“Kau ini memang gadis aneh,” ucap Cindy sambil tertawa
geli padaku. “Pria tampan seperti Arvin kau tolak begitu saja. Bagiku, dia jauh
lebih tampan daripada Kevin.”
“Tch.. Kau sudah melihat wanita yang bersama dengan
Arvin kan? Dia jauh lebih cantik daripada aku. Mana mungkin Arvin akan
memilihku. Makanya aku memutuskan untuk menyingkirkan gelang itu untuk
sementara waktu.”
“Kau benar. Lalu apa rencanamu selanjutnya?”
“Menjalani
hidup seperti biasa kurasa. Pergi ke sekolah dan menghabiskan waktu seperlunya
saja untuk bertemu dengannya. Jika sekolah adalah tempat yang bisa kupakai
untuk berlama-lama, lebih baik aku menambah waktuku saja di sana. Dia tidak
akan pergi ke sekolah setiap hari hanya untuk mencarikukan. Lagipula untuk apa
dia datang ke sekolah.”
“Aku setuju denganmu.”
Semoga saja semua yang kuperkirakan memang benar
adanya. Rasanya untuk liburan kali ini aku tidak sabar lagi untuk kembali ke
sekolah dan meninggalkan Arvin tanpa memikirkan atau mengkhawatirkan tentang
dirinya sedikitpun. Aku harap.
Satu setengah minggu telah berlalu tanpa ada gangguan
dari Arvin. Sebelum dia pergi, dia menitip pesan bahwa dia akan pergi ke
Bandung untuk berlibur bersama dengan teman-teman lamanya dan aku hanya
mengiyakan saja tanpa peduli kemana dia akan pergi. Dia juga belum menanyakan
apapun tentang gelangku. Dan hari ini dia akan kembali lagi ke Jakarta, yang
artinya selama dua hari kedepan ini dia akan menjadi pengganggu, setelah itu
aku baru bisa bebas darinya. Aku akan melanjutkan sekolahku tanpa beban.
Aku sedang bermain dengan laptopku sambil duduk
bersila di atas kursi beroda sesaat sebelum terdengar ketukan pintu dari luar
kamarku. “Masuk, pintu tidak terkunci,” ucapku dari dalam kamar. Aku mendengar
pintu kamarku yang berdecit pelan.
“Alexa, temanmu datang,” ucap ibuku dari ambang pintu.
“Siapa ma? Cindy?” Jika Cindy, biasanya dia akan
langsung masuk ke dalam kamarku tapi sepertinya bukan dia.
“Bukan,” balasnya. “Kau masih mengenalnya kan?” ucap
ibuku sambil mengundang masuk seorang pria ke dalam kamarku. Saat aku tahu
siapa pria yang ibuku maksud, aku langsung tercengang tak percaya.
“Kau masih ingat Arvin? Temanmu waktu kecil. Kau
sering bermain bersama dengannya.”
“Iya. Aku ingat,” jawabku masih sedikit tercengang.
Apakah ibuku belum bertemu dengannya. Lalu, bagaimana caranya dia masuk ke
kamarku minggu lalu tanpa ada yang mengetahuinya.
“Baguslah kalau begitu,” ucapku ibuku senang. “Arvin,
sebaiknya kau di sini saja bersama Alexa.”
“Iya tante,” ucapnya dengan begitu manis sehingga
membuat tanganku terasa gatal karena ingin memukulnya. Sesaat setelah ibuku
menutup pintu kamarku, dia langsung tersenyum padaku.
“Apa yang kau lakukan pada ibuku sehingga ibuku bisa
membiarkanmu berada di sini,” tanyaku tanpa berbasa-basi lagi.
“Tidak ada. Aku hanya memberikan oleh-oleh yang
sengaja kubawa dari New York lalu hanya berbincang-bincang sebentar saja,”
ucapnya dengan polos. Pantas saja. Oleh-oleh yang ia bawa dari New York itu sudah
lebih dari cukup untuk membuat ibuku menutup mulutnya.
Aku menyipitkan mataku sambil memandangnya dengan
tajam. “Mengapa kau datang ke sini?”
“Aku hanya ingin bermain denganmu. Apakah aku tidak
boleh datang?”
“Bermain apa? Aku tidak memiliki mainan,” balasku
dengan tegas. “Sekali lagi, untuk apa kau datang ke sini?” tanyaku lagi sambil
masih memberikan tatapan curiga padanya.
