“Apa?”
“Mengapa kau berubah?”
“Maksudku, saat aku bertemu denganmu, sepertinya
kau bukanlah Arvin yang dulu. Kau sekarang terlihat lebih bersemangat,”
ungkapku dengan jujur.
“Benarkah? Memangnya dulu aku seperti apa?”
tanyanya. Ia menumpu salah siku tangannya di atas meja sambil memegang sendok
yang penuh dengan nasi.
“Kau jauh lebih pendiam daripada sekarang. Kau
pernah mengatakan bahwa kau tidak menyukaiku jika aku berbicara denganmu,
menggenggam tanganku atau mengikutimu kemanapun kau pergi,” ucapku dengan
sedikit gugup, takut jika saja tiba-tiba dia marah padaku.
“Aku bahkan tidak sadar jika aku seperti itu
dulu.” Kutatap wajahnya yang sedang menerawang jauh kembali ke masa lalunya.
Kata-katanya bagai lelucon di telingaku. Apa benar dia lupa bagaimana dia yang
sebenarnya atu dia hanya menyembunyikannya saja. “Kalau begitu, maafkan aku,”
pintanya. “Pantas saja kau sering menangis waktu itu.”
“Mengapa kau memutuskan untuk berubah?” tanyaku
dengan penasaran.
“Karena aku ingin membalas apa yang telah kau
lakukan padaku,” ucapnya membuatku sedikit terkejut. “Pasti rasanya tidaklah
menyenagkan karena selama empat tahun aku terus menerus menghindarimu.”
“Tidak. Kau salah. Aku bahkan tidak merasakan
apapun. Mungkin karena kau adalah orang pertama yang kusukai.”
“Kau menyukaiku?” Dia terkejut sambil menatapku
dengan tidak percaya.
“Suka. Maksudku sebagai teman,” ucapku sambil
menyembunyikan rasa maluku. “Dan juga sebagai saudara. Jadi aku mencoba untuk
selalu berada di dekatmu meskipun kau menghindariku.”
“Saudara?”
“Iya. Saudara. Begitu pula dengan sekarang. Aku
masih menganggapmu seperti saudaraku sendiri,” ungkapku lebih lagi. Aku memang
butuh mengatakan yang sebenarnya bagaimana cara pandangku terhadap dirinya
supaya tidak terjadi kesalah pahaman lebih lanjut.
“Kau... benar juga,” ucapnya sambil memandang
mataku dan tersenyum lemah. “Saudara. Kurasa aku sanggup menjadi saudaramu.”
“Apa kau yakin?” tanyaku. “Sejak kecil aku memang
menginginkan seorang saudara,” ucapku dengan senang. “Hei, apa kau tidak
memiliki alasan lain lagi mengapa kau berubah?”
“Hmm.. Aku memang memiliki alasan lain tetapi itu
rahasia,” ucapnya sambil tersenyum misterius. Aku hanya bisa tertawa geli
mendengar kata-katanya. Ada-ada saja.
“Tentang saudara. Vin, apa kau menjadi saudaraku
selamanya?”
“Selamanya?” tanyanya dengan wajah yang cukup
terkejut.
“Tentu saja,” ucapku dengan penuh kepastian.
“Jika kau menerimanya, kurasa aku akan merasa sangat senang.”
“Kita lihat saja nanti.”
“Baju apa yang harus kupakai malam ini,” ucapku
sambil memilah-milah semua baju yang tergantung di dalam lemariku. “Bagaimana
dengan yang ini?” aku mengambil baju berwarna biru muda yang berlengan panjang
dan yang terbuat dari wol tipis. Banyak anak muda yang menyebutnya sebagai
knitted shirt.
Aku berdiri di depan kacaku sambil menempelkan
baju itu di tubuhku dan menimbang-nimbang dengan begitu lama. “Yang ini saja,”
ucapku tanpa banyak berpikir lagi. Sudah dari setengah jam yang lalu aku terus
mencari baju yang mana yang harus kupakai dan aku sudah cukup bosan memilah
setiap bajuku.
Tak lama kemudian aku mengganti bajuku dan juga
mengenakan jeans. Rambutku memang sengaja aku ikat supaya terlihat lebih rapi
tanpa mengubah bentuk poni rambutku yang rata menempel di dahiku. Segera aku
memoles pipiku dengan sedikit bedak dan memakaikan lipgloss pada bibirku supaya
terlihat lebih berminyak. Aku mengambil parfum kesukaanku lalu menyemprotkannya
sedikit ke tanganku dan meratakannya pada seluruh tubuhku.
