Sabtu, 13 Desember 2014

String of Notes 4

cerpen, novel

“Kalau begitu, kau masuk saja dulu. Nanti aku akan menyusulmu.” Lalu Cindy pun meninggalkanku di koridor yang panjang itu.
Koridor di sekolahku ini terdapat enam ruangan yang biasanya terpakai untuk latihan musik. Untuk piano, mereka memberikan tiga ruangan khusus di lantai ini tepatnya di koridor ini. Karena ruangannya kedap suara, jadi suara dari dalam pun sulit terdengar dari luar tetapi entah mengapa pendengaranku pagi ini menjadi sedikit tajam. Kurasa ada seorang murid yang sedang bermain piano di salah satu ketiga ruangan ini.
Aku jadi tidak berani mengganggunya karena dia terlalu fokus pada permainan pianonya. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggunya sampai selesai bermain sambil berdiri di dekat pintu saja. Tetapi sepertinya rencanaku tidak berjalan lancar. Kulihat Kevin yang mendongakkan kepalanya dan menatapku selama beberapa saat sebelum akhirnya dia memberikan senyum padaku.
“Apa kau menyukainya?” tanya Kevin dari tempat duduknya secara tiba-tiba sehingga sempat membuatku bingung. “Moonlight Sonata. Apa kau menyukainya?”
“Cukup merdu untuk didengar sebagai pembuka lagu di pagi hari,” candaku sehingga membuatnya tersenyum manis. Untung saja aku masih bisa mengendalikan diriku saat dia tersenyum seperti itu padaku.
“Tak kusangka ternyata kita bisa satu kelas,” ungkapnya.
“Benar juga,” balasku dengan singkat, tak tau harus membalas seperti apa.
“Bolehkah aku bertanya padamu?” tanyanya dengan sopan. “Pria yang berduet denganmu waktu itu, dia terlihat begitu serasi denganmu.”
“Anehnya Cindy juga mengatakan hal yang sama denganmu.”
“Apakah kalian berdua berpacaran?”
“Tidak. Bagaimana mungkin berpacaran dengannya. Aku tidak menyukainya,” balasku dengan cukup terkejut. “Dia telah meninggalkanku selama tujuh tahun dan kurasa saat dia kembali, bagiku dia sudah menjadi orang asing lagi. Aku masih butuh banyak waktu untuk mengenalnya mulai dari awal lagi,” ucapku sambil berterus terang.
“Ternyata begitu,” ucapnya dari balik piano.
“Apa ada yang salah?” tanyaku dengan cukup penasaran.
“Tidak. Aku hanya penasaran saja. Daripada terus mengganggu pikiranku, sebaiknya aku langsung bertanya saja padamu,” jawabnya sambil tersenyum. Tetapi aku masih ragu. Apakah dia terus memikirkan hal itu. Sepertinya dia sedang berusaha untuk menyembunyikan sesuatu dariku. Jangan-jangan dia juga menyukaiku. Jangan berasumsi terlalu berlebihan Lexa.
“Sudah waktunya untuk masuk,” ucap Kevin sambil beranjak dari kursinya dan melangkah mendekati pintu yang ada di sampingku. “Satu lagi, bagaimana kau bisa tau bahwa aku sedang berada di sini?”
“Aku hanya mengikuti  dari mana suara ini berasal.”
“Aku senang karena kaulah yang masuk ke sini dan mendengarkanku baru saja,” paparnya sambil membukakan pintu untukku. Apa yang baru saja ia ungkapkan padaku sempat membuatku senang. Hampir melayang rasanya. Semoga saja Kevin memang menyukaiku.

Waktu istirahat akhirnya datang juga dan cepat-cepat Cindy menyeretku ke kamar mandi. Satu jam yang lalu Cindy memberitahuku bahwa dia melihat Arvin sedang berjalan keluar dari dalam ruang guru saat dia kembali dari toilet. Aku jadi curiga apa yang sedang Arvin lakukan di dalam sana. Aku bergegas untuk mengeluarkan ponselku lalu mencari nomor Arvin.
