Sabtu, 06 Desember 2014

String of Notes 3

cerpen, novel

“Kau ini memang gadis aneh,” ucap Cindy sambil tertawa geli padaku. “Pria tampan seperti Arvin kau tolak begitu saja. Bagiku, dia jauh lebih tampan daripada Kevin.”
“Tch.. Kau sudah melihat wanita yang bersama dengan Arvin kan? Dia jauh lebih cantik daripada aku. Mana mungkin Arvin akan memilihku. Makanya aku memutuskan untuk menyingkirkan gelang itu untuk sementara waktu.”
“Kau benar. Lalu apa rencanamu selanjutnya?”
 “Menjalani hidup seperti biasa kurasa. Pergi ke sekolah dan menghabiskan waktu seperlunya saja untuk bertemu dengannya. Jika sekolah adalah tempat yang bisa kupakai untuk berlama-lama, lebih baik aku menambah waktuku saja di sana. Dia tidak akan pergi ke sekolah setiap hari hanya untuk mencarikukan. Lagipula untuk apa dia datang ke sekolah.”
“Aku setuju denganmu.”
Semoga saja semua yang kuperkirakan memang benar adanya. Rasanya untuk liburan kali ini aku tidak sabar lagi untuk kembali ke sekolah dan meninggalkan Arvin tanpa memikirkan atau mengkhawatirkan tentang dirinya sedikitpun. Aku harap.

Satu setengah minggu telah berlalu tanpa ada gangguan dari Arvin. Sebelum dia pergi, dia menitip pesan bahwa dia akan pergi ke Bandung untuk berlibur bersama dengan teman-teman lamanya dan aku hanya mengiyakan saja tanpa peduli kemana dia akan pergi. Dia juga belum menanyakan apapun tentang gelangku. Dan hari ini dia akan kembali lagi ke Jakarta, yang artinya selama dua hari kedepan ini dia akan menjadi pengganggu, setelah itu aku baru bisa bebas darinya. Aku akan melanjutkan sekolahku tanpa beban.
Aku sedang bermain dengan laptopku sambil duduk bersila di atas kursi beroda sesaat sebelum terdengar ketukan pintu dari luar kamarku. “Masuk, pintu tidak terkunci,” ucapku dari dalam kamar. Aku mendengar pintu kamarku yang berdecit pelan.
“Alexa, temanmu datang,” ucap ibuku dari ambang pintu.
“Siapa ma? Cindy?” Jika Cindy, biasanya dia akan langsung masuk ke dalam kamarku tapi sepertinya bukan dia.
“Bukan,” balasnya. “Kau masih mengenalnya kan?” ucap ibuku sambil mengundang masuk seorang pria ke dalam kamarku. Saat aku tahu siapa pria yang ibuku maksud, aku langsung tercengang tak percaya.
“Kau masih ingat Arvin? Temanmu waktu kecil. Kau sering bermain bersama dengannya.” 
“Iya. Aku ingat,” jawabku masih sedikit tercengang. Apakah ibuku belum bertemu dengannya. Lalu, bagaimana caranya dia masuk ke kamarku minggu lalu tanpa ada yang mengetahuinya.
“Baguslah kalau begitu,” ucapku ibuku senang. “Arvin, sebaiknya kau di sini saja bersama Alexa.”
“Iya tante,” ucapnya dengan begitu manis sehingga membuat tanganku terasa gatal karena ingin memukulnya. Sesaat setelah ibuku menutup pintu kamarku, dia langsung tersenyum padaku.
“Apa yang kau lakukan pada ibuku sehingga ibuku bisa membiarkanmu berada di sini,” tanyaku tanpa berbasa-basi lagi.
“Tidak ada. Aku hanya memberikan oleh-oleh yang sengaja kubawa dari New York lalu hanya berbincang-bincang sebentar saja,” ucapnya dengan polos. Pantas saja. Oleh-oleh yang ia bawa dari New York itu sudah lebih dari cukup untuk membuat ibuku menutup mulutnya.
Aku menyipitkan mataku sambil memandangnya dengan tajam. “Mengapa kau datang ke sini?”
“Aku hanya ingin bermain denganmu. Apakah aku tidak boleh datang?”
