Aku pun berjalan dengan pelan menyusuri koridor itu
sambil melihat ke dalam masing-masing ruang. Aku tidak mendapati siapapun saat
aku melihat ke dalam ruang pertama dan kedua. Kurasa, ruang ketiga pasti
terpakai. Dan ternyata memang benar. Aku mendapati Kevin yang sedang bermain di
dalamnya. Kulihat dia hanya sendirian
saja di dalam ruang itu jadi aku memutuskan untuk masuk dengan sangat perlahan
agar tidak mengganggunya. Tak kusangka, ternyata dia sedang memainkan Moonlight
Sonata. Salah satu lagu ciptaan Beethoven. Pagi-pagi begini memang merupakan
waktu yang tepat untuk mendengarkan sebuah alunan musik klasik. Apalagi dari Beethoven.
“Bye.” Sesaat setelah
mematikan ponsel, aku memasukkannya ke dalam saku jeansku lalu kembali masuk ke
dalam kamar sambil menimbang-nimbang tawarannya. “Maaf menunggu lama,” ucapku saat membuka
pintu kamar tetatpi aku malah mendapatinya sedang berbicara dengan seseorang
dari ponsel miliknya. Dia sedang berdiri di dekat meja belajarku dengan tangan
kiri yang ia selipkan ke dalam saku jeansnya tetapi dia sedang memunggungiku.
Kurasa dia tidak sadar bahwa aku sudah berada di dalam.
“Baiklah. Jam tujuh aku akan menjemputmu. Aku berharap kau masih
cantik seperti terakhir kali kita bertemu,” candanya pada seseorang di ujung
sana. Tepatnya seorang wanita.
“Baiklah. Aku mengerti. Bye.” Setelah itu Vin mematikan ponselnya.
“Apa kau akan pergi?” tanyaku.
Saat dia mendengar suaraku, dia langsung membalikkan badannya.
“Menurutmu?” ucapnya sambil tersenyum dengan gembira.
“Wajahmu terbaca dengan sangat jelas.” Aku merasa bahwa dia
tersenyum tanpa henti. “Astaga, kau terlihat begitu bahagia. Berhentilah
tersenyum,” sindirku sambil ikut tersenyum tetapi hal itu semakin membuat
senyumnya bertahan. Rasanya aku enggan melihatnya tersenyum seperti itu. Apakah
ada sesuatu yang mengubahnya sampai-sampai dia bisa terus tersenyum seperti ini.
Atau seseorang yang telah mengubahnya menjadi seperti ini. Seorang wanita?
“Kau seperti ingin bertemu dengan pacar saja,” godaku tiba-tiba.
Aku bahkan tidak merencanakan untuk berbicara seperti itu sebelumnya. Aku
merutuki diriku sendiri tentang kalimat yang baru saja kulontarkan padanya.
“Hanya teman lama.”
“Awalnya aku ingin mengajakmu pergi tetapi ternyata kau juga akan
pergi.” Aku mendekati ranjangku sambil membereskan biola yang kuletakkan tadi.
“Pergi? Pergi kemana?” tanyanya cepat-cepat.
“Aku tidak tau. Aku hanya bosan di rumah,” jawabku seadanya.
“Dengan pacar?” tanyanya lagi dengan penasaran.
“Bukan. Dengan teman.” Aku tertawa geli mendengar pertanyaanya.
Ada-ada saja dia.
“Laki-laki atau perempuan?” Dan untuk yang ketiga kalinya dia
bertanya padaku dengan nada yang benar-benar penasaran. Tepatnya, sangat
penasaran.
“Apa kau sedang mengintoregasiku?” aku menatap dirinya yang
berdiri di ambang pintu. “Padahal kita baru saja bertemu. Aku tidak tau
tentangmu begitu juga sebaliknya. Kita punya dunia yang berbeda. Ada yang bisa
kau ketahui dariku ada juga yang tidak. Jangan terlalu khawatir denganku. Aku
akan baik-baik saja. Kau tau aku juga bukan seorang gadis kecil berusia sepuluh
tahun lagi. Aku akan baik-baik saja,” jelaskan panjang lebar sambil memberikan
penekanan pada kalimat terakhirnya. Kekesalan mulai kembali menguasai diriku
dan aku bahkan tidak tau apa penyebabnya.
