Senin, 24 November 2014

Klub Misteri

Litha, Ardi, Felly, Nicky, Rian
Mystery yang paling besar adalah manusia (sok inggeris)


Angin mulai deras, menandakan malam semakin larut. Litha melihat kembali jam tanganya. Empat orang yang bersamanya juga mulai memeriksa barang yang mereka bawa masing-masing. Dompet, handphone, senter, korek api, makanan, minuman, dan entah apalagi. Felly mulai merapatkan jaketnya.
“Rumah ini seram.” Gumam Rian, menegaskan pikiran yang berkeliaran.
“Eeeh.... serius??” Tanya Felly tidak nyaman. “Kita bukan Ghosthunter sampai harus melakukan hal seperti ini! Gimana kalau hantunya benaran ada?”
“Felly, setan itu benar-benar ada.” Ujar Nicky serius. Sibuk dengan kerjaannya sendiri, seperti memeriksa dinding dan pagar yang jelas-jelas terkunci. “Dimanapun. Jadi nggak usah susah-susah mikirin caranya kabur dari hantu kalau kita tetap aja bakal ketemu.”
Litha dan Ardy terdiam memandang Nicky dengan pikiran yang sama. Dia memang orang dengan mental paling kuat dan yang paling dingin diantara mereka semua.
Mungkin juga paling menyebalkan, dan menakutkan.

Nicky diam saja melihat sekeliling, sedangkan Litha dan Ardi sibuk berdiskusi.
“Jadi bagaimana?” Tanya Nicky yang tidak sabar. Mungkin sudah tidak tahan lagi dengan suhu malam ini.
“Rumah ini terlalu besar, mending kita bagi tugas mengelilinginya.” Usul Felly. Dia juga tidak mau lama-lama di rumah ini.
“Mau diundi dulu?” Tanya Rian.
“Tidak usah.” Kata Nicky. “Kelamaan. Ardi sama Litha, dan kita bertiga.”
Semua langsung protes. Nicky memang cepat mengambil keputusan, tapi rasanya tidak adil kalau asal-asalan begitu.
“Mau protes?” Tanya Nicky. “Tidak mungkin grup cowok-cowok dan cewek-cewek. Harus ada yg menjaga mereka. Rian tidak mungkin karena Litha masih lebih jago karate dari dia. Kalau gw Cuma berdua dengan kalian semua, mending gw jalan sendirian. Lagian Litha dan Ardi kan saudara, ga ada masalah kalau berdua kan?”
Yak, Nicky. Si pemikir paling logis di antara mereka sudah berbicara.
Tidak bisa dibantah.
“Litha dan gw memeriksa taman kiri dan pintu depan.” Kata Ardi. “Kalian bertiga mulai dari taman kanan, yang ada garasi. Masuk dari sana menuju ke lantai 2.”
“Terlalu banyak.” Timpal Nicky lagi. “Kalian bisa saja langsung ke lantai 2 dari ruang tamu. Kami memeriksa semua lantai 1.”
“Oke.” Timpal Litha jengkel.

