Dadaku
mulai naik turun. Sejak dari tadi aku sudah menahan emosi.
Aku sudah tidak tau harus berbuat apa lagi padanya. Ternyata apa yang Cindy lihat kemarin memang benar adanya. Arvin bahkan tidak memberitahuku sebelumnya bahwa dia akan menjadi guru di sini. Menyebalkan. Rasanya aku ingin berteriak di sini. Aku sudah benar-benar tidak peduli lagi dengan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Aku akan berpura-pura untuk tidak mengenalnya saja atau sebaiknya aku tidak mengenal dia saja. Harapanku benar-benar tidak terkabul. Semoga saja harapanku yang terakhir ini benar-benar tidak rusak olehnya. Semoga saja aku masih bisa mendekati Kevin jika dia akan mencoba untuk menggangguku.
Aku sudah tidak tau harus berbuat apa lagi padanya. Ternyata apa yang Cindy lihat kemarin memang benar adanya. Arvin bahkan tidak memberitahuku sebelumnya bahwa dia akan menjadi guru di sini. Menyebalkan. Rasanya aku ingin berteriak di sini. Aku sudah benar-benar tidak peduli lagi dengan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Aku akan berpura-pura untuk tidak mengenalnya saja atau sebaiknya aku tidak mengenal dia saja. Harapanku benar-benar tidak terkabul. Semoga saja harapanku yang terakhir ini benar-benar tidak rusak olehnya. Semoga saja aku masih bisa mendekati Kevin jika dia akan mencoba untuk menggangguku.
Entah
mimpi apa yang aku dapatkan tadi malam sampai-sampai Arvin harus mengajar saat
pelajaran pertama.
“Aku
merasa bahwa kalian semua sudah tahu namaku tadi jadi tidak perlu kusebut lagi
di sini. Panggil saja Arvin. Aku lebih senang kalian memanggilku dengan namaku
saja. Senang berkenalan dengan kalian semua,” ucapnya di depan kelas dengan
senyum yang biasa ia perlihatkan padaku. “Kalian boleh memanggil dengan nama
saja.”
Arvin
menjelaskan bahwa dia yang akan mengajar kami tentang sejarah musik, bagaimana
cara menggubah sebuah lagu dan dia juga yang akan menilai permainan kami baik
secara solo maupun duet. Dia juga yang memegang klub biola dan piano. Dia juga
yang akan melatih murid-murid yang ingin menjadi konduktor. Dan satu lagi, dia
membuka sebuah klub baru untuk murid-murid yang ingin membentuk sebuah grup
musik. Betapa banyak pekerjaannya itu dan di dalam hatiku aku terus merasa
kasihan padanya karena pekerjaannya yang
baru ini.
“Apakah
ada yang ingin bertanya?” tanyanya sambil melihat sekeliling kelas. “Kau, apa yang
ingin kau tanyakan padaku?” ucapnya sambil menunjuk seorang gadis yang sedang
mengangkat tangannya.
Aku tau
gadis itu. Samantha. Gadis paling populer di sekolah ini. Ia cantik juga pintar
dalam bermain piano. Tetapi aku tidak menyukai sikapnya. Dia suka mencari
perhatian dengan murid-murid lainnya. Caranya berjalan, berpakaian dan
berbicara. Selalu saja berlebihan bagiku. Seperti biasa, rok yang ia kenakan
pasti jauh lebih pendek dari pada murid gadis lainnya. Lalu lengan baju
miliknya selalu ia gulung. Banyak yang berkata bahwa setiap malam ia selalu
pergi ke diskotik. Mobil yang ia pakai setiap harinya berwarna merah menyala.
Setidaknya seminggu sekali dia akan mengganti warna mobilnya dengan warna-warna
cerah lainnya dan warnanya itu benar-benar merusak mata. Dulu aku pernah
berurusan sekali dengannya karena laki-laki yang ia sukai itu menyukaiku.
Padahal aku tidak pernah melakukan kesalahan apapun padanya. Aku juga tidak
merasa dekat dengan pria itu tetapi ia terus mendatangiku dan mengancamku serta
melakukan hal-hal buruk padaku tetapi laki-laki itu tidak pernah mengetahuinya.
Sampai akhirnya laki-laki ini pindah sekolah barulah ia berhenti. Demi apapun
juga, aku tidak ingin berurusan dengannya lagi.