“Sudah rapi juga harum,” kataku pada diriku
sendiri sambil tersenyum senang. Seharusnya Kevin sudah sampai baru saja karena
dia berjanji untuk menjemputku jam enam dan menurut jam tanganku yang baru saja
kukenakan, saat ini jam sudah menunjukkan pukul enam kebih lima belas menit.
Aku menyiapkan tas kecil milikku yang akan kubawa nantinya lalu berjalan keluar
kamar sambil mengunci pintu rapat-rapat. Aku berjalan menuruni tangga sambil
mengurangi suara langkah kakiku. Aku tidak tau mengapa aku melakukannya tetapi
aku hanya melakukannya begitu saja.
“Ternyata sang putri sudah siap,” ucap Arvin
secara tiba-tiba dari balik kamarnya. Aku bahkan tidak mendengar bahwa dia
keluar dari kamarnya. Mungkin inilah salah satu sebabnya mengapa aku berjalan
mengendap-endap. Aku tidak ingin Arvin keluar dari sarangnya dan melontarkan
setiap kalimatnya padaku.
Aku segera menuruni tangga lagi dengan sikap yang
kubuat setenang mungkin. Aku bisa mendengar dari langkah kakinya bahwa dia
sedang mendekatiku.
“Kau sudah terlihat rapi dan cantik,” ucapnya
sambil tersenyum menggoda. “Parfum yang kau gunakan juga sangat mudah tercium
olehku,” godanya lagi sambil menarik nafas panjang. “Lalu, bagaimana dengan
pangeranmu?” tanyanya dengan nada sedikit mengejek. “Sepertinya dia belum
datang sama sekali,” ucapnya sambil melangkah berjalan mendekati pintu tetapi
aku segera menarik lengannya.
“Apa yang sedang kau lakukan,” cegahku
cepat-cepat. Tidak mungkin aku mengizinkan dia untuk membuka pintu rumahku. Aku
takut jika Kevin sudah datang lalu dia melihat kami berdua. “Kau diam saja di
sini.” Aku menahannya beberapa meter di dekat pintu.
Aku membuka pintu dengan perlahan untuk mengecek
apakah terdapat orang di luar atau tidak. Tetapi aku tidak melihat siapapun di
depan teras maupun garasi. Yang terdengar hanyalah suara angi malam disertai
dengan suara kawanan jangkrik yang sedang bernyanyi di tengah malam yang sunyi.
Sepertinya apa yang dikatakan oleh Arvin memang benar. Kevin masih belum
datang.
Apakah
sedang terjadi sesuatu dengannya. Tidak mungkin. Aku duduk
di bangku teras dengan cemas sambil sesekali melihat jam tanganku. Apakah dia membatalkannya. Aku segera
mengecek ponselku dan melihat setiap pesan yang kusimpan. Kevin masih belum
mengirimkan pesan apapun padaku. Aku berdiri lalu kembali duduk. Hatiku
benar-benar menjadi tidak tenang. Aku takut jika Kevin memang sedang mengalami
sesuatu. Aku mengambil nafas dalam-dalam lalu membuangnya dan melakukan hal
yang sama lagi untuk kedua kalinya. Aku mencoba untuk menenangkan diriku
sendiri dan akhirnya berhasil.
“Apa dia sudah datang?” tanya Arvin di ambang
pintu rumah sambil bersandar di dinding dan melipat tangannya. “Aku tidak
melihatnya sama sekali.”
“Kau membuatku terkejut,” ucapku sambil memegang
dadaku sendiri. “Mungkin dia terlambat.”
“Dia tidak akan datang,” ejeknya.
Aku berdecak kesal karena dia berkata seperti
itu. “Mengapa dia tidak memberikan pesan satupun padaku,” ucapku dengan kesal
sambil mengecek ponselku sekali lagi. Di saat yang bersamaan, ponselku mulai berbunyi
nyaring. Awalnya aku mengira bahwa Kevin menghubungiku ternyata dia hanya
mengirimkan sebuah pesan. “Akhirnya dia mengirim pesan juga,” ucapku dengan
sedikit senang. Aku membacanya dengan gugup sambil berharap semoga saja dia
memang datang.
“Kurasa dia memang tidak datang,” ucap Arvin
lagi.
