Sabtu, 29 November 2014

String of Notes 2


Aku pun berjalan dengan pelan menyusuri koridor itu sambil melihat ke dalam masing-masing ruang. Aku tidak mendapati siapapun saat aku melihat ke dalam ruang pertama dan kedua. Kurasa, ruang ketiga pasti terpakai. Dan ternyata memang benar. Aku mendapati Kevin yang sedang bermain di dalamnya. Kulihat dia hanya  sendirian saja di dalam ruang itu jadi aku memutuskan untuk masuk dengan sangat perlahan agar tidak mengganggunya. Tak kusangka, ternyata dia sedang memainkan Moonlight Sonata. Salah satu lagu ciptaan Beethoven. Pagi-pagi begini memang merupakan waktu yang tepat untuk mendengarkan sebuah alunan musik klasik. Apalagi dari Beethoven.
 “Bye.” Sesaat setelah mematikan ponsel, aku memasukkannya ke dalam saku jeansku lalu kembali masuk ke dalam kamar sambil menimbang-nimbang tawarannya.  “Maaf menunggu lama,” ucapku saat membuka pintu kamar tetatpi aku malah mendapatinya sedang berbicara dengan seseorang dari ponsel miliknya. Dia sedang berdiri di dekat meja belajarku dengan tangan kiri yang ia selipkan ke dalam saku jeansnya tetapi dia sedang memunggungiku. Kurasa dia tidak sadar bahwa aku sudah berada di dalam.
“Baiklah. Jam tujuh aku akan menjemputmu. Aku berharap kau masih cantik seperti terakhir kali kita bertemu,” candanya pada seseorang di ujung sana. Tepatnya seorang wanita.
“Baiklah. Aku mengerti. Bye.” Setelah itu Vin mematikan ponselnya.
“Apa kau akan pergi?” tanyaku.
Saat dia mendengar suaraku, dia langsung membalikkan badannya. “Menurutmu?” ucapnya sambil tersenyum dengan gembira.
“Wajahmu terbaca dengan sangat jelas.” Aku merasa bahwa dia tersenyum tanpa henti. “Astaga, kau terlihat begitu bahagia. Berhentilah tersenyum,” sindirku sambil ikut tersenyum tetapi hal itu semakin membuat senyumnya bertahan. Rasanya aku enggan melihatnya tersenyum seperti itu. Apakah ada sesuatu yang mengubahnya sampai-sampai dia bisa terus tersenyum seperti ini. Atau seseorang yang telah mengubahnya menjadi seperti ini. Seorang wanita?
“Kau seperti ingin bertemu dengan pacar saja,” godaku tiba-tiba. Aku bahkan tidak merencanakan untuk berbicara seperti itu sebelumnya. Aku merutuki diriku sendiri tentang kalimat yang baru saja kulontarkan padanya.
“Hanya teman lama.”
“Awalnya aku ingin mengajakmu pergi tetapi ternyata kau juga akan pergi.” Aku mendekati ranjangku sambil membereskan biola yang kuletakkan tadi.
“Pergi? Pergi kemana?” tanyanya cepat-cepat.
“Aku tidak tau. Aku hanya bosan di rumah,” jawabku seadanya.
“Dengan pacar?” tanyanya lagi dengan penasaran.
“Bukan. Dengan teman.” Aku tertawa geli mendengar pertanyaanya. Ada-ada saja dia.
“Laki-laki atau perempuan?” Dan untuk yang ketiga kalinya dia bertanya padaku dengan nada yang benar-benar penasaran. Tepatnya, sangat penasaran.
“Apa kau sedang mengintoregasiku?” aku menatap dirinya yang berdiri di ambang pintu. “Padahal kita baru saja bertemu. Aku tidak tau tentangmu begitu juga sebaliknya. Kita punya dunia yang berbeda. Ada yang bisa kau ketahui dariku ada juga yang tidak. Jangan terlalu khawatir denganku. Aku akan baik-baik saja. Kau tau aku juga bukan seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun lagi. Aku akan baik-baik saja,” jelaskan panjang lebar sambil memberikan penekanan pada kalimat terakhirnya. Kekesalan mulai kembali menguasai diriku dan aku bahkan tidak tau apa penyebabnya.