“Apakah
kau sudah memiliki pacar?” tanyanya dengan penuh percaya diri. Tahap pertama
yang ia lakukan benar-benar membuatku muak. Jika ada ember di hadapanku,
mungkin aku akan dengan sengaja mengeluarkan seluruh isi perutku. Aku menahan
tawaku lalu memandang Arvin yang hanya bisa tersenyum dengan geli. Aku bisa
melihat wajahnya yang merona merah karena aku tau pasti dia sedang berjuang
keras supaya tidak tertawa terbahak-bahak. Sebagai gantinya dia mulai berdeham
pelan.
“Apa kau
ingin menjadi pacarku?” tanya Vin dengan nada sedikit mengejek.
“Selama
kau tidak memiliki pacar, kurasa aku ingin menjadi pacarmu,” balasnya.
Kudengar
Arvin yang mulai berdeham lagi lalu kembali tersenyum. “Terima kasih sebelumnya
tetapi aku tidak ingin berpacaran denganmu,” jawabnya dengan cukup tegas.
“Kenapa?
Bukankah aku cantik. Aku juga ahli dalam bermain piano, sama seperti dirimu.
Lihat, aku bahkan sudah menemukan satu kesamaan di antara kita berdua,” ucapnya
dengan sombong.
“Maaf.
Tetapi aku akan menolakmu dengan sangat tegas. Bukankah peraturan di sekolah
ini menyatakan bahwa seorang guru tidak bisa berpacaran dengan muridnya,”
tolaknya yang ia tutupi dengan peraturan sebagai alasannya.
“Bagiku
itu bukanlah masalah. Ayahku banyak menyumbang uang untuk sekolah ini sehingga
aku bisa dengan seenaknya melanggar peraturan di sini. Bagaimana?” Nadanya
terdengar begitu meremehkan. Aku bisa mendengar satu dua murid yang ada di
kelas ini mulai mengejeknya.
“Samantha,
maafkan aku. Dalam beberapa saat ini aku sedang tidak ingin berpacaran.
Lagipula aku sudah memiliki orang yang kucintai,” ungkap Vin dengan jujur. Aku
tidak tau mengapa dia rela untuk memberitahukannya di depan publik.
“Kurasa
selama kau tidak berpacaran dengannya, itu masih bukan masalah bagiku.”
“Sebaiknya
kau belajar untuk menghargai dirimu lebih lagi. Selain itu, jika aku berpacaran
denganmu, kurasa aku tidak akan tahan denganmu. Aku bahkan bisa menghitung
dengan jariku sendiri berapa lama aku akan bertahan,” balas Arvin tak mau
kalah. Ia menatap tangannya yang ia kepalkan. Dengan pelan dia mulai
menghitung. Awalnya dia mengeluarkan jempolnya lalu telunjuk dan jari tengah.
Tetapi ia hanya berhenti sampai di situ saja lalu memperlihatkannya pada
Samantha dari tempatnya ia berdiri saat ini.
“Kurasa
tiga bulan adalah waktu yang cukup untuk berpacaran denganmu,” ucap Samantha.
Dan lagi-lagi aku mendapati bahwa Arvin sedang tersenyum.
“Tiga
bulan? Kurasa tiga hari saja sudah sangatlah cukup bagiku,” balasnya.
“Wow,
that’s hurt,” ucap salah seorang laki-laki dengan nada kecewa yang ia
buat-buat. Ia duduk di barisanku paling belakang. David tertawa dengan geli,
seolah-olah dia telah memenangkan sesuatu. Dia membalas kepalan tangan
temannya. Kulihat Samantha yang menatapnya dengan tajam. Wajahnya mulai
menggurutu kesal. Aku tau dia sudah kalah. Arvin sudah mempermalukan dirinya di
hadapan teman-temannya.
Saat aku
menolehkan wajahku lalu menatap Arvin, aku mendapati Arvin yang sedang
menatapku sambil memberikan senyum kecil. Lalu aku segera menghilangkan
senyumku dan berdeham kecil sambil menolehkan wajahku lagi untuk menghindari
tatapannya. Jangan harap aku akan berbaikan dengannya dalam waktu singkat
walaupun dia sudah melakukan sesuatu yang istimewa untuk pelajaran pertama ini.
“Sepertinya
aku baru melihat bahwa Samantha bisa dipermalukan seperti ini,” ucap Cindy
sambil tertawa diam-diam di belakangku.
