Sabtu, 20 Desember 2014

String of Notes 5

cerpen, novel

Dadaku mulai naik turun. Sejak dari tadi aku sudah menahan emosi.
Aku sudah tidak tau harus berbuat apa lagi padanya. Ternyata apa yang Cindy lihat kemarin memang benar adanya. Arvin bahkan tidak memberitahuku sebelumnya bahwa dia akan menjadi guru di sini. Menyebalkan. Rasanya aku ingin berteriak di sini. Aku sudah benar-benar tidak peduli lagi dengan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Aku akan berpura-pura untuk tidak mengenalnya saja atau sebaiknya aku tidak mengenal dia saja. Harapanku benar-benar tidak terkabul. Semoga saja harapanku yang terakhir ini benar-benar tidak rusak olehnya. Semoga saja aku masih bisa mendekati Kevin jika dia akan mencoba untuk menggangguku.

Entah mimpi apa yang aku dapatkan tadi malam sampai-sampai Arvin harus mengajar saat pelajaran pertama.
“Aku merasa bahwa kalian semua sudah tahu namaku tadi jadi tidak perlu kusebut lagi di sini. Panggil saja Arvin. Aku lebih senang kalian memanggilku dengan namaku saja. Senang berkenalan dengan kalian semua,” ucapnya di depan kelas dengan senyum yang biasa ia perlihatkan padaku. “Kalian boleh memanggil dengan nama saja.”
Arvin menjelaskan bahwa dia yang akan mengajar kami tentang sejarah musik, bagaimana cara menggubah sebuah lagu dan dia juga yang akan menilai permainan kami baik secara solo maupun duet. Dia juga yang memegang klub biola dan piano. Dia juga yang akan melatih murid-murid yang ingin menjadi konduktor. Dan satu lagi, dia membuka sebuah klub baru untuk murid-murid yang ingin membentuk sebuah grup musik. Betapa banyak pekerjaannya itu dan di dalam hatiku aku terus merasa kasihan padanya karena pekerjaannya yang  baru ini.
“Apakah ada yang ingin bertanya?” tanyanya sambil melihat sekeliling kelas. “Kau, apa yang ingin kau tanyakan padaku?” ucapnya sambil menunjuk seorang gadis yang sedang mengangkat tangannya.
Aku tau gadis itu. Samantha. Gadis paling populer di sekolah ini. Ia cantik juga pintar dalam bermain piano. Tetapi aku tidak menyukai sikapnya. Dia suka mencari perhatian dengan murid-murid lainnya. Caranya berjalan, berpakaian dan berbicara. Selalu saja berlebihan bagiku. Seperti biasa, rok yang ia kenakan pasti jauh lebih pendek dari pada murid gadis lainnya. Lalu lengan baju miliknya selalu ia gulung. Banyak yang berkata bahwa setiap malam ia selalu pergi ke diskotik. Mobil yang ia pakai setiap harinya berwarna merah menyala. Setidaknya seminggu sekali dia akan mengganti warna mobilnya dengan warna-warna cerah lainnya dan warnanya itu benar-benar merusak mata. Dulu aku pernah berurusan sekali dengannya karena laki-laki yang ia sukai itu menyukaiku. Padahal aku tidak pernah melakukan kesalahan apapun padanya. Aku juga tidak merasa dekat dengan pria itu tetapi ia terus mendatangiku dan mengancamku serta melakukan hal-hal buruk padaku tetapi laki-laki itu tidak pernah mengetahuinya. Sampai akhirnya laki-laki ini pindah sekolah barulah ia berhenti. Demi apapun juga, aku tidak ingin berurusan dengannya lagi.
“Apakah kau sudah memiliki pacar?” tanyanya dengan penuh percaya diri. Tahap pertama yang ia lakukan benar-benar membuatku muak. Jika ada ember di hadapanku, mungkin aku akan dengan sengaja mengeluarkan seluruh isi perutku. Aku menahan tawaku lalu memandang Arvin yang hanya bisa tersenyum dengan geli. Aku bisa melihat wajahnya yang merona merah karena aku tau pasti dia sedang berjuang keras supaya tidak tertawa terbahak-bahak. Sebagai gantinya dia mulai berdeham pelan.