“Kalau begitu, bolehkah aku mengantarmu?” tanyanya lagi. Aku mengerutkan dahiku. Aku tidak yakin apakah Vin bodoh atau tidak tau atau berpura-pura untuk tidak tau bahwa aku sedang kesal padanya.
Aku segera melihat jam dan ternyata sudah pukul lima sore. “Tidak perlu. Temanku akan menjemputku. Bukankah kau juga akan pergi jam tujuh? Kau juga akan menjemput seseorang. Benarkan? Kau tidak akan punya banyak waktu jika kau ingin mengantarku.” Aku mendorong punggungnya keluar dari kamarku dan dia hanya menurut saja.
“Benar juga,” jawabnya dengan lesu. Padahal beberapa menit yang lalu dia tampak sangat bahagia. Dasar pria aneh. “Aku.. pulang dulu.”
“Biar kuantar.”
“Tidak perlu,” ia tersenyum padaku untuk terakhir kalinya. “Aku senang hari ini bisa bertemu denganmu lagi,” katanya sambil mengacak-acak rambutku.
“Jangan lakukan itu lagi. Aku bukan anak kecil lagi,” ucapku dengan kesal tetapi tidak sekesal sepertit yang sebelumnya. Semakin lama senyumnya semakin pudar. Apakah aku terlalu berlebihan sampai-sampai membuatnya menjadi seseorang yang sudah tidak bertenaga untuk tetap menjaga senyumnya itu. Dia bahkan tidak mengijinkanku untuk mengantarnya sampai ke depan pintu rumah.
“Bye.” Setelah mengucapkan selamat tinggal, Vin pun turun lalu menghilang dari balik pintu rumahku. Aku merasa bahwa ada yang aneh dengannya tetapi untuk hari ini aku tidak ingin memikirkan terlalu banyak tentang dirinya.

“Sayang sekali pria itu tidak ikut bersamamu. Padahal aku penasaran untuk melihat wajahnya,” ucap Cindy sambil memakan crepesnya. “Siapa namanya?” tanyanya.
“Arvin. Aku tidak peduli jika dia ikut denganku atau tidak.” Aku memain-mainkan ujung sedotan yang kupakai untuk meminum jusku dengan salah satu tanganku sedangkan tanganku yang lainnya sibuk menopang daguku.
“Kenapa? Bukankah kau senang karena dia sudah pulang?”
“Aku memang senang tetapi...” Aku menghentikan kalimatku dan menghembuskan nafas panjang. “Mengapa dia memelukku seperti itu lalu memperlakukanku seolah-olah dia meyukaiku padahal dia sendiri telah mencintai seseorang.“ Nada suaraku naik secara tiba-tiba, membuat Cindy cukup terkejut sampai-sampai dia terbatuk-batuk. “Bikin salah paham saja,” lanjutku lagi.
“Apa? Memelukmu? Kapan?” Wajahnya menjadi sangat penasaran. Aku tau apa yang kukatakan baru saja pasti akan memicu rasa penasarannya yang tinggi.
“Tadi sore. Tiba-tiba saja dia berada di depan kamarku. Dan saat aku membuka pintu, dia langsung menarikku. Katanya dia sangat merindukanku makanya dia melakukan itu,” ucapku sambil mengingat kembali kejadian itu di dalam pikiranku.
“Jangan-jangan dia seorang playboy.”
“Aku juga menanyakan hal itu padanya. Tetapi dia berkata bahwa dia bukan playboy. Dia tidak tertarik dengan wanita yang ada di sana tetapi dia mengatakan bahwa dia mencintai seseorang,” jelasku sesuai dengan informasi yang kudapat dari Vin sendiri. Aku mulai duduk menegakkan wajahku sambil menatapnya.  “Bukan hanya itu saja. Sebelumnya dia sempat mengajakku makan malam lalu dia sempat kecewa karena aku melepas semua foto yang kutempel di dinding beberapa tahun yang lalu. Saat aku mengatakan bahwa aku akan pergi, dia bertanya apakah aku pergi dengan pacar atau bukan, laki-laki atau perempuan,” ceritaku panjang lebar. Mata Cindy melebar, sama seperti mataku. Sepertinya dia terlalu asyik mendengarkan ceritaku sampai-sampai dia lupa untuk menghabiskan crepesnya. “Aneh bukan.”