“Apa kau ada nomornya?” tanya Cindy dengan cukup tergesa.
Aku mencari nomornya di kontak tetapi namanya tidak tertera di dalamnya. “Sepertinya aku lupa untuk meminta padanya,” jawabku dengan sedih. Aku bersandar sambil menengadahkan kepalaku karena kesalahanku sendiri.
“Kau ini bagaimana. Padahal sudah bertemu tetapi kau malah tidak memilik nomor ponselnya,” gertak Cindy.
Aku menghembuskan nafas panjang. Mengapa aku tidak berpikir untuk meminta nomornya. Dasar bodoh. Aku mulai menggoyangkan kakiku dengan kesal. Aku masih tidak bisa tenang. Apa benar Cindy melihatnya di ruang guru.
“Tunggu sebentar,” ucapku sambil berpikir keras. “Aku ingat dia pernah menghubungiku sekali. Semoga saja nomornya masih belum terhapus,” ucapku dengan senang begitu pula dengan Cindy. Segera aku mengecek ponselku lagi di bagian panggilan masuk dan untung saja aku belum menghapusnya. Dengan mudah aku menemukan nomor milik Arvin di situ. Cepat-cepat aku menyimpannya lalu memutuskan untuk menghubunginya.
“Halo, Lexa. Ada apa?” tanya Arvin sesaat setelah dia mengangkatnya.
“Tidak apa. Kau dimana sekarang?” tanyaku tanpa berbasa-basi lagi.
“Aku? Aku sedang berada di rumahmu. Baru saja aku memindahkan koperku ke rumahmu. Sebentar lagi aku akan mengantarkan orang tuaku ke bandara.”
“Apa kau tadi berada di sekolahku?” tanyaku lagi.
“Sejak dari tadi aku berada di sini dan aku sibuk,” jawabnya dengan tegas. “Jangan-jangan.. Apa kau merindukanku? Sampai-sampai kau membayangkan diriku datang ke sekolah. Apa kau ingin aku datang sekarang?” godanya dengan cukup menggelikan.
“Sudahlah. Lupakan saja apa yang baru saja aku tanyakan padamu.” Sepertinya aku sudah jijik dengan kata-katanya dan langsung saja aku mematikan ponselku dengan wajah masam. Masih sempat-sempatnya dia berbicara seperti itu.
“Bagaimana?”
“Dia sedang sibuk dengan urusannya sendiri. Sudahlah jangan di pedulikan lagi,” ucapku dengan kesal. “Sepertinya kau salah melihat orang. Kau baru saja bertemu dengannya sekali. Mana mungkin kau masih mengingat wajahnya dengan begitu jelas.” Aku dengan Cindy segera keluar dari toilet dan berjalan menuju kantin yang terletak di lantai satu.
“Kau benar juga,” ia mengangguk-angguk pelan. “Hei, apa kau bertemu dengan Kevin tadi pagi?” ucapnya sekaligus mengganti topik. Setidaknya topik yang satu ini bisa membuatku langsung tersenyum senang. “Sepertinya kau sangat bahagia sekali setiap aku menyebut namanya,” sindirnya. “Padahal aku lebih setuju jika kau bersama dengan Arvin daripada dengan Kevin.”
“Kenapa?”
“Aku hanya merasa seperti itu saja. Kurasa dia lebih bisa diandalkan daripada Kevin.”
“Benarkah?” tanyaku dengan nada tidak setuju. “Kurasa ada yang aneh antara aku dengan Arvin.”
“Apa?”
“Kau tau, saat aku sedang berduet dengannya, aku merasa bahwa aku bisa merasakan apa yang Arvin rasakan tetapi saat aku bermain dengan Kevin, aku bahkan tak bisa merasakan apa yang ia rasakan. Apa kau pernah merasakan hal yang sama dengan seseorang?”
“Kurasa aku belum pernah mendapatkan hal seperti itu,” ucapnya sambil mengernyitkan dahinya. “Pantas saja saat kalian berdua sedang bermain, aku merasa bahwa nada yang kau mainkan dengan nada yang Arvin mainkan dapat menyatu dengan indah.”