“Bermain apa? Aku tidak memiliki mainan,” balasku dengan tegas. “Sekali lagi, untuk apa kau datang ke sini?” tanyaku lagi sambil masih memberikan tatapan curiga padanya.
“Woah.. Mengapa kau seperti itu padaku. Apa kau sedang membalas dendam padaku?” Aku bahkan tak mengerti apa yang sedang dia bicarakan. Balas dendam apa maksudnya. Pria ini, ada apa dengannya.  “Aku hanya bercanda.” Akhirnya dia memilih untuk duduk di atas ranjangku daripada terus berdiri di dekat pintu. Padahal aku belum memberinya ijin. “Seminggu aku tidak bertemu denganmu. Rasanya aku sudah rindu denganmu lagi,” ucapnya dengan seenaknya sendiri sambil tersenyum padaku. Ternyata dia masih belum puas membuatku kesal.
“Apa kau mencoba untuk menggodaku lagi?”
“Tidak. Baru satu hari aku bertemu denganmu lalu aku pergi lagi selama seminggu. Bukankah rindu merupakan hal yang wajar untuk seseorang yang baru bertemu satu hari saja.” Sebenarnya apa yang dikatakan Arvin benar juga. Kali ini aku tidak bisa menyalahkannya. “Benarkan? Kau bahkan tidak bisa menjawabku,” remehnya. Aku berbalik lagi menghadap laptopku lalu aku melanjutkan untuk bermain tetapi aku tidak bisa bermain setenang seperti sebelumnya.
“Apakah kau akan membiarkanku duduk sendiri di sini?” tanyanya sehingga membuatku merasa cukup bersalah. Aku menutup laptopku, memutar kursiku lagi lalu menatapnya dan lagi-lagi dia tersenyum padaku.
“Apa yang kau inginkan?”
“Tentu saja berbicara denganmu,” jawabnya. “Apa kau tidak ingat, dulu kau sering sekali mengajakku berbicara dan aku tidak pernah bosan mendengarkanmu. Mengapa sekarang kau menjadi sangat pendiam?”
“Apa kau masih ingat saat pertama kali aku bertemu denganmu, aku tidak akan banyak berbicara dengan orang yang tak kukenal. Sekarang aku juga menganggapmu seperti itu,” ucapku dengan pedas dan itu memang kenyataan.
“Lalu, bagaimana caranya supaya kau tidak menganggapku sebagai orang asing lagi. Apa yang harus kulakukan?” Aku benar-benar tidak mengerti ada apa dengan pria ini. Apakah dia tidak bisa membaca perasaaku sama sekali.
Tiba-tiba saja aku mendapatkan ide bagus. Aku minta saja padanya bagaimana caranya untuk mendekati seorang pria. Mungkin saja aku bisa mendekati Kevin. Aku mulai tertawa geli.
“Apa yang lucu?” tanyanya sambil menatapku. Saat itu aku langsung berdeham sambil mengatakan bahwa tidak ada yang lucu  sama sekali.
“Aku sedang membutuhkan bantuanmu,” ucapku dengan cukup serius. Jika memang dia ingin aku menganggapnya sebagai teman maka dia harus mau melakukannya.
“Apa?”
“Apa kau ingat dengan laki-laki yang kau temui di restoran satu minggu yang lalu?” tanyaku tetapi sepertinya wajahnya menunjukkan kebingungan. Tidak mungkin dia ingat. Dia baru saja bertemu dengannya sekali. “Piano? Duet?” Aku mencoba memberikan beberapa petunjuk padanya.
“Aku ingat,” jawabnya sambil sedikit merenung. “Ada apa dengannya?”
“Itu...” Semoga saja wajahku tidak terlihat gelisah. Sebenarnya aku tidak ingin mengungkapkannya, tetapi mau bagaimana lagi. Aku sudah terlanjur mengatakannya. “Aku menyukainya. Maukah kau membantuku?” tanyaku dengan sedikit ragu.
“Benarkah?” tanyanya dengan tak percaya. Dia mulai tersenyum geli di hadapanku. “Ternyata kau bisa jatuh cinta juga. Tak kusangka,” ejeknya padaku. “Kau manis sekali,” ucapnya sambil mencubit pipiku tanpa henti. Langsung saja aku merengek padanya. Semakin lama semakin keras aku merengek.
“Kau ini. Masih saja,” ucapku sambil termanyun dan mengusap-usap kedua pipiku tetapi dia malah tersenyum saja seperti orang bodoh.
