Vinci
Ternyata maksudnya hari Sabtu itu hari
ini ya?
Dari jam dua belas kami sudah pergi
menuju kantor Martin. Anak itu murung. Apa yang terjadi padanya akhir-akhir
ini? Bikin repot saja.
“Yak!! Terima kasih sudah datang ya!
Sekarang aku menjelaskan soal perjanjian.” Kata Martin semangat. Dia sudah
menyiapkan teh dan kue untuk kami bertiga. Si penggila kue kayak anak itu pasti
kesenangan.
“Jadi, kenapa aku juga harus kesini?”
Tanyaku seraya meraih kursi.
“Aku sudah menyiapkan tiga lembar
perjanjian yang harus di tandatangani kita bertiga. Vincent sebagai pihak
pertama, Nadia sebagai pihak kedua, dan aku sendiri sebagai saksi.
Masing-masing perjanjian ini dipegang oleh kita bertiga. Silahkan dibaca.”
Katanya sambil menyerahkannya padaku.
Surat perjanjian dengan 5 materai
bernilai 6000. biaya sejam, Rp 10.000,-. Dengan kurun waktu 4 bulan. Oh...
ternyata perhitungan Martin lebih lama ya. Apa maksudnya?
“Jadi sehari atau lima belas jam
terhitung dari jam tujuh pagi sampai jam sepuluh malam upahku Rp 150.000,00
ya?” Tanya anak kecil itu kayaknya nggak terima.
“Jadi, kalau tujuh jam saja...” Kataku
menghitung.
“Delapan bulan?!!!!!” Teriak anak itu
nggak percaya. Salah, bodoh. 8,5 bulan.
“Yah... harga di pelelangan waktu itu
sebesar duapuluh juta. Dengan kompensasi untuk Vinci karena itu cincin yang
penting, sebenarnya delapan bulan masih belum cukup...” Kata Martin yang
repot-repot memberi pengertian sama anak itu. Anak itu sampai lemas.
“Tapi... pelunasan hutang tetap
dihitung perbulan. Jadi, seandainya Nadia punya uang untuk menebus bulan
sisanya, dipersilahkan.” Kata Pak Martin.
“Apa dia punya uang? Dia kan kabur
dari rumah?” Tanyaku.
“Entahlah. Kan kubilang seandainya.”
Jawab Pak Martin kalem. “Setelah ayat pertama yang membahas soal upah, ayat
kedua soal menjaga kerahasiaan. Karena profesi Vincent adalah aktor, penting
bagi kalian untuk tidak bersama selain di lokasi pekerjaan. Dan jangan sampai
orang ketiga selain aku, yang mengetahui soal perjanjian ini. Jika ayat ini
dilanggar, maka perjanjian dianggap batal, dan cincin ini akan tetap menjadi
milik Vinci selaku pihak pertama.”
“Setuju.” Ucapku langsung.
“Ok.” Kata anak itu setengah-setengah.
“Ayat ketiga, adalah ayat yang
mengatur peraturan-peraturan di dalam rumah. Sub ayat yang pertama, kalian
diwajibkan untuk menjaga hak privasi masing-masing. Tidak mencampuri urusan
pihak lain. Kedua, yang menyangkut soal ayat kedua, adalah tidak ada orang
asing yang boleh mengetahui alamat baru kalian. Teman-teman Vinci dan Nadia.
Apalagi Nadia, yang mayoritas teman-temannya adalah orang awam. Yang ketiga,
jika ayat ini dilanggar, maka cincin akan menjadi milik pihak yang dirugikan
dan perjanjian dibatalkan.”
“Bisa diterima.” Kata anak itu.
“Ayat keempat, sekaligus ayat
terakhir, hal-hal selain ketiga ayat diatas atau urusan yang menyangkut profesi
dan status kalian, boleh kalian urus sendiri. Jika seandainya ada masalah di
lain waktu, yang tidak menyangkut dari isi perjanjian ini, harus kalian urus
sendiri.” Kata Pak Martin pada akhirnya.
“Wow! Pak Martin, anda benar-benar
memikirkannya baik-baik!! Aku sayang sama bapak!” Kata anak itu kesenangan.
Kayaknya dia optimis bisa mendapat uang lebih untuk menebus cincin ini. Yah...
kalau harus seperti itu, aku harus menandatanginya.
“Jangan bilang begitu. Mungkin saja
kalian akan protes tentang surat perjanjian ini di lain waktu. Seperti yang ada
di ayat terakhir, jika Vinci ingin melepas cincin itu sebelum Nadia
menyelesaikan tugasnya, juga diperbolehkan.”
Seperti biasa, dia selalu saja
berpikir dengan berbagai macam simulasi masa depan. Nggak rugi dia jadi
manajerku.
“Nah, Vinci. Kita bahas soal pekerjaan.