“Itu yang aku maksud,” ucapku dengan sedikit bingung. Ternyata bukan hanya aku saja yang merasakannya tetapi Cindy juga merasakannya.
“Dulu, aku pernah mendengar kisah yang sama sepertimu. Orang tuaku yang memberitahuku saat aku masih kecil.” ucap Cindy dengan sedikit ragu. Mungkin itu karena dia mendengar cerita itu saat masih kecil jadi dia bimbang apakah dia masih mengingatnya atau tidak.
“Benarkah? Seperti apa?” tanyaku dengan amat sangat penasaran.
“Katanya mereka berdua dulu sempat datang ke salah satu konser klasikal musik yang digelar untuk umum di salah satu kota terkenal di Eropa. Mereka mendapati bahwa terdapat seorang pasangan di antara pasangan-pasangan lainnya yang tampil paling bagus. Yang pria memainkan gitar sedang yang wanita memainkan cello. Padahal mereka baru pertama kali berkenalan di tempat itu. Sama seperti kau dengan Arvin, pasangan itu juga memiliki nada yang sempurna. Tidak ada kesalahan satupun di dalamnya. Dengar-dengar mereka berdua juga tidak melakukan latihan sebelumnya. Bukankah kau dengan Arvin juga seperti itu?” Aku langsung mengangguk menyetujuinya. Saat kami bermain, kami tidak melakukan latihan sama sekali. Permainanku dengan Kevin tidaklah bagus, menurutku itu adalah hal yang normal karena kita tidak pernah melakukan latihan sebelumnya. Aku masih mempertanyakan untuk yang satu itu. “Dan satu lagi, mereka akhirnya menjadi pasangan yang sangat terkenal pada jamannya. Pada akhirnya merekapun menikah dan menjadi pasangan seumur hidup. Meskipun sampai sekarang mereka masih hidup tetapi mereka tidak setenar seperti dulu,” jelasnya panjang lebar.
“Apa kau tau siapa nama pasangan itu?”
“Jonathan M. Johansson dan Mary Jose Guevara. Mereka berasal dari dua negara yang berbeda. Jonathan berasal dari Inggris sedangkan Mary berasal dari Spanyol. Menakjubkan bukan? Seandainya kalian berdua memang seperti itu.”
Aku berusaha mencoba untuk mengingat nama pasangan itu dan semoga saja aku bisa mendapatkan sesuatu yang menarik dari mereka berdua.
Tinggal beberapa jam lagi hingga aku menyelesaikan sekolahku hari ini karena hari ini adalah hari pertama jadi aku akan pulang lebih cepat dari biasanya. Sebenarnya, jika aku bisa pulang saat ini juga maka aku akan memilih untuk pulang sekarang karena aku benar-benar penasaran dengan apa yang diceritakan oleh Cindy baru saja.

Aku masuk ke dalam kamarku dengan cepat lalu segera melempar tasku ke atas ranjangku lalu aku duduk dengan manis di depan laptopku. Aku terus menggoyangkan kakiku sambil menunggu laptopku menyala. Jari jemariku kuketuk-ketukkan di atas keyboard dan pada saat laptopku mulai berbunyi, dengan segera aku mulai memindah cursor dan mengklik web browser yang ada di layar itu. Tak lama kemudian aku mengetik salah satu nama dari kedua pasangan itu lalu aku mengklik kata search. Dalam hitungan detik, nama itu mulai bermunculan disertai dengan beberapa artikel yang berbeda dan akupun memutuskan untuk memilih artikel yang paling pertama. Akhirnya satu halaman web yang dipenuhi oleh tulisan itupun mulai keluar. Dengan teliti aku mulai membaca setiap barisnya diikuti dengan cursor yang menjadi pemanduku dan tak kusangka ternyata banyak hal menarik yang bisa kudapatkan darinya.