Lagi-lagi aku berdecak kesal tetapi bukan karena
Arvin tetapi karena pesan yang dikirim oleh Arvin. “Sepertinya kau benar. Malam
ini dia sedang ada urusan mendadak. Menyebalkan. Padahal aku sudah sangat
berharap padanya,” keluhku. “Aku menghabiskan waktuku untuk hal yang sia-sia,”
ucapku sambil sedkit merengek.
“Tch.. Kau ini,” ucapnya sambil tertawa geli.
“Bagaimana jika aku yang menjadi pangeranmu malam ini?” tawarnya.
“Apa?” tanyaku dengan cukup terkejut.
Arvin berdeham dengan cukup keras, “Lagipula kau
sudah berjanji padaku untuk pergi denganku,” ucapnya. “Tetapi jika kau tidak
ingin pergi, aku juga tidak akan memaksamu. Aku bisa menonton konse itu
dengan...”
“Baiklah, aku mengerti,” ucapku sambil memutuskan
kalimatnya dengan cukup kesal. Aku bukan kesal karena dia akan pergi dengan
seorang wanita selain diriku. Aku hanya ingin melihat konser itu. Sangat ingin
melihatnya. Jika saja Kevin datang, aku tidak akan merasa terpaksa untuk
memilihnya.
“Tunggu di sini,” ucapnya sambil tertawa geli dan
kembali masuk ke dalam rumah.
Aku menggembungkan kedua pipiku sambil melipat
kedua tanganku untuk menenangkan diriku dalam sejenak dan aku mulai berpikir
kembali. Untung saja aku benar-benar tidak membuang waktuku dan untung saja
Arvin masih menepati janjinya.
Aku memutar bola mataku. Padahal baru sepuluh
menit tetapi aku seperti menunggu Arvin selama setengah jam. Saat nama Cindy
tertera di dalam pikiranku, aku teringat akan ucapannya saat itu. Aku
benar-benar tidak tau bagaimana perasaanku yang sebenarnya pada Arvin juga
Kevin dan sebenarnya sampai hari ini aku masih terus memikirkannya.
“Kevin, Arvin, Kevin, Arvin, Kevin, Arvin. Yang
mana yang harus kupilih,” ucapku sambil menimbang-nimbang dan terus menerus
menyebut nama mereka berdua.
“Apa yang sedang kau bicarakan?”
“Tidak ada,” jawabku dengan cepat. Aku tidak
sadar bahwa ia sudah berada di ambang pintu. Mendengar langkah kakinya pun
tidak. Aku jadi panik jika dia tau apa yang baru saja aku ucapkan.
“Pakai ini,” ucap Arvin sambil menyerahkan helm
berwarna hitam padaku.
“Mengapa kau tidak memakai mobil saja?” balasku
sambil menerima helm itu dengan ragu.
“Sebenarnya aku ingin tetapi aku malas. Aku tidak
suka Jakarta karena aku sering terjebak macet jika aku menggunakan mobil jadi
aku lebih senang untuk menggunakan motor setiap waktunya.”
Arvin segera mengeluarkan motornya dari dalam garasi rumahku lalu ia menyalakan mesinnya dalam sekejap dan aku membatunya dengan membukakan gerbang rumahku supaya motor itu bisa keluar terlebih dahulu. Aku berjalan mengikutinya dari belakang. Sesaat aku memastikan bahwa gerbang itu sudah kukunci dengan benar dan dengan ragu aku duduk di belakangnya sambil memasang helm yang Arvin berikan padaku beberapa menit yang lalu. Bagiku, cukup aneh dalam situasi yang seperti ini. Apa yang harus kulakukan. Apakah aku harus meletakkan kedua tanganku di pundaknya atau memeluknya, aku berharap untuk tidak memeluknya jadi aku lebih memilih untuk meletakkan kedua tanganku di pundaknya dengan canggung. Semoga saja dia tidak mengendarainya dengan kecepatan penuh.
Arvin segera mengeluarkan motornya dari dalam garasi rumahku lalu ia menyalakan mesinnya dalam sekejap dan aku membatunya dengan membukakan gerbang rumahku supaya motor itu bisa keluar terlebih dahulu. Aku berjalan mengikutinya dari belakang. Sesaat aku memastikan bahwa gerbang itu sudah kukunci dengan benar dan dengan ragu aku duduk di belakangnya sambil memasang helm yang Arvin berikan padaku beberapa menit yang lalu. Bagiku, cukup aneh dalam situasi yang seperti ini. Apa yang harus kulakukan. Apakah aku harus meletakkan kedua tanganku di pundaknya atau memeluknya, aku berharap untuk tidak memeluknya jadi aku lebih memilih untuk meletakkan kedua tanganku di pundaknya dengan canggung. Semoga saja dia tidak mengendarainya dengan kecepatan penuh.