Habis ini tolong bawa pulang mini poster untuk ditandatangi, dan juga
pelajarilah skrip baru untuk movie itu. Karena masih ada sisa sekitar 20
episode, kurasa Vinci bisa berkonsentrasi pada movie terbaru ini. Hari Minggu,
kita akan meliput untuk acara ‘Tempat LuarBiasa’ untuk siaran minggu depan.
Lalu pada hari terakhir, jadilah bintang tamu pada acara yang ada di sana juga
ya. Jadwal selanjutnya sudah kumasukkan lewat email. Pelajarilah dan kalau
ada...”
“Perubahan tiga minggu mendatang
diberitahu besok.” Kataku cepat. Aku malas mendengar lagi ocehannya. Jadi
kuajak anak kecil pulang.
“Apa maksudnya kata-katamu tadi?”
Tanya anak itu. Masa aku harus menjelaskannya juga?
“Hm... pencarian selebritis untuk
menggantikan artis lain, meskipun di Agency sebesar ini kadang membutuhkan
waktu yang lumayan lama. Jadi kalau aku ingin membatalkan job, harus dilakukan
jauh-jauh hari.”
“Oh... begitu. Kalian aneh juga. Yang
namanya takdir kan nggak bisa ditebak. Kalau ada sesuatu hari itu, masa bisa
direncanaain tiga minggu sebelumnya? Bahkan sehari sebelumnyapun pasti nggak
bakal bisa! Yang penting kan hari ini!”
Ngomong apa sih, anak ini? Selalu aja
ngomong yang nggak bisa dimengerti orang lain. Dasar anak ngaco!
“Oh iya. Ngomong-ngomong, ulang
tahunmu kapan?” Tanya anak itu lagi. Kenapa anak ini selalu aja bertanya yang
mendadak?
“Ngapain aku kasih tahu kamu?” Tanyaku
cepat.
“Hm... nggak ada apa-apa. Kakakku tanggal
lahirnya 23 bulan ini. Sebentar lagi. Bagaimana cara dia merayakannya ya?
Aah... tanggal lahirku 22 bulan depan. Sebentar lagi aku tujuh belas tahun!
Jadi nggak sabar...”
Apa dia sengaja? Benar juga, tanggal
23 kan malam itu...
“Siapa Jun?” Tanyaku.
“Ngapain tanya-tanya dia?” Tanya anak
itu balik. Kayaknya dia kesal. “Dia... dia cowok yang sangat kusukai. Dari aku
kecil sampai sekarang. Dia keren, ganteng, lembut, baik hati. Haah.... dia
ramah dan suka menolong. Nggak kayak kamu, senyum selain bisnis nggak pernah
ada. Bawaannya bete aja. Untung aja Pak Martin yang jadi manajermu. Dia sabar.”
Pipi yang bersemu merah dan mata yang
berbinar-binar. Anak yang kasmaran. Aku muak.
“Dasar anak kecil.”
“Apa?!”
Aih... sekarang dia malah
mencak-mencak nggak karuan. Sudahlah, nggak usah dipikirkan lagi. Semua pasti
bakal kacau balau kalau menyangkut anak ini.
Sesampai di rumah, kami makan malam
dan tidur. Hm... aku harus menandatangi semua ini? Kenapa mini poster ini
banyak banget sih? Besok... banyak acara kan? Harus berangkat selama tiga hari
dan hari Rabu jadi bintang tamu. Semuanya bikin repot. Sekarang jam setengah
delapan. Ah, kukerjakan separuhnya dulu saja.
Begitu aku terbangun, ternyata ada
selimut yang menyelimutiku. Jarang-jarang aku jatuh tertidur di meja sepertiku.
Untunglah tandatangan miniposter sudah selesai. Sudah jam tujuh pagi. Mending
makan aja dulu.
Hm? Kenapa sekarang aku kepikiran soal
makan? Bukannya biasanya Cuma secankir besar kopi saja? Terserah saja, kalau
begitu. Toh perutku sudah terbiasa dengan sarapan.
Begitu turun, kulihat anak kecil yang
kegirangan karena sudah merasa pasti akan mendapatkan cincin ini. Dia sudah
benar-benar lupa dengan jangka waktu delapan bulan itu. Tapi, okelah. Dengan
waktu delapan bulan aku menghemat anggaran untuk para pembantu dan asisten, dan
aku bisa memikirkan rencana apa yang bisa menyengsarakan dan membuatnya
menyesal memutuskan tinggal bersama hanya demi cincin aneh ini.
Tunggu saja.
“Good morning, my darling!!!! How are you today? I miss you so much!” Suara ini... lagi. Mario!!
“Ah, Mario!!! Ayo, silahkan. Aku sudah
menyiapkan masakan khusus untukmu!” Seru anak itu girang. Mario menatap anak
itu dan berbisik padaku.