“Pelajaran
pertama yang sangat menyenangkan,” balasku.
“Aku
pulang,” teriakku seperti biasa pada seisi rumah. Untung saja Arvin belum
pulang karena dia sudah menjadi guru di sekolahku dan biasanya guru akan pulang
satu sampai dua jam setelah para murid pulang. Seharusnya sebentar lagi Arvin
pulang karena ini sudah satu jam lebih. Lihat saja nanti jika dia sudah pulang.
Aku
langsung naik ke kamarku lalu mengunci pintu rapat-rapat. Padahal baru hari
kedua, tetapi entah kenapa rasanya melelahkan sekali. Tiba-tiba saja kejadian
tadi pagi mulai terlintas kembali ke dalam benakku dan aku mulai tersenyum
sendiri karena Samantha dapat dipermalukan oleh seorang guru baru.
Untung saja Arvin menolaknya dengan tegas, pikirku sejenak. Buat apa
aku berpikir seperti itu. Aku bahkan
tidak peduli jika Arvin menerimanya. Aku mulai memukul-mukul dahiku sambil
menghilangkan nama Arvin dari dalam pikiranku. Daripada memikirkan Arvin terus,
aku lebih memilih untuk mendinginkan otakku saja. Dengan segera aku memutar
kunci pintu kamarku lalu aku menuruni tangga dengan kecepatan maksimal dengan
masih mengenakan seragam sekolah lengkap. Aku juga lupa untuk melepaskan
sepatuku terlebih dahulu. Aku melintasi ruang makan barulah aku menemukan
sebuah kulkas besar yang terletak di pojok ruang dapurku. Saat aku membuka
kulkas bagian atas itu, hawa dingin yang ada di dalamnya segera menghambur
keluar. Aku mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya lagi. Aku paling
senang melakukan hal ini karena ini bisa membuatku menjadi rileks. Aku
mengambil es coklat yang kusuka lalu kututup kembali pintu kulkas itu. Saat aku
berbalik, aku mendapati Arvin yang sedang duduk di meja dapur dekat wastafel
sambil melipat tangannya dan melempar senyum padaku. Aku menahan nafas selama
beberapa detik karena terkejut sambil meletakkan salah satu tanganku di atas
dada.
“Sepulang
kerja memang paling enak untuk memakan es,” ucapnya sambil mengambil esku dari
tangaku tanpa rasa bersalah sama sekali. Lalu dia membuka bungkusnya dan memakannya
di depanku. “Coklat. Kau bahkan tau rasa apa yang paling kusukai. Terima
kasih,” lanjutnya sambil melambaikan es itu di hadapanku.
Aku
berdecak kesal sambil mengamatinya. Karena aku memang sedang ingin memakan es,
jadi aku memutuskan untuk membiarkannya es itu direbut olehnya lalu aku
mengambil sebuah es lagi dari dalam kulkas. Sayangnya, es coklat yang kusimpan
hanyalah itu jadi terpaksa aku memakan yang lainnya.
Tanpa
menatapnya, aku segera meninggalkannya di dapur sendirian. Aku tau bahwa dia
sedang menatapku tetapi aku berpura-pura untuk tidak menatapnya. Aku segera
berjalan menuju kamarku sambil mengambil langkah besar. Tetapi sepertinya apa
yang kulakukan juga sia-sia saja karena Arvin dapat mengikutiku dengan mudah
dan lagi-lagi dia menyelinap masuk ke dalam kamarku saat aku ingin menutup
pintuku. Aku berhenti lalu membalikkan badanku dan mendapati Arvin yang sedang
mengemut es krim yang ia rebut dariku. Dia bersandar di pintu kamarku sehingga aku
tidak bisa kemana-mana lagi.
“Apa yang
sebenarnya kau inginkan dariku. Setiap hari menggangguku tanpa henti.” Aku
merasa marah padanya tetapi aku masih bisa mengendalikan emosiku untuk saat
ini. “Kau bahkan tidak memberitahuku jika kau ingin menjadi guru di sekolahku.”
“Jika aku
membertitahumu, maka kau akan melarangku untuk berada di situ,” jelasnya dengan
datar. “Lagipula, rencanaku dari awal memang untuk bekerja menjadi guru di
tempat itu. Aku benar-benar tidak tau jika kau bersekolah di situ,” lanjutnya
lagi. Sepertinya dia memang mengatakan
yang sebenarnya.
