Sabtu, 23 Oktober 2010

Bab 2

Vinci


Aku nggak pernah ngerti pikiran anak kecil. Begitu ngototnya mereka hanya demi sebuah barang yang remeh dan sepele.
Begitu kagetnya aku waktu kutemukan cewek histeris yang bersembunyi di lemariku, lalu berteriak nggak karuan karena menyangka aku cowok mesum, padahal aku baru saja selesai mandi. DI RUMAHKU SENDIRI.
Cewek itu kepalanya berada di bawah bahuku sedikit. Bagiku yang 185 cm ini, dia lumayan juga. Rambutnya hanya sampai bahu dan berponi tipis. Rambutnya cukup halus. Badannya kurus, dan wajahnya bisa dinilai imut untuk seorang siswi SMA. Itu kata-kata para kru film yang selalu saja tersenyum kesenangan begitu anak kecil itu datang.
Biarkan sajalah, yang penting anak itu bisa berguna untukku.
Anak kecil itu datang dan mengatakan dia mau melakukan apa saja, asal aku mengembalikan cincin itu padanya. Konyol sekali. Apa sih istimewanya cincin yang dibeli di acara lelang pegadaian? Memang pola ukirannya rumit, dan membuat Vina senang. Tapi itu bukan alasan untukku.
Tapi kupikir nggak ada salahnya memanfaatkan cewek ini. Dia bisa kupekerjakan untuk mengurus rumah dan mengurus barang-barangku selama aku kerja. Bisa kujadikan asisten dan membuatnya menderita. Tapi yang tak kusangka, ternyata dia kabur dari rumah!!! Sempat kucurigai dia bukan anak baik-baik. Begitu kusuruh tinggal di rumahku, tanpa ragu dia menyetujuinya!! Memangnya dia pikir dia siapa? Apa dia terbiasa tinggal bersama cowok? Kenapa dia sama sekali tidak ragu, takut, atau bahkan senang. Yang dia pikirkan hanyalah mendapatkan cincin tunanganku ini yang dia bilang milik kakaknya yang labur.
Begitu kuberitahu manajerku, dia panik sekali. Cewek itu bisa mengancam karirku. Tapi begitu melihat sepertinya dia terbiasa mengurus rumah dan memasak, kupikir tak apa. Apalagi aku baru saja pindah rumah dan belum ada yang tahu alamat rumah baruku ini. Tak masalah, aku dapat tenaga baru yang masih muda dan gratis.
Begitu semangatnya dia bekerja, pagi-pagi aku sudah dapat sarapan. Bahkan dia membuatkan bekal untukku. Aku kan nggak terbiasa makan pagi, apalagi dapat bekal. Tapi sayang sekali menyia-nyiakan makanan, jadi ku makan saja. Sekalian mengetes rasa masakannya.
Seminggu itu aku jadi repot mengenalkannya pada semua dia itu asistenku. Banyak juga orang yang nggak percaya, tapi begitu melihat dia begitu semangat membawakan barang-barangku dan mau kusuruh-suruh tanpa banyak protes, aku sudah tahu aku terbebas dari gosip aneh. Lagian dia kan anak kecil, mana mungkin cocok denganku.
Sudah tiga minggu ini dia bekerja untukku tanpa kenal menyerah. Tampaknya dia sangat menginginkan cincin ini, sampai dia melakukan semua pekerjaan serajin-rajinnya. Pagi menyiapkan sarapan, cucian, lalu membereskan rumah. Memberikanku bekal, dan begitu pulang dia sudah menyiapkan air panas untukku. Bersantap malam, membereskan dapur lalu tidur. Seleranya nggak jelek, dia bisa memilihkan baju untukku.
Entah kenapa, meskipun baru tiga minggu, sepertinya kami sudah terbiasa hidup bersama. Tapi aku harus bersikap rasional. Aku dan dia itu orang lain, dan kami juga baru tiga minggu tinggal serumah. Meski rasanya sudah biasa, tapi jangan dibiasakan.
Meskipun begitu... melihat senyumnya yang mengembang seiring dengan bangkitnya sinar mentari, aku merasa dia bukan gadis biasa. Dia memiliki sisi lain yang sangat berbeda.
Waktu aku sama sekali nggak tidur untuk mempelajari naskah, aku bermaksud turun untuk minum kopi. Dari tangga, kulihat dia yang terus saja menatap keluar melihat bulan. Tatapan yang sangat kesepian. Kosong menerawang, seperti memanggil di samar-samar sepinya suasana malam itu. Rasanya mau kupanggil, tapi jiwanya seperti di tempat lain.
Dia menangis. Dia menangis tanpa suara sambil melihat bulan. Airmatanya terus jatuh bercucuran. Sepertinya sakit sekali. Entah apa yang selama ini dialaminya. Esoknya dia sudah semangat kembali, dan aku tak pernah lagi melihatnya menangis. Hanya sekali saja dia menangis, dan itupun tanpa suara. Tanpa ada sinyal apapun. Entah kenapa, sejak saat itu aku terus penasaran apa saja yang ada padanya. Padahal, sepanjang hari dia terus tersenyum. Tapi mengapa dia tiba-tiba bisa begitu sedih seperti ada yang mati? Kenapa dia bisa punya dua expresi yang sangat bertolak belakang?
“Malam ini... tanggal 17 ya?” Tanya anak itu tiba-tiba. Kurasa itu nggak perlu dijawab, karena dia sudah melihat kalender berkali-kali. Kukemudikan mobilku tanpa banyak bicara. Sebenarnya dia mau apa?