Di situ diceritakan bahwa setelah konser itupun mereka berdua berpisah selama bertahun-tahun lamanya sampai akhirnya mereka bertemu lagi di Paris. Mereka berdua sama-sama bekerja menjadi guru musik di sebuah universitas. Awalnya mereka tidak saling menyadari bahwa mereka pernah bertemu sebelumnya tetapi seiring berjalannya waktu, mereka pun saling kenal, jatuh cinta dan akhirnya merekapun memutuskan untuk menikah. Pada awalnya aku mengira bahwa mereka berdua mengenakan gelang yang sama sepertiku dengan Arvin, tetapi tidak ada cerita atau gambar yang menunjukkan bahwa mereka memiliki gelang tersebut.
“Alexa,” panggil ibuku dari luar kamar. “Apa kau sudah makan?” tanyanya.
“Sudah, ma.”
“Kalau begitu, bisakah kau menemani Arvin sebentar?” tanya ibuku lagi.
“Iya. Sebentar lagi aku akan turun,” jawabku dengan cepat. Ada apa dengan Arvin. Seperti anak kecil saja ingin ditemani.
Aku menutup laptopku lalu segera mengganti bajuku. Saat aku sedang turun tangga, samar-samar aku mendengar suara biola dari kamar tamu. Dengan perlahan, aku mendekati kamarnya lalu aku mengetuk pintu itu perlahan tetapi tidak ada balasan dari dalam.
“Permisi,” ujarku sambil sedikit berbisik. Kulihat Arvin yang sedang berbaring di atas ranjangnya sambil menerawang ke langit-langit kamar dengan kedua tangannya ia letakkan di bawah kepalanya sebagai sandaran. “Apa kau memanggilku?”
“Tidak,” ucapnya sambil menggeser kepalany lalu menatapku.
“Kalau begitu...” ucapku sambil menutup pintu sedikit demi sedikit.
“Aku hanya bercanda,” ujarnya dengan cepat. Dalam hati aku hanya bisa tertawa. Dia memang seperti anak kecil saja.
 “Apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku sambil melangkah masuk lalu menutup pintu yang ada di belakangku.
“Aku sedang menikmati sebuah lagu,” ucapnya sambil menggeser kembali kepalanya seperti semula. Aku tidak tau apa yang sedang ia lihat di langit-langit sana tetapi aku merasa bahwa Vin melakukannya hanya untuk membuatnya santai.
“Kupikir kau sedang bermain biola. Ternyata kau sedang menikmati kotak musik ini,” ucapku sambil mendekati sebuah kotak kecil berwarna cokelat tua. Di dalamnya terdapat figure pria kecil yang sedang memakai suit berwarna hitam dengan topi yang senada. Pria kecil itu sedang memainkan biolanya. Sebenarnya dia tidak sedang memainkan biola itu. Dia hanya bergerak ke kiri dan ke kanan saja dengan biola yang menempel di dagunya sedangkan tanganya memegang busur biola seakan-akan dia akan memainkan biola itu. “Sepertinya aku pernah melihatnya,” paparku lagi sambil terus mengamati kotak musik yang terletak di atas meja kecil tepat di samping ranjang Arvin.
“Apa kau tidak ingat?” tanya Arvin dengan sedikit terkejut. “Itu kado ulang tahunku dan kau sendiri yang memberikannya padaku. Sepertinya kau lupa tentang banyak hal. Apa kau pernah mengalami amnesia?” tanyanya dengan nada yang aneh.
“Tidak mungkin aku terkena amnesia. Aku masih bisa mengenalmu,” gerutuku. Aku tau dia sedang mengejekku lagi tapi yang ia katakan memang benar. Banyak hal yang tidak kuingat tentang masa kecilku saat aku bersamanya. “Hanya saja, ada beberapa memori yang tidak kuingat. Mungkin, usiaku masih sangat muda jadi tidak semuanya bisa kuingat,” jelasku.
“Kalau begitu, apakah kau lupa bahwa aku pernah menciummu dulu?”
Aku menoleh padanya dan mendapatinya sedang tersenyum jahil padaku. “Sepertinya aku tidak mengingat apapun tentang yang satu itu.” Aku bahkan tidak tau apakah dia mengatakan yang sebenarnya atau tidak. “Pasti kau sedang berbohong,” ucapku padanya. Dan ternyata senyumnya semakin lebar. Diapun mulai tertawa geli. “Dasar pembohong.” Dengan keras aku mulai memukul bahunya.