“Woah.. Mengapa kau seperti itu padaku. Apa kau sedang
membalas dendam padaku?” Aku bahkan tak mengerti apa yang sedang dia bicarakan.
Balas dendam apa maksudnya. Pria ini, ada apa dengannya. “Aku hanya bercanda.” Akhirnya dia memilih
untuk duduk di atas ranjangku daripada terus berdiri di dekat pintu. Padahal
aku belum memberinya ijin. “Seminggu aku tidak bertemu denganmu. Rasanya aku
sudah rindu denganmu lagi,” ucapnya dengan seenaknya sendiri sambil tersenyum
padaku. Ternyata dia masih belum puas membuatku kesal.
“Apa kau mencoba untuk menggodaku lagi?”
“Tidak. Baru satu hari aku bertemu denganmu lalu aku
pergi lagi selama seminggu. Bukankah rindu merupakan hal yang wajar untuk
seseorang yang baru bertemu satu hari saja.” Sebenarnya apa yang dikatakan
Arvin benar juga. Kali ini aku tidak bisa menyalahkannya. “Benarkan? Kau bahkan
tidak bisa menjawabku,” remehnya. Aku berbalik lagi menghadap laptopku lalu aku
melanjutkan untuk bermain tetapi aku tidak bisa bermain setenang seperti
sebelumnya.
“Apakah kau akan membiarkanku duduk sendiri di sini?”
tanyanya sehingga membuatku merasa cukup bersalah. Aku menutup laptopku,
memutar kursiku lagi lalu menatapnya dan lagi-lagi dia tersenyum padaku.
“Apa yang kau inginkan?”
“Tentu saja berbicara denganmu,” jawabnya. “Apa kau
tidak ingat, dulu kau sering sekali mengajakku berbicara dan aku tidak pernah
bosan mendengarkanmu. Mengapa sekarang kau menjadi sangat pendiam?”
“Apa kau masih ingat saat pertama kali aku bertemu
denganmu, aku tidak akan banyak berbicara dengan orang yang tak kukenal.
Sekarang aku juga menganggapmu seperti itu,” ucapku dengan pedas dan itu memang
kenyataan.
“Lalu, bagaimana caranya supaya kau tidak menganggapku
sebagai orang asing lagi. Apa yang harus kulakukan?” Aku benar-benar tidak
mengerti ada apa dengan pria ini. Apakah dia tidak bisa membaca perasaaku sama
sekali.
Tiba-tiba saja aku mendapatkan ide bagus. Aku minta
saja padanya bagaimana caranya untuk mendekati seorang pria. Mungkin saja aku
bisa mendekati Kevin. Aku mulai tertawa geli.
“Apa yang lucu?” tanyanya sambil menatapku. Saat itu
aku langsung berdeham sambil mengatakan bahwa tidak ada yang lucu sama sekali.
“Aku sedang membutuhkan bantuanmu,” ucapku dengan
cukup serius. Jika memang dia ingin aku menganggapnya sebagai teman maka dia
harus mau melakukannya.
“Apa?”
“Apa kau ingat dengan laki-laki yang kau temui di
restoran satu minggu yang lalu?” tanyaku tetapi sepertinya wajahnya menunjukkan
kebingungan. Tidak mungkin dia ingat. Dia baru saja bertemu dengannya sekali.
“Piano? Duet?” Aku mencoba memberikan beberapa petunjuk padanya.
“Aku ingat,” jawabnya sambil sedikit merenung. “Ada
apa dengannya?”
“Itu...” Semoga saja wajahku tidak terlihat gelisah.
Sebenarnya aku tidak ingin mengungkapkannya, tetapi mau bagaimana lagi. Aku
sudah terlanjur mengatakannya. “Aku menyukainya. Maukah kau membantuku?”
tanyaku dengan sedikit ragu.
“Benarkah?” tanyanya dengan tak percaya. Dia mulai
tersenyum geli di hadapanku. “Ternyata kau bisa jatuh cinta juga. Tak
kusangka,” ejeknya padaku. “Kau manis sekali,” ucapnya sambil mencubit pipiku
tanpa henti. Langsung saja aku merengek padanya. Semakin lama semakin keras aku
merengek.
“Kau ini. Masih saja,” ucapku sambil termanyun dan
mengusap-usap kedua pipiku tetapi dia malah tersenyum saja seperti orang bodoh.
