudara,” ucapku dengan senang. “Hei, apa kau tidak memiliki alasan lain lagi mengapa kau berubah?”
“Hmm.. Aku memang memiliki alasan lain tetapi itu rahasia,” ucapnya sambil tersenyum misterius. Aku hanya bisa tertawa geli mendengar kata-katanya. Ada-ada saja.
“Tentang saudara. Vin, apa kau menjadi saudaraku selamanya?”
“Selamanya?” tanyanya dengan wajah yang cukup terkejut.
“Tentu saja,” ucapku dengan penuh kepastian. “Jika kau menerimanya, kurasa aku akan merasa sangat senang.”
“Kita lihat saja nanti.”

“Baju apa yang harus kupakai malam ini,” ucapku sambil memilah-milah semua baju yang tergantung di dalam lemariku. “Bagaimana dengan yang ini?” aku mengambil baju berwarna biru muda yang berlengan panjang dan yang terbuat dari wol tipis. Banyak anak muda yang menyebutnya sebagai knitted shirt. 
Aku berdiri di depan kacaku sambil menempelkan baju itu di tubuhku dan menimbang-nimbang dengan begitu lama. “Yang ini saja,” ucapku tanpa banyak berpikir lagi. Sudah dari setengah jam yang lalu aku terus mencari baju yang mana yang harus kupakai dan aku sudah cukup bosan memilah setiap bajuku.
Tak lama kemudian aku mengganti bajuku dan juga mengenakan jeans. Rambutku memang sengaja aku ikat supaya terlihat lebih rapi tanpa mengubah bentuk poni rambutku yang rata menempel di dahiku. Segera aku memoles pipiku dengan sedikit bedak dan memakaikan lipgloss pada bibirku supaya terlihat lebih berminyak. Aku mengambil parfum kesukaanku lalu menyemprotkannya sedikit ke tanganku dan meratakannya pada seluruh tubuhku.
“Sudah rapi juga harum,” kataku pada diriku sendiri sambil tersenyum senang. Seharusnya Kevin sudah sampai baru saja karena dia berjanji untuk menjemputku jam enam dan menurut jam tanganku yang baru saja kukenakan, saat ini jam sudah menunjukkan pukul enam kebih lima belas menit. Aku menyiapkan tas kecil milikku yang akan kubawa nantinya lalu berjalan keluar kamar sambil mengunci pintu rapat-rapat. Aku berjalan menuruni tangga sambil mengurangi suara langkah kakiku. Aku tidak tau mengapa aku melakukannya tetapi aku hanya melakukannya begitu saja.
“Ternyata sang putri sudah siap,” ucap Arvin secara tiba-tiba dari balik kamarnya. Aku bahkan tidak mendengar bahwa dia keluar dari kamarnya. Mungkin inilah salah satu sebabnya mengapa aku berjalan mengendap-endap. Aku tidak ingin Arvin keluar dari sarangnya dan melontarkan setiap kalimatnya padaku.
Aku segera menuruni tangga lagi dengan sikap yang kubuat setenang mungkin. Aku bisa mendengar dari langkah kakinya bahwa dia sedang mendekatiku.
“Kau sudah terlihat rapi dan cantik,” ucapnya sambil tersenyum menggoda. “Parfum yang kau gunakan juga sangat mudah tercium olehku,” godanya lagi sambil menarik nafas panjang. “Lalu, bagaimana dengan pangeranmu?” tanyanya dengan nada sedikit mengejek. “Sepertinya dia belum datang sama sekali,” ucapnya sambil melangkah berjalan mendekati pintu tetapi aku segera menarik lengannya.
“Apa yang sedang kau lakukan,” cegahku cepat-cepat. Tidak mungkin aku mengizinkan dia untuk membuka pintu rumahku. Aku takut jika Kevin sudah datang lalu dia melihat kami berdua. “Kau diam saja di sini.” Aku menahannya beberapa meter di dekat pintu.