“Kalau begitu, bolehkah aku mengantarmu?” tanyanya lagi. Aku
mengerutkan dahiku. Aku tidak yakin apakah Vin bodoh atau tidak tau atau
berpura-pura untuk tidak tau bahwa aku sedang kesal padanya.
Aku segera melihat jam dan ternyata sudah pukul lima sore. “Tidak
perlu. Temanku akan menjemputku. Bukankah kau juga akan pergi jam tujuh? Kau
juga akan menjemput seseorang. Benarkan? Kau tidak akan punya banyak waktu jika
kau ingin mengantarku.” Aku mendorong punggungnya keluar dari kamarku dan dia
hanya menurut saja.
“Benar juga,” jawabnya dengan lesu. Padahal beberapa menit yang
lalu dia tampak sangat bahagia. Dasar pria aneh. “Aku.. pulang dulu.”
“Biar kuantar.”
“Tidak perlu,” ia tersenyum padaku untuk terakhir kalinya. “Aku
senang hari ini bisa bertemu denganmu lagi,” katanya sambil mengacak-acak
rambutku.
“Jangan lakukan itu lagi. Aku bukan anak kecil lagi,” ucapku
dengan kesal tetapi tidak sekesal sepertit yang sebelumnya. Semakin lama
senyumnya semakin pudar. Apakah aku terlalu berlebihan sampai-sampai membuatnya
menjadi seseorang yang sudah tidak bertenaga untuk tetap menjaga senyumnya itu.
Dia bahkan tidak mengijinkanku untuk mengantarnya sampai ke depan pintu rumah.
“Bye.” Setelah mengucapkan selamat tinggal, Vin pun turun lalu
menghilang dari balik pintu rumahku. Aku merasa bahwa ada yang aneh dengannya
tetapi untuk hari ini aku tidak ingin memikirkan terlalu banyak tentang dirinya.

“Sayang sekali pria itu tidak ikut bersamamu. Padahal aku
penasaran untuk melihat wajahnya,” ucap Cindy sambil memakan crepesnya. “Siapa
namanya?” tanyanya.
“Arvin. Aku tidak peduli jika dia ikut denganku atau tidak.” Aku
memain-mainkan ujung sedotan yang kupakai untuk meminum jusku dengan salah satu
tanganku sedangkan tanganku yang lainnya sibuk menopang daguku.
“Kenapa? Bukankah kau senang karena dia sudah pulang?”
“Aku memang senang tetapi...” Aku menghentikan kalimatku dan
menghembuskan nafas panjang. “Mengapa dia memelukku seperti itu lalu
memperlakukanku seolah-olah dia meyukaiku padahal dia sendiri telah mencintai
seseorang.“ Nada suaraku naik secara tiba-tiba, membuat Cindy cukup terkejut
sampai-sampai dia terbatuk-batuk. “Bikin salah paham saja,” lanjutku lagi.
“Apa? Memelukmu? Kapan?” Wajahnya menjadi sangat penasaran. Aku
tau apa yang kukatakan baru saja pasti akan memicu rasa penasarannya yang
tinggi.
“Tadi sore. Tiba-tiba saja dia berada di depan kamarku. Dan saat
aku membuka pintu, dia langsung menarikku. Katanya dia sangat merindukanku
makanya dia melakukan itu,” ucapku sambil mengingat kembali kejadian itu di
dalam pikiranku.
“Jangan-jangan dia seorang playboy.”
“Aku juga menanyakan hal itu padanya. Tetapi dia berkata bahwa dia
bukan playboy. Dia tidak tertarik dengan wanita yang ada di sana tetapi dia
mengatakan bahwa dia mencintai seseorang,” jelasku sesuai dengan informasi yang
kudapat dari Vin sendiri. Aku mulai duduk menegakkan wajahku sambil menatapnya.
