Minggu, 24 Oktober 2010

Bab 3

Nadia


“Ke kantor?” Ulangku heran.
“Aku dipanggil direktur. Sepertinya ada hal penting sampai nenek itu mengabaikan jadwal syutingku. Untungnya manajerku sudah menelpon kru film, jadi mereka mengambil adegan lain hari ini. Yah, paling hanya beberapa menit.”
Hoooh?? Aku penasaran, siapa ya si nenek itu? Mario juga langsung pulang... kayaknya si nenek ini orang penting.
“Siapa si nenek itu?” Tanyaku. Kutangkap tatapan kesal dari Vinci.
“Namanya Helena. Direktur Utama Agency ku. Kalau mau jujur, dia itu setengah diktator. Orangnya keras, disiplin, nggak banyak omong, dan nggak pernah basa-basi.” Katanya. Kelihatan banget dia nggak suka sama si ‘nenek’ itu.
Lho, bukannya berarti Ibu Helen itu kembaranmu Vin? Jadi kamu memang ‘setengah diktator’ ya? Ha ha ha... ternyata dia nggak suka sama kembarannya sendiri!! Dia harus disadarkan soal dirinya itu!
Pokoknya, aku bisa melihat bagaimana kantornya para artis!!! Bukannya itu sesuatu yang keren?

Hm.... aku tertipu. Ternyata kantornya biasa-biasa saja. Cuma seperti gedung pada umumnya. Cuma ukurannya memang menakjubkan. Apa karena ada banyak ruang latihannya? Setahuku Agensi Vinci memang banyak divisi, selain artis dan penyanyi, mereka juga punya banyak grup penari. Hebat juga si nenek diktator punya artis sebanyak itu.
“Vinci!! Kamu datang juga!!!” Seseorang menyongsong kami. Pria muda yang punya wajah yang imut, tapi dia jelas lebih tua dari kami. Kayaknya dia capek. Badannya setinggi badan Vinci, memakai jas dengan setelan lengkap (entah mengapa), dan memakai kacamata.
“Sebenarnya ada apa ini?” Tanya Vinci.
“Nggak tahu. Tapi sepertinya ada hubungannya dengan gosip terbaru belakangan ini.” Jawab cowok itu habis mengatur napas. Dia kaget melihatku. Vinci juga menyadarinya.
“Dia ini...”
“Asisten baruku.” Kata Vinci. Dia berbalik ke arahku. “Namanya Nadia. Nadia, cowok ini adalah manajerku, namanya Martin.”
“Martin,” Kata cowok itu mengulurkan tangan dan langsung kusambut.
“Nadia.” Jawabku mencoba semanis mungkin.
“Vinci, kupikir kita sudah sepakat...” Tanya Martin mencoba serius.
“Nggak masalah kok. Nanti kita bicarakan lagi.” Kata Vinci juga dengan ekspresi serius. “Aku akan pergi menemui Direktur. Martin, antarkan dia berkeliling.”
Seketika itu dia pergi. Hm... jadi aku ditinggal nih?
“Jadi...” Katanya cepat. “Kita pergi sekarang?”