Aku membuka pintu dengan perlahan untuk mengecek apakah terdapat orang di luar atau tidak. Tetapi aku tidak melihat siapapun di depan teras maupun garasi. Yang terdengar hanyalah suara angi malam disertai dengan suara kawanan jangkrik yang sedang bernyanyi di tengah malam yang sunyi. Sepertinya apa yang dikatakan oleh Arvin memang benar. Kevin masih belum datang.
Apakah sedang terjadi sesuatu dengannya. Tidak mungkin. Aku duduk di bangku teras dengan cemas sambil sesekali melihat jam tanganku. Apakah dia membatalkannya. Aku segera mengecek ponselku dan melihat setiap pesan yang kusimpan. Kevin masih belum mengirimkan pesan apapun padaku. Aku berdiri lalu kembali duduk. Hatiku benar-benar menjadi tidak tenang. Aku takut jika Kevin memang sedang mengalami sesuatu. Aku mengambil nafas dalam-dalam lalu membuangnya dan melakukan hal yang sama lagi untuk kedua kalinya. Aku mencoba untuk menenangkan diriku sendiri dan akhirnya berhasil.
“Apa dia sudah datang?” tanya Arvin di ambang pintu rumah sambil bersandar di dinding dan melipat tangannya. “Aku tidak melihatnya sama sekali.”
“Kau membuatku terkejut,” ucapku sambil memegang dadaku sendiri. “Mungkin dia terlambat.”
“Dia tidak akan datang,” ejeknya.
Aku berdecak kesal karena dia berkata seperti itu. “Mengapa dia tidak memberikan pesan satupun padaku,” ucapku dengan kesal sambil mengecek ponselku sekali lagi. Di saat yang bersamaan, ponselku mulai berbunyi nyaring. Awalnya aku mengira bahwa Kevin menghubungiku ternyata dia hanya mengirimkan sebuah pesan. “Akhirnya dia mengirim pesan juga,” ucapku dengan sedikit senang. Aku membacanya dengan gugup sambil berharap semoga saja dia memang datang.
“Kurasa dia memang tidak datang,” ucap Arvin lagi.
Lagi-lagi aku berdecak kesal tetapi bukan karena Arvin tetapi karena pesan yang dikirim oleh Arvin. “Sepertinya kau benar. Malam ini dia sedang ada urusan mendadak. Menyebalkan. Padahal aku sudah sangat berharap padanya,” keluhku. “Aku menghabiskan waktuku untuk hal yang sia-sia,” ucapku sambil sedkit merengek.
“Tch.. Kau ini,” ucapnya sambil tertawa geli. “Bagaimana jika aku yang menjadi pangeranmu malam ini?” tawarnya.
“Apa?” tanyaku dengan cukup terkejut.
Arvin berdeham dengan cukup keras, “Lagipula kau sudah berjanji padaku untuk pergi denganku,” ucapnya. “Tetapi jika kau tidak ingin pergi, aku juga tidak akan memaksamu. Aku bisa menonton konse itu dengan...”
“Baiklah, aku mengerti,” ucapku sambil memutuskan kalimatnya dengan cukup kesal. Aku bukan kesal karena dia akan pergi dengan seorang wanita selain diriku. Aku hanya ingin melihat konser itu. Sangat ingin melihatnya. Jika saja Kevin datang, aku tidak akan merasa terpaksa untuk memilihnya.
“Tunggu di sini,” ucapnya sambil tertawa geli dan kembali masuk ke dalam rumah.
Aku menggembungkan kedua pipiku sambil melipat kedua tanganku untuk menenangkan diriku dalam sejenak dan aku mulai berpikir kembali. Untung saja aku benar-benar tidak membuang waktuku dan untung saja Arvin masih menepati janjinya.