“Lalu apa yang harus kulakukan?” Akhirnya dia bisa
kembali juga ke dalam topik pembicaraan. Senangnya.
“Pertama, bisakah kau mengambil fotonya?”
“Aku? Mengambil foto? Dengan kamera?” tanyanya dengan
penuh kebingungan.
“Tentu saja. Memang kau punya rencana lain?”
“Tidak punya,” jawabnya. “Bagaimana jika banyak orang
yang berpikir bahwa aku adalah stalker? Apa kau mau bertanggung jawab?”
“Apa kau bodoh? Apa kau akan mengambil gambar di depan
banyak orang?” balasku sambil berdecak kesal.
“Tentu saja aku tau. Aku hanya bercanda,” jawabnya
juga dengan nada kesal. “Hanya itu saja?” Aku mengangguk padanya. “Tidak
terlalu susah. Tetapi untuk apa?”
“Itu..” aku memberi jeda sebentar, berpikir apakah aku
harus memberikan alasannya atau tidak. “Sebelumnya aku memiliki fotonya dan aku
menyimpannya di dalam laci dan aku selipkan di dalam buku,” ucapku dengan tekad
yang bulat sambil membuka laci itu dan menunjukkan buku yang aku maksud. “Dan
minggu lalu aku mencarinya tetapi anehnya aku tidak dapat menemukan foto itu.”
“Apa kau tidak pernah membawa buku itu pergi?” Aku
menggelengkan kepalaku. “Apa temanmu tidak datang ke kamarmu dan mengambilnya?”
“Teman? Cindy?
Cindy memang datang tetapi dia datang setelah foto itu menghilang. Kurasa bukan
dia,” jawabku dengan penuh keyakinan.
“Mungkin saja sebelumnya kau membawa foto itu lalu kau
lupa menaruhnya di suatu tempat,” ucapnya sambil membatuku.
“Benar juga.”
“Oia, kau sekolah dimana?”
“Untuk apa kau tau?” tanyaku dengan curiga.
“Astaga..” Arvin segera mengacak-acakkan rambutku.
“Bagaimana aku mengambil foto jika aku tidak tau dimana dia bersekolah,”
jawabnya dengan gemas.
“Benar juga,” ucapku dengan senyum bodoh sambil
merapikan kembali rambutku. Aku langsung mengambil secarik kertas lalu
menuliskan nama dan alamat sekolahku. Setelah itu aku memberikan padanya. “Apa
kau tau sekolah ini?”
“Kuharap,” Terdengar
nada bimbang di dalam suaranya. “Bagaimana jika aku mengantarmu saat kau masuk
nanti? Sebentar lagi kau masuk kan?”
“Besok lusa. Kau ingin mengantarku?”
“Jika kau tidak keberatan.”
“Aku mau,” ucapku sambil tersenyum lalu mengangkat
kedua ibu jariku padanya.
Aku menaruh bantal di atasku dengan kesal. Aku tidak
peduli dengan suara ketukan pintu yang semakin lama semakin sering terdengar
dan ketukan itu tak kunjung berhenti. Membuatku semakin kesal saja.
“Tunggu
sebentar,” ucapku sambil turun dari ranjang dengan mata masih setengah
tertutup. Akhirnya ketukan itu berhenti juga saat aku sudah berada di depan
pintu. “Ada apa?” tanyaku sambil menguap saat membukakan pintu.
“Apa kau pergi tidak sekolah?” tanya Arvin yang sedang
berdiri di depanku. Wajahnya terlihat segar berbeda denganku yang masih
setengah tertidur. Tubuhnya juga sudah wangi, hasil dari mandi paginya.
“Jam berapa ini?” tanyaku dengan malas.
“Setengah tujuh,” jawabnya sambil menatap jam tangan
hitam miliknya. Bahkan dia sudah memakai pakaian lengkap untuk mengantarku
sekolah.
“Biasanya aku bangun jam tujuh karena aku masuk jam
setengah sembilan. Sekolahku tidak seperti sekolah-sekolah lainnya,” jawabku
sambil menguap lagi. “Kembalilah lagi saat jam tujuh,” ucapku sambil menutup
pintu. Tetapi saat aku menutup pintu itu, pria itu mulai mengetuk lagi.
“Ada apa lagi,” ucapku dengan kesal sambil membuka
pintu untuk yang kedua kalinya.