“Apa kau ingin menjadi pacarku?” tanya Vin dengan nada sedikit mengejek.
“Selama kau tidak memiliki pacar, kurasa aku ingin menjadi pacarmu,” balasnya.
Kudengar Arvin yang mulai berdeham lagi lalu kembali tersenyum. “Terima kasih sebelumnya tetapi aku tidak ingin berpacaran denganmu,” jawabnya dengan cukup tegas.
“Kenapa? Bukankah aku cantik. Aku juga ahli dalam bermain piano, sama seperti dirimu. Lihat, aku bahkan sudah menemukan satu kesamaan di antara kita berdua,” ucapnya dengan sombong.
“Maaf. Tetapi aku akan menolakmu dengan sangat tegas. Bukankah peraturan di sekolah ini menyatakan bahwa seorang guru tidak bisa berpacaran dengan muridnya,” tolaknya yang ia tutupi dengan peraturan sebagai alasannya.
“Bagiku itu bukanlah masalah. Ayahku banyak menyumbang uang untuk sekolah ini sehingga aku bisa dengan seenaknya melanggar peraturan di sini. Bagaimana?” Nadanya terdengar begitu meremehkan. Aku bisa mendengar satu dua murid yang ada di kelas ini mulai mengejeknya.
“Samantha, maafkan aku. Dalam beberapa saat ini aku sedang tidak ingin berpacaran. Lagipula aku sudah memiliki orang yang kucintai,” ungkap Vin dengan jujur. Aku tidak tau mengapa dia rela untuk memberitahukannya di depan publik.
“Kurasa selama kau tidak berpacaran dengannya, itu masih bukan masalah bagiku.”
“Sebaiknya kau belajar untuk menghargai dirimu lebih lagi. Selain itu, jika aku berpacaran denganmu, kurasa aku tidak akan tahan denganmu. Aku bahkan bisa menghitung dengan jariku sendiri berapa lama aku akan bertahan,” balas Arvin tak mau kalah. Ia menatap tangannya yang ia kepalkan. Dengan pelan dia mulai menghitung. Awalnya dia mengeluarkan jempolnya lalu telunjuk dan jari tengah. Tetapi ia hanya berhenti sampai di situ saja lalu memperlihatkannya pada Samantha dari tempatnya ia berdiri saat ini.
“Kurasa tiga bulan adalah waktu yang cukup untuk berpacaran denganmu,” ucap Samantha. Dan lagi-lagi aku mendapati bahwa Arvin sedang tersenyum.
“Tiga bulan? Kurasa tiga hari saja sudah sangatlah cukup bagiku,” balasnya.
“Wow, that’s hurt,” ucap salah seorang laki-laki dengan nada kecewa yang ia buat-buat. Ia duduk di barisanku paling belakang. David tertawa dengan geli, seolah-olah dia telah memenangkan sesuatu. Dia membalas kepalan tangan temannya. Kulihat Samantha yang menatapnya dengan tajam. Wajahnya mulai menggurutu kesal. Aku tau dia sudah kalah. Arvin sudah mempermalukan dirinya di hadapan teman-temannya.
Saat aku menolehkan wajahku lalu menatap Arvin, aku mendapati Arvin yang sedang menatapku sambil memberikan senyum kecil. Lalu aku segera menghilangkan senyumku dan berdeham kecil sambil menolehkan wajahku lagi untuk menghindari tatapannya. Jangan harap aku akan berbaikan dengannya dalam waktu singkat walaupun dia sudah melakukan sesuatu yang istimewa untuk pelajaran pertama ini.
“Sepertinya aku baru melihat bahwa Samantha bisa dipermalukan seperti ini,” ucap Cindy sambil tertawa diam-diam di belakangku.
“Pelajaran pertama yang sangat menyenangkan,” balasku.

“Aku pulang,” teriakku seperti biasa pada seisi rumah. Untung saja Arvin belum pulang karena dia sudah menjadi guru di sekolahku dan biasanya guru akan pulang satu sampai dua jam setelah para murid pulang. Seharusnya sebentar lagi Arvin pulang karena ini sudah satu jam lebih. Lihat saja nanti jika dia sudah pulang.