“Sebaiknya kau berpegangan padaku. Aku tidak
ingin terjadi sesuatu padamu,” ucapnya
sambil menjalankan motor itu. Pada awalnya motor itu berjalan dengan
lambat dan kupikir dengan hanya memegang berpegangan pada pundaknya saja itu
sudah cukup bagiku tetapi lama kelamaan kecepatan semakin bertambah.
Sepertinya, apa yang dikatakan Arvin tentang berpegangan itu berbeda dengan apa
yang kupikirkan dan mau tidak mau aku memeluknya dari belakang dengan gugup.
Awalnya aku merasa sangat tegang untuk memekuknya. Darahku mengalir naik,
membuatku wajahku terasa panas. Aku memang tidak menyukai berada dalam posisi
yang seperti ini tetapi apa boleh buat. Daripada berusaha untuk menolaknya
terus menerus, lebih baik aku menerimanya sambil menenangkan diriku sendiri.
Aku dan Arvin memasuki sebuah gedung besar yang
terletak di tengah-tengah kota Jakarta. Sejauh ini, aku melihat banyak sekali
pengunjung. Mungkin penonton, aku tidak tau pasti. Tempat ini sangat luas.
Awalnya aku hanya berpikir bahwa gedung ini hanya dipakai untuk konser saja
tetapi ternyata di dalamnya ada sebuah cafe dan juga bioskop. Cukup
menyenangkan untuk berada di sini. Dan sepertinya, aku mengenal tempat ini
tetapi aku masih meragukannya.
“Apakah aku pernah ke tempat ini?” tanyaku pada
diriku sendiri dan kuharap Arvin juga bisa membantuku untuk memberikanku sebuah
jawaban.
“Ya. Kau dan aku pernah ke sini.”
“Sepertinya aku ingat sekarang,” ujarku dengan
cukup senang. “Aku ingat dulu kita pernah menonton konser bersama di sini
dengan orang tua kita. Benarkan?” tanyaku sambil melihat Arvin yang
menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Pantas saja tempat ini begitu terasa
familiar bagiku.”
“Sebaiknya kau berjalan di sampingku Lexa. Aku
tidak ingin kau tersesat lagi,” ucapnya dengan sedikit tegas juga cemas.
“Tenang saja. Aku sudah besar. Aku tidak akan
tersesat lagi,” balasku dengan sedikit mengejek.
“Sebaiknya apa yang kau ucapkan itu memang
benar,” timpalnya. “Tunggu di sini. Aku akan membeli sesuatu. Jangan
kemana-mana,” ucapnya sambil meninggalkanku sendirian di tengah keramaian. Aku
melihat punggung Arvin yang pergi menjauh dariku sampai akhirnya aku tidak bisa
melihatnya lagi.
Aku tidak terlalu suka tempat ini. Terlau penuh
dan sesak sehingga membuatku sulit untuk berjalan dan juga melihat. Dari dulu
aku memang tidak suka tempat yang seperti ini. Kepalaku akan terasa pusing
seperti ini setiap kali aku berada di tempat yang penuh dengan orang. Mebuatku
ingin kabur saja.
Aku melangkahkan kakiku dengan pelan. Aku bahkan
tidak tau kemana aku berjalan. Tempat ini terlalu ramai sehingga membuat
penglihatanku sedikit berputar. Aku mencoba untuk memejamkan mataku selama
beberapa saat untuk memfokuskan pikiran dan penglihatanku. Saat aku membuka
mataku, aku sempat terkejut selama beberapa saat.
Apakah aku sudah berjalan terlalu jauh.
Sepertinya aku baru berjalan beberapa meter saja tetapi aku tidak ingat koridor
ini. Kuharap aku tidak tersesat. Di seberang sana, di dalam kerumunan, aku
sedang melihat seorang gadis kecil yang sedang mendekap boneka beruangnya
sambil menangis. Perlahan aku mendekatinya, mencoba untuk menolongnya tetapi
sesaat aku sadar bahwa gadis kecil itu adalah diriku sendiri. Aku segera
mengernyitkan dahiku sambil berpikir. Apakah aku sedang berhalusinasi.
“Apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa aku tidak
bisa menggerakkan kakiku,” ucapku pada diriku sendiri. Padahal aku ingin
mengdekatinya tetapi tubuhku memaksaku untuk tetap berdiri di tempat. Aku kesal
pada diriku sendiri karena tidak bisa menolong gadis kecil itu. “Mengapa tidak
ada satupun yang menolongnya,” ucapku dengan pelan sambil terus memperhatikan
gadis kecil itu yang masih terus menerus menangis. Aku merasa bahwa air mataku
mulai menetes dengan pelan. “Apa yang terjadi. Mengapa aku menangis,” bisikku
pada diriku sendiri. Aku benar-benar bingung. Aku seperti terhipnotis. Apa yang
harus kulakukan sekarang.
“Lexa.” Seorang anak laki-laki menyerukan namanya
dengan cukup keras. Aku tersadar dan segera mencari dari mana datangnya suara
itu. Aku mendapati seorang anak laki-laki yang hanya berdiri beberapa meter di
samping kiri gadis itu.
“Arvin,” ucapku dengan pelan. Aku menatap
laki-laki kecil itu cukup lama. Wajahnya begitu kukenal. Dari sinar matanya,
aku tau bahwa dia masih belum berubah saat itu. Walaupun dia tidak menyukaiku,
tetapi ia selalu mengkhawatirkanku. Mungkin karena itulah aku menyukainya dan
mungkin karena itu juga aku bisa terus bertahan untuk berada di sampingnya.
“Lexa,” panggil seseorang dari samping kananku.
Aku melihat bukan anak laki-laki kecil itu lagi yang memanggil namaku. Perlahan
aku menolehkan wajahku ke kanan dan mendapati Arvin yang sedang berdiri tidak
jauh dariku dan dia sedang menatapku dengan cukup cemas.
“Arvin,” panggilku dengan pelan sambil tersenyum
senang. Wajahnya terlihat tegang. Aku melihatnya berjalan mendekatiku dan
langsung menggandeng tanganku tanpa bertanya padaku terlebih dahulu.
“Lagi-lagi kau melakukannya,” ucapnya dengan
sedikit kesal. “Untung saja kau mudah untuk kucari.”
“Maaf,” pintaku sambil tertawa geli mendengar
keluhannya. Aku menoleh ke belakang dan mendapati bahwa terdapat seorang anak
laki-laki yang sedang menggenggam seorang perempuan yang jauh lebih kecil di
belakangnya tetapi wajahnya berbeda dari yang kulihat. Ternyata aku memang
sedang berhalusinasi tentang masa kecilku.
Perlahan, aku tersenyum dari balik punggungnya.
Apa yang Vin lakukan sekarang itu sama persis dengan apa yang ia lakukan dulu.
Aku teringat dia berjalan mendekatiku lalu menggandeng tanganku tanpa banyak
bicara. Meskipun begitu, dia menggenggamku dengan lembut. Dan saat itu
merupakan saat pertama kalinya aku menggenggam tanganya. Mungkin aku hanyalah
seorang gadis kecil yang tidak banyak mengerti tentang banyak hal tetapi yang
kuketahui dulu adalah bahwa dibalik semua sikap Arvin yang pendiam, arogan dan
juga tidak menyenangkan seperti itu, ada juga sikapnya yang begitu berbeda,
yang ia coba untuk sembunyikan dariku. Aku ingat, karena peristiwa itu, aku
jadi mengambil inisiatif untuk memintanya menggandeng tangaku dan jika dia
menolaknya, maka aku akan menangis. Tetapi sekarang aku sadar, aku tidak akan
melakukan hal bodoh itu lagi.
Aku memutuskan untuk tidak melakukan hal itu lagi
pada Arvin karena aku takut jika aku akan bergantung padanya terus menerus
sampai akhirnya aku sadar bahwa aku tidak bisa meninggalkannya lagi. Aku sangat
takut jika hal ini memang akan terjadi padaku.
“Vin, baru saja
aku melihat sepasang anak kecil. Awalnya aku mengira bahwa mereka adalah kita
berdua. Sama seperti dulu, aku sedang tersesat dan kaupun pergi untuk
mencariku,” ucapku dengan polos.