“Setidaknya
kau bisa memberitahuku terlebih dahulu,” jeritku sambil berdecak kesal.
“Daripada
kau terus menerus merasa kesal padaku,” sejenak ia mengambil es yang kugenggam
lalu membuka bungkusnya dan ia memberikan es itu padaku. “Sebaiknya kau makan
ini saja. Dinginkan pikiranmu,” perintahnya.
Aku
merebutnya masih dengan kesal lalu aku memasukkan es itu ke dalam mulutku. Aku
duduk di atas ranjangku dalam diam.
“Apa kau
merasa nyaman merasa kesal padaku terus seperti itu?” tanya Arvin tiba-tiba,
memecah keheningan. Tetapi aku hanya diam saja. “Jika aku menjadimu, maka aku
akan memilih untuk melakukan hal yang sebaliknya daripada terus menerus seperti
itu.” Aku terus mengabaikan setiap kalimatnya sampai dia memutuskan untuk dia
juga.
Beberapa
detik kemudian dia keluar dari kamarku dengan sendirinya. “Sebaiknya kau
melakukan yang sebaliknya Lexa,” ucapnya sekali lagi. Saat pintu sudah
tertutup, aku mulai mengerutkan keningku sambil berpikir dengan keras.
“Apa
maksudnya dengan melakukan yang sebaliknya,” tanyaku pada diriku sendiri. “Apa
yang sedang dia rencanakan.” Aku mencoba untuk berpikir keras. “Aku tidak
mengerti apa maksudnya.” Di saat aku sedang membutuhkan pencerahan seperti
sekarang ini, aku selalu membutuhkan Cindy untuk membantuku jadi aku memutuskan
untuk menghubunginya saja.
Aku
mengambil ponsel yang ada di dalam saku rokku. Saat aku ingin mengetik
nomornya, tiba-tiba saja sebuah panggilang masuk. Tak kusangka ternyata dari
Cindy. Tanpa basa-basi lagi aku mengangkatnya.
“Halo,
Lexa! Apa kau sedang berada di rumah?” tanyanya dengan tergesa.
“Ada
apa?”
“Aku
sudah berada di depan pintu rumahmu. Karena aku sedang menganggur jadi aku
memutuskan untuk bermain ke rumahmu. Bolehkah aku masuk?” tanyanya lagi.
“Tunggu.
Biarkan aku yang membukakan pintu untukmu,” balasku dengan sedikit panik.
Sebelumnya aku tidak memberitahu Cindy bahwa Arvin tinggal di rumahku selama
tiga bulan ke depan. Aku memang tidak berencana untuk memberitahunya karena aku
takut dia akan membocorkannya.
Aku
segera membuka pintu dengan cepat sambil menuruni tangga dengan terburu-buru
tetapi sebelumnya aku membuang esku yang masih tersisa setengah batang ke dalam
keranjang sampah yang ada di dalam kamarku. Aku melihat sekeliling ruangan
tanpa melihat adanya kehadiran Arvin di tempat itu. Lalu aku menghampiri
kamarnya dan mengintip masuk. Aku menghela nafas karena aku menemukan Arvin
yang sedang berada di dalamnya. Hanya saja, aku masuk di waktu yang kurang
tepat. Dia sedang bertelanjang dada untuk mengganti pakaiannya tetapi dia
berdiri memunggungiku. Aku tau dia mendengar derit pintu yang di buka dengan
keras karena saat ini dia sedang menatapku dengan kesal sambil mengangakan
mulutnya.
“Apa yang
sedang kau lakukan?” tanyanya dengan sedikit menjerit. Cepat-cepat dia memakai
bajunya tetapi sempat terhambat karena satu tangannya tidak segera masuk ke
dalam lubang bajunya. “Mengapa kau tidak mengetuk terlebih dahulu? Kau
membuatku kaget saja.”
“Lagipula,
mengapa kau tidak mengunci kamarmu.” balasku tidak mau kalah tetapi aku berkata
pada diriku sendiri bahwa sekarang bukanlah saatnya untuk marah ataupun memicu
pertengkaran. ”Kau diam saja di sini. Jangan keluar kamar sekalipun sampai aku
memberitahumu,” ucapku dengan pelan.
“Ada apa?”
“Temanku
datang. Cindy. Aku tidak memberitahunya bahwa kau menginap di sini,” jelasku.