Skrip baru yang diberikan ini bikin repot saja. Kenapa selalu saja ada perubahan skenario padahal ini sinetron yang kejar tayang. Hm... bikin kopi saja dulu.
Begitu ke bawah, kulihat dia berada di ayunan kayu yang berhadapan dengan laut. Banyak orang bilang rumahku modelnya sama dengan sinema ‘Full House’, dasar orang-orang manajemen sialan. Dia terus saja memandang bulan sabit itu. Aku jadi penasaran dan mendekatinya.
“Vinci... mau menikmati bulan juga?” Katanya begitu menyadari keberadaanku. Dia Cuma pakai piyama, dan nggak pakai jaket sama sekali. Dia duduk sendirian dengan segelas kopi di malam yang dingin ini?
“Nih...” kupakaikan jaket yang kuambil di rumah. Aku mengambilnya dua. “asisten nggak boleh sakit, nanti bukannya bantu malah bikin masalah.”
“Tapi si aktor sendiri juga nggak boleh sakit. Bisa heboh para fansmu di luar sana tahu kamu sakit. Makasih ya...” Kata anak itu pelan. Wajahnya memerah sesaat, tapi dia lalu memandang bulan lagi.
“Vinci... pernah merindukan seseorang yang tidak bertemu? Orang yang sangat berharga bagi Vinci...” Tanya Nadia. Aku menggeleng.
“Kalau aku... ada.”
“Cowok yang kamu suka bertepuk sebelah tangan?” Tanyaku. Giliran Nadia tersenyum sama dan menggeleng.
“Bukan. Orangtuaku. Ibuku meninggal waktu aku tujuh tahun. Ayah bekerja sebagai novelist, kakak yang masih SMP kelas 1, dan aku masih tujuh tahun. Ibu adalah sosok yang anggun, cantik, dan sangat telaten mengurus keluarga. Tapi karena ibu meninggal karena sakit, semuanya berubah.” Nadia terdiam.
“Peninggalannya hanya cincin yang ada di tangan kiriku ini.” Kata Nadia. “Sepeninggal ibu, semuanya jadi kacau. Ayah jadi semakin ceroboh, dan agak konyol. Tapi kami semua bahagia. Sampai akhirnya tiga tahun kemudian, kakak lulus SMP dengan prestasi yang luarbiasa. Dan begitu masuk SMA... ayah meninggal.”
Jadi... orangtuanya meninggal. Apa cincin ini...
“Ayah meninggal karena kecelakaan setelah mengantar kakak. Akhirnya kakak keluar dari sekolah berasrama itu, dan mulai mencari kerja sambilan untuk membiayai kami. Jadi kami hanya tinggal berdua. Empat tahun... hanya berdua. Makan, main, belajar, bahkan kadang tidur bersama selama ini. Dia kakak yang sangat baik.”
Jadi karena itu dia terbiasa tinggal bersama cowok? Wajahnya begitu menceritakan kakaknya... begitu lain. Seperti orang yang sedang kasmaran saja.
“Dimana kakakmu sekarang? Apa karena kalian bertengkar sehingga kamu kabur dari rumah?”
“Kamu ini memang orangnya dingin ya? Kakak... sewaktu lulus SMA, ada seorang direktur yang sangat suka dengan prestasinya. Dia menawarkan beasiswa dengan syarat IP minimal diatas 3 dan setelah lulus bekerja untuknya. Dan sekarang dia kuliah di Australia. Aku akan dititipkan, dan karena cincin itu, aku kabur dari rumah. Puas?”
Aku meneruskan minum. Jadi begitu?
“Kenapa cincin yang begitu penting kamu gadaikan?”
“Entahlah. Aku juga nggak tahu. Kakaklah yang menggadaikannya. Begitu aku sadar, semuanya sudah terlambat. Karena itu aku bertekad mendapatkannya kembali.”
Hm... kehilangan orangtua, hidup bersama kakaknya dan lalu dipisahkan, dan cincin yang jadi peninggalan satu-satunya tergadai. Ternyata anak ini kesepian juga. Sepertinya ada yang mirip, entah dimana. Aku pernah mengalaminya. Apa di salah satu dari ratusan film yang pernah kutonton? Atau buku-buku yang pernah kubaca?
“Na...” Begitu aku memanggil, ternyata Nadia jatuh tertidur. Kepalanya jatuh berlahan ke pundakku. Wajahnya tenang sekali. Apa dia kecapean?
“Jun.... aku kangen...” Nadia mengigau. Jun? Siapa lagi itu. Anak ini nggak mungkin kutinggal keluar, jadi kuputuskan untuk menggendongnya ke kamarnya. Berat juga tubuh cewek itu. Dan tubuhnya dingin. Jangan-jangan, sesudah membereskan makan malam dia langsung keluar tanpa jaket?
Tangannya semakin bergelayut. Hei-hei, jangan-jangan anak ini pura-pura tidur.
“Hangatnya... punggung yang lebar dan hangat. Hangatnya...” loh, ternyata dia ngigau lagi?
Begitu kubaringkan dia dan kuselimuti, dia terbangun sebentar.
“Kak Jun? Menggendongku lagi ya? Makasih ya... selamat tidur.”
Jun lagi, Jun lagi! Siapa sih, dia?