“What happend? She become to crazy!”
“Nggak ada apa-apa. Gara-gara Martin,
dia jadi harus tinggal bersamaku sampai delapan bulan.” Jawabku malas.
“Why?”
“Tanya sendiri pada Martin. Aku malas
membahasnya.”
“Weird.
Ada yang aneh di sini.” Gumam Mario. Aku membiarkan pikirannya mengambang.
Sepanjang sarapan, dia terus saja menatap aku dan anak itu bergantian seolah
meneliti sesuatu. Membosankan.
Sesudah makan, aku mencuci muka dan
gosok gigi. Begitu berganti baju, aku melihat lagi ke arah selimut yang
kuletakkan di kursi. Seingatku, aku sama sekali nggak mengambil selimut. Apa
anak itu yang menyelimutiku?
Kami kan tinggal berdua. Kalau bukan
aku, sudah pasti dia. Apa kewaspadaanku sudah berkurang sampai aku tidak
mengunci pintu kamarku sendiri? Untuk apa dia seperhatian itu padaku? Apa
karena dia lagi senang? Atau dia bermaksud membuatku merelakan cincin itu
dengan gratis?
Apapun motifnya, rencananya harus
tetap dilanjutkan. Aku nggak bakal luluh hanya karena begini saja. Kau kira aku
siapa, anak kecil?
Kurasa aku harus makin hati-hati. Ini
bukan main-main.
“Halo?” Tiba-tiba terdengar dering HP.
Aku menyambutnya.
“Vinci!!! Selamat pagi!” Terdengar
suara cewek yang sangat familiar.
“Oh, kamu. Selamat pagi juga.” Kataku
pelan.
“Kedengarannya kamu baik-baik saja.
Sayang sekali, kalau saja aku nggak ada tugas, aku pasti bisa liburan di
rumah.” Katanya padaku dengan nada sedih. Untung saja kau tidak ke sini. Ada
anak yang cerewet itu.
“Begitu. Bagaimana kabar ayah dan ibu
di sana?” Tanyaku.
“Baik. Mereka berencana untuk pergi
lagi ke Inggris.”
“Hm... kabar keluarga kalian?” Tanyaku
lagi. Kedengarannya dia jadi gugup.
“Eh? Ah.. anu. Keluargaku baik. Aku
juga harus kembali kuliah. Ayah dan ibu juga baik. Sudah jam segini. Maaf ya,
sudah mengganggu. Bye.”
“Bye.”
Kulihat jadwal yang ada. Ada
penerbangan jam 9.45 menit. Terpaksa aku harus membaca jadwal di pesawat saja.
“Halo?” Sambutku di telepon. Di layar
bertuliskan Martin.
“Vinci!! Di penerbangan jam 9.45 pagi
kau pergi. Kita akan syuting dari bandara. Aku ikut. Dan Nadia juga. Soal dia
bisa kuurus. Sekarang jam delapan kurang. Pastikan kalian paling lambat tiba 30
menit sebelum berangkat ya! Klik.”
Begitu?
“Mau pergi kan? Aku sudah siapkan
semua barang-barangmu. Tapi kita butuh waktu untuk mengepak kopermu. Aku nggak
tahu kita mau ke mana sih.” Kata anak itu tiba-tiba. Hm... rupanya dia cekatan
juga. Dia kan juga tahu kalau hari ini mau berangkat.
“Hari Kamis aku ada test. Kita akan
pergi ke Bali selama tiga hari. jadi siapkan juga baju santai dengan celana
pendek. Sepatu sneaker, juga sepatu resmi. Kamu juga?”
“Aku nggak punya bikini atau baju
jalan. Jadi aku bawa semua baju kaos, sepatu sneaker dan juga sandal gunung.”
Ooh... begitu. Toh dia juga bakal
pergi jalan-jalan sendiri. Dia pasti belum pernah ke Bali. Jadi mungkin nanti
insting petualangannya muncul. Biar nanti kusuruh Martin yang ngawasin dia.
Begitu selesai berkemas, kami sudah
siap berangkat. Entah kapan, pokoknya semua pintu sudah terkunci dan bahkan
lagi-lagi anak itu membuat bekal! Apa dia hobi masak, sampai membuat bekal
terus?
“Haaah... padahal aku sudah berusaha
membuat dia kaget atau menunjukkan ekspresi, tapi ternyata masih tetap gagal.
Dasar pokerface!” Gerutu anak itu pelan. Memangnya aku nggak dengar, anak
bodoh!
Jam 9.01 menit, kami sampai di
bandara. Sambil merias, naskah langsung kubaca. Ini lumayan mudah. Tidak
apa-apa, kali inipun pasti bisa.
“Oh iya, Martin. Anak itu...”
“Baik, kuawasi dia.”
Hm... semua beres, semua terkendali.
*
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?