Sabtu, 23 Oktober 2010

Bab 1


Nadia


“Kak, maaf… maafkan aku… cincin itu…”
“Tidak apa-apa.. sudah terlanjur...”

“Nadia, ayo pindah ke Australia!!”
“Tidak! Aku nggak bakal pergi kalau…”
“Nadia!! Na..”

“WOI!!!!” Terdengar suara penuh amarah yang membuyarkan lamunanku. Cepat-cepat aku bangkit, membereskan barang-barang dan pergi menemuinya sebelum dia mengamuk. Menemui bossku.
“Kamu ini! Kerjaannya melamun aja, apa kamu nggak bisa kerja yang bener?” Omelan bossku mulai panjang lebar. Aku nggak ngerti, udah seharian ini dia kerjaannya ngomel melulu. Padahal aku udah berusaha selama ini kerja yang baik.
“Vin, take sekali lagi ya!” Seru seseorang memanggil bossku. Bossku hanya mengangguk sebagai jawaban. Dia menoleh padaku lagi.
“Kamu balik ke mobil, ambilkan handuk dan pakaian ganti. Habis ini kita pulang!” Perintah boss sebelum pergi. Teringat sesuatu, aku memanggilnya.
“Vin, makan malam belum...” Yah, dia udah pergi. Aku belum buat makan malam. Bagaimana ini? Ya udah deh, yang penting ngambil barang-barangnya dulu.
Sesudah ngambil barang-barang dan keperluan lainnya, aku menonton bossku bekerja. Bossku adalah seorang bintang film.
Vincent, umur 20 tahun, pria lajang yang keren, tinggi, ganteng dan cool. Tapi sombong, angkuh, pemarah dan betul-betul nggak sabaran. Entah kenapa profesinya sebagai aktor terus aja meroket. Memang sih, kalau dia udah senyum bisnis, semua wanita bakal mabuk kepayang. Udah gitu, pintar pula. Katanya dia sering loncat kelas, dan sekarang dia udah mau lulus kuliah tanpa kesulitan berarti meskipun sibuk syuting. Vincent, Vinci. Oh iya, nama artisnya kan Vinci.... Vinci apa ya?
Haaah.... kalau aja nggak punya perjanjian bisnis dengan si licik itu, nggak bakal deh mau jadi asistennya. Emang sih, namanya asisten, yang katanya Cuma membantu membawakan barang dan mengurus semua barang-barangnya selagi dia kerja. Tapi aku juga merangkap pembantu yang mengurus rumah dan makanannya!!! Di suruh ke sana kemari, lalu terus-terusan diomeli, mana tahaaannn!!!!
Ukh... aku yang masih umur 16 tahun begini, untung aja lagi libur puasa. Mana sekolahku jauh. Haah.... aku harus sabar, harus tabah. Sabarlah Nadia!!! Ini demi tujuanmu sampai kau rela kabur dari rumah!!!
“Cut!! Oke!!! Syuting selesai. Bereskan semuanya!!!” Kata Sutradara menghentikan syuting. Dia menghampiri Vinci dan lawan mainnya sambil memberikan selamat. Ada asisten sutradara yang membawakan skrip selanjutnya. Mungkin ada perubahan skenario?
“Woi!” Panggilnya sambil melemparkan skrip. Kena deh, kepalaku yang jadi sasaran. Aku cepat-cepat membasahkan handuk dan menyerahkannya pada Vinci. Anehnya, dia selalu menerima dengan kening yang mengerut. Herankah? Kalau heran, kenapa nggak ditanya?
“Vin, ada sedikit masalah. Aku nggak sempat masak buat makan malam...” Aku melaporkan dengan suara rendah.
“APA?!” Cowok ini sudah mulai naik darah lagi. Meskipun nggak terlalu terpancar dari mukanya, dari nadanya yang naik setengah oktaf udah ketahuan.
Benar-benar deh, cowok ini. Waktu pertama kali ketemu, aku pikir dia itu robot karya masterpiece ilmuwan terkenal. Habis, keren dan ganteng begini, tapi kalau Cuma berdua atau sendirian, nggak ada ekspresi kehidupan. Tapi kalau udah mengamatinya baik-baik, emosinya terpancar samar-samar, meskipun itu cuma dari nada suaranya aja.
“Kita bisa belanja dulu, baru masak. Tapi kalau mau tepat waktu... berarti harus makan di luar.” Kataku memberikan opsi. Aku melihat jam tangan yang menunjukkan waktu pukul 18.37. Vinci adalah orang yang sangat disiplin dengan waktu. Jadi bagaimana nih?
“Kita makan di luar. Tapi meja masing-masing. Ngerti?” Tanya Vinci. Aku mengangguk. “Dan biaya makanmu dipotong dari gajimu.”
Aku mengangguk sekali lagi tanpa banyak protes. Ini memang salahku. Jadi semua harus ku tanggung.
Setelah Vinci ganti baju dan siap pergi kami berangkat ke restoran terdekat. Hm... ada benernya juga sih. Kalau kami jalan bareng, pasti bakal ada gosip. Aku kan bareng sama Vinci gara-gara kerjaan, kalau ada gosip pasti aku nggak bisa kerja sama dia lagi. Dan gagal total targetku.
Vinci berjalan duluan dan mengambil kursi. Aku mengambil meja persis di seberangnya. Jadi kami berhadapan diantara dua meja. Selalu seperti ini. Jadi terkenang saat kami bertemu.