“Kurasa kau yang aneh,” ucapnya dengan nada penuh keseriusan. “Menurutku, pria itu menyukaimu hanya saja kau menganggapnya sebagai seuatu yang aneh.”
“Sepertinya itu tidak mungkin. Bagaimana mungkin seseorang yang sudah berpisah dengan kita selama tujuh tahun lamanya tiba-tiba kembali lalu memeluk begitu saja tanpa mendapatkan izin. Rasanya seperti memeluk orang yang baru saja kukenal,” balasku tidak mau kalah dan memang seperti itulah apa yang kurasakan tadi. Berbicara dengannya saja seperti berbicara dengan orang asing tetapi aku memang berusaha untuk menghilangkan perasaan itu dan terus mencoba untuk memanipulasi otakku bahwa Arvin memanglah Arvin yang kukenal.
Saat aku sedang memperhatikan kerumunan yang ada di jauh di depan sana, aku melihat seseorang yang kukenal. Aku mencoba untuk berpikir dengan cepat. Rasanya belum lama ini kita bertemu tetapi mengapa aku lupa.
“Arvin. Bagiku dia adalah pria yang cukup unik,” ucap Cindy tiba-tiba, membuatku tersadar akan satu hal.
“Arvin. Sepertinya aku baru saja melihat pria itu.” Kalimatku membuat Cindy tidak jadi memakan crepesnya. Pantas saja wajahnya terlihat begitu familiar. Mungkin karena aku baru bertemu dengannya satu kali ini sampai-sampai aku sempat lupa bagaimana wajahnya.
“Dimana?”
“Di situ.” Aku menunjuk ke arah kerumunan yang sedang kulihat dan tiba-tiba saja Cindy berdiri. “Mengapa kau berdiri?” Aku mengedipkan mataku berkali-kali, menatapnya dengan penuh tanda tanya. Dia langsung menarik tanganku dan berjalan meninggalkan food court begitu pula dengan crepesnya.
“Beri tahu aku yang mana pria itu.”
“Untuk apa?”
“Beri tahu saja. Aku sudah penasaran sejak awal.” Sebenarnya aku ingin menolaknya tetapi aku hanya bisa menuruti keinginannya.
“Yang mana?” tanya Cindy.
“Kau lihat pria yang tinggi, rambutnya berwarna coklat muda dan yang memakai jaket hitam?”
 “Aku melihatnya.” Cindy menarik tanganku sehingga aku harus berlari kecil untuk mensejajarkan langkahnya sehingga membuat jarak antara kami dengan Arvin semakin dekat.
“Buat apa mendekat,” bisikku pada Cindy sambil menarik tanganku tetapi genggamannya semakin kuat saja. Aku terus memperhatikan Arvin. Aku takut jika mendadak dia menoleh ke belakang lalu mendapati kami berdua yang diam-diam sedang mengikutinya.
“Alexa.” Dalam kepanikan yang seperti ini, aku bisa mendengar dengan jelas namaku dipanggil oleh seorang pria dari arah belakang. Aku langsung berhenti sambil membalikkan badanku. Segera saja aku menarik tanganku sekuat mungkin supaya Cindy juga ikut berhenti. Dari sudut mataku, aku juga melihat Cindy yang terperangah karena melihat Kevin.
“Kevin,” seruku dengan cukup terkejut juga senang. “Ternyata kau juga ada di sini,” ucapku sambil berbasa-basi.
“Tidak kusangka juga. Kau bersama dengan siapa?”
“Dengan temanku,” aku menatapnya sambil tersenyum. Sesaat setelah aku berkata seperti itu, Cindy langsung memperkenalkan dirinya pada Kevin.
“Apa yang sedang kau lakukan di sini?”
