Selasa, 06 November 2012

Bab 4

cerpen, novel
Vinci




Ternyata maksudnya hari Sabtu itu hari ini ya?
Dari jam dua belas kami sudah pergi menuju kantor Martin. Anak itu murung. Apa yang terjadi padanya akhir-akhir ini? Bikin repot saja.
“Yak!! Terima kasih sudah datang ya! Sekarang aku menjelaskan soal perjanjian.” Kata Martin semangat. Dia sudah menyiapkan teh dan kue untuk kami bertiga. Si penggila kue kayak anak itu pasti kesenangan.
“Jadi, kenapa aku juga harus kesini?” Tanyaku seraya meraih kursi.
“Aku sudah menyiapkan tiga lembar perjanjian yang harus di tandatangani kita bertiga. Vincent sebagai pihak pertama, Nadia sebagai pihak kedua, dan aku sendiri sebagai saksi. Masing-masing perjanjian ini dipegang oleh kita bertiga. Silahkan dibaca.” Katanya sambil menyerahkannya padaku.
Surat perjanjian dengan 5 materai bernilai 6000. biaya sejam, Rp 10.000,-. Dengan kurun waktu 4 bulan. Oh... ternyata perhitungan Martin lebih lama ya. Apa maksudnya?
“Jadi sehari atau lima belas jam terhitung dari jam tujuh pagi sampai jam sepuluh malam upahku Rp 150.000,00 ya?” Tanya anak kecil itu kayaknya nggak terima.
“Jadi, kalau tujuh jam saja...” Kataku menghitung.
“Delapan bulan?!!!!!” Teriak anak itu nggak percaya. Salah, bodoh. 8,5 bulan.
“Yah... harga di pelelangan waktu itu sebesar duapuluh juta. Dengan kompensasi untuk Vinci karena itu cincin yang penting, sebenarnya delapan bulan masih belum cukup...” Kata Martin yang repot-repot memberi pengertian sama anak itu. Anak itu sampai lemas.
“Tapi... pelunasan hutang tetap dihitung perbulan. Jadi, seandainya Nadia punya uang untuk menebus bulan sisanya, dipersilahkan.” Kata Pak Martin.
“Apa dia punya uang? Dia kan kabur dari rumah?” Tanyaku.
“Entahlah. Kan kubilang seandainya.” Jawab Pak Martin kalem. “Setelah ayat pertama yang membahas soal upah, ayat kedua soal menjaga kerahasiaan. Karena profesi Vincent adalah aktor, penting bagi kalian untuk tidak bersama selain di lokasi pekerjaan. Dan jangan sampai orang ketiga selain aku, yang mengetahui soal perjanjian ini. Jika ayat ini dilanggar, maka perjanjian dianggap batal, dan cincin ini akan tetap menjadi milik Vinci selaku pihak pertama.”
“Setuju.” Ucapku langsung.
“Ok.” Kata anak itu setengah-setengah.
“Ayat ketiga, adalah ayat yang mengatur peraturan-peraturan di dalam rumah. Sub ayat yang pertama, kalian diwajibkan untuk menjaga hak privasi masing-masing. Tidak mencampuri urusan pihak lain. Kedua, yang menyangkut soal ayat kedua, adalah tidak ada orang asing yang boleh mengetahui alamat baru kalian. Teman-teman Vinci dan Nadia. Apalagi Nadia, yang mayoritas teman-temannya adalah orang awam. Yang ketiga, jika ayat ini dilanggar, maka cincin akan menjadi milik pihak yang dirugikan dan perjanjian dibatalkan.”
“Bisa diterima.” Kata anak itu.
“Ayat keempat, sekaligus ayat terakhir, hal-hal selain ketiga ayat diatas atau urusan yang menyangkut profesi dan status kalian, boleh kalian urus sendiri. Jika seandainya ada masalah di lain waktu, yang tidak menyangkut dari isi perjanjian ini, harus kalian urus sendiri.” Kata Pak Martin pada akhirnya.
“Wow! Pak Martin, anda benar-benar memikirkannya baik-baik!! Aku sayang sama bapak!” Kata anak itu kesenangan. Kayaknya dia optimis bisa mendapat uang lebih untuk menebus cincin ini. Yah... kalau harus seperti itu, aku harus menandatanginya.
“Jangan bilang begitu. Mungkin saja kalian akan protes tentang surat perjanjian ini di lain waktu. Seperti yang ada di ayat terakhir, jika Vinci ingin melepas cincin itu sebelum Nadia menyelesaikan tugasnya, juga diperbolehkan.”
