Rabu, 07 November 2012

Sttt.... Did you know?

cerpen, novel

                SStt....
                                Did you know?

Satu hal yang pernah membuat geger SMA Sarah adalah temuan adanya cowok bernama Hazel. Seorang cowok dengan gerakan yang cepat dan tanggap. Punya nilai jauh diatas rata-rata, orangnya ramah sekali. Gayanya selalu sempurna untuk dilihat, karena selain badannya bagus, tinggi dan tegap, stylenya juga keren. Apalagi wajahnya. Sempurna.
“ZEL!!” Sarah nyaris berlari begitu melihat sosoknya yang sangat familiar. Gaya khasnya yang membuat semua gadis menoleh, tapi membuat semua pria mual dengan gaya lebainya. Sarah memang cewek, tapi dia tidak masuk hitungan. Memaksakan diri mendekati Hazel, dengan wajahnya yang garang bertanya, “Mana kamus biologiku?”
                “Hm? Kapan aku pinjam kamus biologimu?” Tanya Hazel sok polos, lalu mengelus dagu seolah berpikir.
                “Jangan ngaco. Kalau kamu bisa minjam, malah aku yang heran.” Balas Sarah. “Ngambil barang orang kayak punya sendiri aja. Dimana kamu taruh kamus biologiku? Bentar lagi kelas tau!”
                “Tapi ‘Say’, tahukah kamu aku nggak ada pelajaran Biologi hari ini? Gimana aku bawanya?” Begitu terdengar kata ‘say’, telinga para cewek itu membesar. Meski bukan untuk pertamakalinya, tetap aja bikin hati retak-retak.
                “Aku ini tahu kamu luar dalam tau!! Cepat ambill!!!” Amarah Sarah menggelegar. Sejak mereka berteman, Hazel selalu pura-pura bohong, bergaya sok-sokan, atau apapun yang bikin Sarah kesal. Gimana bisa si Hazel itu yakin bisa nipu kalau gayanya jelas begitu? Itu sudah pasti sengaja kan?
                Ah, kalau dari sini pasti semua bingung.
                Kenapa cowok seperti itu bisa berteman akrab dengan Sarah, yang jelas-jelas seperti hantu yang baru keluar dari perpustakaan? Ha ha ha... bercanda. Sarah Cuma cewek biasa yang terlalu rapi dan mau melihat semuanya dalam keadaan perfect, tapi dia sendiri tidak sadar dengan penampilannya. Dia mau barang-barangnya selalu ada di tempatnya, sehingga mudah untuk diambil kapan saja. Makanya dia panik waktu sadar kamus biologinya hilang. Tidak perlu berpikir lagi. Pasti Hazel yang mengambil. Memangnya siapa yang berani menghadapi Sarah kalau kemarahannya memuncak? Berteman dengannya saja orang masih pikir-pikir.
                Jadi, gimana bisa orang yang berbeda ini bisa berteman? Tidak ada kesamaan hobi dan yang lainnya. Masih misteri sih. Yang jelas, pertama kali mereka bertemu ketika bersama-sama melihat hasil ujian, dengan nilai yang sama, 499 dari 500. Itu saja.
                Tiba-tiba, mereka jadi akrab. Ngobrol bareng, jalan bareng, piket bareng, makan bareng, apa saja. Dari ngobrol biasa, mereka bisa sampai berdebat bermenit-menit. Pokoknya, mereka sangat cocok. Bukan berarti mereka pacaran loh, tidak ada tandanya. Mereka menyamakan semua perlakuan masing-masing ke semua orang. Yang berbeda hanyalah, para cewek menyambut Hazel, dan para cowok hanya menghormati Sarah. Membuat Hazel tampak seperti playboy, dan Sarah seperti... yah... seperti itulah. Dan itu juga yang membuat Hazel dan Sarah tampak lebih dekat dari yang lain.
**
                Di sore hari yang tenang itu, mendadak mau turun hujan. Sarah dengan gelisah melihat ke arah jam.
“Say, kalau mau pulang duluan juga nggak apa-apa kok. Serahin aja pekerjaanmu, sebentar lagi juga selesai.”
“Nggak apa-apa nih? Aku mau kerjain sedikit lagi kok. Ada yang yang lain?”
“Nggak, paling sebentar lagi mau ngasih berkas ke pak Toto. Kamu mau bantu persiapan pernikahan kak Linda kan? Jadi, siapa yang bakal jemput? Kak Linda?” Tanya Hazel tenang.
“Nggak, yang jemput itu...” Jawaban Sarah terpotong oleh deringan HP, yang terdengar kemudian adalah, “Sophian?”