Begitu bangun, dia sudah riang lagi seperti biasa. Bangun pagi-pagi, menyiapkan sarapan. Selagi kami makan bersama, terdengar suara bell.
“Hai!!!! Good Morning, my darling!!!” Suara ini... dia lagi?
“MARIO?!!!” Seru Vira kaget. Mario sudah gabung bersama kami. Dia melihat semua makanan di atas meja, dan berpaling menatapku heran.
“Vin, bukannya kamu nggak biasa sarapan?” Tanya Mario heran. Kenapa sih, anak ini selalu membuat jengkel? Apa yang harus kukatakan?
“Loh, jadi... selama ini Vinci maksa makan masakanku ya? Kamu nggak sakit perut?” Tanya Nadia tiba-tiba. Rupanya kalau anak ini cemas seperti ini ya?
“Aku nggak apa. Nggak ada yang sakit, cerewet.” Kataku cepat. Wajahnya agak lesu. Keliatan banget kalau ia khawatir.
“Aku pernah dengar, kalau orang yang nggak pernah sarapan itu makan pagi, dia bakal sakit perut. Untung aja Vinci nggak apa-apa. Lain kali aku cukup buatin bekal saja?” Tanya anak itu. Ng? Masa...
Delicious!! Nadia pintar masak ya? Aku bakal datang tiap pagi untuk sarapan di sini ah!!! Nggak apa kan, darling?” Tanya Mario mencicipi masakan si kecil.
“Terserah.” Kataku cepat. Entah kenapa, aku merasa lega.
“Habis ini mau ngapain?” Tanya Mario.
“Aku harus meneruskan syutingku sampai jam 3 sore dan habis itu pemotretan untuk sampul majalah.” Tiba-tiba HP ku berdering. Hm?
“Halo.” Sapaku cepat. Ternyata Ibu Helen.
“Datanglah ke kantor, ada yang mau kubicarakan.” Kata Bu Helen seperti biasa. Ada yang nggak beres.

* * * *


1 komentar:

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?