“Bukan hanya itu saja. Sebelumnya dia
sempat mengajakku makan malam lalu dia sempat kecewa karena aku melepas semua
foto yang kutempel di dinding beberapa tahun yang lalu. Saat aku mengatakan
bahwa aku akan pergi, dia bertanya apakah aku pergi dengan pacar atau bukan, laki-laki
atau perempuan,” ceritaku panjang lebar. Mata Cindy melebar, sama seperti
mataku. Sepertinya dia terlalu asyik mendengarkan ceritaku sampai-sampai dia
lupa untuk menghabiskan crepesnya. “Aneh bukan.”
“Kurasa kau yang aneh,” ucapnya dengan nada penuh keseriusan.
“Menurutku, pria itu menyukaimu hanya saja kau menganggapnya sebagai seuatu
yang aneh.”
“Sepertinya itu tidak mungkin. Bagaimana mungkin seseorang yang
sudah berpisah dengan kita selama tujuh tahun lamanya tiba-tiba kembali lalu
memeluk begitu saja tanpa mendapatkan izin. Rasanya seperti memeluk orang yang
baru saja kukenal,” balasku tidak mau kalah dan memang seperti itulah apa yang
kurasakan tadi. Berbicara dengannya saja seperti berbicara dengan orang asing
tetapi aku memang berusaha untuk menghilangkan perasaan itu dan terus mencoba
untuk memanipulasi otakku bahwa Arvin memanglah Arvin yang kukenal.
Saat aku sedang memperhatikan kerumunan yang ada di jauh di depan
sana, aku melihat seseorang yang kukenal. Aku mencoba untuk berpikir dengan cepat.
Rasanya belum lama ini kita bertemu tetapi mengapa aku lupa.
“Arvin. Bagiku dia adalah pria yang cukup unik,” ucap Cindy
tiba-tiba, membuatku tersadar akan satu hal.
“Arvin. Sepertinya aku baru saja melihat pria itu.” Kalimatku
membuat Cindy tidak jadi memakan crepesnya. Pantas saja wajahnya terlihat
begitu familiar. Mungkin karena aku baru bertemu dengannya satu kali ini
sampai-sampai aku sempat lupa bagaimana wajahnya.
“Dimana?”
“Di situ.” Aku menunjuk ke arah kerumunan yang sedang kulihat dan
tiba-tiba saja Cindy berdiri. “Mengapa kau berdiri?” Aku mengedipkan mataku
berkali-kali, menatapnya dengan penuh tanda tanya. Dia langsung menarik
tanganku dan berjalan meninggalkan food court begitu pula dengan crepesnya.
“Beri tahu aku yang mana pria itu.”
“Untuk apa?”
“Beri tahu saja. Aku sudah penasaran sejak awal.” Sebenarnya aku
ingin menolaknya tetapi aku hanya bisa menuruti keinginannya.
“Yang mana?” tanya Cindy.
“Kau lihat pria yang tinggi, rambutnya berwarna coklat muda dan
yang memakai jaket hitam?”
“Aku melihatnya.” Cindy
menarik tanganku sehingga aku harus berlari kecil untuk mensejajarkan
langkahnya sehingga membuat jarak antara kami dengan Arvin semakin dekat.
“Buat apa mendekat,” bisikku pada Cindy sambil menarik tanganku
tetapi genggamannya semakin kuat saja. Aku terus memperhatikan Arvin. Aku takut
jika mendadak dia menoleh ke belakang lalu mendapati kami berdua yang diam-diam
sedang mengikutinya.
“Alexa.” Dalam kepanikan yang seperti ini, aku bisa mendengar
dengan jelas namaku dipanggil oleh seorang pria dari arah belakang. Aku
langsung berhenti sambil membalikkan badanku. Segera saja aku menarik tanganku
sekuat mungkin supaya Cindy juga ikut berhenti. Dari sudut mataku, aku juga
melihat Cindy yang terperangah karena melihat Kevin.
“Kevin,” seruku dengan cukup terkejut juga senang. “Ternyata kau
juga ada di sini,” ucapku sambil berbasa-basi.
“Tidak kusangka juga. Kau bersama dengan siapa?”
“Dengan temanku,” aku menatapnya sambil tersenyum. Sesaat setelah
aku berkata seperti itu, Cindy langsung memperkenalkan dirinya pada Kevin.
“Apa yang sedang kau lakukan di sini?”