“Sudah. Cukup,” katanya sambil masih tertawa. Selama dia masih belum berhenti tertawa, aku masih memukulnya. “Hentikan,” serunya lagi sambil menahan tanganku. Dia menatapku lama begitu pula denganku. Aku bahkan tidak sadar dengan apa yang terjadi saat ini.
“Kau ini,” ucapnya lagi sambil melepas tanganku dan tersenyum padaku, membuatku tersadar lalu aku mengerjapkan mataku selama beberapa kali. “Sebaiknya kau melihat wajahmu sendiri. Tiba-tiba saja pipimu memerah tanpa sebab,” sindirnya lagi sambil meletakkan kembali kedua tangannya di bawah kepalanya. Apa yang dikatakan olehnya memang benar. Tanpa melihat di kacapun aku sudah bisa merasakannya sendiri bahwa pipiku mulai terasa panas dengan sendirinya.
“Jangan-jangan kau sedang membayangkan yang tidak-tidak,” sindirnya lagi sampai membuatku kesal. Aku mulai menggerutu sendiri sambil membuang wajahku. Saat aku mulai melihat sekeliling ruangan itu, aku merasa ada yang kurang di dalam sini. Sejak dari tadi aku masuk ke kamar ini, aku tidak menemukan biola Arvin. Bukankah dulu dia sangat suka untuk memainkannya.
“Kurasa aku tidak melihat biola milikmu. Kau taruh dimana biola itu?” tanyaku sambil mencari topik baru.
“Di dalam lemari itu.” Aku memandang lemari besar berwarna coklat yang terletak di dekat jendela kamar. Satu-satunya lemari yang ada di kamar ini.
“Apa kau sudah tidak memainkannya lagi?”
“Aku masih memainkannya tetapi tidak sesering dulu. Aku lebih banyak bermain piano sekarang,” ungkapnya.
 “Sayang sekali,” ucapku sambil menghembuskan nafas panjang. “Padahal aku ingin terus bermain dan juga mendengarkanmu bermain. Sejak dulu aku sudah menanti-nantikannya.”
 “Apa kau menyukai permainanku?”
“Sangat menyukainya,” aku berterus terang padanya.
“Jika kau memang menyukainya maka aku akan terus bermain.”
“Sebenarnya keputusan untuk bermain biola itu adalah milikmu sendiri. Aku tidak ingin ikut campur. Jika kau memang lebih menyukai piano, maka bermainlah terus karena dengan begitu hati baru bisa merasa puas. Begitu pula jika kau menyukai biola.”
“Aku jadi teringat akan janjiku dulu.”
“Janji yang mana?”
“Bukankah aku sempat berjanji padamu jika aku sudah kembali ke sini, maka aku akan terus menemanimu bermain.”
 “Aahh.. Janji itu. Tetapi tidak ada satupun janji yang kau tepati. Benarkan?”
“Maafkan aku.”
“Bagiku itu bukanlah suatu masalah,” ujarku. Aku dengan dirinya saling berdiam diri dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Untung saja kotak musik itu masih berbunyi jadi masih ada yang mengisi keheningan ini.
“Bagaimana sekolahmu hari ini?” tanyanya sambil mencoba mencari topik baru.
“Tidak ada yang spesial hari ini.”
“Benarkah? Lalu, bagaimana dengan Kevin?” tanyanya lagi.
“Aku satu kelas dengannya,” ucapku dengan biasa-biasa saja.
“Apa kau tidak senang?”
“Aku tidak tau. Awalnya aku senang tetapi sekarang aku tidak tau,” aku mengungkapkan perasaanku padanya. Entah mengapa aku sedang tidak ingin membahas Kevin.
“Kau terdengar tidak begitu senang. Apa ada yang salah denganmu? Apa kau sedang sakit?” tanyanya dengan sedikit khawatir. Dia mengeakkan tubuhnya lalu terduduk di pinggir ranjang sambil menatapku dengan cukup cemas.