“Aku? Aku sedang bekerja di salah satu restoran barat untuk bermain piano,” ucapnya dengan gembira.
“Bermain piano?” Tiba-tiba saja aku menjadi tertarik untuk melihatnya bermain piano. Jarang sekali  aku melihatnya bermain di sekolah. Jadi, kurasa ini adalah kesempatan yang bagus untuk melihatnya bermain. “Bolehkah aku melihatnya?”
“Tentu saja. Jika kau mau, kau bisa bermain bersama denganku,” tawarnya.
“Aku tidak bisa bermain piano,” ungkapku dengan sedikit malu.
“Bagaimana dengan biola? Kudengar kau suka bermain biola.”
“Apakah mereka juga menyediakan sebuah biola di sana?”
“Tentu saja,” Kevin menjawabnya dengan penuh keyakinan. “Ikut aku,” ujarnya sambil berjalan terlebih dahulu tetapi aku berusaha untuk mensejajarkan langkahku dengannya sedangkan Cindy berjalan di samping kananku, berusaha untuk tidak menghalangi kami berdua.
 “Sepertinya malam ini adalah malam keberuntunganmu karena kau bisa bertemu dengan Kevin di sini,” bisiknya dengan cukup senang.
“Terima kasih karena kau telah mengajakku ke tempat ini.”
“Bukan hanya itu saja. Saat Kevin memanggilmu, diam-diam aku juga memperhatikan Arvin yang mendadak berhenti lalu memperhatikanmu selama beberapa saat. Setelah itu dia berjalan menjauh.”
“Benarkah?” tanyaku dengan sedikit tidak percaya.
“Kurasa dia memang menyukaimu.”
“Tidak mungkin. Kurasa dia di sini karena dia ingin bertemu dengan pacarnya.”
Tak lama kemudian kami bertiga tiba juga di salah satu restoran barat yang bersebelahan dengan restoran-restoran barat lainnya. Aku dan Cindy cukup terperangah dengan design restoran ini. Meja dan kursinya bergaya semi-klasik dan berwarna coklat. Lampu-lampu kristal yang tergantung di atas itu berukuran cukup besar tetapi cahanya di atur supaya ruangan ini terlihat remang-remang. Aku melihat sekeliling ruangan itu dan mendapati cukup banyak bule yang makan di sini. Tidak hanya itu. Ternyata Arvin juga ada di sini bersama seorang wanita cantik di belakang sana. Seketika itu juga aku langsung membalikkan wajahku. Aku berharap dia tidak melihatku dan lebih baik aku memperhatikan Kevin saja.
“Sayang sekali mereka tidak memiliki cello di sini. Padahal aku berharap untuk main di sini,” ujar Cindy dengan wajah cemberut sambil melipat kedua tangannya. Aku memilih tempat yang paling depan dengan sengaja supaya aku bisa bersembunyi dari Arvin. Semoga saja Cindy tidak sadar bahwa Arvin juga ada di sini.
“Aku akan berduet denganmu setelah ini,” ucap Kevin sambil melangkah maju dan mendekati sebuah grand piano berwarna hitam elegan. Sesaat sebelum dia bermain, wajahnya tampak begitu serius. Kulihat Kevin mulai memposisikan jari-jarinya di atas tuts piano. Saat dia mulai bermain, awalnya aku tidak tau lagu apa yang sedang dia mainkan tetapi beberapa saat kemudian aku tersadar bahwa dia sedang memainkan lagu dari seorang musisi jenius yang sangat terkenal di dunia. Wolfgang Amadeus Mozart. Musisi yang paling kusukai dari awal  saat aku mulai mengenal musik.
Fantasia in D Minor yang sedang di bawakan oleh Kevin begitu lembut. Dalam beberapa saat aku memutuskan untuk memejamkan mataku sambil mendengar setiap tuts yang ia tekan dengan jari jemarinya. Di saat aku memutuskan untuk membuka mataku, aku langsung memusatkan mataku pada kelincahan jari-jarinya.