Aku memutar bola mataku. Padahal baru sepuluh menit tetapi aku seperti menunggu Arvin selama setengah jam. Saat nama Cindy tertera di dalam pikiranku, aku teringat akan ucapannya saat itu. Aku benar-benar tidak tau bagaimana perasaanku yang sebenarnya pada Arvin juga Kevin dan sebenarnya sampai hari ini aku masih terus memikirkannya.
“Kevin, Arvin, Kevin, Arvin, Kevin, Arvin. Yang mana yang harus kupilih,” ucapku sambil menimbang-nimbang dan terus menerus menyebut nama mereka berdua.
“Apa yang sedang kau bicarakan?”
“Tidak ada,” jawabku dengan cepat. Aku tidak sadar bahwa ia sudah berada di ambang pintu. Mendengar langkah kakinya pun tidak. Aku jadi panik jika dia tau apa yang baru saja aku ucapkan.
“Pakai ini,” ucap Arvin sambil menyerahkan helm berwarna hitam padaku.
“Mengapa kau tidak memakai mobil saja?” balasku sambil menerima helm itu dengan ragu.
“Sebenarnya aku ingin tetapi aku malas. Aku tidak suka Jakarta karena aku sering terjebak macet jika aku menggunakan mobil jadi aku lebih senang untuk menggunakan motor setiap waktunya.”

                Arvin segera mengeluarkan motornya dari dalam garasi rumahku lalu ia menyalakan mesinnya dalam sekejap dan aku membatunya dengan membukakan gerbang rumahku supaya motor itu bisa keluar terlebih dahulu. Aku berjalan mengikutinya dari belakang. Sesaat aku memastikan bahwa gerbang itu sudah kukunci dengan benar dan dengan ragu aku duduk di belakangnya sambil memasang helm yang Arvin berikan padaku beberapa menit yang lalu. Bagiku, cukup aneh dalam situasi yang seperti ini. Apa yang harus kulakukan. Apakah aku harus meletakkan kedua tanganku di pundaknya atau memeluknya, aku berharap untuk tidak memeluknya jadi aku lebih memilih untuk meletakkan kedua tanganku di pundaknya dengan canggung. Semoga saja dia tidak mengendarainya dengan kecepatan penuh.
“Sebaiknya kau berpegangan padaku. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu,” ucapnya  sambil menjalankan motor itu. Pada awalnya motor itu berjalan dengan lambat dan kupikir dengan hanya memegang berpegangan pada pundaknya saja itu sudah cukup bagiku tetapi lama kelamaan kecepatan semakin bertambah. Sepertinya, apa yang dikatakan Arvin tentang berpegangan itu berbeda dengan apa yang kupikirkan dan mau tidak mau aku memeluknya dari belakang dengan gugup. Awalnya aku merasa sangat tegang untuk memekuknya. Darahku mengalir naik, membuatku wajahku terasa panas. Aku memang tidak menyukai berada dalam posisi yang seperti ini tetapi apa boleh buat. Daripada berusaha untuk menolaknya terus menerus, lebih baik aku menerimanya sambil menenangkan diriku sendiri.

Aku dan Arvin memasuki sebuah gedung besar yang terletak di tengah-tengah kota Jakarta. Sejauh ini, aku melihat banyak sekali pengunjung. Mungkin penonton, aku tidak tau pasti. Tempat ini sangat luas. Awalnya aku hanya berpikir bahwa gedung ini hanya dipakai untuk konser saja tetapi ternyata di dalamnya ada sebuah cafe dan juga bioskop. Cukup menyenangkan untuk berada di sini. Dan sepertinya, aku mengenal tempat ini tetapi aku masih meragukannya.
“Apakah aku pernah ke tempat ini?” tanyaku pada diriku sendiri dan kuharap Arvin juga bisa membantuku untuk memberikanku sebuah jawaban.
“Ya. Kau dan aku pernah ke sini.”