* * *

“Sebenarnya, kau mau berdua saja dengan Felly kan?” Tanya Litha begitu mereka terpisah. Sesaat Ardhi membatu mendengarnya. Tapi dengan cepat dia membantah.
“Cerewet. Bukan urusanmu.”
Litha tersenyum mendengarnya. Sepertinya project kali tidak akan membosankan.
Rumput-rumput liar dan tinggi hampir selutut, tidak terlalu lebat tapi tetap saja menganggu. Terdapat pohon tinggi dekat dengan dinding, dengan ayunan talinya. Kelihatannya masih kuat, meskipun Litha tidak berani mencoba. Untuk alasan ini dan itu.
Meskipun ada lampu taman, tidak ada satupun yang berfungsi. Hanya ada satu lampu di teras yang menyala, sehingga sinar yang sampai ke taman hanya remang-remang. Bahkan teras samping yang menghadap ke kolam gelap gulita. Tidak ada apa-apanya.
“Apa ini? Meskipun untuk menghemat, kan bagus juga kalau satu atau dua lampu taman di nyalakan?”
Sementara Ardhi fokus menyusuri rerumputan dekat dinding, Litha fokus dengan ayunan yang persis di dekat Ardhi. Litha sudah was-was dan membayangkan sesuatu yang bermain di situ, membuat ayunan itu bergoyang. Tapi kenyataannya, tidak ada apapun. Litha langsung beralih dengan area di samping gedung.
“Dasar anak-anak kurang ajar!” Seru Litha kesal melihat sisa rokok dan minuman. Sepertinya dugaan mereka adanya orang yang pesta disini benar adanya. “Berani-beraninya mereka. Lihat, di ujung sana malah ada bekas botol yang pecah! Bahkan pecahannya sampai ke sini. Sekacau apa mereka pesta?”
“Anak-anak? Dasar nenek-nenek.” Komen Adri berhasil membalas Litha
Ardi mengamati tumbuhan yang panjang pendek itu sambil menginjak-injaknya. Memastikan tidak ada yang tersisa lagi, lalu memeriksa dinding pagar yang dibuat dari susunan bata itu. Litha memperhatikan kakaknya. Well, tidak ada yang aneh dari susunan bata-bata itu. Ardi menyusuri jalanan dari taman menuju pintu depan. Dia lalu memeriksa meteran listrik, dan memeriksa pintu depan.
Litha menyusul Ardhi yang mulai membuka pintu depan. Pintu itu terkunci, tapi Ardhi punya kuncinya. Litha mengamatinya dengan penasaran.
“Kalau dilihat dari dekat,rumah ini benar-benar besar.” Komentar Litha. Ardhi tersenyum.
“Kalau berhasil dijual, kira-kira bisa dapat berapa M?
“Hahaha. Jangan konyol.” Kata Litha tertawa datar. “Meskipun sudah susah payah direnovasi sampai airdan listriknya sudah lancar, gara-gara penampakan itu semuanya jadi susah. Sudah berapa bulan? Tiga? Empat?”
“Udah, jangan cerewet. Kita masuk.”
Tidak ada hal yang aneh di pintu depan, tapi suara pintu yang berderit mengagetkan Litha dan Ardhi.
Begitu mereka membuka pintu, ruangan yang sangat luas, lengkap dengan berbagai perabotan yang ditutupi kain menunggu mereka. Ruangan yang dingin dan gelap. Terasa begitu kosong dan hampa.
Setelah memastikan tidak ada yang aneh, mereka mulai memeriksa ruangan depan sebelum menuju tangga.
“Kya!!!” Mendengar ada yang menjerit, Ardhi dan Litha bergegas menuju dapur, tempat mereka mendengar suara itu. Belum juga sampai, ada telepon dari Rian.
“Ada apa?” Tanya Ardhi.
“Felly, ada sesuatu yang dingin di pundaknya. Palingan juga bekas bocor.”

* * *

Nicky mengamati bagian atas mereka. Tidak ada setitikpun air yang jatuh, tapi dia tidak berkomentar apa-apa.
“Jadi, bagaimana pengamatan kalian?” Tanya Ardhi.
“Garasinya pengap. Sudah lama tidak digunakan. Suara pintunya berisik sekali waktu kami buka. Tidak ada yang aneh sejauh ini, meskipun aku menemukan jerigen bensin yang masih ada sekitar lima liter lagi.” Jawab Nicky.
“Ada lagi?” Tanya Ardi. “Kami juga menemukan botol minuman dan pecahannya yang terpisah di taman. Ada jejak kaki juga. Kurasa memang banyak yang datang ke taman untuk bersantai dengan melompati dinding. Meterannya tidak berubah, begitu juga pintu depan. Pintu depan benar-benar berderit waktu kami buka. Tidak ada yang keluar masuk lewat pintu depan.”
“Ah, tidak semua. Pintu samping yang menuju taman baik-baik saja.” Kata Rian kesal. Dia masih ingat ditertawakan gara-gara jatuh waktu mau bersender di pintu. “Tapi aku lihat.”
“Lihat apa?” Tanya Litha penasaran.
“Asap yang melayang itu. Seperti fireball kecil.”
“Iya, dan gara-gara memastikan itu kau jatuh ke dalam rumah kan?” Kata Felly lagi.
“Aku tidak beralasan!! Memang benar-benar ada kok!” Balas Rian.
“Di rumah ini benar-benar ada sesuatu.” Kata Nicky pelan. “Hati-hati.”