“Ternyata kau tidak salah memilih seorang pria,” ucap Cindy yang juga sedang memperhatikan Kevin bermain. Wajahnya terpaku tanpa menoleh ke kanan atau kiri. Saat Kevin selesai bermain, sebagian tamu yang ada di restoan itu bertepuk tangan. Ia lalu berdiri sambil mengambil salah satu mic dan iapun memulai untuk berbicara.
“Night, ladies and gentleman. Today, I will be accompanied by my friend. My beautiful friend. Please give a big applause for Miss Alexa.” Kevin mulai bertepuk tangan diikuti dengan tepuk tangan dari para tamu. Pipiku merona merah. Sudah lama aku tidak bermain di depan banyak orang dan terakhir kalinya aku berduet adalah dengan Arvin.
“Bukankah itu Arvin?” tanya Cindy sehingga membuatku terkejut. Entah mengapa gadis ini memang memiliki penglihatan yang begitu tajam.
“Menolehlah. Jangan pedulikan dia lagi. Anggap saja dia tidak ada di sini,” aku berkata dengan sedikit galak.
“Oke. Aku mengerti. Cepat pergi. Jangan membuat para tamu menunggumu,” usir Cindy dengan cepat tetapi tetap saja aku tidak akan percaya bahwa dia tidak akan memperhatikan Arvin lagi.
Saat aku maju ke depan, dengan segera Kevin mempersilakan aku untuk berbicara terlebih dahulu. Meskipun bahasa Inggrisku cukup lancar tetapi aku merasa sangat gugup. Semoga saja aku tidak mengucapkan kata yang salah. Jika tidak, aku tidak tau harus berbuat seperti apa.
“Good night ladies and gentleman. My name is Alexa and... actually I did not expect to meet Kevin in here. He told me that he works here and he offered me to play with him. For me, it would be such a great pleasure to duet with him. Tonight, we will bring another song from Mozart with title Sonata in D Major. Enough for the speech and I hope all of you enjoy it.” Setelah aku selesai berbicara, lagi-lagi para tamu bertepuk tangan dengan kencang. Tanpa basa-basi lagi aku mengambil biola dan menempelkannya di daguku. Aku sempat mendengar bahwa Cindy menjerit memanggil namaku, seolah-olah berada di konser saja. Aku tersenyum penuh paksa sambil melihat gadis itu.
Sebenarnya aku cukup ragu untuk memainkan lagu ini karena lagu ini memiliki tempo yang cukup cepat tetapi entah kenapa judul lagu ini yang menempel dalam pikiranku saat ini dan aku takut jika Kevin tidak dapat mengiringiku. Banyak yang berkata bahwa sangatlah susah untuk mendampingi seseorang yang baru pertama kali berduet dengan kita atau sebaliknya apalagi kita tidak melakukan latihan sebelumnya. Hal itulah yang membuatku takut. Aku sangat yakin bahwa Kevin bisa mengiringiku. Aku mengambil mulai mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya supaya bisa memperlambat detak jantungku yang sempat membuat tanganku berkeringat dingin lalu aku mulai berpikir positif bahwa semuanya akan berjalan dengan sangat lancar.
Permainan pun dimulai dan kekhawatirankupun menghilang secara perlahan karena Kevin dapat mengimbangiku dengan cukup baik walaupun ada beberapa nada yang salah tetapi itu bisa tertutup dengan suara biola yang kumainkan dan untung saja para tamu menikmatinya. Rasanya menyenangkan untuk memainkan lagu yang bertempo cepat seperti ini. Seperti terdapat api besar yang sedang menyala di dalam hatiku. Sudah lama aku menanti-nantikan perasaan yang seperti ini. Membuatku begitu bersemangat.
Waktu pun sangat cepat berlalu dan akhirnya akupun selesai bermain. Aku tersenyum gembira karena aku bisa memainkan lagu ini di depan umum dan yang paling membuatku senang adalah tepuk tangan yang diberikan para tamu menjadi semakin riuh dari yang sebelumnya. Rasa gugupku menghilang bagaikan angin. Aku dan Kevin saling membungkukkan badan setelah itu aku meletakkan biola yang kupinjam dan segera kembali duduk di kursiku.