“Lalu apa yang harus kulakukan?” Akhirnya dia bisa kembali juga ke dalam topik pembicaraan. Senangnya.
“Pertama, bisakah kau mengambil fotonya?”
“Aku? Mengambil foto? Dengan kamera?” tanyanya dengan penuh kebingungan.
“Tentu saja. Memang kau punya rencana lain?”
“Tidak punya,” jawabnya. “Bagaimana jika banyak orang yang berpikir bahwa aku adalah stalker? Apa kau mau bertanggung jawab?”
“Apa kau bodoh? Apa kau akan mengambil gambar di depan banyak orang?” balasku sambil berdecak kesal.
“Tentu saja aku tau. Aku hanya bercanda,” jawabnya juga dengan nada kesal. “Hanya itu saja?” Aku mengangguk padanya. “Tidak terlalu susah. Tetapi untuk apa?”
“Itu..” aku memberi jeda sebentar, berpikir apakah aku harus memberikan alasannya atau tidak. “Sebelumnya aku memiliki fotonya dan aku menyimpannya di dalam laci dan aku selipkan di dalam buku,” ucapku dengan tekad yang bulat sambil membuka laci itu dan menunjukkan buku yang aku maksud. “Dan minggu lalu aku mencarinya tetapi anehnya aku tidak dapat menemukan foto itu.”
“Apa kau tidak pernah membawa buku itu pergi?” Aku menggelengkan kepalaku. “Apa temanmu tidak datang ke kamarmu dan mengambilnya?”
 “Teman? Cindy? Cindy memang datang tetapi dia datang setelah foto itu menghilang. Kurasa bukan dia,” jawabku dengan penuh keyakinan.
“Mungkin saja sebelumnya kau membawa foto itu lalu kau lupa menaruhnya di suatu tempat,” ucapnya sambil membatuku.
“Benar juga.”
“Oia, kau sekolah dimana?”
“Untuk apa kau tau?” tanyaku dengan curiga.
“Astaga..” Arvin segera mengacak-acakkan rambutku. “Bagaimana aku mengambil foto jika aku tidak tau dimana dia bersekolah,” jawabnya dengan gemas.
“Benar juga,” ucapku dengan senyum bodoh sambil merapikan kembali rambutku. Aku langsung mengambil secarik kertas lalu menuliskan nama dan alamat sekolahku. Setelah itu aku memberikan padanya. “Apa kau tau sekolah ini?”
 “Kuharap,” Terdengar nada bimbang di dalam suaranya. “Bagaimana jika aku mengantarmu saat kau masuk nanti? Sebentar lagi kau masuk kan?”
“Besok lusa. Kau ingin mengantarku?”
“Jika kau tidak keberatan.”
“Aku mau,” ucapku sambil tersenyum lalu mengangkat kedua ibu jariku padanya.

Aku menaruh bantal di atasku dengan kesal. Aku tidak peduli dengan suara ketukan pintu yang semakin lama semakin sering terdengar dan ketukan itu tak kunjung berhenti. Membuatku semakin kesal saja.
 “Tunggu sebentar,” ucapku sambil turun dari ranjang dengan mata masih setengah tertutup. Akhirnya ketukan itu berhenti juga saat aku sudah berada di depan pintu. “Ada apa?” tanyaku sambil menguap saat membukakan pintu.
“Apa kau pergi tidak sekolah?” tanya Arvin yang sedang berdiri di depanku. Wajahnya terlihat segar berbeda denganku yang masih setengah tertidur. Tubuhnya juga sudah wangi, hasil dari mandi paginya.
“Jam berapa ini?” tanyaku dengan malas.
“Setengah tujuh,” jawabnya sambil menatap jam tangan hitam miliknya. Bahkan dia sudah memakai pakaian lengkap untuk mengantarku sekolah.
“Biasanya aku bangun jam tujuh karena aku masuk jam setengah sembilan. Sekolahku tidak seperti sekolah-sekolah lainnya,” jawabku sambil menguap lagi. “Kembalilah lagi saat jam tujuh,” ucapku sambil menutup pintu. Tetapi saat aku menutup pintu itu, pria itu mulai mengetuk lagi.
“Ada apa lagi,” ucapku dengan kesal sambil membuka pintu untuk yang kedua kalinya.