“Sepertinya aku ingat sekarang,” ujarku dengan cukup senang. “Aku ingat dulu kita pernah menonton konser bersama di sini dengan orang tua kita. Benarkan?” tanyaku sambil melihat Arvin yang menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Pantas saja tempat ini begitu terasa familiar bagiku.”
“Sebaiknya kau berjalan di sampingku Lexa. Aku tidak ingin kau tersesat lagi,” ucapnya dengan sedikit tegas juga cemas.
“Tenang saja. Aku sudah besar. Aku tidak akan tersesat lagi,” balasku dengan sedikit mengejek.
“Sebaiknya apa yang kau ucapkan itu memang benar,” timpalnya. “Tunggu di sini. Aku akan membeli sesuatu. Jangan kemana-mana,” ucapnya sambil meninggalkanku sendirian di tengah keramaian. Aku melihat punggung Arvin yang pergi menjauh dariku sampai akhirnya aku tidak bisa melihatnya lagi.
Aku tidak terlalu suka tempat ini. Terlau penuh dan sesak sehingga membuatku sulit untuk berjalan dan juga melihat. Dari dulu aku memang tidak suka tempat yang seperti ini. Kepalaku akan terasa pusing seperti ini setiap kali aku berada di tempat yang penuh dengan orang. Mebuatku ingin kabur saja.
Aku melangkahkan kakiku dengan pelan. Aku bahkan tidak tau kemana aku berjalan. Tempat ini terlalu ramai sehingga membuat penglihatanku sedikit berputar. Aku mencoba untuk memejamkan mataku selama beberapa saat untuk memfokuskan pikiran dan penglihatanku. Saat aku membuka mataku, aku sempat terkejut selama beberapa saat.
Apakah aku sudah berjalan terlalu jauh. Sepertinya aku baru berjalan beberapa meter saja tetapi aku tidak ingat koridor ini. Kuharap aku tidak tersesat. Di seberang sana, di dalam kerumunan, aku sedang melihat seorang gadis kecil yang sedang mendekap boneka beruangnya sambil menangis. Perlahan aku mendekatinya, mencoba untuk menolongnya tetapi sesaat aku sadar bahwa gadis kecil itu adalah diriku sendiri. Aku segera mengernyitkan dahiku sambil berpikir. Apakah aku sedang berhalusinasi.
“Apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa aku tidak bisa menggerakkan kakiku,” ucapku pada diriku sendiri. Padahal aku ingin mengdekatinya tetapi tubuhku memaksaku untuk tetap berdiri di tempat. Aku kesal pada diriku sendiri karena tidak bisa menolong gadis kecil itu. “Mengapa tidak ada satupun yang menolongnya,” ucapku dengan pelan sambil terus memperhatikan gadis kecil itu yang masih terus menerus menangis. Aku merasa bahwa air mataku mulai menetes dengan pelan. “Apa yang terjadi. Mengapa aku menangis,” bisikku pada diriku sendiri. Aku benar-benar bingung. Aku seperti terhipnotis. Apa yang harus kulakukan sekarang.
“Lexa.” Seorang anak laki-laki menyerukan namanya dengan cukup keras. Aku tersadar dan segera mencari dari mana datangnya suara itu. Aku mendapati seorang anak laki-laki yang hanya berdiri beberapa meter di samping kiri gadis itu.
“Arvin,” ucapku dengan pelan. Aku menatap laki-laki kecil itu cukup lama. Wajahnya begitu kukenal. Dari sinar matanya, aku tau bahwa dia masih belum berubah saat itu. Walaupun dia tidak menyukaiku, tetapi ia selalu mengkhawatirkanku. Mungkin karena itulah aku menyukainya dan mungkin karena itu juga aku bisa terus bertahan untuk berada di sampingnya.
“Lexa,” panggil seseorang dari samping kananku. Aku melihat bukan anak laki-laki kecil itu lagi yang memanggil namaku. Perlahan aku menolehkan wajahku ke kanan dan mendapati Arvin yang sedang berdiri tidak jauh dariku dan dia sedang menatapku dengan cukup cemas.