“Lexa, kau keren sekali. Baru pertama kali aku melihatmu bermain dengan semangat yang seperti itu,” ucap Cindy dengan bangga. Sejak tadi senyumku masih belum menghilang juga.
                “Wow... What a great play isn’t it. Let’s give another big applause for Miss Alexa,” seru Kevin di depan sana dan lagi-lagi tepuk tangan yang riuh mulai membahana di dalam ruangan. “Thanks to her because tonight I think I spent all of my energy,” candanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dari tempat dudukku, aku hanya bisa tertawa mendengar kalimatnya. “And I hope tonight I can bring another song for you. If you have a request, just put your hand up,” ucapnya sambil menunggu apakah ada seseorang yang mengangkat tangannya untuk memberikan request lagu padanya. “No.. No one? Oooww.. I think we got one here. Good night Sir, thank you for your kindness and please tell me, what song do you want me to play?” tanya Kevin pada salah satu tamu. Aku menoleh dan mencoba untuk mencari siapa tamu yang berani mengangkat tangannya itu.        
“Sorry, I have no request,” ucap seorang pria dari arah belakang dengan mic yang baru saja ia dapatkan dari salah seorang pelayan. “But, I wanna play a song for all of you.” Anehnya suara itu terdengar begitu familiar di telingaku dan langsung saja aku menatap pada Arvin yang memang sedang berdiri sambil membawa mic. Jantungku mulai berdegup kencang karena aku takut jika dia melakukan sesuatu yang aneh.
“Please come forward Sir,” ucap Kevin sambil mempersilakan Arvin untuk maju ke depan. Langsung aku membalikkan badanku ke posisi semula dan aku mulai berdoa di dalam hatiku.
“Okay. First of all, good night ladies and gentleman. My name is Arvin and tonight I will play a song with someone.”
“So, you are not playing solo, are you?”
“No. Of course not.”
“And, who is the lucky person in here?” Saat Kevin berbicara seperti itu, secara spontan aku langsung menatap Arvin yang juga sedang menatapku. Rasa takutku semakin memuncak. Entah kenapa hari ini aku merasa bahwa aku tidak ingin berduet dengannya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dengan pelan tetapi Arvin malah tersenyum jahil padaku. Sepertinya dia mengabaikan permohonanku.
“Please come forward, Alexa...” ucap Vin dengan senang, seakan-akan dia telah memenangkan sesuatu.
“Wow, we got another request for Alexa. Let me ask you Sir, do you know Alexa?”
“Yes. She is my friend. Best friend.” Pikiranku langsung berkecamuk saat dia mengatakan bahwa kami berdua adalah sahabat. Cindy yang sedari tadi hanya dia saja kali ini menyenggolku lalu tersenyum penuh arti padaku. “We know each other. And actually today I promised her to duet with her so I think tonight is a good time to have a duet with her. But before, I want to apologize because I did some mistakes to her.” Aku memutar kedua bola mataku dengan kesal. Mengapa dia harus mengatakannya di depan umum. Bukankah ini merupakan rahasia kami berdua. Atau hanya aku saja yang menganggapnya sebagai rahasia. Aku tidak yakin dengan ketulusannya ini. Mungkin karena aku tidak memberikan maaf padanya jadi dia memutuskan untuk melakukannya di depan umum.
“What mistakes?”
“I left her for seven years and I broke my promise to come back earlier and I did not give any call or mail to contact her.” Apakah dia harus meminta maaf dengan cara yang seperti ini. Apakah semua orang harus tahu tentang masalahku dengannya. Sungguh menyebalkan.
“Hei Lexa, pria yang kau ceritakan padaku sepertinya berbeda dengan pria yang berada di hadapanku saat ini.”
“Tetap saja dia pria aneh. Untuk apa dia  mengunngkapkan semuanya di sini. Padahal sebelumnya dia sudah meminta maaf padaku. Untuk apa dia melakukannya lagi. Memalukan saja.”
