SStt....
Satu hal yang
pernah membuat geger SMA Sarah adalah temuan adanya cowok bernama Hazel.
Seorang cowok dengan gerakan yang cepat dan tanggap. Punya nilai jauh diatas
rata-rata, orangnya ramah sekali. Gayanya selalu sempurna untuk dilihat, karena
selain badannya bagus, tinggi dan tegap, stylenya juga keren. Apalagi wajahnya.
Sempurna.
“ZEL!!” Sarah nyaris berlari begitu melihat sosoknya yang sangat
familiar. Gaya khasnya yang membuat semua gadis menoleh, tapi membuat semua
pria mual dengan gaya lebainya. Sarah memang cewek, tapi dia tidak masuk
hitungan. Memaksakan diri mendekati Hazel, dengan wajahnya yang garang
bertanya, “Mana kamus biologiku?”
“Hm? Kapan aku pinjam kamus
biologimu?” Tanya Hazel sok polos, lalu mengelus dagu seolah berpikir.
“Jangan ngaco. Kalau kamu bisa
minjam, malah aku yang heran.” Balas Sarah. “Ngambil barang orang kayak punya
sendiri aja. Dimana kamu taruh kamus biologiku? Bentar lagi kelas tau!”
“Tapi ‘Say’, tahukah kamu aku
nggak ada pelajaran Biologi hari ini? Gimana aku bawanya?” Begitu terdengar
kata ‘say’, telinga para cewek itu membesar. Meski bukan untuk pertamakalinya,
tetap aja bikin hati retak-retak.
“Aku ini tahu kamu luar dalam
tau!! Cepat ambill!!!” Amarah Sarah menggelegar. Sejak mereka berteman, Hazel
selalu pura-pura bohong, bergaya sok-sokan, atau apapun yang bikin Sarah kesal.
Gimana bisa si Hazel itu yakin bisa nipu kalau gayanya jelas begitu? Itu sudah
pasti sengaja kan?
Ah, kalau dari sini pasti semua
bingung.
Kenapa cowok seperti itu bisa
berteman akrab dengan Sarah, yang jelas-jelas seperti hantu yang baru keluar
dari perpustakaan? Ha ha ha... bercanda. Sarah Cuma cewek biasa yang terlalu
rapi dan mau melihat semuanya dalam keadaan perfect, tapi dia sendiri tidak
sadar dengan penampilannya. Dia mau barang-barangnya selalu ada di tempatnya,
sehingga mudah untuk diambil kapan saja. Makanya dia panik waktu sadar kamus
biologinya hilang. Tidak perlu berpikir lagi. Pasti Hazel yang mengambil.
Memangnya siapa yang berani menghadapi Sarah kalau kemarahannya memuncak?
Berteman dengannya saja orang masih pikir-pikir.
Jadi, gimana bisa orang yang
berbeda ini bisa berteman? Tidak ada kesamaan hobi dan yang lainnya. Masih
misteri sih. Yang jelas, pertama kali mereka bertemu ketika bersama-sama melihat
hasil ujian, dengan nilai yang sama, 499 dari 500. Itu saja.
Tiba-tiba, mereka jadi akrab.
Ngobrol bareng, jalan bareng, piket bareng, makan bareng, apa saja. Dari
ngobrol biasa, mereka bisa sampai berdebat bermenit-menit. Pokoknya, mereka
sangat cocok. Bukan berarti mereka pacaran loh, tidak ada tandanya. Mereka
menyamakan semua perlakuan masing-masing ke semua orang. Yang berbeda hanyalah,
para cewek menyambut Hazel, dan para cowok hanya menghormati Sarah. Membuat
Hazel tampak seperti playboy, dan Sarah seperti... yah... seperti itulah. Dan
itu juga yang membuat Hazel dan Sarah tampak lebih dekat dari yang lain.
**
Di sore hari yang tenang itu,
mendadak mau turun hujan. Sarah dengan gelisah melihat ke arah jam.
“Say, kalau mau pulang duluan juga nggak apa-apa kok. Serahin aja
pekerjaanmu, sebentar lagi juga selesai.”