“Sebaiknya kau menemaniku sarapan,”  ucapnya sambil menarik tanganku. Karena aku tidak siap siaga, jadi aku menerima tarikan tangannya itu dan berjalan menuruni tangga dengan mata yang masih setengah tertutup.
“Dimana?”
“Di rumahku.” Secara spontan aku langsung menarik tanganku saat mendengar kata itu. Rasa kantukpun mendadak menghilang diganti dengan perasaan terkejut.
“Untuk apa ke rumahmu? Bagaimana dengan orang tuamu? Aku tidak mau.” Aku berjalan kembali mendekati tangga tetapi sepertinya Vin tidak berhenti sampai di situ saja. Kali ini dia menarikku dengan paksa. Dia tidak peduli jika aku menolaknya.
“Bukankah kau sering datang ke rumahku dan bertemu dengan kedua orang tuaku? Lagipula orang tuaku masih tidur sekarang.”
“Itu dulu.”
“Benarkah?” ucapnya sambil mendekatkan wajahnya padaku. “Aku dengar kau sering pergi ke rumahku meskipun aku tidak ada di rumah. Kau sering bercerita pada orang tuaku bahwa kau rindu padaku, kau ingin bertemu denganku lalu...”
“Sudahlah. Kali ini kau menang,” ucapku dengan kesal sambil menarik kembali tanganku. Meskipun begitu, pipiku sempat bersemu merah karena vin mengetahuinya. Rahasiaku yang satu ini bisa juga terdengar olehnya. Mengesalkan. Aku berjalan mendahuluinya dan dari arah belakang aku bisa mendengar suara tawanya.
“Cepatlah. Aku sudah lapar,” ucapku di ambang pintu rumah sambil menunggunya. Saat aku akan berjalan lagi, tiba-tiba saja dia menggenggam tanganku lagi seperti sebelumnya.
“Untuk apa kau menggenggamku? Aku bukan anak kecil lagi. Lagipula aku juga tidak akan tersesat. Rumahku dan rumahmu hanya berjarak lima meter saja.”
“Bukan itu,” jawabnya dengan penuh misterius. Karena tenaganya yang lebih besar, dia berhasil menyeretku lagi untuk kedua kalinya. “Apa kau tidak ingat. Dulu, saat kita pergi bersama, kau selalu memintaku untuk menggandeng tanganmu jika tidak maka kau akan menangis. Kau selalu membuatku susah,” ejeknya sambil tersenyum.
“Kali ini aku tidak akan membuatmu susah lagi. Aku juga tidak akan menangis lagi jika kau tidak menggandeng tanganku.” Sepertinya Vin masih menganggapku seperti anak kecil. Sebenarnya aku tidak ingin dia menganggapku seperti seorang anak kecil lagi tetapi aku tidak bisa dengan mudah mengubah keinginannya begitu saja. Aku membiarkan dirinya beranggapan seperti itu sampai suatu saat dia akan menyadarinya sendiri.
“Jangan berbohong pada diri sendiri. Kurasa kau pasti sering menangis saat aku berada di New York. Bagaimana jika aku meninggalkanmu lagi?” tanyanya seperti meremehkanku. Jika dia memang benar akan meninggalkanku untuk yang kedua kalinya, maka aku akan memilih untuk membiarkannya pergi. Air mata sudah habis terkuras selama tujuh tahun hanya untuk menantinya saja dan aku tidak ingin hal itu terulang kembali.
“Tentu saja saat kau pergi nanti, aku masih memiliki Kevin,” ucapku sambil menutupi perasaanku yang sebenarnya. Bukan itu yang kuinginkan. Aku ingin supaya Arvin terus berada di sampingku selamanya, meskipun aku tidak tau berapa lama waktu yang ada untuk kata “selamanya” itu.
“Kalau begitu, aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku berjanji.”
“Jangan berbohong pada sendiri,” ucapku sambil meniru kata-katanya. “Kau sudah mengingkari janjimu dulu. Apa kau lupa?” ejekku.
“Aku masih ingat. Bukankah aku juga mengatakan bahwa aku tidak akan mengingkari janjiku lagi?” Ucapannya mengingatkanku di malam saat aku berduet dengannya. Aku benar-benar tidak yakin dengan ucapannya itu. Awalnya aku berpikir bahwa dia tidak serius dengan kalimatnya saat itu tetapi kurasa hari ini dia memang menyatakan keseriusannya padaku.