“Okay, Lexa. You heard it right. Please come forward and say something to him,”  ucap Kevin sambil tersenyum menatapku. Kupikir mereka berdua sedang bersekongkol tetapi nyatanya mereka malah tidak saling mengenal.
Daripada aku mendengar bisikan-bisikan negatif tentang diriku, aku terpaksa memilih untuk maju dan menerima mic yang diberikan Kevin padaku dan aku segera memberikan tatapan tajam pada Arvin yang sedang berdiri di sampingku
“Maaf karena sudah merusak malammu,” bisikinya sambil tersenyum usil.
“Menggelikan, sungguh kekanak-kanakan. Lebih baik aku tidak bertemu bertemu denganmu hari ini dan sebaiknya kau cepat kembali ke New York saja lagi. Lihat saja nanti,” balasku tetapi Arvin hanya tersenyum geli saja. Sungguh menyebalkan.
“So sorry but I don’t have anything to say. We will start our performance now. Please enjoy,” ucapku sambil mengatur emosiku yang sedang berantakan. Aku bisa mendengar nada kekecewaan dari para tamu tetapi aku berusaha untuk mengabaikannya. Aku memang ingin mengucapkan sesuatu pada Vin tetapi bukan di tempat ini. Titik.
“Lagu apa?” aku bertanya pada Vin setelah mengambil biola yang akan kupakai begitu pula dengannya.
“Bagaimana dengan Ave Maria? Sudah lama kita tidak memainkan lagu itu.”
“Ave Maria? Mengapa harus lagu itu.”
“Bukankah itu lagu kenangan kita berdua?” ucapnya yang di sela dengan tawanya. Lagu kenangan. Lagu kenangan apa? Rasanya aku baru memainkan lagu ini bersamanya hanya sekali saja. Sebenarnya lagu ini adalah lagu pertama yang aku mainkan dengannya. Menurutku tidak ada sesuatu yang spesial di dalamnya.
“Kita? Tujuh tahun sudah berlalu. Kita hanyalah untuk dulu. Sekarang hanya ada aku seorang dan kau seorang.”
“Tetapi tidak bagiku,” ucapnya sambil berdeham keras di sampingku. “Sebaiknya kita memulai saja. Tidak baik membuat para tamu menunggu.” Setelah berbicara seperti itu, Vin pun memberikan aba-aba lalu kitapun memulainya.
Meskipun lagu ini memiliki tempo yang jauh berbeda dengan lagu yang kumainkan sebelumnya, aku juga berharap bahwa aku bisa memainkannya dengan indah karena aku jarang memainkan lagu ini apalagi tidak ada yang berduet denganku. Tetapi entah kenapa rasanya saat aku memainkannya, aku menjadi terhanyut di dalamnya. Aku merasa bahwa nada-nada yang kumainkan saling mengikat dengan nada-nada yang dimainkan oleh Arvin. Tidak ada kesalahan satupun di antara kami berdua. Akupun teringat dengan gelang yang diberikan Arvin. Apa benar gelang itu bisa mempersatukan perasaan kita. Ataukah nada-nada yang kami ciptakan itu berasal dari perasaan yang saling mengikat. Dulu aku juga merasakan hal yang sama seperti saat ini. Setiap kali bermain bersamanya, perasaan ini selalu muncul. Aku mengira bahwa aku tidak akan mengalami hal ini lagi tetapi nyatanya tidak. Apakah... Arvin juga merasakan apa yang kurasakan saat ini.
Rasanya aku masih ingin terus bermain sebelum ramainya tepuk tangan membuatku tersadar kembali. Apa yang kualami baru saja adalah kenyataan dan rasa rinduku telah benar-benar terbayar oleh karena hal itu.
“Wow, it almost made me cry?” ucap Kevin sambil tertawa. “That song, every time I heard it, I never feel this way. Thank you Sir Arvin and Miss Alexa for playing this great song and please give another applause for both of them.” Sesaat aku merasa senang karena aku bisa membuat para tamu merasa senang. Aku tersenyum saat mendengar pujian yang dilontarkan Kevin untuk kami berdua. Awalnya aku memang keberatan untuk berduet dengan Arvin tetapi sekarang aku mencoba untuk membalikkan fakta. Aku mengembalikan biola yang telah kupinjam itu dan sesaat sebelum aku kembali, tiba-tiba saja Arvin membisikkan sebuah kalimat padaku yang membuat senyumku menguap begitu saja.