“Tidak. Aku baik-baik saja,” jawabku dengan lemah.
“Coba kau ulurkan kedua tanganmu padaku,” perintahnya. Lalu dengan perlahan aku mengulurkan kedua tanganku ke hadapannya. “Kau kepalkan keduanya dengan perlahan.” Selanjutnya, aku mengepalkan tanganku seperti apa yang ia perintahkan padaku. Tak kusangka ternyata Arvin menggenggam kepalan tanganku itu di antara kedua tangannya.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku sambil mencoba menarik balik kedua tanganku tetapi dia mencoba untuk menahannya.
“Diam sebentar. Aku sedang mencoba memberikan sebuah sihir padamu,” ucapnya sehingga membuatku tersenyum. “Di saat seperti ini, aku akan meniup tanganmu seperti ini,” ujarnya sambil meniup ke dalam lubang di tengah-tengah kepalan tanganku. “Lalu, aku akan menjentikkan kedua tanganku seperti ini,” ia mulai menjentikkan kedua tangannya secara bergantian. “Maka sihir yang telah kuberikan padamu dapat berfungsi di dalam dirimu,” tuturnya.
“Sihir apa yang telah kau berikan padaku?” tanyaku sambil tersenyum aneh padanya.
“Aku tidak bisa memberitahumu. Bisa-bisa sihir itu gagal jika aku memberitahumu,” ucapnya dengan penuh rahasia.
“Kau seperti anak kecil saja,” sindirku.
“Padahal kau yang mengajariku terlebih dahulu.”
“Benarkah?” ucapku sambil mengernyitkan dahiku. “Bahkan aku tidak mengingat hal seperti ini,” bisikku pada diriku sendiri. Aku beranjak dari tempatku lalu mendekati lemari yang ia tunjuk sebelumnya sambil membukanya dengan perlahan. Aku membukanya dan menemukan sebuah tas berwarna hitam di bagian pojok lemari itu, seperti yang dia katakan padaku sebelumnya.
“Bolehkah aku membukanya?” tanyaku sambil mengeluarkan tas itu dengan hati-hati.
“Tentu saja,” ucapnya.
Setelah mendapat izin darinya, aku pun membuka tas itu dengan perlahan. Aku masih ingat biola Arvin yang berwarna cokelat itu dan sekarang pun warnanya masih tidak berubah.
“Apa ini?” tanyaku pada Arvin yang sedang mengamatiku dari atas ranjangnya. “Mengapa banyak sekali surat di sini?” tanyaku lagi padanya sambil mengamati surat-surat yang saling bertumpukan di dalam tasnya saat aku mengangkat biolanya. Hampir semua amplop surat yang ada di situ tidak ada nama yang tertera. Aku penasaran semua surat ini akan di kirim ke siapa.
“Jangan!” jeritnya dengan cemas saat aku mulai mengangkat salah satu surat miliknya. “Jangan kau sentuh surat itu,” ucapnya lagi sambil menghampiriku dan merebut surat yang ada di tanganku lalu dia beranjak kembali ke ranjangnya, duduk menjauh sambil membawa tas hitam itu.
“Mengapa kau menyimpannya?”
“A-aku belum siap untuk mengirimkannya. Jadi aku menyimpannya di sini,” jawabnya dengan sedikit gugup.
“Dasar pria aneh,” cibirku dengan pelan sambil menatap biolanya dengan lebih seksama lagi. Selama beberapa saat kami kembali terdiam lagi sebelum akhirnya Arvin memutuskan untuk mengambil alilh pembicaraan.
“Lexa, apa kau suka dengan kejutan?” tanya Arvin padaku.
“Aku cukup menyukainya. Apa kau akan memberikanku sebuah kejutan?”
“Sepertinya. Kurasa besok kau akan mengetahuinya.”
“Besok? Ada apa dengan besok?”

                “Hei, katanya akan ada guru baru di sini,” bisik seorang gadis yang berada tidak jauh di sampingku pada seorang gadis yang berada di sebelahnya.
                “Benarkah? Apakah kau sudah melihatnya?” sahut salah satu temannya.