“Nggak apa-apa nih? Aku mau kerjain sedikit lagi kok. Ada yang yang
lain?”
“Nggak, paling sebentar lagi mau ngasih berkas ke pak Toto. Kamu mau
bantu persiapan pernikahan kak Linda kan? Jadi, siapa yang bakal jemput? Kak
Linda?” Tanya Hazel tenang.
“Nggak, yang jemput itu...” Jawaban Sarah terpotong oleh deringan HP,
yang terdengar kemudian adalah, “Sophian?”
Hazel menoleh, lalu meneruskan menulis. Sementara itu, Sarah memberikan
instruksi dengan sangat detail. Begitu dia selesai dengan panggilannya dan
meraih tas, tiba-tiba tangan Hazel menahannya.
“Ada apa?”
“Tunggu dulu, kita bisa pergi bareng. Kebetulan aku sekarang mau ngantar
berkas ini ke Pak Toto. Tahu nggak, buku catatan fisikamu ada dengan Cindy? Aku
mau mengambilnya.”
“Ya, aku... hei!!! Cindy?! Jadi
kau pinjamkan catatanku ke Cindy?!!” Seru Sarah, menatap Hazel dengan tatapan
tidak percaya. Hazel memang selalu baik pada semua orang terutama cewek,
tapi...
“Ayolah, jangan marah...” kata Hazel tersenyum lembut, meraih tangan
Sarah dan mengajaknya keluar. “She’s a lovely girl, siapa yang bisa nolak?”
**
“Hei,” sapa Sarah setengah berlari mendekati cowok yang bersandar,
menunggu dekat mobilnya. Cowok itu menoleh dan tersenyum. “Sorry, kelamaan ya?”
“Nggak juga. Nungguin kamu nggak membosankan kok.” Jawab cowok itu
nyengir. Sarah ikut tersenyum dan meninju pelan bahu cowok itu, tahu kalau dia
disindir. “Ayo kita pergi. Kemana dulu?”
Dan dari jauh, Hazel memperhatikan dari sudut matanya, sambil
mendengarkan instruksi pak Toto.
**
Jadi bagaimana prosesnya?” Tanya Hazel waktu istir ahat. “Persiapan
pernikahan sepupumu.”
“Oh,” sahut Sarah pendek berusaha menguyah habis makanan sebelum
melanjutkan. “Sibuk banget. Keluarga masing-masing banyak maunya sih.
Sarah memeriksa Handphonenya. Kalau sampai orang seperti Sarah yang
jarang memperhatikan HP sampai seperti ini, sepertinya memang benar-benar
sibuk. Hazel memperhatikan itu, lalu bertanya,” Jadi kemana saja selama tiga
hari ini? Orang yang sama selalu menjemputmu dan kalian seperti menghilang
begitu saja.”
“Ian maksudmu?” Tanya Sarah, dia tersenyum kecil. “Dia dari keluarga kak
Farhan. Kuliah, semester dua. Dia orang baik dan sangat ramah, dia juga
membantu persiapan pernikahan kak Rira. Kami jadinya sering jalan bareng.”
“Heh? Tiga hari ini?” Tanya Hazel tertarik. “Tahu nggak sih, kalau jalan
berdua selama itu pacarnya bisa marah?”
“Aku tahu. Tapi itu nggak bakal terjadi. Aku kenal sama dia sejak kakakku
ini pacaran. Sampai sekarangpun dia tidak punya pacar.” Sarah terdiam sesaat.
“Kalau dia punya pacar, aku bisa patah hati. Aku kan suka padanya.”
Hazel nyaris tersedak. Itu perasaannya ketika menatap minuman yang nyaris
diminumnya. “Kau... suka dia? Sebagai teman, atau sebagai cowok?”
“Melihat tampangmu sekarang, aku membayangkan minuman itu tersemprot
begitu saja. Sayang banget, bisa jadi kenangan indah.” Kata Sarah tanpa
ekspresi. “Kenapa kaget sih? Aku tahu segalanya, kau tahu itu? Dan... yah, aku
suka dia sebagai cowok. Dia cowok paling baik, paling istimewa yang pernah ku
kenal.”