Aku langsung naik ke kamarku lalu mengunci pintu rapat-rapat. Padahal baru hari kedua, tetapi entah kenapa rasanya melelahkan sekali. Tiba-tiba saja kejadian tadi pagi mulai terlintas kembali ke dalam benakku dan aku mulai tersenyum sendiri karena Samantha dapat dipermalukan oleh seorang guru baru.
Untung saja Arvin menolaknya dengan tegas, pikirku sejenak. Buat apa aku berpikir seperti itu. Aku bahkan tidak peduli jika Arvin menerimanya. Aku mulai memukul-mukul dahiku sambil menghilangkan nama Arvin dari dalam pikiranku. Daripada memikirkan Arvin terus, aku lebih memilih untuk mendinginkan otakku saja. Dengan segera aku memutar kunci pintu kamarku lalu aku menuruni tangga dengan kecepatan maksimal dengan masih mengenakan seragam sekolah lengkap. Aku juga lupa untuk melepaskan sepatuku terlebih dahulu. Aku melintasi ruang makan barulah aku menemukan sebuah kulkas besar yang terletak di pojok ruang dapurku. Saat aku membuka kulkas bagian atas itu, hawa dingin yang ada di dalamnya segera menghambur keluar. Aku mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya lagi. Aku paling senang melakukan hal ini karena ini bisa membuatku menjadi rileks. Aku mengambil es coklat yang kusuka lalu kututup kembali pintu kulkas itu. Saat aku berbalik, aku mendapati Arvin yang sedang duduk di meja dapur dekat wastafel sambil melipat tangannya dan melempar senyum padaku. Aku menahan nafas selama beberapa detik karena terkejut sambil meletakkan salah satu tanganku di atas dada.
“Sepulang kerja memang paling enak untuk memakan es,” ucapnya sambil mengambil esku dari tangaku tanpa rasa bersalah sama sekali. Lalu dia membuka bungkusnya dan memakannya di depanku. “Coklat. Kau bahkan tau rasa apa yang paling kusukai. Terima kasih,” lanjutnya sambil melambaikan es itu di hadapanku.                                               
Aku berdecak kesal sambil mengamatinya. Karena aku memang sedang ingin memakan es, jadi aku memutuskan untuk membiarkannya es itu direbut olehnya lalu aku mengambil sebuah es lagi dari dalam kulkas. Sayangnya, es coklat yang kusimpan hanyalah itu jadi terpaksa aku memakan yang lainnya.
Tanpa menatapnya, aku segera meninggalkannya di dapur sendirian. Aku tau bahwa dia sedang menatapku tetapi aku berpura-pura untuk tidak menatapnya. Aku segera berjalan menuju kamarku sambil mengambil langkah besar. Tetapi sepertinya apa yang kulakukan juga sia-sia saja karena Arvin dapat mengikutiku dengan mudah dan lagi-lagi dia menyelinap masuk ke dalam kamarku saat aku ingin menutup pintuku. Aku berhenti lalu membalikkan badanku dan mendapati Arvin yang sedang mengemut es krim yang ia rebut dariku. Dia bersandar di pintu kamarku sehingga aku tidak bisa kemana-mana lagi.
“Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku. Setiap hari menggangguku tanpa henti.” Aku merasa marah padanya tetapi aku masih bisa mengendalikan emosiku untuk saat ini. “Kau bahkan tidak memberitahuku jika kau ingin menjadi guru di sekolahku.”
“Jika aku membertitahumu, maka kau akan melarangku untuk berada di situ,” jelasnya dengan datar. “Lagipula, rencanaku dari awal memang untuk bekerja menjadi guru di tempat itu. Aku benar-benar tidak tau jika kau bersekolah di situ,” lanjutnya lagi.  Sepertinya dia memang mengatakan yang sebenarnya.
“Setidaknya kau bisa memberitahuku terlebih dahulu,” jeritku sambil berdecak kesal.
“Daripada kau terus menerus merasa kesal padaku,” sejenak ia mengambil es yang kugenggam lalu membuka bungkusnya dan ia memberikan es itu padaku. “Sebaiknya kau makan ini saja. Dinginkan pikiranmu,” perintahnya.