“Sebaiknya kau menemaniku sarapan,” ucapnya sambil menarik tanganku. Karena aku
tidak siap siaga, jadi aku menerima tarikan tangannya itu dan berjalan menuruni
tangga dengan mata yang masih setengah tertutup.
“Dimana?”
“Di rumahku.” Secara spontan aku langsung menarik
tanganku saat mendengar kata itu. Rasa kantukpun mendadak menghilang diganti
dengan perasaan terkejut.
“Untuk apa ke rumahmu? Bagaimana dengan orang tuamu?
Aku tidak mau.” Aku berjalan kembali mendekati tangga tetapi sepertinya Vin
tidak berhenti sampai di situ saja. Kali ini dia menarikku dengan paksa. Dia
tidak peduli jika aku menolaknya.
“Bukankah kau sering datang ke rumahku dan bertemu
dengan kedua orang tuaku? Lagipula orang tuaku masih tidur sekarang.”
“Itu dulu.”
“Benarkah?” ucapnya sambil mendekatkan wajahnya
padaku. “Aku dengar kau sering pergi ke rumahku meskipun aku tidak ada di
rumah. Kau sering bercerita pada orang tuaku bahwa kau rindu padaku, kau ingin
bertemu denganku lalu...”
“Sudahlah. Kali ini kau menang,” ucapku dengan kesal
sambil menarik kembali tanganku. Meskipun begitu, pipiku sempat bersemu merah
karena vin mengetahuinya. Rahasiaku yang satu ini bisa juga terdengar olehnya.
Mengesalkan. Aku berjalan mendahuluinya dan dari arah belakang aku bisa
mendengar suara tawanya.
“Cepatlah. Aku sudah lapar,” ucapku di ambang pintu
rumah sambil menunggunya. Saat aku akan berjalan lagi, tiba-tiba saja dia
menggenggam tanganku lagi seperti sebelumnya.
“Untuk apa kau menggenggamku? Aku bukan anak kecil
lagi. Lagipula aku juga tidak akan tersesat. Rumahku dan rumahmu hanya berjarak
lima meter saja.”
“Bukan itu,” jawabnya dengan penuh misterius. Karena
tenaganya yang lebih besar, dia berhasil menyeretku lagi untuk kedua kalinya.
“Apa kau tidak ingat. Dulu, saat kita pergi bersama, kau selalu memintaku untuk
menggandeng tanganmu jika tidak maka kau akan menangis. Kau selalu membuatku
susah,” ejeknya sambil tersenyum.
“Kali ini aku tidak akan membuatmu susah lagi. Aku
juga tidak akan menangis lagi jika kau tidak menggandeng tanganku.” Sepertinya
Vin masih menganggapku seperti anak kecil. Sebenarnya aku tidak ingin dia
menganggapku seperti seorang anak kecil lagi tetapi aku tidak bisa dengan mudah
mengubah keinginannya begitu saja. Aku membiarkan dirinya beranggapan seperti
itu sampai suatu saat dia akan menyadarinya sendiri.
“Jangan berbohong pada diri sendiri. Kurasa kau pasti
sering menangis saat aku berada di New York. Bagaimana jika aku meninggalkanmu
lagi?” tanyanya seperti meremehkanku. Jika dia memang benar akan meninggalkanku
untuk yang kedua kalinya, maka aku akan memilih untuk membiarkannya pergi. Air
mata sudah habis terkuras selama tujuh tahun hanya untuk menantinya saja dan
aku tidak ingin hal itu terulang kembali.
“Tentu saja saat kau pergi nanti, aku masih memiliki
Kevin,” ucapku sambil menutupi perasaanku yang sebenarnya. Bukan itu yang
kuinginkan. Aku ingin supaya Arvin terus berada di sampingku selamanya,
meskipun aku tidak tau berapa lama waktu yang ada untuk kata “selamanya” itu.
“Kalau begitu, aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku
berjanji.”
“Jangan berbohong pada sendiri,” ucapku sambil meniru
kata-katanya. “Kau sudah mengingkari janjimu dulu. Apa kau lupa?” ejekku.
“Aku masih ingat. Bukankah aku juga mengatakan bahwa
aku tidak akan mengingkari janjiku lagi?” Ucapannya mengingatkanku di malam
saat aku berduet dengannya. Aku benar-benar tidak yakin dengan ucapannya itu.