“Jika kau tidak menepati janjimu lagi, jangan harap aku akan berbicara atau melihatmu lagi,” ancamku sambil tersenyum jahil.
“Apa kau sedang mengancamku?” tanyanya dengan cukup terkejut. Aku membalasnya sambil menjulurkan lidahku padanya.
“Kau ini.”
“Berikan satu alasan mengapa aku harus percaya dengan kata-katamu,” aku balik menantang dirinya. Kurasa dia tidak akan memberikan jawabannya hari ini karena aku melihat dirinya yang terdiam karena kata-kataku itu. Kami berdua sudah berada tepat di depan pintu rumahnya saat ibu Arvin menyambut kami berdua. Cepat-cepat aku menarik tanganku karena aku takut jika beliau salah sangka.
“Pagi tante,” sapaku dengan sopan.
“Pagi. Apa kau ikut sarapan dengan kami?” tanyanya padaku.
“Kami?” bisikku pada diriku sendiri. Langsung saja aku menoleh pada Arvin yang membalasku dengan menjulurkan lidahnya. “Kau berbohong padaku,” gerutuku.
“Jika aku tidak berbohong padamu maka kau tidak akan mau datang.” Apa yang baru saja ia ungkapkan itu memang benar adanya. Jika Arvin mengatakan yang sejujurnya maka aku akan kembali ke dalam kamarku dan memilih untuk menguncinya.
“Dasar bodoh. Aku masih memakai baju tidur, aku juga tidak sempat mencuci muka ataupun menyikat gigi,” balasku semakin kesal. Dia sudah membuatku malu di pagi hari.
“Tidak apa. Kau masih terlihat cantik.”
“Apa kau sedang mengejekku?” Selama aku mengunjungi rumahnya, aku tidak pernah berpakaian seperti ini kecuali dulu saat aku masih kecil, aku masih tidak tau malu.
“Menurutmu? Sebaiknya kita sarapan saja. Aku sudah lapar,” ucapnya sambil menarik tanganku lagi menuju meja makan, tidak peduli dengan pakaianku lagi.
“Alexa, kau duduk di sini saja,” ucap ibu Arvin sambil menarik kursi di sebelahnya. Aku mengangguk menurutinya sambil menahan malu sedangkan Arvin duduk tepat di depanku. “Apa kau hari ini akan berangkat ke sekolah?”
“Iya tante.”
“Ternyata liburan sudah selesai ya. Cepat sekali. Padahal tante ingin menitipkan Arvin padamu,” ucapnya sambil mengambilkan piring dan nasi padaku.
“Terima kasih tante.”
“Om dengan tante akan pergi ke New York selama tiga bulan. Bisakah kau menjaganya?” tanya ibu Arvin sambil mengisi piring kedua yang Arvin berikan.
“Mengapa Arvin tidak ikut saja?”
“Aku masih ada urusan di sini. Lagipula aku sudah bosan berada di sana selama tujuh tahun,” sambar Arvin sambil berdeham keras.
“Dia baru saja datang dari New York jadi tante rasa dia masih belum terlalu menghafal Jakarta. Tante tolong kamu untuk menemaninya selama di Jakarta,” ujar ibunya. Rasanya aku ingin menolak tetapi ibunya sudah menganggpaku sebagai anaknya sendiri. Bagaimana mungkin aku menolaknya.
“Kapan tante akan berangkat?”
“Siang ini juga,” jawabnya. “Tolong jaga Arvin ya,” pesannya sekali lagi. Aku membalas dengan anggukan dan dengan sedikit senyuman. Aku tidak tau harus merasa senang atau sedih mendapatkan situasi yang seperti ini. Saat aku menatap Arvin, dia segera memamerkan sederet giginya yang putih itu padaku. Jika saja ibunya tidak ada di sini, mungkin aku sudah menamparnya karena wajahnya yang menggelikan itu.
“Tante juga sudah berbicara dengan ibu kamu. Dia juga setuju bahwa Arvin tinggal di rumahmu untuk sementara waktu. Apa kau keberatan Alexa?” Mataku mulai membelalak dan di saat yang bersamaan, aku mendengar Arvin yang terbatuk-batuk dengan cukup keras karena dia tersedak dengan makanannya sendiri. Kurasa dia juga tidak kalah kagetnya denganku.