“Aku? Aku sedang bekerja di salah satu restoran barat untuk
bermain piano,” ucapnya dengan gembira.
“Bermain piano?” Tiba-tiba saja aku menjadi tertarik untuk
melihatnya bermain piano. Jarang sekali
aku melihatnya bermain di sekolah. Jadi, kurasa ini adalah kesempatan
yang bagus untuk melihatnya bermain. “Bolehkah aku melihatnya?”
“Tentu saja. Jika kau mau, kau bisa bermain bersama denganku,”
tawarnya.
“Aku tidak bisa bermain piano,” ungkapku dengan sedikit malu.
“Bagaimana dengan biola? Kudengar kau suka bermain biola.”
“Apakah mereka juga menyediakan sebuah biola di sana?”
“Tentu saja,” Kevin menjawabnya dengan penuh keyakinan. “Ikut aku,”
ujarnya sambil berjalan terlebih dahulu tetapi aku berusaha untuk mensejajarkan
langkahku dengannya sedangkan Cindy berjalan di samping kananku, berusaha untuk
tidak menghalangi kami berdua.
“Sepertinya malam ini
adalah malam keberuntunganmu karena kau bisa bertemu dengan Kevin di sini,”
bisiknya dengan cukup senang.
“Terima kasih karena kau telah mengajakku ke tempat ini.”
“Bukan hanya itu saja. Saat Kevin memanggilmu, diam-diam aku juga
memperhatikan Arvin yang mendadak berhenti lalu memperhatikanmu selama beberapa
saat. Setelah itu dia berjalan menjauh.”
“Benarkah?” tanyaku dengan sedikit tidak percaya.
“Kurasa dia memang menyukaimu.”
“Tidak mungkin. Kurasa dia di sini karena dia ingin bertemu dengan
pacarnya.”
Tak lama kemudian kami bertiga tiba juga di salah satu restoran
barat yang bersebelahan dengan restoran-restoran barat lainnya. Aku dan Cindy
cukup terperangah dengan design restoran ini. Meja dan kursinya bergaya
semi-klasik dan berwarna coklat. Lampu-lampu kristal yang tergantung di atas
itu berukuran cukup besar tetapi cahanya di atur supaya ruangan ini terlihat
remang-remang. Aku melihat sekeliling ruangan itu dan mendapati cukup banyak
bule yang makan di sini. Tidak hanya itu. Ternyata Arvin juga ada di sini
bersama seorang wanita cantik di belakang sana. Seketika itu juga aku langsung
membalikkan wajahku. Aku berharap dia tidak melihatku dan lebih baik aku
memperhatikan Kevin saja.
“Sayang sekali mereka tidak memiliki cello di sini. Padahal aku
berharap untuk main di sini,” ujar Cindy dengan wajah cemberut sambil melipat
kedua tangannya. Aku memilih tempat yang paling depan dengan sengaja supaya aku
bisa bersembunyi dari Arvin. Semoga saja Cindy tidak sadar bahwa Arvin juga ada
di sini.
“Aku akan berduet denganmu setelah ini,” ucap Kevin sambil
melangkah maju dan mendekati sebuah grand piano berwarna hitam elegan. Sesaat
sebelum dia bermain, wajahnya tampak begitu serius. Kulihat Kevin mulai
memposisikan jari-jarinya di atas tuts piano. Saat dia mulai bermain, awalnya
aku tidak tau lagu apa yang sedang dia mainkan tetapi beberapa saat kemudian
aku tersadar bahwa dia sedang memainkan lagu dari seorang musisi jenius yang
sangat terkenal di dunia. Wolfgang Amadeus Mozart. Musisi yang paling kusukai
dari awal saat aku mulai mengenal musik.
Fantasia in D Minor yang sedang di bawakan oleh Kevin begitu
lembut. Dalam beberapa saat aku memutuskan untuk memejamkan mataku sambil
mendengar setiap tuts yang ia tekan dengan jari jemarinya. Di saat aku
memutuskan untuk membuka mataku, aku langsung memusatkan mataku pada kelincahan
jari-jarinya.