“Arvin,” panggilku dengan pelan sambil tersenyum senang. Wajahnya terlihat tegang. Aku melihatnya berjalan mendekatiku dan langsung menggandeng tanganku tanpa bertanya padaku terlebih dahulu.
“Lagi-lagi kau melakukannya,” ucapnya dengan sedikit kesal. “Untung saja kau mudah untuk kucari.”
“Maaf,” pintaku sambil tertawa geli mendengar keluhannya. Aku menoleh ke belakang dan mendapati bahwa terdapat seorang anak laki-laki yang sedang menggenggam seorang perempuan yang jauh lebih kecil di belakangnya tetapi wajahnya berbeda dari yang kulihat. Ternyata aku memang sedang berhalusinasi tentang masa kecilku.
Perlahan, aku tersenyum dari balik punggungnya. Apa yang Vin lakukan sekarang itu sama persis dengan apa yang ia lakukan dulu. Aku teringat dia berjalan mendekatiku lalu menggandeng tanganku tanpa banyak bicara. Meskipun begitu, dia menggenggamku dengan lembut. Dan saat itu merupakan saat pertama kalinya aku menggenggam tanganya. Mungkin aku hanyalah seorang gadis kecil yang tidak banyak mengerti tentang banyak hal tetapi yang kuketahui dulu adalah bahwa dibalik semua sikap Arvin yang pendiam, arogan dan juga tidak menyenangkan seperti itu, ada juga sikapnya yang begitu berbeda, yang ia coba untuk sembunyikan dariku. Aku ingat, karena peristiwa itu, aku jadi mengambil inisiatif untuk memintanya menggandeng tangaku dan jika dia menolaknya, maka aku akan menangis. Tetapi sekarang aku sadar, aku tidak akan melakukan hal bodoh itu lagi.
Aku memutuskan untuk tidak melakukan hal itu lagi pada Arvin karena aku takut jika aku akan bergantung padanya terus menerus sampai akhirnya aku sadar bahwa aku tidak bisa meninggalkannya lagi. Aku sangat takut jika hal ini memang akan terjadi padaku.
 “Vin, baru saja aku melihat sepasang anak kecil. Awalnya aku mengira bahwa mereka adalah kita berdua. Sama seperti dulu, aku sedang tersesat dan kaupun pergi untuk mencariku,” ucapku dengan polos.
“Lexa, jangan menghilang lagi dari hadapanku,” ucapnya sambil memunggungiku. Aku bisa mendengar dari nada suaranya bahwa ia masih merasa tegang. Tangannya yang menggenggamku semakin ia eratkan. “Aku tidak ingin berpisah lagi darimu,” paparnya lagi, membuat jantungku sempat berdetak pelan.
“Apa kau sedang mengkhawatirkanku?” tanyaku dengan cukup gembira. ”Tenang saja. Aku bukan seorang anak kecil lagi. Jika aku tersesat atau menghilang, aku bisa mencari jalan sendiri. Aku tidak akan menangis lagi,” balasku dengan penuh percaya diri supaya Arvin tidak merasa khawatir padaku lagi.
“Bukan itu yang kumaksud.” Arvin menghentikan langkahnya tiba-tiba. Beberapa detik kemudian dia melepaskan tanganku dan segera membalikkan badannya sambil menatapku dengan nanar. “Bukan itu yang kumaksud,” ucapnya sekali lagi.
Aku menatap matanya lama dengan cukup bingung. Jantungku berdetak dengan cepat. Tatapan matanya membuat pikiranku menjadi kacau. Aku bahkan tidak tau harus melakukan apa di hadapannya.
 “Arvin, ada apa denganmu?” Hanya kalimat itu saja yang bisa aku ucapkan dari bibirku. Padahal sebelumnya aku ingin mengatakan hal yang lain.