“Aku tidak akan pernah mengingkari janjiku lagi,” bisik Arvin sebelum aku sempat kembali ke tempat dudukku. Saat aku menoleh padanya, dia malah sibuk memberikan senyum pada para tamu. Tanpa mengulur waktu lagi aku langsung kembali dan menarik tangan Cindy untuk pergi dari tempat itu.
“Lexa, ada apa denganmu?” tanya Cindy tetapi tidak kuhiraukan sedikit pun. Pikiran dan perasaanku sedang kacau. Karena Arvin aku jadi merasa seperti ini. Janji apa lagi yang ia maksud. Untuk apa dia berjanji padaku lagi jika dia sudah pernah mengingkarinya dan cukup membuatku sakit hati. Pembohong. Aku tidak suka pembohong seperti dia.
“Lexa, kau kenapa?” tanya Cindy lagi. Kali ini aku menghentikan langkahku dan melepas cengkeramanku.
“Aku hanya butuh udara segar. Aku tidak ingin berada dalam satu ruangan dengannya.”
“Apa yang terjadi?”
“Tidak ada.”
“Benarkah?” selidiknya. “Tidak ada yang terjadi?”
“Benar. Mengapa kau tidak percaya padaku,” bantahku padanya. Aku tidak ingin membuatnya bertanya lebih lagi. Aku belum siap untuk mencerikan hal ini padanya.
“Baiklah jika kau tidak mau menceritakannya padaku,” ucap Cindy sedikit kecewa. “Lexa, sepertinya kau jauh lebih cocok bersama dengan Arvin daripada Kevin. Saat aku melihat kalian berdua sedang bermain, kau terlihat seperti pasangan serasi. Entah mengapa aku merasa seperti itu,” ia berkata dengan penuh semangat tetapi Cindy tidak tau bahwa kata-kata itu cukup menyinggung perasaanku.
Aku berpura-pura untuk bersikap biasa saja di hadapannya meskipun dia tau bahwa aku sedang tidak biasa-biasa saja. “Aku tidak ingin dengannya. Pria aneh seperti dia, untuk apa? Kevin jauh lebih baik  darinya,” timpalku dengan kesal. “Bolehkah aku menitipkan sesuatu padamu?”
“Apa?” Aku segera melepas gelang merahku yang selalu menempel pada pergelangan tangan kananku dan menyerahkannya pada Cindy. “Bukankah kau berkata bahwa gelang ini sangat penting untukmu?”
“Sepertinya sudah tidak lagi. Aku hanya ingin mencoba sesuatu tanpa gelang ini.”
“Kau ingin mencoba apa?”
“Katanya gelang ini bisa mengikat perasaan seseorang dengan pasangannya yang memiliki gelang yang sama.” Dan aku tidak pernah percaya tentang hal bodoh seperti itu.
“Memang siapa yang memiliki gelang yang sama persis denganmu?”
“Arvin. Aku mendapatkan gelang ini darinya.” Aku melihat Cindy yang tiba-tiba terkesiap.
“Kalian memang jodoh. Tak kuduga ternyata masih ada hal yang seperti itu. Apa kau percaya dengan hal itu?” Aku segera menggelengkan kepalaku. “Aku juga. Lalu, apa yang ingin kau coba?”
“Aku hanya penasaran. Jika aku tidak memakai gelang ini apakah aku akan jatuh cinta pada Arvin,” ungkapku dengan sangat jujur. Cindy pun mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti.
“Kalau begitu,” dia mengambil gelang itu dari telapak tanganku. “Aku akan menjaganya dengan baik. Tapi bagaimana jika Arvin bertanya padamu?”
“Aku akan menjawab bahwa gelang itu sudah kubuang.”
“Bagaimana jika dia marah?”

“Baguslah. Mungkin saja hal itu bisa membuat dirinya membenciku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?