“Jadi aku ini nggak istimewa? Aku ini kan temanmu....” Hazel menatapnya
seperti anak anjing. Sarah tertawa. Hazel memang sering bersikap lebay hanya
untuk membuatnya tertawa. Hazel pernah bilang, tertawa itu penting untuk Sarah.
“Kau istimewa,” Jawab Sarah tulus, menatap Hazel dengan lembut. “Sangat
istimewa. Kau temanku, sahabatku yang sangat kupercaya. Ian adalah pria
impianku, sejak pertama kali bertemu aku merasa dia langsung keluar begitu saja
dari imajinasiku. Tapi kau berbeda. Kau mengenalku, dan aku tahu segala
sesuatunya tentangku. Kita ini lebih dekat daripada yang lain.”
Hazel tersenyum, lalu dia mengumam kecil sampai tidak terdengar. Sarah
hanya bisa mendiamkan saja kalau Hazel ngedumel seperti itu. Hazel memang tidak
suka kalah.
**
Hazel pulang dengan terburu-buru. Begitu dia menutup pintu kamar, tasnya
dihempaskannya ke ranjang. Napasnya terengah-engah. Sepertinya hari ini adalah
hari yang buruk.
“Hm... Hazel itu teman sejak kalian MOS?” Tanya Ian. Sarah mengangguk.
Mereka berdua sedang dalam perjalanann menuju rumah. Ian sangat fokus dengan
setirannya, hampir tidak memandang Sarah sampai Sarah harus menjawab.
“Maaf kalau kelakuannya konyol tadi. Dia memang tidak suka kalah,
meskipun punya wajah seperti itu.”
“Tidak apa-apa. Sebagai mahasiswa jurusan Psikologi, itu termasuk
karakter normal dan aku bisa simpulkan, hubungan kalian sangat dekat. Apa
kalian benar nggak pacaran?”
Mendengar itu, Sarah jadi ingat kata-kata Hazel.
“Tidak. Kan sudah kubilang dia Cuma teman. Bahkan dia punya Cindy, cewek
yang seenaknya dia pinjamkan buku catatanku. Nggak bilang-bilang lagi.”
“Tidak, dia suka sama kamu.”
“Hahaha, itu mustahil. Dia banyak yang suka.
Sedangkan aku begini. Kalau dengan sikap begitu artinya dia suka padaku, kenapa
tidak dari dulu?”
“Jadi, Ian bilang supaya aku menemanimu hari ini.” Kata Hazel, untuk yang
kesekian kalinya. “Karena dia punya urusan lain?”
“Ya, karena barang yang kita ambil ini terlalu berat kubawa sendiri dan
terlalu sedikit untuk memanggil pengantar barang.” Jawab Sarah, memperhatikan
jalan. “Kita sudah sampai pertigaan kecil, belok ke kanan.”
“Untung aku sudah belajar bermobil sejak SMP, dan bisa langsung punya
SIM.” Gumam Hazel, yang juga memperhatikan arah yang diberitahu Sarah. Mereka
akhirnya sampai ke rumah besar, dan Sarah bergegas keluar bicara dengan satpam
yang menjaga.
Begitu mereka masuk, mereka disambut cewek yang sepertinya lama menunggu.
“Sarah! Ini boks yang disuruh om Lukas bawa, dan... siapa yang
mengantarmu?” tanya cewek itu menangkap sosok Hazel yang jauh dari mereka.
Sarah tergagap, lalu dia memanggil Hazel pelan.
“Dia Hazel, teman sekelasku.” Jawab Sarah.
“Bukan pacarmu?” Tanya cewek itu, tapi sebelum Sarah menjawab dia sudah
memotongnya. “Lupakan, itu agak mustahil.”
“Apa yang mustahil?” Tanya Hazel, tidak mendengar apa yang mereka
bicarakan. Sarah tidak menjawab, dan cewek itu tersenyum lebar pada Hazel.