“Benar juga. Ada apa denganku,” ucapnya sambil berkacak pinggang dan mengeluarkan senyum bodohnya padaku. “Hari ini pikiranku sedang sedikit kacau,” ucapnya sambil menggaruk-garukkan kepalanya dengan bingung. “Anggap saja yang baru saja kau dengar itu tidak pernah terjadi sebelumnya,” ucapnya lagi sambil tertawa dengan bodoh.
“Sebaiknya kita bergegas. Sebentar lagi konser akan dimulai,” ucapnya setelah melirik jam tangan hitam miliknya. Ia berjalan di depanku tanpa menggenggam tanganku lagi. “Cepat,” perintahnya sambil membalikkan badannya dan menatapku yang masih berdiri tidak jauh darinya, bertanya-tanya sebenarnya ada apa dengannya hari ini.

Konser telah berlalu beberapa menit yang lalu dan sebenarnya aku kurang menikmati konser hari ini. Aku terus memikirkan tentang apa yang baru saja kualami sebelum konser dimulai. Akibatnya, hal itu membuatku untuk melirik pada Arvin selama beberapa kali tetapi kulihat bahwa dia terlalu menikmati konser jadi aku mencoba untuk tidak membuang waktuku hanya untuk meliriknya saja dan melakukan apa yang ia lakuakn. Aku terus menerus mencoba untuk mengusir apa yang sedang kupikirkan sejak dari tadi tetapi tidak berhasil.
 “Lexa, jangan pikirkan itu lagi. Kumohon,” ucapku sambil memukul-mukul kepalaku dengan kedua tanganku, berharap semoga pikiranku benar-benar kembali normal.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Arvin dari belakangku secara tiba-tiba.
“Tidak ada. Aku hanya memukul telingaku saja,” balasku sambil memindahkan tanganku pada telingaku lalu mulai memukulinya dengan pelan. “Aku masih tidak bisa mendengar dengan jelas. Mungkin karena suara konser yang terlalu keras,” balasku lagi sambil berbohong padanya.
“Benarkah? Aku tidak merasakan apapun,” ucapnya sambil memasang wajah penuh dengan tanda tanya.
“Kau sudah sering melakukan konser. Kurasa kau sudah terbiasa dengan suara keras seperti itu tadi,” balasku tak mau kalah.
“Benar juga,” ucapnya lagi-lagi sambil memamerkan senyum bodohnya.
Aku menatapnya yang sedang memandang sekeliling ruangan yang penuh dengan orang itu. Dan tiba-tiba aku  melihat Arvin yang sedang mengerutkan kedua alisnya. Sepertinya dia baru saja melihat sesuatu yang ganjil.
“Apa yang sedang kau lihat?” tanyaku sambil menengok ke belakang. Tetapi sebelum aku sempat menengok, Arvin langsung memperingatkanku untuk tidak melihat ke belakang. “Ada apa?” tanyaku sekali lagi padanya sambil mengikuti perintahnya.
“Aku melihat beberapa guru di sini. Diam dan jangan berputar,” katanya dengan penuh waspada. “Sebaiknya kau pergi terlebih dahulu. Nanti aku akan menyusulmu,” perintahnya lagi padaku.
“Pergi kemana?”
“Celaka, mereka melihatku. Sebaiknya kau cepat pergi dari sini sebelum mereka menghampiriku,” perintahnya lagi dengan nada yang terdengar sedikit panik. “Kemanapun kau boleh pergi. Nanti aku akan meneleponmu.” Lalu Arvin pun pergi menjauh dariku dan mataku sempat mengekor ke arah mana dia pergi. Ternyata memang benar apa yang ia katakan. Aku melihat beberapa guru yang sedang berdiri di tengah-tengah kerumunan sambil memberikan lambaian tangan pada Arvin yang juga sengaja mendatangi mereka. Aku memutar kembali kepalaku dan segera memutuskan untuk berjalan menjauh dari kerumunan itu. Sejauh mungkin yang kubisa. Dan sebaiknya aku menghindar dan masuk ke dalam berbagai macam pameran pernak-pernik yang terdapat tepat di seberang gedung.