Awalnya aku berpikir bahwa dia tidak serius dengan kalimatnya saat itu tetapi
kurasa hari ini dia memang menyatakan keseriusannya padaku.
“Jika kau tidak menepati janjimu lagi, jangan harap
aku akan berbicara atau melihatmu lagi,” ancamku sambil tersenyum jahil.
“Apa kau sedang mengancamku?” tanyanya dengan cukup
terkejut. Aku membalasnya sambil menjulurkan lidahku padanya.
“Kau ini.”
“Berikan satu alasan mengapa aku harus percaya dengan
kata-katamu,” aku balik menantang dirinya. Kurasa dia tidak akan memberikan
jawabannya hari ini karena aku melihat dirinya yang terdiam karena kata-kataku
itu. Kami berdua sudah berada tepat di depan pintu rumahnya saat ibu Arvin
menyambut kami berdua. Cepat-cepat aku menarik tanganku karena aku takut jika
beliau salah sangka.
“Pagi tante,” sapaku dengan sopan.
“Pagi. Apa kau ikut sarapan dengan kami?” tanyanya
padaku.
“Kami?” bisikku pada diriku sendiri. Langsung saja aku
menoleh pada Arvin yang membalasku dengan menjulurkan lidahnya. “Kau berbohong
padaku,” gerutuku.
“Jika aku tidak berbohong padamu maka kau tidak akan
mau datang.” Apa yang baru saja ia ungkapkan itu memang benar adanya. Jika
Arvin mengatakan yang sejujurnya maka aku akan kembali ke dalam kamarku dan
memilih untuk menguncinya.
“Dasar bodoh. Aku masih memakai baju tidur, aku juga
tidak sempat mencuci muka ataupun menyikat gigi,” balasku semakin kesal. Dia
sudah membuatku malu di pagi hari.
“Tidak apa. Kau masih terlihat cantik.”
“Apa kau sedang mengejekku?” Selama aku mengunjungi
rumahnya, aku tidak pernah berpakaian seperti ini kecuali dulu saat aku masih
kecil, aku masih tidak tau malu.
“Menurutmu? Sebaiknya kita sarapan saja. Aku sudah
lapar,” ucapnya sambil menarik tanganku lagi menuju meja makan, tidak peduli
dengan pakaianku lagi.
“Alexa, kau duduk di sini saja,” ucap ibu Arvin sambil
menarik kursi di sebelahnya. Aku mengangguk menurutinya sambil menahan malu
sedangkan Arvin duduk tepat di depanku. “Apa kau hari ini akan berangkat ke
sekolah?”
“Iya tante.”
“Ternyata liburan sudah selesai ya. Cepat sekali.
Padahal tante ingin menitipkan Arvin padamu,” ucapnya sambil mengambilkan
piring dan nasi padaku.
“Terima kasih tante.”
“Om dengan tante akan pergi ke New York selama tiga
bulan. Bisakah kau menjaganya?” tanya ibu Arvin sambil mengisi piring kedua
yang Arvin berikan.
“Mengapa Arvin tidak ikut saja?”
“Aku masih ada urusan di sini. Lagipula aku sudah
bosan berada di sana selama tujuh tahun,” sambar Arvin sambil berdeham keras.
“Dia baru saja datang dari New York jadi tante rasa
dia masih belum terlalu menghafal Jakarta. Tante tolong kamu untuk menemaninya
selama di Jakarta,” ujar ibunya. Rasanya aku ingin menolak tetapi ibunya sudah
menganggpaku sebagai anaknya sendiri. Bagaimana mungkin aku menolaknya.
“Kapan tante akan berangkat?”
“Siang ini juga,” jawabnya. “Tolong jaga Arvin ya,”
pesannya sekali lagi. Aku membalas dengan anggukan dan dengan sedikit senyuman.
Aku tidak tau harus merasa senang atau sedih mendapatkan situasi yang seperti
ini. Saat aku menatap Arvin, dia segera memamerkan sederet giginya yang putih
itu padaku. Jika saja ibunya tidak ada di sini, mungkin aku sudah menamparnya
karena wajahnya yang menggelikan itu.