Seperti biasa, dia selalu saja berpikir dengan berbagai macam simulasi masa depan. Nggak rugi dia jadi manajerku.
“Nah, Vinci. Kita bahas soal pekerjaan. Habis ini tolong bawa pulang mini poster untuk ditandatangi, dan juga pelajarilah skrip baru untuk movie itu. Karena masih ada sisa sekitar 20 episode, kurasa Vinci bisa berkonsentrasi pada movie terbaru ini. Hari Minggu, kita akan meliput untuk acara ‘Tempat LuarBiasa’ untuk siaran minggu depan. Lalu pada hari terakhir, jadilah bintang tamu pada acara yang ada di sana juga ya. Jadwal selanjutnya sudah kumasukkan lewat email. Pelajarilah dan kalau ada...”
“Perubahan tiga minggu mendatang diberitahu besok.” Kataku cepat. Aku malas mendengar lagi ocehannya. Jadi kuajak anak kecil pulang.
“Apa maksudnya kata-katamu tadi?” Tanya anak itu. Masa aku harus menjelaskannya juga?
“Hm... pencarian selebritis untuk menggantikan artis lain, meskipun di Agency sebesar ini kadang membutuhkan waktu yang lumayan lama. Jadi kalau aku ingin membatalkan job, harus dilakukan jauh-jauh hari.”
“Oh... begitu. Kalian aneh juga. Yang namanya takdir kan nggak bisa ditebak. Kalau ada sesuatu hari itu, masa bisa direncanaain tiga minggu sebelumnya? Bahkan sehari sebelumnyapun pasti nggak bakal bisa! Yang penting kan hari ini!”
Ngomong apa sih, anak ini? Selalu aja ngomong yang nggak bisa dimengerti orang lain. Dasar anak ngaco!
“Oh iya. Ngomong-ngomong, ulang tahunmu kapan?” Tanya anak itu lagi. Kenapa anak ini selalu aja bertanya yang mendadak?
“Ngapain aku kasih tahu kamu?” Tanyaku cepat.
“Hm... nggak ada apa-apa. Kakakku tanggal lahirnya 23 bulan ini. Sebentar lagi. Bagaimana cara dia merayakannya ya? Aah... tanggal lahirku 22 bulan depan. Sebentar lagi aku tujuh belas tahun! Jadi nggak sabar...”
Apa dia sengaja? Benar juga, tanggal 23 kan malam itu...
“Siapa Jun?” Tanyaku.
“Ngapain tanya-tanya dia?” Tanya anak itu balik. Kayaknya dia kesal. “Dia... dia cowok yang sangat kusukai. Dari aku kecil sampai sekarang. Dia keren, ganteng, lembut, baik hati. Haah.... dia ramah dan suka menolong. Nggak kayak kamu, senyum selain bisnis nggak pernah ada. Bawaannya bete aja. Untung aja Pak Martin yang jadi manajermu. Dia sabar.”
Pipi yang bersemu merah dan mata yang berbinar-binar. Anak yang kasmaran. Aku muak.
“Dasar anak kecil.”
“Apa?!”
Aih... sekarang dia malah mencak-mencak nggak karuan. Sudahlah, nggak usah dipikirkan lagi. Semua pasti bakal kacau balau kalau menyangkut anak ini.
Sesampai di rumah, kami makan malam dan tidur. Hm... aku harus menandatangi semua ini? Kenapa mini poster ini banyak banget sih? Besok... banyak acara kan? Harus berangkat selama tiga hari dan hari Rabu jadi bintang tamu. Semuanya bikin repot. Sekarang jam setengah delapan. Ah, kukerjakan separuhnya dulu saja.
Begitu aku terbangun, ternyata ada selimut yang menyelimutiku. Jarang-jarang aku jatuh tertidur di meja sepertiku. Untunglah tandatangan miniposter sudah selesai. Sudah jam tujuh pagi. Mending makan aja dulu.
Hm? Kenapa sekarang aku kepikiran soal makan? Bukannya biasanya Cuma secankir besar kopi saja? Terserah saja, kalau begitu. Toh perutku sudah terbiasa dengan sarapan.
Begitu turun, kulihat anak kecil yang kegirangan karena sudah merasa pasti akan mendapatkan cincin ini. Dia sudah benar-benar lupa dengan jangka waktu delapan bulan itu. Tapi, okelah. Dengan waktu delapan bulan aku menghemat anggaran untuk para pembantu dan asisten, dan aku bisa memikirkan rencana apa yang bisa menyengsarakan dan membuatnya menyesal memutuskan tinggal bersama hanya demi cincin aneh ini.
Tunggu saja.