“Tolong bantu aku.” Aku memohon padanya dengan memasang wajah berharap sambil
menggosokkan kedua telapak tanganku. Aku melihat dia yang sedang menatapku lama
sambil mengernyitkan dahinnya dan kurasa dia sedang menimbang-nimbang
permintaanku. “Cepat. Aku takut jika dia curiga.”
“Bolehkah
aku meminta imbalan darimu?” ucapnya sambil tersenyum senang.
“Oke,”
balasku dengan cepat tanpa berpikir panjang. Apapun yang ia minta, aku sudah
tidak peduli.
“Aku akan
memberitahumu nanti.”
Aku
segera menutup pintu kamarnya dan berlari menuju pintu rumah. Sejenak aku
merapikan baju juga rambutku supaya dia tidak curiga lalu aku membukakan pintu
untuknya.
“Lama
sekali,” gerutunya sambil masuk ke dalam rumahku. Aku hanya tersenyum bodoh
saja di hadapannya. “Apa kau sedang sendirian di sini?” tanyanya lagi.
“Seperti
biasa,” jawabku sekenanya. “Sebenarnya aku ingin menghubungimu sebelumnya
tetapi kau sudah ada di sini. Ada yang ingin aku ceritakan padamu,” ucapku
sambil berjalan menuntunnya ke dalam kamarku.
“Apa yang
ingin kau ceritakan padaku?”
“Tadi aku
sempat bertemu dengan Arvin.”
“Dimana?”
tanya Cindy dengan penasaran.
“Dimana?”
tanyaku balik dengan cukup terkejut. “Dia tadi datang kesini untuk mengantarkan
sesuatu,” ucapku dengan sedikit gugup.
“Lalu?”
“Lalu aku
mengatakan padanya mengapa dia ada di sekolahku.”
“Apa
alasannya?”
“Dia
berkata bahwa sejak awal dia memang berencena untuk bekerja sebagai guru di
sekolah. Dia tidak tau jika aku juga bersekolah di sana,” jelasku. “Aku kesal
sekali padanya. Setiap hari dia selalu membuatku kesal. Aku bahkan tidak tau
bagaimana caranya untuk mengurangi kekesalanku ini.”
“Daripada
kau merasa seperti itu terus menerus, mengapa kau tidak mencoba untuk melakukan
hal yang lainnya saja,” ucapnya sambil tersenyum senang dengan idenya
sendiri. “Mungkin kau akan kesal dengan
saranku tetapi sebaiknya kau coba saja.”
“Apa?”
“Bagaimana
jika kau mencoba untuk menyukainya?”
“Apa!”
jeritku dengan cukup kesal.
“Kurasa itu bisa membantu menghilangkan rasa
kesalmu padanya,” balasnya cepat-cepat. Aku terdiam untuk beberapa saat,
memikirkan kata-katanya.
“Hari ini Arvin juga memberikan saran
padaku. Katanya, jika dia menjadi diriku maka dia akan melakukan hal yang
sebaliknya daripada terus menerus merasa kesal pada dirinya,” ucapku sambil
memeragakan bagaimana cara Vin mengutarakannya padaku. “Apa kau tau maksudnya?”
“Lexa, sepertinya kau memang terlalu
polos atau jangan-jangan kau tidak peka sama sekali,” sindirnya di hadapanku.
“Arvin tidak menginginkanmu untuk merasa kesal seperti itu padanya. Apa kau
mengerti?” Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dengan pelan. “Apa kau benar-benar
tidak tau?” Aku mengangguk-anggukan kepalaku. “Arvin menginginkanmu untuk
me-nyu-ka-i-nya,” ucapnya dengan sedikit penekanan pada kata terakhirnya.
“Apa maksudmu?” tanyaku lagi dengan ragu.
“Tidak mungkin. Dia sudah mencintai seseorang,” bantahku. Aku mengerutkan
dahiku. Tidak mungkin. Dia tidak mungkin menyukaiku.
“Dia sudah menyatakan perasaanya padamu
walaupun secara tidak langsung. Kurasa dia merasa tidak senang jika kau kesal
dengannya terus menerus. Apa kau masih tidak mengerti juga?” jelas Cindy sekali
lagi.
“Tidak mungkin,” bantahku lagi.
“Sampai kapan kau akan membantahnya? Apa yang
akan kau lakukan jika dia memang benar menyukaimu?”
“Kau bahkan tidak memiliki bukti apapun.”