Sepertinya Martin sudah tahu banyak soal aku sebelum berkenalan. Tentunya sebagai manajer artis, dia pasti tidak suka kalau perempuan sepertiku dekat-dekat artis binaannya. Kalo seperti itu, harusnya dia bisa membantuku membujuk Vinci supaya cincinnya dikasih saja balik. Iya kan? Tapi jangan pikirkan itu.
Agency yang berasal dari Agency model, kemudian merambah memanajemen aktris, penyanyi, dan bahkan ada grup penarinya juga. Makanya gedungnya bisa luarbiasa. Ada tempat latihan dan studionya!! Hebat!!!
 “Gedung ini punya limabelas lantai. Dari lantai dasar sampai lantai sepuluh, itu adalah studio, tempat latihan, kantin, juga gudang. Tapi lantai sisanya, itu baru kantor yang sesungguhnya, dimana para manajer dan para eksekutif kantor agency ini bekerja.” Jelas Pak Martin. Aku hanya manggut-manggut. Karena ada artis yang jadwalnya ketat, biasanya kalau Cuma pemotretan dan membuat syuting pendek dengan durasi sepuluh menit, bisa dilakukan bersamaan di gedung ini dengan harga penyewaan yang sesuai. Kata Pak Martin, sebentar lagi akan dibangun gedung baru untuk studio yang lebih besar. Wah... ini Agency ato Universal Studio? Sekalian aja bikin PH di sini.
Tapi sayang, latihan para artis nggak boleh dilihat sembarangan. Jadi kami hanya berkeliling tanpa melihat para artis yang keren-keren itu latihan. Biasanya yang latihan adalah para penyanyi yang akan mengadakan konser atau apalah. Tapi kalau talent artis, harus latihan terus kan? Pokoknya banyak kegunaannya.
“Pak Martin, apa nggak capek harus jadi manajer Vinci?” Tanyaku penasaran. Orang kasar kayak Vinci pasti menguras stamina dan mental.
“Nggak, tapi yang jelas pasti Vincilah yang capek karena punya manajer payah kayak aku.” Katanya merendah. Pak Martin itu orangnya sederhana dan merendah sekali ya. Tapi dia bisa serius meskipun nggak cocok dengan wajah imutnya. Kelihatannya dia orang yang sabar dan tabah. Pasti, karena jadi manajer orang kayak Vinci.
“Masa sih?”
“Yah... aku ini orangnya payah dan ceroboh. Makanya aku merasa bersyukur sekali, waktu Vinci memilihku menjadi manajernya. Rasanya seperti mimpi, bisa memanajeri orang nomor satu di Agency ini.” Katanya dengan raut muka orang yang menangis bahagia karena menang lotre tapi nggak percaya.
Hm... begitu ya. Yang jelas, Vinci pasti senang dengan orang yang nggak banyak omong, sabar dan tabah kayak Pak Martin. Lagipula dia sederhana banget, nggak terlalu banyak bertingkah, suatu poin plus untuk jadi manajernya. Salah satu yang kusadari, ternyata Vinci punya sisi badut yang diceritakan kak Jun waktu kami main ke Sirkus.
Badut itu, adalah seseorang yang sangat sedih dan penyendiri. Mereka selalu murung, sama sekali nggak ada cerianya. Tapi begitu merias diri menjadi badut dan berada di panggung, mereka adalah penghibur semua orang.
Begitu juga Vinci. Meskipun di dalam dia angkuh, sombong dan penyendiri, begitu berhadapan dengan lensa dan fans, dia adalah pangeran dunia entertaiment. Tampan, keren, dan murah senyum. Lama-lama aku berpikir, apa semua selebritis seperti itu ya? Apa sebenarnya dunia entertaiment itu sama sekali nggak bikin kita senang?
Bagi orang awam seperti aku, dunia entertaiment adalah dunia gemerlap, mewah, penuh dengan martabat, elit sekaligus sangat eksklusif. Tapi bagaimana kalau sebenarnya ini Cuma dunia khayalan yang penuh kepalsuan, gosip dan skandal? Pasti menyedihkan.

Kami pergi ke kantin. Banyak juga orang yang memenuhi kantin pada saat jam-jam segini. Kayaknya Vinci bakal datang sebentar lagi. Jadi aku hanya minum dan mencoba menunggu.
“Kalau nggak salah, Nadia masih sekolah ya? Bagaimana dengan sekolahmu?” Tanya Pak Martin. Aku terdiam. Bagaimana cara menjawabnya ya? Agak bingung... hm...
“Sebenarnya, aku sekolah agak jauh dari rumah Vinci. Aku cemas juga, apalagi semester baru sudah dekat. Dari jam setengah delapan sampai jam dua siang. Dan kalau ditambah dengan pulang pergi dari rumah Vinci, berarti aku harus pergi dari jam tujuh kurang dan pulang jam setengah tiga! Aku bisa gagal sebagai asisten. Atau kalau nggak gagal, aku harus bekerja dengannya lebih dari tiga bulan!”
“Oh... soal perjanjian itu ya? Memang agak susah. Tapi kurasa, delapan jam itu bisa kuusahakan untuk menggantikanmu. Sebenarnya, sebelum kamu datang, Vinci terbiasa melakukan apa-apa sendiri karena aku Cuma sempat datang sebentar dan harus pergi lagi. Dan lagipula, demi kamu dan Vinci, lebih baik kalian jangan terlalu sering bersama.” Kata Pak Martin. Sepertinya ada yang jadi beban pikirannya. Jangan-jangan... ada gosip? Skandal?
“Jangan berwajah kaget begitu. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan kok.” Katanya tersenyum menghibur. “Sebenarnya, aku berterima kasih karena kamu mau menemaninya selama syuting dan pergi ke mana-mana. Mungkin merepotkanmu, tapi aku sendiri tidak bisa membantu mendapatkan cincinmu kembali, karena...” Martin jadi terdiam karena merasa kelepasan ngomong. Sebegitu pentingnya kah cincinku bersama Vinci? Gawat, ini sudah beberapa menit... sampai kapan...
“Oh iya, Pak Martin sendiri bagaimana kenal dengan Vinci?” Tanyaku langsung mengalihkan pembicaraan.
“Eh? Aku? Ha ha ha.... itu cerita lama yang memalukan. Tapi aku tidak pernah lupa. Kami bertemu di kampus pada waktu kelulusanku, dan dia bilang dia susah kuliah karena semua kerepotan yang ada di sekitarnya. Yah... dua tahun yang lalu.”
“Jangan-jangan... Pak Martin ini umurnya masih 25 tahun ya?” Tanyaku ragu-ragu.
“Lho, kok tahu? Apa aku atau Vinci pernah bilang ke kamu?” Katanya tersenyum malu-malu. Hah???