“Ternyata kau tidak salah memilih seorang pria,” ucap Cindy yang
juga sedang memperhatikan Kevin bermain. Wajahnya terpaku tanpa menoleh ke
kanan atau kiri. Saat Kevin selesai bermain, sebagian tamu yang ada di restoan
itu bertepuk tangan. Ia lalu berdiri sambil mengambil salah satu mic dan iapun
memulai untuk berbicara.
“Night, ladies and gentleman. Today, I will be accompanied by my
friend. My beautiful friend. Please give a big applause for Miss Alexa.” Kevin
mulai bertepuk tangan diikuti dengan tepuk tangan dari para tamu. Pipiku merona
merah. Sudah lama aku tidak bermain di depan banyak orang dan terakhir kalinya
aku berduet adalah dengan Arvin.
“Bukankah itu Arvin?” tanya Cindy sehingga membuatku terkejut.
Entah mengapa gadis ini memang memiliki penglihatan yang begitu tajam.
“Menolehlah. Jangan pedulikan dia lagi. Anggap saja dia tidak ada
di sini,” aku berkata dengan sedikit galak.
“Oke. Aku mengerti. Cepat pergi. Jangan membuat para tamu
menunggumu,” usir Cindy dengan cepat tetapi tetap saja aku tidak akan percaya
bahwa dia tidak akan memperhatikan Arvin lagi.
Saat aku maju ke depan, dengan segera Kevin mempersilakan aku
untuk berbicara terlebih dahulu. Meskipun bahasa Inggrisku cukup lancar tetapi
aku merasa sangat gugup. Semoga saja aku tidak mengucapkan kata yang salah.
Jika tidak, aku tidak tau harus berbuat seperti apa.
“Good night ladies and gentleman. My name is Alexa and... actually
I did not expect to meet Kevin in here. He told me that he works here and he
offered me to play with him. For me, it would be such a great pleasure to duet
with him. Tonight, we will bring another song from Mozart with title Sonata in
D Major. Enough for the speech and I hope all of you enjoy it.” Setelah aku
selesai berbicara, lagi-lagi para tamu bertepuk tangan dengan kencang. Tanpa
basa-basi lagi aku mengambil biola dan menempelkannya di daguku. Aku sempat
mendengar bahwa Cindy menjerit memanggil namaku, seolah-olah berada di konser
saja. Aku tersenyum penuh paksa sambil melihat gadis itu.
Sebenarnya aku cukup ragu untuk memainkan lagu ini karena lagu ini
memiliki tempo yang cukup cepat tetapi entah kenapa judul lagu ini yang
menempel dalam pikiranku saat ini dan aku takut jika Kevin tidak dapat
mengiringiku. Banyak yang berkata bahwa sangatlah susah untuk mendampingi
seseorang yang baru pertama kali berduet dengan kita atau sebaliknya apalagi
kita tidak melakukan latihan sebelumnya. Hal itulah yang membuatku takut. Aku
sangat yakin bahwa Kevin bisa mengiringiku. Aku mengambil mulai mengambil nafas
dalam-dalam lalu menghembuskannya supaya bisa memperlambat detak jantungku yang
sempat membuat tanganku berkeringat dingin lalu aku mulai berpikir positif
bahwa semuanya akan berjalan dengan sangat lancar.
Permainan pun dimulai dan kekhawatirankupun menghilang secara
perlahan karena Kevin dapat mengimbangiku dengan cukup baik walaupun ada
beberapa nada yang salah tetapi itu bisa tertutup dengan suara biola yang
kumainkan dan untung saja para tamu menikmatinya. Rasanya menyenangkan untuk
memainkan lagu yang bertempo cepat seperti ini. Seperti terdapat api besar yang
sedang menyala di dalam hatiku. Sudah lama aku menanti-nantikan perasaan yang
seperti ini. Membuatku begitu bersemangat.
Waktu pun sangat cepat berlalu dan akhirnya akupun selesai
bermain. Aku tersenyum gembira karena aku bisa memainkan lagu ini di depan umum
dan yang paling membuatku senang adalah tepuk tangan yang diberikan para tamu
menjadi semakin riuh dari yang sebelumnya. Rasa gugupku menghilang bagaikan
angin. Aku dan Kevin saling membungkukkan badan setelah itu aku meletakkan
biola yang kupinjam dan segera kembali duduk di kursiku.