“Apa kau masih mencari alasan Lexa?
Pertama kali dia datang dari New York, kau adalah orang pertama yang dia cari,
dia memelukmu, mengatakan rindu padamu, dia sempat ingin mengantarkanmu pergi
saat aku mengajakmu pergi lalu saat pelajaran pertama pagi ini, aku terus
memperhatikan tingkah laku pria itu. Kau tau, sesaat sesudah dia mempermalukan
Samantha di dalam kelas, dia langsung memberikan senyum manis padamu. Mungkin
ada juga hal lain yang Arvin lakukan padamu meskipun kau tidak ingin
memberitahukannya padaku.”
“Ternyata kau juga melihat tentangnya
tadi pagi,” balasku.
“Kau bahkan melihatnya sendiri. Apa kau
masih menolaknya?” tanyanya dengan penuh harap supaya aku tidak membantahnya
lagi.
“Ya. Aku menolaknya dengan keras,” ucapku
sambil menaikkan nada suaraku. “Langsung mencariku saat dia tiba di Jakarta
lalu memelukku dan mengatakan rindu padaku. Semuanya merupakan hal yang wajar
bagiku. Lalu, saat di sekolah, kurasa dia menatapku dengan tidak sengaja. Dan
apa yang dia katakan padaku tadi, kurasa dia memiliki maksud lain untukku
melakukan hal yang sebaliknya,” tolakku mentah-mentah. Aku benar-benar tidak
ingin mengakui fakta yang ada.
Kulihat Cindy yang sedang menatapku
sambil menghembuskan nafas panjang. Aku tau dia sudah lelah berdebat denganku.
Aku akan menjadi sangat keras kepala jika aku memiliki argumen yang berbeda
dengannya.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan jika
memang benar dia menyukaimu, mencintaimu bukan mencintai wanita lain?” tanyanya
sekali lagi dengan pasrah.
“Aku tidak tau,” ucapku dengan datar. Aku
benar-benar tidak tau jika itu memang benar terjadi. Aku bahkan tidak
mengharapkan itu terjadi.
“Terima kasih karena kau telah menjawab
pertanyaanku,” ucapnya sambil menghembuskan nafas panjang dan menundukkan
kepalanya. “Sekarang, aku akan bertanya padamu. Apa kau menyukai Kevin?” Aku
mengangguk-anggukkan kepalaku. “Apa kau merasa senang berada di dekatnya?” Aku
melakukan hal yang sama lagi untuk menjawabnya. “Berapa lama kau sudah mengenal
Kevin?”
“Satu tahun.”
“Untuk yang satu ini, tolong jawab dengan
jujur. Apa kau merasa lebih senang untuk berada di dekat Arvin daripada Kevin?”
tanyanya. Awalnya aku mulai membuka mulutku untuk membantahnya tetapi aku
menutupnya kembali. Aku menganggukkan kepalaku untuk ketiga kalinya.
“Berapa lama kalian sudah saling
mengenal?”
“Lima tahun.”
“Siapa yang akan kau khawatirkan lebih
jika mereka berdua anggap saja sedang berada di rumah sakit?”
“Arvin,” jawabku dengan pasrah.
“Arvin,” jawabku dengan pasrah.
“Siapa yang akan lebih kau rindukan jika
mereka berdua meninggalkanmu?”
“Arvin,” aku menyebut namanya lagi.
“Dengan siapa kau akan cemburu jika
mereka berdua sudah memiliki pasangan?” Aku membelalakkan mataku ingin menolak
untuk menjawabnya tetapi dia juga melakukan hal yang sama padaku dan aku jauh
lebih takut saat dia sudah melakukannya. Mungkin aku sebal dengan jawaban yang
akan aku berikan tetapi untuk ketiga kalinya aku menyebut nama Arvin.
“Lexa, apa kau masih tidak ingin
mengakuinya juga?” tanyanya sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya.
“Kau bahkan tau perasaanmu sendiri pada Arvin,” ungkapnya lagi.
“Itu bisa berubah sewaktu-waktu.
Benarkan?” tanyaku dengan sedikit gugup.
“Tentu saja bisa. Tapi, sebaiknya kau berpikir
dua kali sebelum kau memilih Kevin. Kau baru mengenalnya selama satu tahun dan
kau hanya mengenalnya di sekolah saja. Jika dibandingkan dengannya, kau jauh
lebih mengenal Arvin. Kau tau semua baik buruknya. Benarkan?”