“Ma, tidak baik bercanda saat sarapan,” ucapnya sambil meminum air.
“Mama tidak bercanda Arvin. Apa kau bisa mengurus rumah sendirian?”
“Ma, aku sudah tinggal di New York selama tujuh tahun dan aku bisa mengurus diriku sendiri di sana,” balas Arvin tak mau kalah. Di dalam hati, aku mengangguk dengan mantap, menyetujui usulan Arvin. Dia sudah besar dan dia pasti bisa menjaga dirinya sendiri.
“Apartment jauh lebih mudah untuk diurus tetapi rumah jauh lebih sulit untuk diurus. Apalagi di sana kau tinggal dengan bibimu. Kau tidak tinggal seorang diri di sana. Dia yang mengurus semuanya, meskipun dia selalu pulang setiap sore,” ucap ibunya dengan polos. Dan lagi-lagi Arvin tersedak tetapi bukan karena makanannya tetapi karena minumannya sendiri. Aku menundukkan wajahku sambil menggigit bibir bagian bawahku untuk menahan tawa.
“Baiklah. Aku mengerti,” ucapnya dengan cukup kesal. Setelah itu dia mulai melanjutkan sarapannya  lagi.
“Tunggu sebentar. Tante akan memanggil om ke atas. Sepertinya dia tidur lagi.” Aku mengangguk pelan mengiyakan kalimatnya.
Saat aku melihat ibunya sudah naik ke atas dan sudah tidak terlihat lagi, aku langsung mengungkapkan kekesalanku pada Arvin. “Memangnya kau tidak hafal Jakarta. Mengapa kau bahkan bisa ke Bandung minggu lalu. Saat itu juga, aku bertemu denganmu di restoran. Kurasa kau juga bisa mencari jalan untuk menjemput gadis yang kau kencani malam itu.”
“Tentu saja aku bertanya pada GPS. Aku sudah terbiasa dengan situasi seperti itu di New York. GPS sangatlah berguna baik di sana maupun di sini.”
“Kalau begitu, untuk apa aku menemanimu?”
“Bukankah kau sudah setuju untuk menemaniku tadi? Mengapa kau tidak menolaknya saja langsung?” 
“Tch.. Semakin lama kau semakin menyebalkan,” ungkapku dengan kesal. “Mengapa kau juga harus tinggal bersamaku?” Karena kesal, tanpa sadar aku mulai memotong-motong telur yang ada di piringku tanpa memakannya sama sekali.
“Untuk yang satu itu, aku juga terkejut,” timpalnya. “Semoga saja tidak terjadi hal-hal aneh saat aku tinggal bersamamu lagi.”
“Seharusnya aku yang berkata seperti itu.”

“Apa kau masih ingat wajahnya?” tanyaku sesaat setelah Arvin memarkirkan mobilnya di dekat gerbang pintu sekolah.
“Tidak. Bagaimana mungkin aku mengingatnya. Untuk apa juga aku mengingatnya,” jawab Arvin. Benar juga, untuk apa dia mengingatnya dan bagaimana pula dia mengingatnya padahal dia baru saja bertemu dengan Kevin hanya sekali saja.
“Kau ini. Sebaiknya aku duduk di belakang saja untuk berjaga-jaga supaya tidak ada yang melihatku,” ujarku sambil keluar dari mobilnya dan berpindah ke belakang. “Dengan begini akan jauh lebih baik.”
“Kau benar-benar seorang stalker,” ucapnya sambil menoleh ke belakang. Mungkin ada benarnya juga dengan apa yang dia katakan padaku.
“Karena kau akan tinggal di rumahku, kau juga harus membantuku,” balasku tak mau kalah.
“Itu bukan kemauanku sendiri,” balasnya lagi.
“Itu dia,” ucapku sambil sedikit bersembunyi dari balik kursi.
“Yang mana?” Dia mencoba mengamati segerombolan remaja yang memakai seragam putih cokelat. Berbeda dengan sekolah-sekolah umum lainnya, seragam kami memilih warna cokelat untuk celana dan rok. Pada bagian saku baju, tidak ada tanda OSIS yang tertera tetapi digantikan oleh dua not balok yang sama dan yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya sehingga menghasilkan sebuah gambar yang cukup unik. Kami juga tidak perlu bersusah payah untuk mengenakan dasi atau memasukkan baju kami supaya terlihat rapi.