“Bukan apa-apa. Kenalkan, Amel.” Jawab Amel masih tetap tersenyum.
“Kerabatnya Sarah.”
“Wow, kelihatannya pernikahan kakakmu benar-benar besar.” Komentar Hazel
takjub. “Aku belum pernah melihatnya selama ini di acara keluargamu. Oh ya, aku
Hazel.”
“Model? Soalnya kau ganteng dan gayamu bagus.” Tanya Amel nyaris tidak
menghiraukan kata-kata Hazel.
“Bukan!” Sahut Sarah menjawab, menggantikan Hazel. Begitu menyadari
betapa ketusnya suaranya, Sarah memelankan suaranya. “Dia hanya orang biasa.
Tapi semua orang yang kenal dengannya selalu beranggapan begitu.”
“Tahu nggak, berapa banyak yang bilang sama persis denganmu?” Tanya Hazel
bercanda.
“Wah nggak tahu tuh. Kau bilang kau sering ke acara keluarganya dia? Coba
aku datang juga ya, mungkin kita bisa cepat bertemu.” Kata Amel lagi dengan
tatapan yang sangat familiar. Sarah langsung menggamit lengan Hazel dan
menunjuk ke arah boks-boks yang di hadapan mereka.
“Ayo, kita sudah ditunggu.”
Dan beberapa menit kemudian, mobil Hazel sudah berada di jalanan kembali.
“Jadi... Amel itu kerabatmu?”
“Hm... kakeknya adik tiri istri kakekku, jadi hubungan darahpun
sebenarnya tidak ada.” Jawab Sarah malas-malasan. “Dan aku nggak tahu kalau dia
menganggapku kerabat.”
“Begitu. Pantas kalian nggak terlihat mirip. Dia cantik. Umur kalian
sama?”
“Hazel,” Kata Sarah, tidak mengacuhkan pertanyaan Hazel. “kita ke toko
buku yuk?”
Sepanjang hari itu, mereka jalan-jalan. Mencari buku, makan, memilih
barang unik tanpa ada niat membeli. Bersenang-senang.
“Thanks, Hazel. Kau temanku yang paling baik.” Kata Sarah begitu mereka
sampai di rumah dan menyelesaikan tugas mereka.
“Tidak butuh bantuan tambahan?” Tanya Hazel begitu melihat kondisi rumah
Sarah, yang sekarang dipenuhi orang-orang tidak dikenal.
“Well, sebenarnya tidak terlalu. Selama ini ada Ian yang mengantarku dan
kau juga sibuk. Dan...”
“Tahu nggak, aku bisa jadi bestman, dan kamu jadi bestmaiden. Bisa jadi
pasangan keren kan?”
Sarah cekikikan. “Giliran aku kau malah nyebut sembarangan. Tidak usah,
semua sudah diatur.” Jawab Sarah mengiring Hazel ke dapur. “Pagar ayu, pagar
bagus, aku nanti jadi... yang kau bilang, bestmaiden dan yang jadi bestmannya
Ian. Permintaan spesial calon mempelai, sepupu terdekat yang jadi pengiring
mereka.”
Dan Hazel sama sekali tidak berkomentar apapun.
“Hazel?” Terdengar seseorang yang heran. Begitu berpaling, yang terlihat
ternyata Tante Dena, ibu Sarah.
“Halo tante.” Sapa Hazel sopan.
“Aduh, jarang-jarang kamu main. Gimana, kaget lihat rumah tante
sekarang?”
“Iya, lumayan sih. Keluarga saya tidak sebesar ini.” Jawab Hazel jujur.
Ibunya Sarah hanya tertawa.
“Kayaknya pantes kalau kamu jadi pagar bagus buat Rira nanti.” Kata ibunya
Sarah menilik Hazel.
“Mama!” Tegur Sarah. “Kan yang jadi pagar ayu sama pagar bagus udah
ditentuin.”
“Iya, mama tahu. Bahkan nanti juga kamu yang jadi pengiring, sama-sama
dengan Ian. Oh iya, sudah kenal sama Ian?”