Ada sesuatu di rumah ini.

Bahkan Nicky tidak bisa menjelaskan apa itu.

Semua menatapnya perasaan yang campur aduk. Biar hal sepele, KALAU Nicky yang bilang, rasanya benar-benar ada bahaya.

“Kalau begitu, kami kembali lagi ke ruangan depan. Langsung memeriksa lantai dua. Kalo ada apa-apa sms saja.” Kata Litha lagi menarik kakak pergi.
See, I told you.” Kata Litha sumringah begitu mereka memeriksa lagi ruang depan. Ada nada kesenangan dan kemenangan didalamnya. Litha memang selalu menggoda kakaknya, sebagai balasan karena selalu disuruh-suruh dengan seenaknya oleh orang itu.
“Yah, terserah kau saja.”
Selang berapa lama mereka memeriksa, Litha mulai merasa jengah. Meski udaranya ternyata bersih, tapi semua perabotan hampir tidak disentuh. Debu masih menempel di permukaan kain-kain itu. Tidak ada yang menarik. Dia melihat sekelilingnya, sampai dia melihat sesuatu.
“Siapa di sana?!” Seru Litha bergegas menuju jendela. Kuncinya rusak, sampai tidak bisa dibuka. Lagipula kacanya mozaik, jadi tidak terlihat jelas. Bayangan yang dilihatnya juga sudah tidak ada.
“Kenapa?”
“Tadi ada bayangan putih panjang. Tapi sekarang tidak ada lagi.”
“Apa kau yakin itu bukan pantulan sinar?”
“Masa?” Tanya Litha lagi. Dia yakin bayangan yang dilihatnya bukan pantulan sinar. Tapi dia tidak tahu apa itu sebenarnya. Apa itu sebenarnya bayangan hantu yang melayang?
Mustahil.

Ardhi merasa cukup memeriksa ruang depan, dan melangkah menuju tangga. Dia memperhatikan semua lajur tangga dan anak tangga, meskipun tidak ada apa-apanya. Litha juga ikut-ikutan memeriksanya, dan dia tidak melihat apapun yang menarik selain bercak-bercak cat di beberapa tempat.

* * *

“Teriakanmu tadi kencang juga.” Ujar Rian, memecah kesunyian diantara mereka bertiga.
“Bukan hanya suara saja yang membuatku takut.” Tangkis Felly. “Kalau tidak gara-gara angin dingin itu, aku nggak bakal mikir macam-macam!”
“Itu kan gara-gara Litha dan Ardhi yang membuka pintu depan.” Jawab Nicky. “Kalau tidak ada celah untuk tekanan udara, angin sekencang itu tidak mungkin ada.”
Felly langsung cemberut karena tidak secara langsung disebut bodoh. Dia memeriksa saluran air dan sebagainya. Karena buru-buru masuk ke toilet, dia jatuh terpeleset dengan suksesnya.
“Nah, tuh. Si bodoh. Jatuh karena kebodohannya.” Gumam Nicky pelan, sementara Rian yang panik cepat-cepat menolongnya. Baju Felly basah, bahkan lengan bajunya kotor karena terpeleset. Nicky juga memeriksa bagian dalam toilet, seperti tangki air dan sebagainya. Bak mandinya sudah dikuras, dan Cuma ada lumut hitam di dinding.
“Untunglah jaketmu bahannya bukan dari kain. Kalau hanya bekas abu seperti ini tidak akan sulit dibersihkan.”Kata Rian lega.
“Mereka cepat juga.” Gumam Nicky. Felly dan Rian menoleh. “Kita baru mau ke ruang keluarga, mereka sudah ke lantai dua.”
“Nick...” Felly dan Rian merasakan horror. “Ada sinar aneh di luar sana...”