“Belum. Aku penasaran seperti apa wajahnya.”
“Kudengar dia adalah orang yang cukup terkenal. Usianya juga masih muda.”
“Pria atau wanita?”
“Pria. Semoga saja dia memiliki wajah tampan.”
“Kuharap juga begitu.” Merekapun mulai tertawa geli. Tidak hanya gadis-gadis itu saja yang sedang membicarakan tentang guru baru itu tetapi banyak gadis lain yang sedang bercerita tentang hal yang sama. Tak lain halnya dengan para laki-laki yang ada di ruangan ini.
                “Hei, aku sudah melihatnya,” ucap salah seorang gadis yang tepat di belakangku. Meskipun aku tidak penasaran tetapi entah kenapa aku juga ingin mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan. “Aku sudah melihat semua guru baru untuk tahun ini?”
“Benarkah? Bagaimana mereka?”
“Seperti guru-guru di tahun-tahun sebelumnya. Usianya sangatlah jauh berbeda dengan kita,” ucapnya dengan sedikit kecewa. “Tapi aku ingat ada seorang guru tampan. Usianya jauh lebih muda dari mereka semua. Dan kurasa dia adalah guru paling muda untuk tahun ini. Wajahnya juga familiar.”
“Asyiknya. Semoga saja dia masih belum punya pacar.”
“Jika aku memiliki teman sepertinya, kurasa aku juga mau menjadikannya sebagai pacarku.”
“Aku benar-benar tidak sabar ingin melihatnya.”
Pagi ini, semua murid dari tahun pertama sampai tahun ketiga dikumpulkan di dalam sebuah ruangan besar yang ada di lantai paling atas di sekolahku. Seperti biasa, setiap tahunnya kepala sekolah kami akan memberikan sambutan baik kepada murid baru maupun kepada guru baru yang akan bekerja di sini. Sebenarnya hal ini merupakan hal yang cukup membosankan bagiku tetapi harus bagaimana lagi. Aku tidak bisa menghindarinya karena banyak guru yang sedang berjaga di pintu masuk ruangan ini. Dan aku harus terkurung di sini dan berdiri selama sekitar satu sampai dua jam. Menyebalkan.
“Aku jadi penasaran dengan guru baru yang sedang mereka bicarakan ini,” sindir Cindy yang jelas-jelas tidak terlalu tertarik dengan hal yang seperti ini sambil melipat tangannya di depan dadanya. “Mengapa mereka tidak segera memulainya. Sungguh menyebalkan. Aku benar-benar tidak tahan berada di sini. Untung saja aku berada di tahun terakhir dan sebentar lagi aku akan segera bebas,” ocehnya panjang lebar. Tempat ini terlalu berisik bagi kami berdua jadi aku tau apa yang ia rasakan saat ini.
Setelah beberapa menit kami menunggu, akhirnya acara ini dmulai juga tetapi tetap saja tak ada yang bisaa menahan kantukku. Dengan sabar aku menunggu sampai kepala sekolahku mulai untuk memperkenalkan setiap guru baru pada kami semua.
“Akhirnya. Aku sudah menunggu sejak dari tadi. Aku benar-benar penasaran seperti apa wajah guru muda itu,” bisikku pada Cindy tetapi Cindy hanya dapat tersenyum lemah saja. Sepertinya dia juga menahan kantuk sama sepertiku.
“Tahun ini akan ada enam guru baru yang akan mengajar di sini,” ucap sang kepala sekolah. Lalu dia mulai memperkenalkan mereka satu persatu. Dua guru pertama adalah wanita. Yang satu usianya sudah cukup tua sedangkan yang satu lagi jauh lebih muda. Mungkin usianya masih dua puluh sekian. Tiga guru baru lainnya juga sudah maju dan memperkenalkan dirinya dan semuanya pria. Bagiku tidak ada yang muda sama sekali, tidak seperti kabar yang kudapat pada awalnya. Mungkin saja yang mereka maksud adalah guru baru yang paling terakhir.