Hazel menoleh, lalu meneruskan menulis. Sementara itu, Sarah memberikan instruksi dengan sangat detail. Begitu dia selesai dengan panggilannya dan meraih tas, tiba-tiba tangan Hazel menahannya.
“Ada apa?”
“Tunggu dulu, kita bisa pergi bareng. Kebetulan aku sekarang mau ngantar berkas ini ke Pak Toto. Tahu nggak, buku catatan fisikamu ada dengan Cindy? Aku mau mengambilnya.”
 “Ya, aku... hei!!! Cindy?! Jadi kau pinjamkan catatanku ke Cindy?!!” Seru Sarah, menatap Hazel dengan tatapan tidak percaya. Hazel memang selalu baik pada semua orang terutama cewek, tapi...
“Ayolah, jangan marah...” kata Hazel tersenyum lembut, meraih tangan Sarah dan mengajaknya keluar. “She’s a lovely girl, siapa yang bisa nolak?”
**
“Hei,” sapa Sarah setengah berlari mendekati cowok yang bersandar, menunggu dekat mobilnya. Cowok itu menoleh dan tersenyum. “Sorry, kelamaan ya?”
“Nggak juga. Nungguin kamu nggak membosankan kok.” Jawab cowok itu nyengir. Sarah ikut tersenyum dan meninju pelan bahu cowok itu, tahu kalau dia disindir. “Ayo kita pergi. Kemana dulu?”
Dan dari jauh, Hazel memperhatikan dari sudut matanya, sambil mendengarkan instruksi pak Toto.
**
Jadi bagaimana prosesnya?” Tanya Hazel waktu istir ahat. “Persiapan pernikahan sepupumu.”
“Oh,” sahut Sarah pendek berusaha menguyah habis makanan sebelum melanjutkan. “Sibuk banget. Keluarga masing-masing banyak maunya sih.
Sarah memeriksa Handphonenya. Kalau sampai orang seperti Sarah yang jarang memperhatikan HP sampai seperti ini, sepertinya memang benar-benar sibuk. Hazel memperhatikan itu, lalu bertanya,” Jadi kemana saja selama tiga hari ini? Orang yang sama selalu menjemputmu dan kalian seperti menghilang begitu saja.”
“Ian maksudmu?” Tanya Sarah, dia tersenyum kecil. “Dia dari keluarga kak Farhan. Kuliah, semester dua. Dia orang baik dan sangat ramah, dia juga membantu persiapan pernikahan kak Rira. Kami jadinya sering jalan bareng.”
“Heh? Tiga hari ini?” Tanya Hazel tertarik. “Tahu nggak sih, kalau jalan berdua selama itu pacarnya bisa marah?”
“Aku tahu. Tapi itu nggak bakal terjadi. Aku kenal sama dia sejak kakakku ini pacaran. Sampai sekarangpun dia tidak punya pacar.” Sarah terdiam sesaat. “Kalau dia punya pacar, aku bisa patah hati. Aku kan suka padanya.”
Hazel nyaris tersedak. Itu perasaannya ketika menatap minuman yang nyaris diminumnya. “Kau... suka dia? Sebagai teman, atau sebagai cowok?”
“Melihat tampangmu sekarang, aku membayangkan minuman itu tersemprot begitu saja. Sayang banget, bisa jadi kenangan indah.” Kata Sarah tanpa ekspresi. “Kenapa kaget sih? Aku tahu segalanya, kau tahu itu? Dan... yah, aku suka dia sebagai cowok. Dia cowok paling baik, paling istimewa yang pernah ku kenal.”
“Jadi aku ini nggak istimewa? Aku ini kan temanmu....” Hazel menatapnya seperti anak anjing. Sarah tertawa. Hazel memang sering bersikap lebay hanya untuk membuatnya tertawa. Hazel pernah bilang, tertawa itu penting untuk Sarah.
“Kau istimewa,” Jawab Sarah tulus, menatap Hazel dengan lembut. “Sangat istimewa. Kau temanku, sahabatku yang sangat kupercaya. Ian adalah pria impianku, sejak pertama kali bertemu aku merasa dia langsung keluar begitu saja dari imajinasiku. Tapi kau berbeda. Kau mengenalku, dan aku tahu segala sesuatunya tentangku. Kita ini lebih dekat daripada yang lain.”
Hazel tersenyum, lalu dia mengumam kecil sampai tidak terdengar. Sarah hanya bisa mendiamkan saja kalau Hazel ngedumel seperti itu. Hazel memang tidak suka kalah.
**
Hazel pulang dengan terburu-buru. Begitu dia menutup pintu kamar, tasnya dihempaskannya ke ranjang. Napasnya terengah-engah. Sepertinya hari ini adalah hari yang buruk.