* * *

“Gimana Di?” bisik Litha menyoroti senternya hampir ke segala arah.
“Stop main-mainnya.” Bisik Ardi tidak kalah pelan. Dia menyoroti pagar dekat taman kanan, memastikan tidak ada orang. Mereka terpaksa kembali lagi keluar, karena Litha penasaran. Ardi memang teliti, tapi kali ini dia benar-benar mematung dan berpikir.
“Kenapa Di? Jangan bengong!” Panggil Litha menepuk pundak kakaknya. Ardi menoleh dan mimik wajahnya mengerut. Jelas dia jengkel dikejutkan seperti itu.
“Kau dengar itu?”
“Dengar apa?”
“Kolam taman kiri!” Seru Ardhi bergegas menuju ke arah kolam. Tidak ada yang bergerak. Tidak ada yang aneh.
“Mustahil, kita baru saja memeriksanya!!”
“Kolamnya bergetar. Sesuatu mungkin baru saja terbenam di sini.” Gumam Ardi yang pelan-pelan mendekat. Dia memeriksa dari arah mana benda itu...
“Atau baru muncul...” Gumam Litha juga....
Sesuatu mulai muncul. Sesuatu yang tidak terlalu jelas terlihat, tapi menimbulkan gelombang baru.
“Kepala?!” Seru Litha kaget.
“Bukan!! Ngomong apa sih?”
“Gawat, kalau terjadi sesuatu, kita harus pergi dari sini!!”
“Ada cahaya di atas!! Ada seseorang di sana!!”
Meskipun Ardi menyadari lebih dulu, tapi Litha lebih cepat. Dengan segera dia berhasil mencapai lantai dua dan membuka pintu teras depan, meninggalkan Ardi yang menyerah di tangga bawah.
“Siapa kalian!!” Seru Litha siap dengan kuda-kudanya. Sampai dia menyadari tiga orang didepannya adalah Nicky, Rian, dan Felly.
“Ka, kalian!?”
“Litha!? Kenapa?” Tanya Rian dan Felly serempak dibalik punggung Nicky.
“Gw yang harusnya nanya!! Kalian sepakat menyusuri lantai 1 kan?”
“Mereka berdua melihat cahaya di luar. Ketakutan, dan lari ke lantai 2.” Jawab Nicky santai. “Begitu kami sampai, kami menyusul kalian ke sini. Ternyata kalian ada di belakang kami.”
“Ah, maaf. Kami langsung kembali ke pintu depan, karena...”
“Litha, jadi kau belum naik sama sekali?” Tanya Nicky.
“Eh? Belum.”
“Jadi siapa... yang membuka pintu depan teras ini?”

“Waaaa!!!!” Ardi teriak!! Nicky dan Litha bergegas menuju tempat Ardi berada.
“Kenapa, Di?” Seru Litha. Dia lega, tampaknya Ardi baik-baik saja.
“Ada sesuatu di selasar. Tapi begitu mau kuperiksa, ada sesuatu yang mengenai pundakku... ini...” Jawab Ardi. “Nyaris saja...”
“Ini sih tidak nyaris!!” Kata Litha kesal. “Vas ini hampir jatuh mengenaimu tahu!!”
“Jadi aku menyenggolnya?” Tanya Ardi, lebih pada diri sendiri. “Padahal aku hanya memungut kain ini. Kalau furniture di sini tidak ditutupi dengan baik...”
“Kalian belum memeriksa lantai 2 sama sekali?” Tanya Nicky, ngotot.
“Tidak.” Jawab Ardi tegas.
“Jendela menuju taman kiri terbuka.” Gumam Nicky sibuk berpikir.
“Maksudmu, ada sesuatu di sana?” Tanya Litha. “Gawat, Felly! Rian!!”
“Litha.” Sebelum Litha sempat bergerak, Ardi langsung memegang lengan Litha.