Aku merebutnya masih dengan kesal lalu aku memasukkan es itu ke dalam mulutku. Aku duduk di atas ranjangku dalam diam.
“Apa kau merasa nyaman merasa kesal padaku terus seperti itu?” tanya Arvin tiba-tiba, memecah keheningan. Tetapi aku hanya diam saja. “Jika aku menjadimu, maka aku akan memilih untuk melakukan hal yang sebaliknya daripada terus menerus seperti itu.” Aku terus mengabaikan setiap kalimatnya sampai dia memutuskan untuk dia juga.
Beberapa detik kemudian dia keluar dari kamarku dengan sendirinya. “Sebaiknya kau melakukan yang sebaliknya Lexa,” ucapnya sekali lagi. Saat pintu sudah tertutup, aku mulai mengerutkan keningku sambil berpikir dengan keras.
“Apa maksudnya dengan melakukan yang sebaliknya,” tanyaku pada diriku sendiri. “Apa yang sedang dia rencanakan.” Aku mencoba untuk berpikir keras. “Aku tidak mengerti apa maksudnya.” Di saat aku sedang membutuhkan pencerahan seperti sekarang ini, aku selalu membutuhkan Cindy untuk membantuku jadi aku memutuskan untuk menghubunginya saja.
Aku mengambil ponsel yang ada di dalam saku rokku. Saat aku ingin mengetik nomornya, tiba-tiba saja sebuah panggilang masuk. Tak kusangka ternyata dari Cindy. Tanpa basa-basi lagi aku mengangkatnya.
“Halo, Lexa! Apa kau sedang berada di rumah?” tanyanya dengan tergesa.
“Ada apa?”
“Aku sudah berada di depan pintu rumahmu. Karena aku sedang menganggur jadi aku memutuskan untuk bermain ke rumahmu. Bolehkah aku masuk?” tanyanya lagi.
“Tunggu. Biarkan aku yang membukakan pintu untukmu,” balasku dengan sedikit panik. Sebelumnya aku tidak memberitahu Cindy bahwa Arvin tinggal di rumahku selama tiga bulan ke depan. Aku memang tidak berencana untuk memberitahunya karena aku takut dia akan membocorkannya.
Aku segera membuka pintu dengan cepat sambil menuruni tangga dengan terburu-buru tetapi sebelumnya aku membuang esku yang masih tersisa setengah batang ke dalam keranjang sampah yang ada di dalam kamarku. Aku melihat sekeliling ruangan tanpa melihat adanya kehadiran Arvin di tempat itu. Lalu aku menghampiri kamarnya dan mengintip masuk. Aku menghela nafas karena aku menemukan Arvin yang sedang berada di dalamnya. Hanya saja, aku masuk di waktu yang kurang tepat. Dia sedang bertelanjang dada untuk mengganti pakaiannya tetapi dia berdiri memunggungiku. Aku tau dia mendengar derit pintu yang di buka dengan keras karena saat ini dia sedang menatapku dengan kesal sambil mengangakan mulutnya.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya dengan sedikit menjerit. Cepat-cepat dia memakai bajunya tetapi sempat terhambat karena satu tangannya tidak segera masuk ke dalam lubang bajunya. “Mengapa kau tidak mengetuk terlebih dahulu? Kau membuatku kaget saja.”
“Lagipula, mengapa kau tidak mengunci kamarmu.” balasku tidak mau kalah tetapi aku berkata pada diriku sendiri bahwa sekarang bukanlah saatnya untuk marah ataupun memicu pertengkaran. ”Kau diam saja di sini. Jangan keluar kamar sekalipun sampai aku memberitahumu,” ucapku dengan pelan.
“Ada apa?”
“Temanku datang. Cindy. Aku tidak memberitahunya bahwa kau menginap di sini,” jelasku. “Tolong bantu aku.” Aku memohon padanya dengan memasang wajah berharap sambil menggosokkan kedua telapak tanganku. Aku melihat dia yang sedang menatapku lama sambil mengernyitkan dahinnya dan kurasa dia sedang menimbang-nimbang permintaanku. “Cepat. Aku takut jika dia curiga.”