“Tante juga sudah berbicara dengan ibu kamu. Dia juga
setuju bahwa Arvin tinggal di rumahmu untuk sementara waktu. Apa kau keberatan
Alexa?” Mataku mulai membelalak dan di saat yang bersamaan, aku mendengar Arvin
yang terbatuk-batuk dengan cukup keras karena dia tersedak dengan makanannya
sendiri. Kurasa dia juga tidak kalah kagetnya denganku.
“Ma, tidak baik bercanda saat sarapan,” ucapnya sambil
meminum air.
“Mama tidak bercanda Arvin. Apa kau bisa mengurus
rumah sendirian?”
“Ma, aku sudah tinggal di New York selama tujuh tahun
dan aku bisa mengurus diriku sendiri di sana,” balas Arvin tak mau kalah. Di
dalam hati, aku mengangguk dengan mantap, menyetujui usulan Arvin. Dia sudah
besar dan dia pasti bisa menjaga dirinya sendiri.
“Apartment jauh lebih mudah untuk diurus tetapi rumah
jauh lebih sulit untuk diurus. Apalagi di sana kau tinggal dengan bibimu. Kau
tidak tinggal seorang diri di sana. Dia yang mengurus semuanya, meskipun dia
selalu pulang setiap sore,” ucap ibunya dengan polos. Dan lagi-lagi Arvin
tersedak tetapi bukan karena makanannya tetapi karena minumannya sendiri. Aku
menundukkan wajahku sambil menggigit bibir bagian bawahku untuk menahan tawa.
“Baiklah. Aku mengerti,” ucapnya dengan cukup kesal.
Setelah itu dia mulai melanjutkan sarapannya
lagi.
“Tunggu sebentar. Tante akan memanggil om ke atas.
Sepertinya dia tidur lagi.” Aku mengangguk pelan mengiyakan kalimatnya.
Saat aku melihat ibunya sudah naik ke atas dan sudah
tidak terlihat lagi, aku langsung mengungkapkan kekesalanku pada Arvin. “Memangnya
kau tidak hafal Jakarta. Mengapa kau bahkan bisa ke Bandung minggu lalu. Saat
itu juga, aku bertemu denganmu di restoran. Kurasa kau juga bisa mencari jalan
untuk menjemput gadis yang kau kencani malam itu.”
“Tentu saja aku bertanya pada GPS. Aku sudah terbiasa
dengan situasi seperti itu di New York. GPS sangatlah berguna baik di sana maupun
di sini.”
“Kalau begitu, untuk apa aku menemanimu?”
“Bukankah kau sudah setuju untuk menemaniku tadi?
Mengapa kau tidak menolaknya saja langsung?”
“Tch.. Semakin lama kau semakin menyebalkan,” ungkapku
dengan kesal. “Mengapa kau juga harus tinggal bersamaku?” Karena kesal, tanpa
sadar aku mulai memotong-motong telur yang ada di piringku tanpa memakannya
sama sekali.
“Untuk yang satu itu, aku juga terkejut,” timpalnya.
“Semoga saja tidak terjadi hal-hal aneh saat aku tinggal bersamamu lagi.”
“Seharusnya aku yang berkata seperti itu.”
“Apa kau masih ingat wajahnya?” tanyaku sesaat setelah
Arvin memarkirkan mobilnya di dekat gerbang pintu sekolah.
“Tidak. Bagaimana mungkin aku mengingatnya. Untuk apa
juga aku mengingatnya,” jawab Arvin. Benar juga, untuk apa dia mengingatnya dan
bagaimana pula dia mengingatnya padahal dia baru saja bertemu dengan Kevin
hanya sekali saja.
“Kau ini. Sebaiknya aku duduk di belakang saja untuk
berjaga-jaga supaya tidak ada yang melihatku,” ujarku sambil keluar dari
mobilnya dan berpindah ke belakang. “Dengan begini akan jauh lebih baik.”
“Kau benar-benar seorang stalker,” ucapnya sambil menoleh
ke belakang. Mungkin ada benarnya juga dengan apa yang dia katakan padaku.
“Karena kau akan tinggal di rumahku, kau juga harus
membantuku,” balasku tak mau kalah.
“Itu bukan kemauanku sendiri,” balasnya lagi.
“Itu dia,” ucapku sambil sedikit bersembunyi dari
balik kursi.