“Itu dulu. Kurasa Arvin yang sekarang
bukan lagi Arvin yang kukenal,” lagi-lagi aku mulai membantahnya. “Aku pikir
dia bukanlah Arvin yang dulu. Maksudku Arvin yang kukenal sekarang adalah orang
lain yang memiliki nama yang sama dengan Arvin lalu dia menyamar menjadi Arvin
yang kukenal, tetapi dia tau semua yang kusuka dan yang tidak kusuka. Dia juga
tau lagu pertama yang berhasil kumainkan. Dia tau semua masa laluku.”
“Bagiku, kau terdengar seperti orang
gila,” ejek Cindy dengan memberikan tatapan aneh padaku. Sepertinya aku memang
butuh seorang psikolog untuk mengungkapkan semua tentang Arvin yang baru dan
aku sudah memutuskan siapa psikolog itu.
“Dulu Arvin tidak seperti ini. Dia jauh lebih
pendiam dan tidak sebaik seperti sekarang. Jika saja aku tidak datang padanya
terlebih dahulu untuk mendengarkan dia bermain, mungkin aku tidak akan
mengenalnya dan jika aku tidak mengambil inisiatif untuk selalu berbicara
padanya terlebih dahulu, mungkin juga aku tidak akan pernah berbicara padanya.
Dan itu terus kulakukan selama empat tahun. Aku bertahan selama empat tahun,”
ucapku secara berlebihan pada kalimat terakhir. “Sampai akhirnya dia berubah
sedikit demi sedikit. Dia mau berbicara panjang lebar padaku. Dia mau
menggenggam tanganku sebelum aku memintanya karena dia tau bahwa aku akan
menangis jika dia tidak melakukannya. Dia juga selalu menemaniku kemanapun aku
pergi padahal sebelumnya dia pernah mengatakan padaku bahwa dia tidak
menyukaiku jika aku menggenggam tangannya, mengikutinya kemanapun dia pergi dan
meminta banyak hal darinya. Mungkin aku memang sudah menjadi beban baginya.
Hanya saja aku belum menyadarinya saat itu.”
“Karena aku masih kecil, jadi aku tidak peduli
dengan apa yang dia katakan.” Aku tersenyum sejenak sambil merenungkan masa
lalu sebelum melanjutkan kembali kalimatku. “Saat itu aku mulai menganggapnya
seperti saudaraku sendiri sampai akhirnya dia pergi setelah lulus SMP.”
Tiba-tiba saja aku membelalakkan mataku karena tersadar akan sesuatu. “Benar,
saudara,” ucapku dengan girang. “Kurasa jika aku cemburu ataupun khawatir pada
Arvin, mungkin saja itu karena aku sudah menganggapnya seperti saudaraku
sendiri. Benarkan? Benarkan?” tanyaku sambil mengguncang-guncangkan bahu Cindy.
Gadis yang ada di hadapanku menatapku sambil mengangakan mulutnya.
“Kau benar-benar gadis aneh,” sindirnya.
“Benarkan? Kurasa apa yang kukatakan itu
benar,” timpalku dengan penuh semangat.
“Aku tidak tau. Pikirkanlah saja sesuka
hatimu,” gerutunya dengan kesal.
“Menurutku itu benar. Tidak mungkin aku
menyukai Arvin.”
Sudah seminggu penuh Arvin menginap di
rumahku dan Cindy masih belum mengetahuinya juga. Aku sudah mulai terbiasa
dengan sikap Arvin yang begitu berbeda dengan dirinya tujuh tahun yang lalu dan
aku juga sudah mulai menerima kehadirannya sebagai guru di sekolahku. Aku mulai
menganggapnya seperti saudaraku sendiri. Akhir-akhir ini Arvin menjadi begitu
terkenal di kalangan para gadis. Kurasa dia tidak akan tenang menjadi guru.
Bicara tentang imbalan yang ia minta padaku saat itu, sepertinya ia lupa
mengatakannya padaku. Selain itu, hubunganku dengan Kevin berjalan dengan
baik-baik saja. Setidaknya aku bisa lebih banyak berbicara dengannya daripada
tahun sebelumnya. Aku sampai lupa bertanya pada Arvin tentang foto yang aku
minta darinya. Jangan-jangan dia tidak melakukan tugasnya sama sekali.