* * *

Tiga minggu. Ya, benar. Tiga minggu yang lalu aku nekat datang ke rumahnya setelah kabur dari rumah. Aku hanya hidup berdua dengan kakakku, kak Juno, yang sekarang tercatat sebagai mahasiswa di sebuah universitas di Australia.
Haah... kak Juno. Cowok berumur 20 tahun dengan badan yang tinggi, kurus tapi bertenaga, ganteng, rambut coklat gelapnya sekarang cocok banget. Tatapan dan senyumannya lembut sekali. Benar-benar pangeran berkuda putih. Lagipula dia seorang gentleman. Beda sekali dengan cowok yang bersebrangan denganku sekarang.
Vinci dan kak Juno. Berumur sama, berpenampilan sama, kharisma sama, tapi karakternya jauh berbeda. Kak Juno... aku kangen. Seandainya kita tidak bertengkar waktu itu... tapi tunggulah kak! Aku nggak bakal membuat kakak khawatir. Aku akan pulang, minta maaf dengan membawa benda yang sangat penting bagi kita berdua itu.
Betapa bodohnya aku, Cuma dengan selembar kertas, datang ke rumahnya Vinci waktu itu. Aneh juga dengan keadaan rumah yang sepi. Bell rusak, bahkan di ketok pun nggak ada yang nyahut. Nggak terkunci lagi!!

Nama : VinĂ¡
Umur : 20 tahun
Pekerjaan : Swasta
Tempat Tinggal : Miracle Living Resident, no 14

Ya, ya. Itu selembar kertas yang membuatku seperti orang bodoh. Aku mengira pekerjaannya wanita karir yang ceroboh. Melihat rumahnya yang luarbiasa besar, foto-foto wanita yang cantik, dan kamar lux dengan banyak sekali warna abu-abu dan silver. Benar-benar wanita karir yang kaya, pikirku saat itu.
Pokoknya, aku betul-betul kaget begitu tahu dia laki-laki. Aku kira namanya Vina, seperti yang tertulis di kertas itu. Tapi ternyata namanya adalah Vinci. Haaah... sial.
Dengan sombongnya dia mengajak aku bicara. Kalau nggak benda itu dipegang sama dia, pasti dia sudah kuhajar habis-habisan, meskipun itu bertentangan dengan prinsip karate, dan mungkin aku bisa dilaporkan ke polisi karena tuduhan penganiayaan.
Akhirnya aku harus kerja menjadi asistennya minimal tiga bulan untuk menebus benda itu. Astaga... aku disuruh-suruhnya!!! Kayak pembantu aja. Untung aku terbiasa mengurus rumah dan memasak. Habis dulu harus mengurus dua cowok dalam rumah dari kecil. Kalau Cuma si robot yang nggak banyak omong itu, masalah enteng. Cuma selera dan disiplinnya aja yang kelewatan, sampai aku susah. Sudahlah... makan dulu!!!
Hm? Banyak juga orang-orang sekitar yang berbisik-bisik di sekitar kami. Meskipun Vinci sudah menyamar sedemikian rupa, tetap saja dia menarik perhatian. Untung aja kan, aku nggak semeja dengan dia. Yak, untung-untung...

* * *

“Jangan cemberut, dasar anak kecil.” Kata Vinci begitu kami dalam perjalanan pulang. Mahal banget semua makanan tadi!!! Lebih dari setengah gajiku!!!! Aku kan jadi rugi besar!
Kulirik Vinci sebentar. Kurasa nggak ada orang yang selurus dia. Kalau ada yang mengganjal dan mau dikeluarkan, meski sejelek apapun dan membuat orang terluka nggak pernah disensornya satupun. Dan kalau nggak ada yang mau dibicarakan, ya diam saja. Sama sekali nggak ada basa-basinya. Menyedihkan.
“Kurasa kalau begini terus, kamu nggak bakal bisa mendapatkan cincin ini.” Kata Vinci yang menusuk perasaanku. Tapi aku memilih menahan diri.
Kutatap tangan kiriku. Ada cincin emas yang melingkari jari manisku. Polanya indah, dengan satu mata berlian dengan pola potongan yang membuat kilaunya begitu memancar, seperti pelangi. Pasangan cincin ini melingkari jari manis tangan kiri Vinci.
“Aku sudah bilang, dengan cara apapun pasti kudapatkan kembali cincin itu.” Kataku pelan. Itu kan satu-satunya warisan dari ayah dan ibuku...
Cincin pernikahan orangtuaku yang ditinggalkan untukku dan kak Juno. Nggak akan kubiarkan kedua cincin ini terpisah!

* * * *

1 komentar:

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?