“Sudah, di sekolah waktu Ian datang menjemput.”
“Anak baik, Ian itu. Dia kuliah jurusan psikologi. Entah apa dia
benar-benar bisa jadi pengiring prianya.”
“Kenapa?”
“Tidak seperti kelihatannya, Ian lumayan sibuk.” Jawab Sarah menggantikan
mamanya. “Dia berusaha mengambil waktu supaya kami berdua bisa mengepas baju,
tapi sepertinya susah...”
“Tapi kalau misalkan Sophian nggak bisa datang, kita suruh Hazel saja
yang menggantikan.” Tiba-tiba, Rira menyahut dari belakang. Sepertinya dia baru
saja datang, bersama calon suami. Farhan tersenyum di belakang, kedua tangannya
memegang kotak kue.
“Bajunya?” Tanya Sarah. Rira bergegas mengambil minum.
“Bisa diatur. Posture keduanya mirip, Cuma Hazel lebih kurus....
sedikit.”
“Jangan khawatir kak,” kata Hazel menenangkan, meskipun wajahnya
jelas-jelas nggak tenang. “Aku tahu aku ini terlalu kurus dari cowok
kebanyakan.”
“Ya, dietnya gagal.” Gumam Sarah yang langsung dipelototin ibunya. Hazel
Cuma bisa tertawa hambar.
*
“Nanti datang ya, keluargamu bakal dikasih undangan kok.” Kata Sarah
lagi.
“Kalaupun aku datang, kamu sibuk berduaan dengan Ian. Siapa yang nemanin
aku nanti?” Tanya Hazel mengeluh yang dilebai-lebaikan.
“Bisa dengan Cindy, bisa juga dengan Amel. Kamu nggak liat gimana Amel
liat kamu tadi? Jadi cowok keren emang susah.”
“Jadi nggak apa-apa aku jalan dengan Amel?” Tanya Hazel heran, mengingat
apa yang terjadi. Sarah menghela napas.
“Aku memang tidak suka padanya tapi kalau kau suka, why not? Dia cantik
kan?” Kata Sarah lagi. Wajahnya sendu karena ingat perlakuan Amel.
“Sarah...” Hazel berniat mengatakan sesuatu.
“Ya?” Begitu mendengar suara Darah, suara Hazel tertahan. Dia menggeleng.
“Aku pulang dulu.”
“Bye...” Sarah melambai dengan cepat. Dia terus memandangi mobil Hazel
sampai tidak terlihat lagi di pandangannya.
***
“Seperti yang kita duga, ternyata memang tidak bisa.” Kata Sarah memulai
percakapan, sementara Zel yang baru datang diseret begitu saja.
“Kok bisa ok begitu saja sih? Bukannya kalian ke perancang pakaian?”
Teriak Zel dari dalam kamar ganti. Sarah menunggunya di depan.
“Haha, yang dibuat sama perancang Cuma pengantin, orangtua mempelai, sama
bajuku. Yang cowok sih, disewakan saja.”
“Tahu nggak, itu yang namanya diskriminasi. Cuma kali ini terbalik.” Kata
Hazel begitu keluar. Luar biasa, memakai jas pun tetap kelihatan oke.
“Biarin. Ah, dasinya...” Sarah langsung bergerak merapikan dasi Hazel.
Hazel tidak berkata apa-apa. Dia kaku.
“Kamu kesal ya, karena aku bukan Sophian?” Tanya Hazel, setelah
memperhatikan raut muka Sarah.
“Nggak apa. Aku sudah tahu kok. Aku kan tahu segalanya, jadi aku bisa
memprediksi hal ini.”
“Yakin, kamu tahu segalanya?” Tanya Hazel, nada suaranya merendah.
Tiba-tiba diraihnya pergelangan tangan Sarah, sampai wajah mereka berdekatan. “Apa
kamu tahu perasaanku? Waktu kamu bersama Ian?”
Sarah langsung menjadi gugup. Tapi dia mengendalikan emosinya. “Tahu.”