“Apa kau ada acara Sabtu ini?” tanya
Arvin saat kami sedang makan malam di rumahku. Orang tuaku malam ini sedang
menghadiri sebuah acara pernikahan jadi hanya kami berdua saja yang ada di
sini. “Aku ingin menagih imbalanku waktu itu,” ucapnya sambil menyendokkan nasi
dari piringnya.
“Sabtu,” aku berpikir sejenak. Tiba-tiba
aku teringat akan satu hal. Kemarin lusa Kevin mengajakku untuk pergi bersama
Sabtu ini. “Tidak bisa. Aku ada kencan
dengan Kevin,” jawabku dengan senang.
“Kencan apa?”
“Aku tidak tau. Kevin tidak
memberitahuku. Kurasa hanya jalan-jalan.”
“Padahal aku berencana untuk mengajakmu
melihat sebuah konser,” balasnya.
“Konser apa?” aku membelalakkan mataku
padanya saat mendengar kata konser. Sudah sangat lama aku ingin datang ke
sebuah konser tetapi bukanlah sembarang konser.
“Klasikal musik. Tapi tidak apa jika kau
menolaknya. Aku bisa mengajak orang lain.”
“Klasikal musik? Aku ingin melihatnya,”
ucapku penuh sukacita. Itulah yang aku maksud dengan ‘bukan sembarang konser’.
“Kau ada kencan Sabtu ini.”
“Mengapa kau tidak memilih hari lain?”
balasku dengan sedikit kecewa.
“Karena aku lebih menyukai hari Sabtu.
Jika aku memilih hari lain maka pikiranku akan terbeban dengan pekerjaanku
sendiri dan itu tidak menyenangkan.”
“Kau benar juga. Bagaimana dengan minggu
depan?”
“Aku sudah membeli tiket untuk Sabtu
ini.”
“Sayang sekali. Padahal aku ingin
melihatnya.”
“Kalau begitu, batalkan saja kencanmu,”
ujarnya dengan datar. Mengucapkan memang mudah tetapi melakukannya itu
merupakan bagian yang tersulit.
“Aku tidak mau,” gerutuku. “Bagaimana
kalau kau memberikan tiket itu padaku dan aku akan membayarmu dua kali lipat
untuk satu tiket?” tawarku padanya.
“Aku tidak akan memberikannya padamu,”
tolaknya mentah-mentah tanpa berpikir panjang terlebih dahulu.
“Ayolah Vin. Aku sangat ingin melihatnya,”
rengekku dengan penuh harap padanya.
“Jika kau ingin melihatnya, melihatlah
bersamaku. Jika tidak, lupakan saja. Anggap saja aku belum menagih imbalanku
padamu.”
“Baiklah. Aku mengerti,” balasku dengan
kesal. “Lagipula aku juga bisa melihatnya bersama dengan Kevin di hari lain.
Mungkin saja Sabtu ini Kevin juga mengajakku ke sana,” ucapku sambil
mengaduk-aduk nasi yang ada di piringku dengan kesal. “Jika saja tiba-tiba
Kevin membatalkan kencan Sabtu ini, apakah aku bisa pergi bersamamu?” tanyaku
dengan pelan sambil sedikit menundukkan kepalaku.
“Kau ini...” ucapnya dengan gemas. “Saat
kau seperti ini, kau menjadi sangat manis,” ucapnya sambil mengusap-usap
kepalaku. “Tentu saja masih. Jika tidak, tiket ini akan sia-sia begitu saja.”
“Kau..” aku membelalakkan mataku dengan
kesal saat ia mengusap-usap kepalaku. “Kau masih saja menganggapku seperti
seorang anak kecil. Sampai kapan kau akan terus memperlakukanku seperti anak
kecil?”
“Sampai
kau sudah tumbuh dewasa,” sindirnya.
“Sebaiknya
kau jauh-jauh dariku sampai aku tumbuh dewasa setelah itu kau bisa bertemu
denganku lagi,” paparku.
“Jangan sampai hal itu terjadi lagi,”
ucapnya sambil menyuapkan sesendok nasi penuh ke dalam mulutnya. “Karena aku
tidak ingin meninggalkanmu lagi.”
“Apa?” tanyaku padanya karena aku tidak
mendengar kalimat terakhir yang baru saja ia ucapkan padaku.
“Lupakan saja.”
“Oia Vin, ada yang ingin kutanyakan
padamu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?