“Lexa, kau keren sekali. Baru pertama kali aku melihatmu bermain
dengan semangat yang seperti itu,” ucap Cindy dengan bangga. Sejak tadi
senyumku masih belum menghilang juga.
“Wow... What a great play isn’t
it. Let’s give another big applause for Miss Alexa,” seru Kevin di depan sana
dan lagi-lagi tepuk tangan yang riuh mulai membahana di dalam ruangan. “Thanks
to her because tonight I think I spent all of my energy,” candanya sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. Dari tempat dudukku, aku hanya bisa tertawa
mendengar kalimatnya. “And I hope tonight I can bring another song for you. If
you have a request, just put your hand up,” ucapnya sambil menunggu apakah ada
seseorang yang mengangkat tangannya untuk memberikan request lagu padanya.
“No.. No one? Oooww.. I think we got one here. Good night Sir, thank you for
your kindness and please tell me, what song do you want me to play?” tanya
Kevin pada salah satu tamu. Aku menoleh dan mencoba untuk mencari siapa tamu
yang berani mengangkat tangannya itu.
“Sorry, I have no request,” ucap seorang pria dari arah belakang
dengan mic yang baru saja ia dapatkan dari salah seorang pelayan. “But, I wanna
play a song for all of you.” Anehnya suara itu terdengar begitu familiar di
telingaku dan langsung saja aku menatap pada Arvin yang memang sedang berdiri
sambil membawa mic. Jantungku mulai berdegup kencang karena aku takut jika dia
melakukan sesuatu yang aneh.
“Please come forward Sir,” ucap Kevin sambil mempersilakan Arvin
untuk maju ke depan. Langsung aku membalikkan badanku ke posisi semula dan aku
mulai berdoa di dalam hatiku.
“Okay. First of all, good night ladies and gentleman. My name is
Arvin and tonight I will play a song with someone.”
“So, you are not playing solo, are you?”
“No. Of course not.”
“And, who is the lucky person in here?” Saat Kevin berbicara
seperti itu, secara spontan aku langsung menatap Arvin yang juga sedang
menatapku. Rasa takutku semakin memuncak. Entah kenapa hari ini aku merasa
bahwa aku tidak ingin berduet dengannya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku
dengan pelan tetapi Arvin malah tersenyum jahil padaku. Sepertinya dia
mengabaikan permohonanku.
“Please come forward, Alexa...” ucap Vin dengan senang,
seakan-akan dia telah memenangkan sesuatu.
“Wow, we got another request for Alexa. Let me ask you Sir, do you
know Alexa?”
“Yes. She is my friend. Best friend.” Pikiranku langsung
berkecamuk saat dia mengatakan bahwa kami berdua adalah sahabat. Cindy yang
sedari tadi hanya dia saja kali ini menyenggolku lalu tersenyum penuh arti
padaku. “We know each other. And actually today I promised her to duet with her
so I think tonight is a good time to have a duet with her. But before, I want
to apologize because I did some mistakes to her.” Aku memutar kedua bola mataku
dengan kesal. Mengapa dia harus mengatakannya di depan umum. Bukankah ini
merupakan rahasia kami berdua. Atau hanya aku saja yang menganggapnya sebagai
rahasia. Aku tidak yakin dengan ketulusannya ini. Mungkin karena aku tidak
memberikan maaf padanya jadi dia memutuskan untuk melakukannya di depan umum.
“What mistakes?”
“I left her for seven years and I broke my promise to come back
earlier and I did not give any call or mail to contact her.” Apakah dia harus
meminta maaf dengan cara yang seperti ini. Apakah semua orang harus tahu
tentang masalahku dengannya. Sungguh menyebalkan.
“Hei Lexa, pria yang kau ceritakan padaku sepertinya berbeda
dengan pria yang berada di hadapanku saat ini.”
“Tetap saja dia pria aneh. Untuk apa dia mengunngkapkan semuanya di sini. Padahal
sebelumnya dia sudah meminta maaf padaku. Untuk apa dia melakukannya lagi.
Memalukan saja.”