“Bolehkah aku meminta imbalan darimu?” ucapnya sambil tersenyum senang.
“Oke,” balasku dengan cepat tanpa berpikir panjang. Apapun yang ia minta, aku sudah tidak peduli.
“Aku akan memberitahumu nanti.”
Aku segera menutup pintu kamarnya dan berlari menuju pintu rumah. Sejenak aku merapikan baju juga rambutku supaya dia tidak curiga lalu aku membukakan pintu untuknya.
“Lama sekali,” gerutunya sambil masuk ke dalam rumahku. Aku hanya tersenyum bodoh saja di hadapannya. “Apa kau sedang sendirian di sini?” tanyanya lagi.
“Seperti biasa,” jawabku sekenanya. “Sebenarnya aku ingin menghubungimu sebelumnya tetapi kau sudah ada di sini. Ada yang ingin aku ceritakan padamu,” ucapku sambil berjalan menuntunnya ke dalam kamarku.
“Apa yang ingin kau ceritakan padaku?”
“Tadi aku sempat bertemu dengan Arvin.”
“Dimana?” tanya Cindy dengan penasaran.
“Dimana?” tanyaku balik dengan cukup terkejut. “Dia tadi datang kesini untuk mengantarkan sesuatu,” ucapku dengan sedikit gugup.
“Lalu?”
“Lalu aku mengatakan padanya mengapa dia ada di sekolahku.”
“Apa alasannya?”
“Dia berkata bahwa sejak awal dia memang berencena untuk bekerja sebagai guru di sekolah. Dia tidak tau jika aku juga bersekolah di sana,” jelasku. “Aku kesal sekali padanya. Setiap hari dia selalu membuatku kesal. Aku bahkan tidak tau bagaimana caranya untuk mengurangi kekesalanku ini.”
“Daripada kau merasa seperti itu terus menerus, mengapa kau tidak mencoba untuk melakukan hal yang lainnya saja,” ucapnya sambil tersenyum senang dengan idenya sendiri.  “Mungkin kau akan kesal dengan saranku tetapi sebaiknya kau coba saja.”
“Apa?”
“Bagaimana jika kau mencoba untuk menyukainya?”
“Apa!” jeritku dengan cukup kesal.
 “Kurasa itu bisa membantu menghilangkan rasa kesalmu padanya,” balasnya cepat-cepat. Aku terdiam untuk beberapa saat, memikirkan kata-katanya.
“Hari ini Arvin juga memberikan saran padaku. Katanya, jika dia menjadi diriku maka dia akan melakukan hal yang sebaliknya daripada terus menerus merasa kesal pada dirinya,” ucapku sambil memeragakan bagaimana cara Vin mengutarakannya padaku. “Apa kau tau maksudnya?”
“Lexa, sepertinya kau memang terlalu polos atau jangan-jangan kau tidak peka sama sekali,” sindirnya di hadapanku. “Arvin tidak menginginkanmu untuk merasa kesal seperti itu padanya. Apa kau mengerti?” Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dengan pelan. “Apa kau benar-benar tidak tau?” Aku mengangguk-anggukan kepalaku. “Arvin menginginkanmu untuk me-nyu-ka-i-nya,” ucapnya dengan sedikit penekanan pada kata terakhirnya.
“Apa maksudmu?” tanyaku lagi dengan ragu. “Tidak mungkin. Dia sudah mencintai seseorang,” bantahku. Aku mengerutkan dahiku. Tidak mungkin. Dia tidak mungkin menyukaiku.
“Dia sudah menyatakan perasaanya padamu walaupun secara tidak langsung. Kurasa dia merasa tidak senang jika kau kesal dengannya terus menerus. Apa kau masih tidak mengerti juga?” jelas Cindy sekali lagi.
“Tidak mungkin,” bantahku lagi.
 “Sampai kapan kau akan membantahnya? Apa yang akan kau lakukan jika dia memang benar menyukaimu?”
“Kau bahkan tidak memiliki bukti apapun.”