Aku melangkahkan kakiku dengan cukup tergesa tanpa berani berbalik untuk melihat ke belakang. Aku takut jika salah satu dari mereka melihatku lalu menghampiriku. Setelah beberapa lamanya aku berjalan, aku sudah merasa aman dan tidak perlu lagi berjalan dengan tergesa. Aku menghentikan langkahku sebentar lalu mengambil napas dalam-dalam dan segera mengeluarkannya untuk menenangkan diriku sendiri. Aku menoleh ke belakang dan berpikir bahwa aku sudah berjalan sejauh ini dan tidak mungkin mereka bisa menemukanku di tempat ini.
Aku mulai berjalan lagi tetapi aku sudah bisa mengontrol pikiranku dengan cukup tenang. Aku mulai melihat-lihat berbagai macam pernak-pernik yang dijual di situ sampai akhirnya aku melihat ada sepasang benda yang sangat menarik perhatianku. Perlahan aku mendekati counter itu sambil memerhatikan benda-benda kecil yang terpajang di atas meja counter itu.
 “Apakah ada benda yang sedang menarik perhatianmu gadis muda?” tanya seorang pria tua yang sedang duduk di balik meja counter sambil menatapku dan tersenyum penuh arti. Aku segera mengangkatkan kepalaku sambil melemparkan senyum padanya.
“Iya,” jawabku pada pria berkacamata itu. Kacamatanya begitu tua, berwarna kuning kecoklatan dan berukuran cukup besar. Biasanya dipakai oleh kebanyakan orang tua jaman dahulu.  Rambutnya berwarna abu-abu putih menandakan bahwa dia memang sudah sangatlah berumur. Aku menyukai senyumnya, karena dengan begitu wajahnya tampak terlihat tulus.
Mataku kembali tertuju pada sepasang benda kecil yang kusukai sejak awal. Sebagian besar benda yang ada di situ di jual sepasang-sepasang. Dan uniknya lagi, benda yang ia jual ini semuanya memilik bentuk yang sama dengan alat-alat instrumen pada umumnya.
 “Apa kau tertarik dengan sepasang biola itu?” tanyanya lagi yang sempat membuatku cukup terkejut. Dari mana dia tahu bahwa aku memang berminat untuk membeli sepasang biola itu. Aku hanya mengamatinya saja dan bahkan belum sempat mengatakan padanya bahwa aku menginginkannya. “Jangan terkejut. Aku tau dari cara pandangmu melihat benda itu,” jelasnya pardaku.
Aku hanya bisa tersenyum saja sambil terus menatap benda itu. Bagiku, sepasang biola itu begitu unik dan indah. Itu seperti biola asli tetapi dalam ukuran yang sangat kecil. Kira-kira panjangnya sama dengan panjang jari kelingkingku. Yang lebih uniknya lagi, warna biola itu sama seperti warna biola yang aku dan Arvin miliki.
“Jika kau ingin membelinya, aku bisa memberikan harga spesial padamu,” ucapnya lagi.
“Benarkah?” tanyaku dengan cukup girang. Aku mengangkat dengan pelan sepasang benda itu dan aku semakin terkesima saat melihat benda itu dari dekat.
“Bagaimana jika aku memberitahukan sebuah rahasia kepadamu,” ucapnya dengan nada misterius.
“Rahasia apa?”