“Okay, Lexa. You heard it right. Please come forward and say
something to him,” ucap Kevin sambil
tersenyum menatapku. Kupikir mereka berdua sedang bersekongkol tetapi nyatanya
mereka malah tidak saling mengenal.
Daripada aku mendengar bisikan-bisikan negatif tentang diriku, aku
terpaksa memilih untuk maju dan menerima mic yang diberikan Kevin padaku dan
aku segera memberikan tatapan tajam pada Arvin yang sedang berdiri di sampingku
“Maaf karena sudah merusak malammu,” bisikinya sambil tersenyum
usil.
“Menggelikan, sungguh kekanak-kanakan. Lebih baik aku tidak
bertemu bertemu denganmu hari ini dan sebaiknya kau cepat kembali ke New York
saja lagi. Lihat saja nanti,” balasku tetapi Arvin hanya tersenyum geli saja.
Sungguh menyebalkan.
“So sorry but I don’t have anything to say. We will start our
performance now. Please enjoy,” ucapku sambil mengatur emosiku yang sedang
berantakan. Aku bisa mendengar nada kekecewaan dari para tamu tetapi aku
berusaha untuk mengabaikannya. Aku memang ingin mengucapkan sesuatu pada Vin
tetapi bukan di tempat ini. Titik.
“Lagu apa?” aku bertanya pada Vin setelah mengambil biola yang
akan kupakai begitu pula dengannya.
“Bagaimana dengan Ave Maria? Sudah lama kita tidak memainkan lagu
itu.”
“Ave Maria? Mengapa harus lagu itu.”
“Bukankah itu lagu kenangan kita berdua?” ucapnya yang di sela
dengan tawanya. Lagu kenangan. Lagu kenangan apa? Rasanya aku baru memainkan
lagu ini bersamanya hanya sekali saja. Sebenarnya lagu ini adalah lagu pertama
yang aku mainkan dengannya. Menurutku tidak ada sesuatu yang spesial di dalamnya.
“Kita? Tujuh tahun sudah berlalu. Kita hanyalah untuk dulu.
Sekarang hanya ada aku seorang dan kau seorang.”
“Tetapi tidak bagiku,” ucapnya sambil berdeham keras di sampingku.
“Sebaiknya kita memulai saja. Tidak baik membuat para tamu menunggu.” Setelah
berbicara seperti itu, Vin pun memberikan aba-aba lalu kitapun memulainya.
Meskipun lagu ini memiliki tempo yang jauh berbeda dengan lagu
yang kumainkan sebelumnya, aku juga berharap bahwa aku bisa memainkannya dengan
indah karena aku jarang memainkan lagu ini apalagi tidak ada yang berduet
denganku. Tetapi entah kenapa rasanya saat aku memainkannya, aku menjadi
terhanyut di dalamnya. Aku merasa bahwa nada-nada yang kumainkan saling
mengikat dengan nada-nada yang dimainkan oleh Arvin. Tidak ada kesalahan
satupun di antara kami berdua. Akupun teringat dengan gelang yang diberikan
Arvin. Apa benar gelang itu bisa mempersatukan perasaan kita. Ataukah nada-nada
yang kami ciptakan itu berasal dari perasaan yang saling mengikat. Dulu aku
juga merasakan hal yang sama seperti saat ini. Setiap kali bermain bersamanya,
perasaan ini selalu muncul. Aku mengira bahwa aku tidak akan mengalami hal ini
lagi tetapi nyatanya tidak. Apakah... Arvin juga merasakan apa yang kurasakan
saat ini.
Rasanya aku masih ingin terus bermain sebelum ramainya tepuk
tangan membuatku tersadar kembali. Apa yang kualami baru saja adalah kenyataan
dan rasa rinduku telah benar-benar terbayar oleh karena hal itu.
“Wow, it almost made me cry?” ucap Kevin sambil tertawa. “That
song, every time I heard it, I never feel this way. Thank you Sir Arvin and
Miss Alexa for playing this great song and please give another applause for
both of them.” Sesaat aku merasa senang karena aku bisa membuat para tamu
merasa senang. Aku tersenyum saat mendengar pujian yang dilontarkan Kevin untuk
kami berdua. Awalnya aku memang keberatan untuk berduet dengan Arvin tetapi
sekarang aku mencoba untuk membalikkan fakta. Aku mengembalikan biola yang
telah kupinjam itu dan sesaat sebelum aku kembali, tiba-tiba saja Arvin
membisikkan sebuah kalimat padaku yang membuat senyumku menguap begitu saja.