“Untuk tahun ini, kami mendatangkan seorang guru spesial dan dia akan mengajar juga membagi pengalamannya saat dia berada di Amerika kepada kalian semua. Bukan hanya biola saja yang ia kuasai tetapi ia juga sangat mahir dalam piano. Meskipun usianya masih sangatlah muda di bandingkan dengan guru-guru lainnya, dia sudah sering melakukan konser di sana sini dan terakhir kalinya dia sempat mengadakan konser amal di Bandung. Tidak hanya itu saja. Dia juga sempat menjadi seorang konduktor atau dirigen dalam beberapa konser musik. Namanya cukup terkenal di luar negeri tetapi saya berharap bahwa kalian juga bisa mengenalnya.”
Entah kenapa aku mulai merasakan sesuatu yang ganjil di sini. Amerika. Bandung. Berusia muda. Biola. Piano. Aku mengernyitkan dahiku dengan kesal. Ciri-ciri itu sama seperti seseorang. Aku segera membelalakkan mataku saat mulai mencocokkan setiap petunjuk yang ada di benakku pada seorang pria. Tidak mungkin. Tidak mungkin pria itu.
Mataku segera menelusuri bagian samping panggung tetapi karena aku berdiri terlalu jauh dari panggung jadi aku terlalu susah untuk mengamatinya karena tertutup oleh para murid lainnya. Perasaanku menjadi sangat tidak enak. Aku sama sekali tidak berharap bahwa dia akan menjadi guruku. Aku ingin cepat-cepat keluar tetapi kakiku terus menahanku di sini.
“Silakan maju. Arvin Christian Saputra,” ucapnya dengan bangga sampai-sampai membuat semua bulu kudukku berdiri. Penampilannya berbeda dengan biasanya. Ia memang terlihat sopan tetapi sangat santai. Mungkin karena ia mengenakan kemeja kotak-kotak berlengan pendek berwarna biru muda dan ia sengaja untuk tidak mengancingkan tiga kancing pertama, memamerkan kaos putih di bagian dalamnya. Jeans dan kacamata berframe hitam yang ia kenakan membuat dirinya terlihat jauh lebih muda dan terlihat pintar. Atau sebenarnya dia memang pintar sejak awal. Saat ia maju, seisi ruangan semakin membahana dengan bisikan-bisikan.
“Arvin!?” teriak Cindy dengan terkejut tepat di sampingku. Mendadak seluruh tubuhku jadi lemas dan pikiranku juga menjadi kosong. “Kenapa dia bisa ada di sini?”
“Aku juga tidak tau.” Saat ini pandanganku hanya tertuju pada Arvin seseorang yang sedang berdiri jauh di depan sana. Dia mulai tersenyum tetapi entah mengapa aku merasa bahwa ia sedang tersenyum padaku.  
“Hari ini dia terlihat jauh lebih tampan,” puji Cindy. Sepertinya rasa keterkejutan yang melanda dirinya sebelum ini sudah menghilang entah kemana. “Kusarankan kau menjadi pacarnya secepat mungkin sebelum salah satu murid yang ada di sini mendapatkannya,” lanjutnya.
“Tampan sekali. Kurasa usianya tidak jauh berbeda dengan kita. Jangan-jangan usianya sama dengan usia kita,” ucap seorang gadis yang sebelumnya juga membicarakan tentang Arvin.
“Apakah dia sudah memiliki pacar?”
“Kurasa dia sudah memiliki pacar. Pria tampan seperti dia mana mungkin belum memiliki pacar.”
“Aku berharap bisa berkenalan dengannya.”
“Aku tidak mengira bahwa orang sepertinya ingin mengajar di sini. Pasti dia sangatlah sibuk.”
“Semoga saja hari ini dia mengajar di kelas.”
“Aku ingin sekali melihatnya bermain biola atau piano.”

Aku bisa mendengar dari sana sini bahwa nama Arvin terus menerus dibahas. Dan entah kenapa telingaku terasa panas mendengar semua kalimat-kalimat yang dilontarkan itu. Sungguh berisik sekali. Cindypun juga tidak jauh berbeda dengan mereka. Dia terus berdecak kagum di sampingku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?