“Dia sedang berjalan bersama dengan teman-temannya. Dia yang berdiri di tengah,” jelasku dengan cukup detail.
“Aahh.. Aku ingat wajahnya sekarang,” ucapnya sambil terus memandangi Kevin bersama dengan teman-temannya dengan seksama tanpa melakukan sesuatu.
“Kau tidak mengambil fotonya?” tanyaku.
“Apa kau bodoh? Bagaimana aku mengambil foto jika saja tiba-tiba dia melihat ke sini. Apa aku harus mengatakan yang sebenarnya padanya.” Nadanya mulai naik tetapi dia berusaha untuk tetap mengecilkan suaranya. “Apa kau ingin mempermalukan dirimu sendiri?” Untuk kali ini, aku memang tampak bodoh di hadapannya.
“Maaf. Mungkin aku terlalu kesal karena foto milikku hilang,” akuku.
“Kau ini. Sebaiknya kau masuk saja daripada kau terus menerus di sini. Semoga saja kau satu kelas dengannya.” Benar juga. Mengapa aku lupa jika hari ini adalah hari pertamaku di tahun ketiga. Sebaiknya aku bergegas untuk mencari kelasku sebelum ramai.
“Terima kasih karena sudah mengingatkanku,” ucapku dengan tergesa-gesa sambil keluar dari mobilnya. Sebelum aku sempat melewati gerbang sekolah, aku sempat teringat akan sesuatu. Cepat-cepat lagi aku kembali menghampiri mobil Arvin dan mengetuk kaca mobilnya.
Saat dia menurunkan kacanya, aku langsung menitip pesan padanya. “Kau tidak perlu menjemputku nanti. Aku bisa pulang sendiri. Bye,” ucapku sambil menatapnya yang hanya tersenyum padaku. Saat aku melihatnya melambaikan tangannya padaku, aku pun membalasnya.
“Semoga saja dia cepat pergi,” ucapku sambil berjalan ke dalam sekolah.
“Lexa, pagi sekali kau datang,” seru seseorang dari balik punggungku.
“Kau membuatku kaget saja,” ucapku pada Cindy yang sudah mensejajarkan langkahnya denganku. “Hari ini aku di antar Arvin jadi aku bisa datang lebih cepat dari biasanya.”
“Akhirnya ada juga pria tampan yang mau mengantarkanmu,” godanya. “Kapan aku akan merasakan hal itu,” candanya sambil mengatupkan kedua tangannya dan mulai berharap.
“Sebaiknya kita bergegas untuk mencari dimana kelas kita,” ucapku dengan langkah yang masih tergesa.
“Aku sudah mengeceknya tadi.”
“Lalu?”
“Aku satu kelas denganmu. Sepertinya kita memang berjodoh,” ucapnya dengan sangat girang.
“Benarkah?” tanyaku dengan tidak kalah girang.
“Sepertinya doamu juga terkabul,” ucapnya sehingga membuatku bingung. “Kevin. Kita satu kelas dengannya,” bisiknya padaku.
“Benarkah?” jeritku dengan pelan, membuatku tersenyum semakin lebar saja. “Dimana kelasnya?”
“Lantai dua dekat dengan ruang guru. Aku ingin ke sana untuk menaruh tasku. Apa kau ingin ikut?”
“Pasti.”
Mungkin saja aku sebal karena mulai hari ini Arvin akan tinggal bersama di rumahku dan menemaninya pergi kemanapun dia suka tetapi dengan begini, kurasa aku bisa menjalaninya dengan gembira. Aku sudah tidak peduli lagi dengan Arvin.
Saat aku berjalan menyusuri koridor bersama dengan Cindy, aku bisa mendengar sebuah alunan nada dari sebuah piano di salah satu ruangan yang mengapit koridor panjang itu meskipun suaranya terdengar samar. “Apa kau mendengar sebuah suara?” tanyaku sambil memastikan apakah yang kudengar itu benar atau salah.

“Aku tidak mendengar apapun,” ucapnya. “Ayo cepat,” ajaknya dengan sedikit tergesa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?