“Lexa, jangan menghilang lagi dari hadapanku,” ucapnya
sambil memunggungiku. Aku bisa mendengar dari nada suaranya bahwa ia masih
merasa tegang. Tangannya yang menggenggamku semakin ia eratkan. “Aku tidak
ingin berpisah lagi darimu,” paparnya lagi, membuat jantungku sempat berdetak
pelan.
“Apa kau sedang mengkhawatirkanku?” tanyaku dengan
cukup gembira. ”Tenang saja. Aku bukan seorang anak kecil lagi. Jika aku tersesat
atau menghilang, aku bisa mencari jalan sendiri. Aku tidak akan menangis lagi,”
balasku dengan penuh percaya diri supaya Arvin tidak merasa khawatir padaku
lagi.
“Bukan itu yang kumaksud.” Arvin menghentikan
langkahnya tiba-tiba. Beberapa detik kemudian dia melepaskan tanganku dan
segera membalikkan badannya sambil menatapku dengan nanar. “Bukan itu yang
kumaksud,” ucapnya sekali lagi.
Aku menatap matanya lama dengan cukup bingung.
Jantungku berdetak dengan cepat. Tatapan matanya membuat pikiranku menjadi
kacau. Aku bahkan tidak tau harus melakukan apa di hadapannya.
“Arvin, ada apa
denganmu?” Hanya kalimat itu saja yang bisa aku ucapkan dari bibirku. Padahal
sebelumnya aku ingin mengatakan hal yang lain.
“Benar juga. Ada apa denganku,” ucapnya sambil
berkacak pinggang dan mengeluarkan senyum bodohnya padaku. “Hari ini pikiranku
sedang sedikit kacau,” ucapnya sambil menggaruk-garukkan kepalanya dengan
bingung. “Anggap saja yang baru saja kau dengar itu tidak pernah terjadi
sebelumnya,” ucapnya lagi sambil tertawa dengan bodoh.
“Sebaiknya kita bergegas. Sebentar lagi konser akan
dimulai,” ucapnya setelah melirik jam tangan hitam miliknya. Ia berjalan di
depanku tanpa menggenggam tanganku lagi. “Cepat,” perintahnya sambil
membalikkan badannya dan menatapku yang masih berdiri tidak jauh darinya,
bertanya-tanya sebenarnya ada apa dengannya hari ini.
Konser telah berlalu beberapa menit yang lalu dan
sebenarnya aku kurang menikmati konser hari ini. Aku terus memikirkan tentang
apa yang baru saja kualami sebelum konser dimulai. Akibatnya, hal itu membuatku
untuk melirik pada Arvin selama beberapa kali tetapi kulihat bahwa dia terlalu menikmati
konser jadi aku mencoba untuk tidak membuang waktuku hanya untuk meliriknya
saja dan melakukan apa yang ia lakuakn. Aku terus menerus mencoba untuk
mengusir apa yang sedang kupikirkan sejak dari tadi tetapi tidak berhasil.
“Lexa, jangan
pikirkan itu lagi. Kumohon,” ucapku sambil memukul-mukul kepalaku dengan kedua
tanganku, berharap semoga pikiranku benar-benar kembali normal.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Arvin dari
belakangku secara tiba-tiba.
“Tidak ada. Aku hanya memukul telingaku saja,” balasku
sambil memindahkan tanganku pada telingaku lalu mulai memukulinya dengan pelan.
“Aku masih tidak bisa mendengar dengan jelas. Mungkin karena suara konser yang
terlalu keras,” balasku lagi sambil berbohong padanya.
“Benarkah? Aku tidak merasakan apapun,” ucapnya sambil
memasang wajah penuh dengan tanda tanya.
“Kau sudah sering melakukan konser. Kurasa kau sudah
terbiasa dengan suara keras seperti itu tadi,” balasku tak mau kalah.
“Benar juga,” ucapnya lagi-lagi sambil memamerkan
senyum bodohnya.
Aku menatapnya yang sedang memandang sekeliling
ruangan yang penuh dengan orang itu. Dan tiba-tiba aku melihat Arvin yang sedang mengerutkan kedua
alisnya. Sepertinya dia baru saja melihat sesuatu yang ganjil.
“Apa yang sedang kau lihat?” tanyaku sambil menengok
ke belakang. Tetapi sebelum aku sempat menengok, Arvin langsung
memperingatkanku untuk tidak melihat ke belakang. “Ada apa?” tanyaku sekali
lagi padanya sambil mengikuti perintahnya.