“Aku tidak akan pernah mengingkari janjiku lagi,”
bisik Arvin sebelum aku sempat kembali ke tempat dudukku. Saat aku menoleh
padanya, dia malah sibuk memberikan senyum pada para tamu. Tanpa mengulur waktu
lagi aku langsung kembali dan menarik tangan Cindy untuk pergi dari tempat itu.
“Lexa, ada apa denganmu?” tanya Cindy tetapi tidak
kuhiraukan sedikit pun. Pikiran dan perasaanku sedang kacau. Karena Arvin aku
jadi merasa seperti ini. Janji apa lagi yang ia maksud. Untuk apa dia berjanji
padaku lagi jika dia sudah pernah mengingkarinya dan cukup membuatku sakit
hati. Pembohong. Aku tidak suka pembohong seperti dia.
“Lexa, kau kenapa?” tanya Cindy lagi. Kali ini aku
menghentikan langkahku dan melepas cengkeramanku.
“Aku hanya butuh udara segar. Aku tidak ingin berada
dalam satu ruangan dengannya.”
“Apa yang terjadi?”
“Tidak ada.”
“Benarkah?” selidiknya. “Tidak ada yang terjadi?”
“Benar. Mengapa kau tidak percaya padaku,” bantahku
padanya. Aku tidak ingin membuatnya bertanya lebih lagi. Aku belum siap untuk
mencerikan hal ini padanya.
“Baiklah jika kau tidak mau menceritakannya padaku,”
ucap Cindy sedikit kecewa. “Lexa, sepertinya kau jauh lebih cocok bersama
dengan Arvin daripada Kevin. Saat aku melihat kalian berdua sedang bermain, kau
terlihat seperti pasangan serasi. Entah mengapa aku merasa seperti itu,” ia
berkata dengan penuh semangat tetapi Cindy tidak tau bahwa kata-kata itu cukup
menyinggung perasaanku.
Aku berpura-pura untuk bersikap biasa saja di
hadapannya meskipun dia tau bahwa aku sedang tidak biasa-biasa saja. “Aku tidak
ingin dengannya. Pria aneh seperti dia, untuk apa? Kevin jauh lebih baik darinya,” timpalku dengan kesal. “Bolehkah
aku menitipkan sesuatu padamu?”
“Apa?” Aku segera melepas gelang merahku yang selalu
menempel pada pergelangan tangan kananku dan menyerahkannya pada Cindy.
“Bukankah kau berkata bahwa gelang ini sangat penting untukmu?”
“Sepertinya sudah tidak lagi. Aku hanya ingin mencoba
sesuatu tanpa gelang ini.”
“Kau ingin mencoba apa?”
“Katanya gelang ini bisa mengikat perasaan seseorang
dengan pasangannya yang memiliki gelang yang sama.” Dan aku tidak pernah
percaya tentang hal bodoh seperti itu.
“Memang siapa yang memiliki gelang yang sama persis
denganmu?”
“Arvin. Aku mendapatkan gelang ini darinya.” Aku
melihat Cindy yang tiba-tiba terkesiap.
“Kalian memang jodoh. Tak kuduga ternyata masih ada
hal yang seperti itu. Apa kau percaya dengan hal itu?” Aku segera menggelengkan
kepalaku. “Aku juga. Lalu, apa yang ingin kau coba?”
“Aku hanya penasaran. Jika aku tidak memakai gelang
ini apakah aku akan jatuh cinta pada Arvin,” ungkapku dengan sangat jujur.
Cindy pun mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti.
“Kalau begitu,” dia mengambil gelang itu dari telapak
tanganku. “Aku akan menjaganya dengan baik. Tapi bagaimana jika Arvin bertanya
padamu?”
“Aku akan menjawab bahwa gelang itu sudah kubuang.”
“Bagaimana jika dia marah?”
“Baguslah. Mungkin saja hal itu bisa membuat dirinya
membenciku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?