Tangan kiri Hazel mendekap Sarah dari belakang dan bibir mereka
bersentuhan!!!
Atau setidaknya itu yang ada dipikiran Sarah. Nyatanya, hanya pipi mereka
yang bersentuhan.
“Bohong...” Suara Hazel yang dekat di telinga Sarah membuatnya menggigil
seketika. Hembusan napasnya nyaris membuat Sarah melumer.
Hazel pergi meninggalkan Sarah yang kebingungan. Ini pertama kalinya, Hazel
tidak seperti yang diperkirakannya.
**
Sementara itu, Hazel terus saja berjalan cepat. Dia tidak menyangka,
melakukan itu ke Sarah. Akhir-akhir ini dia bingung, kesal dan rasanya mau
meledak. Apa benar ini..
“Hazel?” terdengar suara yang familiar. Ternyata Amel. “Kamu kenapa?
Sakit? Wajahmu merah padam begitu... lho? Kamu jadi bestman kak Farhan?”
Hazel mengangguk. “Sophian nggak bisa datang, jadi aku yang disuruh
ngegantiin.”
“Siapa yang minta? Sarah?” Tanya Amel. Hazel mengangguk. “Kenapa kalian bisa
berteman sih? Begini tampan, cekatan, cocok dengan gaya apapun, kenapa bisa
berteman dengan Sarah yang sangat berbeda bahkan payah seperti dia.”
“Payah? Maksudnya?” Tanya Hazel.
“Iya.” Jawab Amel tanpa ragu. “Anaknya kikuk, pendek, nggak pernah dandan
sampai jelek begitu, cerewet dan pemarah. Kalau bersama dia, mana ada cowok
yang mau mendekat? Malu-maluin aja dekat-dekat sama anak dekil begitu.”
“Benar juga ya. Sarah tidak pernah peduli dengan penampilannya sendiri.
Kikuk, ceroboh, dan bertemperamen tinggi.” Hazel mendekat. Dia membisikkan
sesuatu ke Amel. “Dia seribu kali lebih baik darimu, jelek.”
Amel nyaris tidak bisa berkata-kata.
Sebelum berpisah Hazel Cuma berkata, “Pikirkan lagi kenapa pasaranmu bisa
turun. Ternyata benar, Sarah masih terlalu baik padamu.”
**
Sarah tidak melihatnya. Hazel pasti melakukan kesalahan. Bahkan setelah
upacara pemberkatan selesai, Sarah sama sekali tidak kelihatan. Dan ini membuat
Hazel cemas, dan mencarinya kemana-mana.
“Sarah...” Gumam Hazel begitu dia menemukannya. Tapi seketika, rasa
leganya berganti dengan rasa kaget. Sarah bersama dengan Ian! Dan mereka
kelihatannya sangat mesra!!
Lagi? Jadi rencana Ian itu sengaja mangkir dari tugas supaya nanti bisa
berduaan dengan Sarah? Pikir Hazel kesal. Sejak bertemu dia merasa jengkel
setiap kali mengingat Sophian. Dia tidak pernah lupa rasa kalahnya waktu itu.
Sophian itu... Sophian itu superior.
Tapi kali tidak lagi!! Hazel melangkah maju dalam kenyakinan dengan
mantap mendekati Ian dan Sarah, sampai-sampai semua orang disekitarnya langsung
menoleh ke arahnya. Aura Hazel membara.
“Kenapa Ian bisa ada di sini?” Tanya Hazel garang. “Bukannya kau sibuk?
Kenapa bisa ada di sini Cuma berduaan dengan Sarah?” pelukan segala!!
“Hazel, kak Ian ini tadi...” mendengar Sarah membela Ian, membuat Hazel
bertambah jengkel. Tanpa peringatan, Sarah langsung ditarik dan dibawa pergi.
Seperti penculikan saja.
“Dasar...” Komen Ian dengan tenang mencoba minumannya. “Kelihatan sekali
niatnya. Tipe pencemburu ya?”