“Apa kau masih mencari alasan Lexa? Pertama kali dia datang dari New York, kau adalah orang pertama yang dia cari, dia memelukmu, mengatakan rindu padamu, dia sempat ingin mengantarkanmu pergi saat aku mengajakmu pergi lalu saat pelajaran pertama pagi ini, aku terus memperhatikan tingkah laku pria itu. Kau tau, sesaat sesudah dia mempermalukan Samantha di dalam kelas, dia langsung memberikan senyum manis padamu. Mungkin ada juga hal lain yang Arvin lakukan padamu meskipun kau tidak ingin memberitahukannya padaku.”
“Ternyata kau juga melihat tentangnya tadi pagi,” balasku.
“Kau bahkan melihatnya sendiri. Apa kau masih menolaknya?” tanyanya dengan penuh harap supaya aku tidak membantahnya lagi.
“Ya. Aku menolaknya dengan keras,” ucapku sambil menaikkan nada suaraku. “Langsung mencariku saat dia tiba di Jakarta lalu memelukku dan mengatakan rindu padaku. Semuanya merupakan hal yang wajar bagiku. Lalu, saat di sekolah, kurasa dia menatapku dengan tidak sengaja. Dan apa yang dia katakan padaku tadi, kurasa dia memiliki maksud lain untukku melakukan hal yang sebaliknya,” tolakku mentah-mentah. Aku benar-benar tidak ingin mengakui fakta yang ada.
Kulihat Cindy yang sedang menatapku sambil menghembuskan nafas panjang. Aku tau dia sudah lelah berdebat denganku. Aku akan menjadi sangat keras kepala jika aku memiliki argumen yang berbeda dengannya.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan jika memang benar dia menyukaimu, mencintaimu bukan mencintai wanita lain?” tanyanya sekali lagi dengan pasrah.
“Aku tidak tau,” ucapku dengan datar. Aku benar-benar tidak tau jika itu memang benar terjadi. Aku bahkan tidak mengharapkan itu terjadi.
“Terima kasih karena kau telah menjawab pertanyaanku,” ucapnya sambil menghembuskan nafas panjang dan menundukkan kepalanya. “Sekarang, aku akan bertanya padamu. Apa kau menyukai Kevin?” Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. “Apa kau merasa senang berada di dekatnya?” Aku melakukan hal yang sama lagi untuk menjawabnya. “Berapa lama kau sudah mengenal Kevin?”
“Satu tahun.”
“Untuk yang satu ini, tolong jawab dengan jujur. Apa kau merasa lebih senang untuk berada di dekat Arvin daripada Kevin?” tanyanya. Awalnya aku mulai membuka mulutku untuk membantahnya tetapi aku menutupnya kembali. Aku menganggukkan kepalaku untuk ketiga kalinya.
“Berapa lama kalian sudah saling mengenal?”
“Lima tahun.”
“Siapa yang akan kau khawatirkan lebih jika mereka berdua anggap saja sedang berada di rumah sakit?”
                “Arvin,” jawabku dengan pasrah.
“Siapa yang akan lebih kau rindukan jika mereka berdua meninggalkanmu?”
“Arvin,” aku menyebut namanya lagi.
“Dengan siapa kau akan cemburu jika mereka berdua sudah memiliki pasangan?” Aku membelalakkan mataku ingin menolak untuk menjawabnya tetapi dia juga melakukan hal yang sama padaku dan aku jauh lebih takut saat dia sudah melakukannya. Mungkin aku sebal dengan jawaban yang akan aku berikan tetapi untuk ketiga kalinya aku menyebut nama Arvin.
“Lexa, apa kau masih tidak ingin mengakuinya juga?” tanyanya sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya. “Kau bahkan tau perasaanmu sendiri pada Arvin,” ungkapnya lagi.
“Itu bisa berubah sewaktu-waktu. Benarkan?” tanyaku dengan sedikit gugup.
 “Tentu saja bisa. Tapi, sebaiknya kau berpikir dua kali sebelum kau memilih Kevin. Kau baru mengenalnya selama satu tahun dan kau hanya mengenalnya di sekolah saja. Jika dibandingkan dengannya, kau jauh lebih mengenal Arvin. Kau tau semua baik buruknya. Benarkan?”