“Good morning, my darling!!!! How are you today? I miss you so much!” Suara ini... lagi. Mario!!
“Ah, Mario!!! Ayo, silahkan. Aku sudah menyiapkan masakan khusus untukmu!” Seru anak itu girang. Mario menatap anak itu dan berbisik padaku.
“What happend? She become to crazy!”
“Nggak ada apa-apa. Gara-gara Martin, dia jadi harus tinggal bersamaku sampai delapan bulan.” Jawabku malas.
Why?
“Tanya sendiri pada Martin. Aku malas membahasnya.”
Weird. Ada yang aneh di sini.” Gumam Mario. Aku membiarkan pikirannya mengambang. Sepanjang sarapan, dia terus saja menatap aku dan anak itu bergantian seolah meneliti sesuatu. Membosankan.
Sesudah makan, aku mencuci muka dan gosok gigi. Begitu berganti baju, aku melihat lagi ke arah selimut yang kuletakkan di kursi. Seingatku, aku sama sekali nggak mengambil selimut. Apa anak itu yang menyelimutiku?
Kami kan tinggal berdua. Kalau bukan aku, sudah pasti dia. Apa kewaspadaanku sudah berkurang sampai aku tidak mengunci pintu kamarku sendiri? Untuk apa dia seperhatian itu padaku? Apa karena dia lagi senang? Atau dia bermaksud membuatku merelakan cincin itu dengan gratis?
Apapun motifnya, rencananya harus tetap dilanjutkan. Aku nggak bakal luluh hanya karena begini saja. Kau kira aku siapa, anak kecil?
Kurasa aku harus makin hati-hati. Ini bukan main-main.
“Halo?” Tiba-tiba terdengar dering HP. Aku menyambutnya.
“Vinci!!! Selamat pagi!” Terdengar suara cewek yang sangat familiar.
“Oh, kamu. Selamat pagi juga.” Kataku pelan.
“Kedengarannya kamu baik-baik saja. Sayang sekali, kalau saja aku nggak ada tugas, aku pasti bisa liburan di rumah.” Katanya padaku dengan nada sedih. Untung saja kau tidak ke sini. Ada anak yang cerewet itu.
“Begitu. Bagaimana kabar ayah dan ibu di sana?” Tanyaku.
“Baik. Mereka berencana untuk pergi lagi ke Inggris.”
“Hm... kabar keluarga kalian?” Tanyaku lagi. Kedengarannya dia jadi gugup.
“Eh? Ah.. anu. Keluargaku baik. Aku juga harus kembali kuliah. Ayah dan ibu juga baik. Sudah jam segini. Maaf ya, sudah mengganggu. Bye.”
“Bye.”
Kulihat jadwal yang ada. Ada penerbangan jam 9.45 menit. Terpaksa aku harus membaca jadwal di pesawat saja.
“Halo?” Sambutku di telepon. Di layar bertuliskan Martin.
“Vinci!! Di penerbangan jam 9.45 pagi kau pergi. Kita akan syuting dari bandara. Aku ikut. Dan Nadia juga. Soal dia bisa kuurus. Sekarang jam delapan kurang. Pastikan kalian paling lambat tiba 30 menit sebelum berangkat ya! Klik.”
Begitu?
“Mau pergi kan? Aku sudah siapkan semua barang-barangmu. Tapi kita butuh waktu untuk mengepak kopermu. Aku nggak tahu kita mau ke mana sih.” Kata anak itu tiba-tiba. Hm... rupanya dia cekatan juga. Dia kan juga tahu kalau hari ini mau berangkat.
“Hari Kamis aku ada test. Kita akan pergi ke Bali selama tiga hari. jadi siapkan juga baju santai dengan celana pendek. Sepatu sneaker, juga sepatu resmi. Kamu juga?”
“Aku nggak punya bikini atau baju jalan. Jadi aku bawa semua baju kaos, sepatu sneaker dan juga sandal gunung.”
Ooh... begitu. Toh dia juga bakal pergi jalan-jalan sendiri. Dia pasti belum pernah ke Bali. Jadi mungkin nanti insting petualangannya muncul. Biar nanti kusuruh Martin yang ngawasin dia.
Begitu selesai berkemas, kami sudah siap berangkat. Entah kapan, pokoknya semua pintu sudah terkunci dan bahkan lagi-lagi anak itu membuat bekal! Apa dia hobi masak, sampai membuat bekal terus?
“Haaah... padahal aku sudah berusaha membuat dia kaget atau menunjukkan ekspresi, tapi ternyata masih tetap gagal. Dasar pokerface!” Gerutu anak itu pelan. Memangnya aku nggak dengar, anak bodoh!
Jam 9.01 menit, kami sampai di bandara. Sambil merias, naskah langsung kubaca. Ini lumayan mudah. Tidak apa-apa, kali inipun pasti bisa.
“Oh iya, Martin. Anak itu...”
“Baik, kuawasi dia.”
Hm... semua beres, semua terkendali.

                                                                   * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?