“Hazel, apa-apaan nih?” Tanya Sarah kesal. Bahkan, sebenarnya dia tidak
mau melihat wajah Hazel lagi. Sejak dia melihat Hazel bersama Amel.
“Tahu nggak, kalau kalian keterlaluan? Kalian bahkan tidak pacaran, tapi
peluk-pelukan di tengah orang banyak?” Hazel mulai kesal.
“Dia Cuma dengerin keluhanku aja
kok. Dan kalau bukan karena kamu yang narsis, nggak ada yang ngeliatin kami!!
Kami nggak pelukan di depan umum!!”
“Jadi ini semua salahku? Kecewa gara-gara aku mengganggu gitu? Kamu lebih
senang ngomong dengan dia, pelukan sama dia, ternyata kamu ini licik juga yah!
Padahal dia sudah sengaja mangkir dan sekarang kalian Cuma berduaan doang.
Nggak mikirin aku yang...”
“Cukup!!” Potong Sarah. “Memangnya kenapa kalau aku cerita-cerita dengan
Ian, memangnya kenapa kalau aku pelukan sama dia? Toh kamu juga main peluk
dengan Amel!! Kamu nggak akan dengar ceritaku lagi!! Kamu juga sama dengan dia,
menganggapku aneh kan?”
“Kamu dengar?”
“Iya, aku dengar. Aku sudah tahu semua yang Amel ceritakan. Aku nggak mau
dengar lagi, apalagi waktu kamu mengakuinya. Aku tahu semuanya!!” Seru Sarah
kesal. Hazel terdiam. “Kenapa begini? Padahal kalau kamu bilang terus terang
kalau kamu suka sama dia dan tidak mau bersamaku mengiring pengantin, tapi mau
berduaan dengan Amel?”
“Aku nggak suka dengan dia!” Hazel meraih kedua tangan Sarah, berusaha
menyakinkan dia. “Aku sukanya Cuma kamu!!”
Lalu Sarah melihat, wajah yang begitu merah padam, baru sadar dengan apa
yang diserukannya.
“A, aku... menyukaimu... selama ini.” Hazel memelankan suaranya. Bahkan
menundukkan wajahnya, tidak ingin wajahnya yang merah seperti tomat terlihat
Sarah. “Kalau sudah tertarik dengan sesuatu, pikiranmu selalu terfokus kesana
sampai tidak memikirkan yang lain. Terlalu cemas dan perduli dengan orang
sekitar sampai dirimu sendiri tidak kau pikirkan. Baik, bahkan dengan musuhmu
sendiri. Selalu berusaha, keras pada diri sendiri dan juga orang lain sampai
mereka mengira kau pemarah. Aku menyukai semuanya, aku menyukai semua tentang
dirimu.”
“Kau terus memperhatikanku, seperti itu?” Tanya Sarah nyaris tidak
percaya.
“Aku kan belajar darimu. Berusaha keras memahami orang lain dengan
memperhatikannya terus menerus. Aku sudah jadi pengamat yang baik kan?”
“Kalian ngapain aja?” Tanya Amel yang tahu-tahu sudah ada di belakang
mereka. “kak Rira dan kak Farhan sudah mau pergi tuh!”
Sarah masih belum bisa mengucapkan apa-apa waktu dibawa pergi Hazel
menuju kerumunan orang. Dia sama sekali tidak menyangka. Dia sama sekali tidak
tahu...
“Hazel, aku sama sekali tidak tahu... aku tidak menyangka kalau selama
ini kau.. bahkan aku... Ian...”
“Kalian tidak ada hubungan apa-apa kan?” Hazel dan Sarah menatap pengantin
yang sudah melambaikan salam sebelum mereka pergi.
“Tidak. Tidak ada, tapi...”
“Kalau begitu, biarkanlah aku yang meluluhkan hatimu. Jadi kita berdua
akan tahu...”
Rira melempar buket bunganya, Hazel menyambar buket bunga itu dan
memberikannya pada Sarah. “Giliran kita sebentar lagi akan tiba.”
I love
you
Kutai
Barat, 25.8.2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?