“Itu dulu. Kurasa Arvin yang sekarang bukan lagi Arvin yang kukenal,” lagi-lagi aku mulai membantahnya. “Aku pikir dia bukanlah Arvin yang dulu. Maksudku Arvin yang kukenal sekarang adalah orang lain yang memiliki nama yang sama dengan Arvin lalu dia menyamar menjadi Arvin yang kukenal, tetapi dia tau semua yang kusuka dan yang tidak kusuka. Dia juga tau lagu pertama yang berhasil kumainkan. Dia tau semua masa laluku.”
“Bagiku, kau terdengar seperti orang gila,” ejek Cindy dengan memberikan tatapan aneh padaku. Sepertinya aku memang butuh seorang psikolog untuk mengungkapkan semua tentang Arvin yang baru dan aku sudah memutuskan siapa psikolog itu.
 “Dulu Arvin tidak seperti ini. Dia jauh lebih pendiam dan tidak sebaik seperti sekarang. Jika saja aku tidak datang padanya terlebih dahulu untuk mendengarkan dia bermain, mungkin aku tidak akan mengenalnya dan jika aku tidak mengambil inisiatif untuk selalu berbicara padanya terlebih dahulu, mungkin juga aku tidak akan pernah berbicara padanya. Dan itu terus kulakukan selama empat tahun. Aku bertahan selama empat tahun,” ucapku secara berlebihan pada kalimat terakhir. “Sampai akhirnya dia berubah sedikit demi sedikit. Dia mau berbicara panjang lebar padaku. Dia mau menggenggam tanganku sebelum aku memintanya karena dia tau bahwa aku akan menangis jika dia tidak melakukannya. Dia juga selalu menemaniku kemanapun aku pergi padahal sebelumnya dia pernah mengatakan padaku bahwa dia tidak menyukaiku jika aku menggenggam tangannya, mengikutinya kemanapun dia pergi dan meminta banyak hal darinya. Mungkin aku memang sudah menjadi beban baginya. Hanya saja aku belum menyadarinya saat itu.”
 “Karena aku masih kecil, jadi aku tidak peduli dengan apa yang dia katakan.” Aku tersenyum sejenak sambil merenungkan masa lalu sebelum melanjutkan kembali kalimatku. “Saat itu aku mulai menganggapnya seperti saudaraku sendiri sampai akhirnya dia pergi setelah lulus SMP.” Tiba-tiba saja aku membelalakkan mataku karena tersadar akan sesuatu. “Benar, saudara,” ucapku dengan girang. “Kurasa jika aku cemburu ataupun khawatir pada Arvin, mungkin saja itu karena aku sudah menganggapnya seperti saudaraku sendiri. Benarkan? Benarkan?” tanyaku sambil mengguncang-guncangkan bahu Cindy. Gadis yang ada di hadapanku menatapku sambil mengangakan mulutnya.
“Kau benar-benar gadis aneh,” sindirnya.
“Benarkan? Kurasa apa yang kukatakan itu benar,” timpalku dengan penuh semangat.
“Aku tidak tau. Pikirkanlah saja sesuka hatimu,” gerutunya dengan kesal.
“Menurutku itu benar. Tidak mungkin aku menyukai Arvin.”

Sudah seminggu penuh Arvin menginap di rumahku dan Cindy masih belum mengetahuinya juga. Aku sudah mulai terbiasa dengan sikap Arvin yang begitu berbeda dengan dirinya tujuh tahun yang lalu dan aku juga sudah mulai menerima kehadirannya sebagai guru di sekolahku. Aku mulai menganggapnya seperti saudaraku sendiri. Akhir-akhir ini Arvin menjadi begitu terkenal di kalangan para gadis. Kurasa dia tidak akan tenang menjadi guru. Bicara tentang imbalan yang ia minta padaku saat itu, sepertinya ia lupa mengatakannya padaku. Selain itu, hubunganku dengan Kevin berjalan dengan baik-baik saja. Setidaknya aku bisa lebih banyak berbicara dengannya daripada tahun sebelumnya. Aku sampai lupa bertanya pada Arvin tentang foto yang aku minta darinya. Jangan-jangan dia tidak melakukan tugasnya sama sekali.