“Yang mana?” Dia mencoba mengamati segerombolan remaja
yang memakai seragam putih cokelat. Berbeda dengan sekolah-sekolah umum
lainnya, seragam kami memilih warna cokelat untuk celana dan rok. Pada bagian
saku baju, tidak ada tanda OSIS yang tertera tetapi digantikan oleh dua not
balok yang sama dan yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya
sehingga menghasilkan sebuah gambar yang cukup unik. Kami juga tidak perlu
bersusah payah untuk mengenakan dasi atau memasukkan baju kami supaya terlihat
rapi.
“Dia sedang berjalan bersama dengan teman-temannya.
Dia yang berdiri di tengah,” jelasku dengan cukup detail.
“Aahh.. Aku ingat wajahnya sekarang,” ucapnya sambil
terus memandangi Kevin bersama dengan teman-temannya dengan seksama tanpa
melakukan sesuatu.
“Kau tidak mengambil fotonya?” tanyaku.
“Apa kau bodoh? Bagaimana aku mengambil foto jika saja
tiba-tiba dia melihat ke sini. Apa aku harus mengatakan yang sebenarnya
padanya.” Nadanya mulai naik tetapi dia berusaha untuk tetap mengecilkan
suaranya. “Apa kau ingin mempermalukan dirimu sendiri?” Untuk kali ini, aku
memang tampak bodoh di hadapannya.
“Maaf. Mungkin aku terlalu kesal karena foto milikku
hilang,” akuku.
“Kau ini. Sebaiknya kau masuk saja daripada kau terus
menerus di sini. Semoga saja kau satu kelas dengannya.” Benar juga. Mengapa aku
lupa jika hari ini adalah hari pertamaku di tahun ketiga. Sebaiknya aku
bergegas untuk mencari kelasku sebelum ramai.
“Terima kasih karena sudah mengingatkanku,” ucapku
dengan tergesa-gesa sambil keluar dari mobilnya. Sebelum aku sempat melewati
gerbang sekolah, aku sempat teringat akan sesuatu. Cepat-cepat lagi aku kembali
menghampiri mobil Arvin dan mengetuk kaca mobilnya.
Saat dia menurunkan kacanya, aku langsung menitip
pesan padanya. “Kau tidak perlu menjemputku nanti. Aku bisa pulang sendiri.
Bye,” ucapku sambil menatapnya yang hanya tersenyum padaku. Saat aku melihatnya
melambaikan tangannya padaku, aku pun membalasnya.
“Semoga saja dia cepat pergi,” ucapku sambil berjalan
ke dalam sekolah.
“Lexa, pagi sekali kau datang,” seru seseorang dari
balik punggungku.
“Kau membuatku kaget saja,” ucapku pada Cindy yang
sudah mensejajarkan langkahnya denganku. “Hari ini aku di antar Arvin jadi aku
bisa datang lebih cepat dari biasanya.”
“Akhirnya ada juga pria tampan yang mau
mengantarkanmu,” godanya. “Kapan aku akan merasakan hal itu,” candanya sambil
mengatupkan kedua tangannya dan mulai berharap.
“Sebaiknya kita bergegas untuk mencari dimana kelas
kita,” ucapku dengan langkah yang masih tergesa.
“Aku sudah mengeceknya tadi.”
“Lalu?”
“Aku satu kelas denganmu. Sepertinya kita memang
berjodoh,” ucapnya dengan sangat girang.
“Benarkah?” tanyaku dengan tidak kalah girang.
“Sepertinya doamu juga terkabul,” ucapnya sehingga
membuatku bingung. “Kevin. Kita satu kelas dengannya,” bisiknya padaku.
“Benarkah?” jeritku dengan pelan, membuatku tersenyum
semakin lebar saja. “Dimana kelasnya?”
“Lantai dua dekat dengan ruang guru. Aku ingin ke sana
untuk menaruh tasku. Apa kau ingin ikut?”
“Pasti.”
Mungkin saja aku sebal karena mulai hari ini Arvin
akan tinggal bersama di rumahku dan menemaninya pergi kemanapun dia suka tetapi
dengan begini, kurasa aku bisa menjalaninya dengan gembira. Aku sudah tidak
peduli lagi dengan Arvin.
Saat aku berjalan menyusuri koridor bersama dengan
Cindy, aku bisa mendengar sebuah alunan nada dari sebuah piano di salah satu
ruangan yang mengapit koridor panjang itu meskipun suaranya terdengar samar.
“Apa kau mendengar sebuah suara?” tanyaku sambil memastikan apakah yang kudengar
itu benar atau salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?