* *

“Masa di rumah ini benar-benar ada hantunya?” Tanya Felly. Rian tidak menjawab. Dia tidak yakin, tapi semua yang dialaminya di rumah ini menjawab.
“Masa?” Tanyanya lebih pada diri sendiri.
“Habis... sinar yang diluar itu, angin, yang mengenai pundakku...”
“Yah, mungkin juga.... asap, pintu garasi, dan air itu...” kata-kata Rian tergantung. Dia memungut sesuatu dekat jendela. Sebuah filter.
Rian tersenyum. Dia lalu tertawa. Benar-benar melegakan. Filter!!
“Rian? Kenapa... oh. Astaga...” Felly tertegun. Begitu dia melihatnya, dia menghembuskan napas lega. Akhirnya, dia ikut tertawa juga.

* * *

“Aku tahu ini semua salahmu!!! Dasar B43n9***!” Teriak Rian penuh amarah meraih kerah Nicky. Semua hanya menatap dengan perasaan yang campur aduk. Felly yang masih shock dengan kata-kata Rian. Litha yang sudah lelah dan pengen tidur, Ardhi yang sudah kelaparan. Eh, nggak nyambung ya?
Ardhi sih sudah menduga-duga. Dia sudah tahu sifat Nicky yang masa bodoh dengan orang lain. 
Yang benar saja. Semua ini gara-gara Nicky?” Tanya Litha nyaris tertawa melihat Rian yang meledak.
“Di saat kita semua terkejut, diserang, dan kejar-kejaran, dia menonton semuanya tanpa repot-repot mau komentar. Dia tahu dari awal kalau grendel di pagar depan diganti dengan yang baru. Dia juga tahu kalau khusus engsel di garasi dan pintu belakang sudah diperbaiki. Dia juga tahu Felly ketakutan gara-gara tumpahan air mineral yang jatuh dari tangga lantai 2. Dia bahkan juga lihat pecahan botol yang lain sendiri itu. Dia bisa memperkirakan jumlah para perampok itu, dan juga melihat salah satu diantaranya. Itu berarti gara-gara dia juga aku diserang, karena kami memakai jaket yang sama.” Ardhi berkomentar.
“Dan meskipun tahu Rian dan Felly ketakutan, dia santai-santai saja.”
Kejadiannya cepat juga, Litha dan Nicky dengan cepat melumpuhkan orang yang berusaha menuju garasi. Litha berlari melalui pintu depan, dan Nicky loncat dari jendela lantai 2. Mereka mengalahkan penjahat itu tanpa ampun, dan Ardhi menangkap penjahat yang berusaha menyerangnya. Tak perlu tahu bagaimana caranya.

Akhirnya polisi yang dipanggil Felly datang. Semua penjahat yang diringkus itu dijemput dan mereka berlima yang kelelahan –juga kelaparan- diantar ke rumah masing-masing.
“Kalian ini... bikin kaget saja.” Omel salah satu polisi yang mengantar mereka. “Ditengah malam menelponku begini.”
“Jangan gitu kak.” Jawab Felly berusaha tersenyum. “Kami kan ke sini nggak sekedar main-main.”
“Besok jangan lupa datang ke kantor buat laporan. Kata ayah, dia juga mau dengar.”
“EEEHHH??!!!!”

* * *

Sekian. Entah bagaimana nasib mereka selanjutnya. Dasar anak-anak badung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?