“Benda-benda yang kujual di sini bukanlah benda biasa. Jika kau memberikan benda ini kepada orang yang kau sukai dan jika kalian memang berjodoh, maka inisial pasanganmu akan tertera di balik benda ini begitu juga dengan benda yang kau berikan pada pasanganmu. Jika kalian tidak berjodoh, maka tidak akan terjadi sesuatu pada benda itu,” jelasnya dengan suaranya yang terdengar sedikit parau. Benarkah? Apakah ia menggunakan semacam sihir pada setiap benda yang ia jual sampai-sampai inisial pasanganmu bisa tertera pada benda kecil itu.
Aku menatapnya dengan penuh selidik. Sebenarnya aku masih merasa percaya dan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan. Tetapi, tidak ada salahnya untuk mencoba sesuatu yang unik.
Setelah berpikir selama beberapa menit, akhirnya aku memutuskan untuk membeli saja. Pada dasarnya aku memang ingin membelinya bukan karena keajaiban yang bisa terjadi tetapi karena bentuk benda itu sendiri yang membuatku tertarik untuk membelinya. Untuk yang terakhir kalinya, aku menatap kedua biola kecil berwarna coklat itu sebelum akhirnya aku memasukkannya kembali ke dalam plastik.
“Apa kau akan memberikannya pada Arvin?” tanya seorang pria yang berdiri di sampingku sejak beberapa menit yang lalu dan aku menyadarinya tetapi aku tidak tau jika dia mengenalku. Aku menatapnya lama sambil mengerutkan keningku. Dan sepertinya pria itu menyadari tatapanku itu. “Maaf,” ucap seorang pria yang tingginya tidak jauh berbeda dari Arvin sambil mengulurkan tangannya padaku. Rambutnya berwarna hitam legam dan terlihat begitu kontras dengan warna kulit putihnya yang bersinar saat tertimpa lampu jalanan. “Namaku Jo, Jonathan,” ucapnya dengan sopan. Meskipun begitu, aku menyambut tangannya dengan cukup ragu-ragu. “Maaf jika aku membuatmu takut,” pintanya lagi sambil tersenyum di hadapanku.
Aku tersenyum canggung di hadapannya sambil mengucapkan namaku dan berkata, “Baru saja kau menyebut nama Arvin. Apa kau mengenalnya?”
“Tentu saja,” ucapnya dengan penuh keyakinan. Senyumnya masih belum pudar juga dari bibirnya itu. “Aku adalah temannya saat dia berada di New York. Kami mengambil universitas yang sama. Sayangnya, dia jauh lebih terkenal sekarang jadi untuk bertemu dengannya saja tidaklah mudah,” ungkapnya lebih lagi.
“Lalu, apa kau sedang berlibur di Indonesia?” tanyaku sambil mulai berbasa-basi dengannya.
“Aku lahir di sini jadi aku memang tinggal di sini.” Aku membulatkan mulutku sambil mengangguk-angguk pelan tanda mengerti. “Sebelum konser, aku melihat kalian berdua tetapi saat aku mendatangi Arvin, kau sedang tidak ada. Begitu pula dengan sekarang.”
“Arvin.. Dia masih ada urusan. Tidak lama lagi dia akan datang.”
“Benarkah?”
“Tentu saja,” ucapku sambil mengangguk-angguk. Kulihat arah matanya yang kembali melihat benda kecil yang sedang ia pegang. Sama seperti milikku hanya saja yang ia pegang adalah sepasang piano kecil berwarna hitam.
“Apa kau bermain piano?” terkaku.
“Tidak. Aku bermain terompet. Adikku yang bermain piano,” terangnya. “Lusa depan dia akan berulang tahun dan aku masih belum tau hadiah apa yang akan kuberikan padanya. Aku sama sekali tidak pandai dalam memilih barang,” ucapnya sambil tersenyum dan tersipu malu.
“Kurasa, barang yang kau pegang itu cocok untuk kau berikan pada adikmu.”
“Benarkah?” tanyanya dengan ragu sambil terus menikmati benda kecil itu. “Lexa,” panggilnya dengan pelan.

“Ya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?