“Aku melihat beberapa guru di sini. Diam dan jangan
berputar,” katanya dengan penuh waspada. “Sebaiknya kau pergi terlebih dahulu.
Nanti aku akan menyusulmu,” perintahnya lagi padaku.
“Pergi kemana?”
“Celaka, mereka melihatku. Sebaiknya kau cepat pergi
dari sini sebelum mereka menghampiriku,” perintahnya lagi dengan nada yang
terdengar sedikit panik. “Kemanapun kau boleh pergi. Nanti aku akan
meneleponmu.” Lalu Arvin pun pergi menjauh dariku dan mataku sempat mengekor ke
arah mana dia pergi. Ternyata memang benar apa yang ia katakan. Aku melihat
beberapa guru yang sedang berdiri di tengah-tengah kerumunan sambil memberikan
lambaian tangan pada Arvin yang juga sengaja mendatangi mereka. Aku memutar
kembali kepalaku dan segera memutuskan untuk berjalan menjauh dari kerumunan
itu. Sejauh mungkin yang kubisa. Dan sebaiknya aku menghindar dan masuk ke
dalam berbagai macam pameran pernak-pernik yang terdapat tepat di seberang
gedung.
Aku melangkahkan kakiku dengan cukup tergesa tanpa
berani berbalik untuk melihat ke belakang. Aku takut jika salah satu dari
mereka melihatku lalu menghampiriku. Setelah beberapa lamanya aku berjalan, aku
sudah merasa aman dan tidak perlu lagi berjalan dengan tergesa. Aku
menghentikan langkahku sebentar lalu mengambil napas dalam-dalam dan segera
mengeluarkannya untuk menenangkan diriku sendiri. Aku menoleh ke belakang dan
berpikir bahwa aku sudah berjalan sejauh ini dan tidak mungkin mereka bisa
menemukanku di tempat ini.
Aku mulai berjalan lagi tetapi aku sudah bisa
mengontrol pikiranku dengan cukup tenang. Aku mulai melihat-lihat berbagai
macam pernak-pernik yang dijual di situ sampai akhirnya aku melihat ada
sepasang benda yang sangat menarik perhatianku. Perlahan aku mendekati counter
itu sambil memerhatikan benda-benda kecil yang terpajang di atas meja counter
itu.
“Apakah ada
benda yang sedang menarik perhatianmu gadis muda?” tanya seorang pria tua yang
sedang duduk di balik meja counter sambil menatapku dan tersenyum penuh arti.
Aku segera mengangkatkan kepalaku sambil melemparkan senyum padanya.
“Iya,” jawabku pada pria berkacamata itu. Kacamatanya
begitu tua, berwarna kuning kecoklatan dan berukuran cukup besar. Biasanya
dipakai oleh kebanyakan orang tua jaman dahulu. Rambutnya berwarna abu-abu putih menandakan
bahwa dia memang sudah sangatlah berumur. Aku menyukai senyumnya, karena dengan
begitu wajahnya tampak terlihat tulus.
Mataku kembali tertuju pada sepasang benda kecil yang
kusukai sejak awal. Sebagian besar benda yang ada di situ di jual
sepasang-sepasang. Dan uniknya lagi, benda yang ia jual ini semuanya memilik
bentuk yang sama dengan alat-alat instrumen pada umumnya.
“Apa kau
tertarik dengan sepasang biola itu?” tanyanya lagi yang sempat membuatku cukup
terkejut. Dari mana dia tahu bahwa aku memang berminat untuk membeli sepasang
biola itu. Aku hanya mengamatinya saja dan bahkan belum sempat mengatakan
padanya bahwa aku menginginkannya. “Jangan terkejut. Aku tau dari cara
pandangmu melihat benda itu,” jelasnya pardaku.
Aku hanya bisa tersenyum saja sambil terus menatap
benda itu. Bagiku, sepasang biola itu begitu unik dan indah. Itu seperti biola
asli tetapi dalam ukuran yang sangat kecil. Kira-kira panjangnya sama dengan
panjang jari kelingkingku. Yang lebih uniknya lagi, warna biola itu sama
seperti warna biola yang aku dan Arvin miliki.
“Jika kau ingin membelinya, aku bisa memberikan harga
spesial padamu,” ucapnya lagi.
“Benarkah?” tanyaku dengan cukup girang. Aku
mengangkat dengan pelan sepasang benda itu dan aku semakin terkesima saat
melihat benda itu dari dekat.