“Apa kau ada acara Sabtu ini?” tanya Arvin saat kami sedang makan malam di rumahku. Orang tuaku malam ini sedang menghadiri sebuah acara pernikahan jadi hanya kami berdua saja yang ada di sini. “Aku ingin menagih imbalanku waktu itu,” ucapnya sambil menyendokkan nasi dari piringnya.
“Sabtu,” aku berpikir sejenak. Tiba-tiba aku teringat akan satu hal. Kemarin lusa Kevin mengajakku untuk pergi bersama Sabtu ini.  “Tidak bisa. Aku ada kencan dengan Kevin,” jawabku dengan senang.
“Kencan apa?”
“Aku tidak tau. Kevin tidak memberitahuku. Kurasa hanya jalan-jalan.”
“Padahal aku berencana untuk mengajakmu melihat sebuah konser,” balasnya.
“Konser apa?” aku membelalakkan mataku padanya saat mendengar kata konser. Sudah sangat lama aku ingin datang ke sebuah konser tetapi bukanlah sembarang konser.
“Klasikal musik. Tapi tidak apa jika kau menolaknya. Aku bisa mengajak orang lain.”
“Klasikal musik? Aku ingin melihatnya,” ucapku penuh sukacita. Itulah yang aku maksud dengan ‘bukan sembarang konser’.
“Kau ada kencan Sabtu ini.”
“Mengapa kau tidak memilih hari lain?” balasku dengan sedikit kecewa.
“Karena aku lebih menyukai hari Sabtu. Jika aku memilih hari lain maka pikiranku akan terbeban dengan pekerjaanku sendiri dan itu tidak menyenangkan.”
“Kau benar juga. Bagaimana dengan minggu depan?”
“Aku sudah membeli tiket untuk Sabtu ini.”
“Sayang sekali. Padahal aku ingin melihatnya.”
“Kalau begitu, batalkan saja kencanmu,” ujarnya dengan datar. Mengucapkan memang mudah tetapi melakukannya itu merupakan bagian yang tersulit.
“Aku tidak mau,” gerutuku. “Bagaimana kalau kau memberikan tiket itu padaku dan aku akan membayarmu dua kali lipat untuk satu tiket?” tawarku padanya.
“Aku tidak akan memberikannya padamu,” tolaknya mentah-mentah tanpa berpikir panjang terlebih dahulu.
“Ayolah Vin. Aku sangat ingin melihatnya,” rengekku dengan penuh harap padanya.
“Jika kau ingin melihatnya, melihatlah bersamaku. Jika tidak, lupakan saja. Anggap saja aku belum menagih imbalanku padamu.”
“Baiklah. Aku mengerti,” balasku dengan kesal. “Lagipula aku juga bisa melihatnya bersama dengan Kevin di hari lain. Mungkin saja Sabtu ini Kevin juga mengajakku ke sana,” ucapku sambil mengaduk-aduk nasi yang ada di piringku dengan kesal. “Jika saja tiba-tiba Kevin membatalkan kencan Sabtu ini, apakah aku bisa pergi bersamamu?” tanyaku dengan pelan sambil sedikit menundukkan kepalaku.
“Kau ini...” ucapnya dengan gemas. “Saat kau seperti ini, kau menjadi sangat manis,” ucapnya sambil mengusap-usap kepalaku. “Tentu saja masih. Jika tidak, tiket ini akan sia-sia begitu saja.”
“Kau..” aku membelalakkan mataku dengan kesal saat ia mengusap-usap kepalaku. “Kau masih saja menganggapku seperti seorang anak kecil. Sampai kapan kau akan terus memperlakukanku seperti anak kecil?”
                “Sampai kau sudah tumbuh dewasa,” sindirnya.
                “Sebaiknya kau jauh-jauh dariku sampai aku tumbuh dewasa setelah itu kau bisa bertemu denganku lagi,” paparku.
“Jangan sampai hal itu terjadi lagi,” ucapnya sambil menyuapkan sesendok nasi penuh ke dalam mulutnya. “Karena aku tidak ingin meninggalkanmu lagi.”
“Apa?” tanyaku padanya karena aku tidak mendengar kalimat terakhir yang baru saja ia ucapkan padaku.
“Lupakan saja.”

“Oia Vin, ada yang ingin kutanyakan padamu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?