Hampir 3 jam di sana, akhirnya aku dan Vinci masuk ke mobil. Melihat mukanya yang masam, kayaknya terjadi sesuatu yang buruk. Apa yang terjadi? Kalau bertanya, pasti aku didamprat. Tapi kalau nggak tanya, aku bisa mati penasaran!!! Kan jarang-jarang dia berekspresi seekstrem ini!
“Sudah kuduga, cewek itu memang nggak beres! Kenapa dia yang harus jadi lawan mainku?” Katanya jengkel. Nada suaranya lagi-lagi naik setengah oktaf. Wah, mungkin lebih!! Dia benar-benar marah kali ini!
“Memangnya kenapa dengan lawan mainmu? Dia nyebelin ya?”
“Cerewet! Jangan bikin tambah masalah lagi bisa nggak? Dasar, semua orang sama aja. Direktur juga, sudah tahu cewek itu sakit jiwa, masih tetap terima job!!”
“Aku kan tanya baik-baik! Ya sudah, kalau nggak mau ditanya.” Kataku kesal, meski sebenarnya agak ngeri juga. Aku jadi merasa Vinci itu berbahaya.
Jadi kami diam saja sepanjang perjalanan menuju lokasi syuting.

Kemarahan Vinci agak mereda hari ini. Soalnya kan sudah dua hari berlalu, jadi dia bisa berpikir tenang sekarang. Aku jadi penasaran, siapa cewek itu. Mungkin bisa ku cek dengan menonton tayangan gosip. Tapi aku dari pagi sampai pekerjaan selesai terus bersama Vinci, dan sampai di rumahpun TV dikuasai sama Vinci. Huh!
“Dine, lo mau nggak jalan sama kami besok? Hari Sabtu loh! Kan tinggal beberapa hari lagi liburan selesai. Trus, lo nggak pernah ngehubungi kami lagi.... kita-kita kangen nih, ama lo!” Terdengar suara centil di HPku. Ini pasti Nia, teman sekelasku.
“Kakak yang minta kalian nyariin aku ya?” Tanyaku cepat.
“Yah... lo gimana sih, nggak mungkin dong kami begitu meskipun kakak lo itu keren, ganteng dan mempesona itu. Tapi kalian kenapa sih? Lagi berantem ya? Kakak lo itu panik loh! Dia sudah sampai di bandara ternyata lo nggak ada. Tapi karena waktu itu lo minta kita-kita diem, jadi ya kita-kita nggak bilang apa-apa ma kakak lo.” Kalau denger suaranya, kayaknya Nia nggak bisa dipercaya.
“Maaf ya. Aku nggak bisa. Di tempatku sekarang, aku sama sekali nggak bisa pergi jauh hanya untuk jalan-jalan. Tapi... kita bisa ketemu waktu sekolah. Habis libur puasa ini, aku pasti masuk sekolah.” Kataku cepat.
“Lo kerja ya?” Tanya Nia. Apa harus kujawab? Gimana...
“Ya.” Jawabku akhirnya. “Supaya bisa hidup di luar selama bulan puasa ini, aku kerja sambilan. Tapi jangan bilang kakak ya, dia bisa kena serangan jantung kalau tahu aku sampai bekerja.”
“Kerjaan lo berat ya?”
“Nggak. Aku ini masih SMA kan? Aku bilang aku kerja magang di suatu kantor. Jadi aku sekarang lagi hobi menulis. Nggak mungkin aku sampai kerja buruh kayak di sinetron itu.” Jawabku asal.
“Betul, tuh!! Ngomong-ngomong soal film, gue jadi ingat lagi ama pujaan gue, Vinci!!! Hari ini gue baru beli photobook terbaru di film terbarunya itu loh!! Wooww... doi ganteng banget! Semuanya oke!! Tapi sayang, doi lagi dapat gosip jelek. Tahu nggak, doi bakal syuting movie ke tiganya sama Rianna!! Mereka kan dulu punya skandal, katanya gara-gara Vinci, Rianna putus sama pacarnya. Padahal itu nggak bener. Tapi movie ini kan bakal buat hubungan mereka jadi dekat kan? Dasar srigala berbulu domba si Rianna itu!” Kata Nia berapi-api. Loh, jadi ini gosipnya?