“Bagaimana jika aku memberitahukan sebuah rahasia
kepadamu,” ucapnya dengan nada misterius.
“Rahasia apa?”
“Benda-benda yang kujual di sini bukanlah benda biasa.
Jika kau memberikan benda ini kepada orang yang kau sukai dan jika kalian
memang berjodoh, maka inisial pasanganmu akan tertera di balik benda ini begitu
juga dengan benda yang kau berikan pada pasanganmu. Jika kalian tidak berjodoh,
maka tidak akan terjadi sesuatu pada benda itu,” jelasnya dengan suaranya yang
terdengar sedikit parau. Benarkah? Apakah ia menggunakan semacam sihir pada
setiap benda yang ia jual sampai-sampai inisial pasanganmu bisa tertera pada
benda kecil itu.
Aku menatapnya dengan penuh selidik. Sebenarnya aku
masih merasa percaya dan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan.
Tetapi, tidak ada salahnya untuk mencoba sesuatu yang unik.
Setelah berpikir selama beberapa menit, akhirnya aku
memutuskan untuk membeli saja. Pada dasarnya aku memang ingin membelinya bukan
karena keajaiban yang bisa terjadi tetapi karena bentuk benda itu sendiri yang
membuatku tertarik untuk membelinya. Untuk yang terakhir kalinya, aku menatap
kedua biola kecil berwarna coklat itu sebelum akhirnya aku memasukkannya
kembali ke dalam plastik.
“Apa kau akan memberikannya pada Arvin?” tanya seorang
pria yang berdiri di sampingku sejak beberapa menit yang lalu dan aku
menyadarinya tetapi aku tidak tau jika dia mengenalku. Aku menatapnya lama
sambil mengerutkan keningku. Dan sepertinya pria itu menyadari tatapanku itu.
“Maaf,” ucap seorang pria yang tingginya tidak jauh berbeda dari Arvin sambil
mengulurkan tangannya padaku. Rambutnya berwarna hitam legam dan terlihat begitu
kontras dengan warna kulit putihnya yang bersinar saat tertimpa lampu jalanan.
“Namaku Jo, Jonathan,” ucapnya dengan sopan. Meskipun begitu, aku menyambut
tangannya dengan cukup ragu-ragu. “Maaf jika aku membuatmu takut,” pintanya
lagi sambil tersenyum di hadapanku.
Aku tersenyum canggung di hadapannya sambil
mengucapkan namaku dan berkata, “Baru saja kau menyebut nama Arvin. Apa kau
mengenalnya?”
“Tentu saja,” ucapnya dengan penuh keyakinan.
Senyumnya masih belum pudar juga dari bibirnya itu. “Aku adalah temannya saat
dia berada di New York. Kami mengambil universitas yang sama. Sayangnya, dia
jauh lebih terkenal sekarang jadi untuk bertemu dengannya saja tidaklah mudah,”
ungkapnya lebih lagi.
“Lalu, apa kau sedang berlibur di Indonesia?” tanyaku
sambil mulai berbasa-basi dengannya.
“Aku lahir di sini jadi aku memang tinggal di sini.”
Aku membulatkan mulutku sambil mengangguk-angguk pelan tanda mengerti. “Sebelum
konser, aku melihat kalian berdua tetapi saat aku mendatangi Arvin, kau sedang
tidak ada. Begitu pula dengan sekarang.”
“Arvin.. Dia masih ada urusan. Tidak lama lagi dia
akan datang.”
“Benarkah?”
“Tentu saja,” ucapku sambil mengangguk-angguk. Kulihat
arah matanya yang kembali melihat benda kecil yang sedang ia pegang. Sama
seperti milikku hanya saja yang ia pegang adalah sepasang piano kecil berwarna
hitam.
“Apa kau bermain piano?” terkaku.
“Tidak. Aku bermain terompet. Adikku yang bermain
piano,” terangnya. “Lusa depan dia akan berulang tahun dan aku masih belum tau
hadiah apa yang akan kuberikan padanya. Aku sama sekali tidak pandai dalam
memilih barang,” ucapnya sambil tersenyum dan tersipu malu.
“Kurasa, barang yang kau pegang itu cocok untuk kau
berikan pada adikmu.”
“Benarkah?” tanyanya dengan ragu sambil
terus menikmati benda kecil itu. “Lexa,” panggilnya dengan pelan.
“Ya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?