Aku jadi mau bersyukur, ternyata bagus juga aku punya teman penggila selebritis.
“Eh, sori ya. Kan lo nggak suka ama seleb ya.” Kata Nia tiba-tiba tersadar.
“Tumben kamu ngerasa. Biasanya biarpun aku sampai ketiduran denger gosip-gosip itu, kamu nggak peduli. Haaah.... jadi kalian gimana aja selama liburan?”
Dan obrolan kami terus berlanjut.
Ngantuknya... aku ngobrol ama Nia sampai semalam suntuk. Banyak banget yang kami ceritain sampai jam tidurnya Nia. Orangtua Nia ketat sih.
“Ngantuk? Dasar bodoh.” Kata Vinci dengan kejamnya padaku.
“Terserah, muka angkuh.” Berisik, masih juga menghina orang.
“Mulai sekarang, kita ada jadwal baru.” Kata Vinci. Aku diam.
“Aku tahu. Kan dua hari yang lalu kamu udah bilang. Tapi ada yang belum aku ceritakan. Mulai minggu depan, aku udah sekolah lagi. Jadi aku mengurangi delapan jam dari jam kerjaku.”
“Begitu... jadi maksudmu, bulan kerjamu ditambah?”
“Begitulah...”
“Kamu ini mengejar cincin atau memang sengaja?”
“Maksudmu? Kita kan sudah bicarakan masalah ini! Kalau kamu nggak suka, kasih aja cincinmu itu dan aku langsung pergi dari sini!” Kataku tegas. Memangnya siapa juga yang mau tinggal serumah sama kamu, dasar si rese!
“Bicarakan ke Martin nanti. Kita harus buat kontrak kerja yang baru.” Kata Vinci. Sebenarnya, apa arti cincin itu untukmu hah! kalau kau nggak suka aku, cepat serahkan cincin itu sama aku dasar ^(^*(&*&O(%^$#!!!
Aku menelpon Pak Martin. Kami ada di lokasi syuting sekarang. Vinci lagi sibuk kerja, jadi aku punya kesempatan untuk bicara langsung sama Pak Martin.
“Ya?” Terdengar suaranya yang lembut.
“Pak Martin! Ini aku, Nadia.” Kataku cepat.
“Oh, kamu. Ada apa?”
“Begini, soal pembicaraan kita waktu itu. Aku sudah bicara sama Vinci, dan dia bilang aku harus mempebaharui kontrak. Dan katanya aku harus mengurusnya sama Pak Martin.”
“Begitu?” Tanya Pak Martin. Dia terdiam sebentar. “Baiklah. Aku akan buat surat perjanjian. Datanglah pada hari Sabtu ini. Pada waktu itu Vinci off selama lima jam dari jam satu siang sampai jam enam sore. Nanti aku juga akan memberitahunya.”
“Terima kasih, Pak Martin.” Kataku senang. Hari Sabtu berarti lusa. Entenglah!

Hari ini panas sekali. Kayaknya Vinci kepanasan. Buktinya dia baring-baring sampai 30 menitan dengan mengkompres wajahnya dengan handuk basah. Kurasa dia nggak lama lagi bakal keramas. Kadang Vinci itu kelihatan lemah ya. Kasihan juga.
“Vinci, sebentar lagi kita ambil take baru. Puncaknya adegan.” Kata salah seorang kru yang datang. Vinci langsung bangun.
“Baik.”
Melihat wajahnya, aku langsung merasa takjub. Dia seperti orang yang siap perang. Seperti yang dari dulu kurasakan, baginya akting adalah segalanya untuknya.

* * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?