“Hm... Hazel itu teman sejak kalian MOS?” Tanya Ian. Sarah mengangguk. Mereka berdua sedang dalam perjalanann menuju rumah. Ian sangat fokus dengan setirannya, hampir tidak memandang Sarah sampai Sarah harus menjawab.
“Maaf kalau kelakuannya konyol tadi. Dia memang tidak suka kalah, meskipun punya wajah seperti itu.”
“Tidak apa-apa. Sebagai mahasiswa jurusan Psikologi, itu termasuk karakter normal dan aku bisa simpulkan, hubungan kalian sangat dekat. Apa kalian benar nggak pacaran?”
Mendengar itu, Sarah jadi ingat kata-kata Hazel.
“Tidak. Kan sudah kubilang dia Cuma teman. Bahkan dia punya Cindy, cewek yang seenaknya dia pinjamkan buku catatanku. Nggak bilang-bilang lagi.”
“Tidak, dia suka sama kamu.”
“Hahaha, itu mustahil. Dia banyak yang suka. Sedangkan aku begini. Kalau dengan sikap begitu artinya dia suka padaku, kenapa tidak dari dulu?”
“Jadi, Ian bilang supaya aku menemanimu hari ini.” Kata Hazel, untuk yang kesekian kalinya. “Karena dia punya urusan lain?”
“Ya, karena barang yang kita ambil ini terlalu berat kubawa sendiri dan terlalu sedikit untuk memanggil pengantar barang.” Jawab Sarah, memperhatikan jalan. “Kita sudah sampai pertigaan kecil, belok ke kanan.”
“Untung aku sudah belajar bermobil sejak SMP, dan bisa langsung punya SIM.” Gumam Hazel, yang juga memperhatikan arah yang diberitahu Sarah. Mereka akhirnya sampai ke rumah besar, dan Sarah bergegas keluar bicara dengan satpam yang menjaga.
Begitu mereka masuk, mereka disambut cewek yang sepertinya lama menunggu.
“Sarah! Ini boks yang disuruh om Lukas bawa, dan... siapa yang mengantarmu?” tanya cewek itu menangkap sosok Hazel yang jauh dari mereka. Sarah tergagap, lalu dia memanggil Hazel pelan.
“Dia Hazel, teman sekelasku.” Jawab Sarah.
“Bukan pacarmu?” Tanya cewek itu, tapi sebelum Sarah menjawab dia sudah memotongnya. “Lupakan, itu agak mustahil.”
“Apa yang mustahil?” Tanya Hazel, tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Sarah tidak menjawab, dan cewek itu tersenyum lebar pada Hazel.
“Bukan apa-apa. Kenalkan, Amel.” Jawab Amel masih tetap tersenyum. “Kerabatnya Sarah.”
“Wow, kelihatannya pernikahan kakakmu benar-benar besar.” Komentar Hazel takjub. “Aku belum pernah melihatnya selama ini di acara keluargamu. Oh ya, aku Hazel.”
“Model? Soalnya kau ganteng dan gayamu bagus.” Tanya Amel nyaris tidak menghiraukan kata-kata Hazel.
“Bukan!” Sahut Sarah menjawab, menggantikan Hazel. Begitu menyadari betapa ketusnya suaranya, Sarah memelankan suaranya. “Dia hanya orang biasa. Tapi semua orang yang kenal dengannya selalu beranggapan begitu.”
“Tahu nggak, berapa banyak yang bilang sama persis denganmu?” Tanya Hazel bercanda.
“Wah nggak tahu tuh. Kau bilang kau sering ke acara keluarganya dia? Coba aku datang juga ya, mungkin kita bisa cepat bertemu.” Kata Amel lagi dengan tatapan yang sangat familiar. Sarah langsung menggamit lengan Hazel dan menunjuk ke arah boks-boks yang di hadapan mereka.
“Ayo, kita sudah ditunggu.”
Dan beberapa menit kemudian, mobil Hazel sudah berada di jalanan kembali.
“Jadi... Amel itu kerabatmu?”
“Hm... kakeknya adik tiri istri kakekku, jadi hubungan darahpun sebenarnya tidak ada.” Jawab Sarah malas-malasan. “Dan aku nggak tahu kalau dia menganggapku kerabat.”
“Begitu. Pantas kalian nggak terlihat mirip. Dia cantik. Umur kalian sama?”
“Hazel,” Kata Sarah, tidak mengacuhkan pertanyaan Hazel. “kita ke toko buku yuk?”
Sepanjang hari itu, mereka jalan-jalan. Mencari buku, makan, memilih barang unik tanpa ada niat membeli. Bersenang-senang.
“Thanks, Hazel. Kau temanku yang paling baik.” Kata Sarah begitu mereka sampai di rumah dan menyelesaikan tugas mereka.
“Tidak butuh bantuan tambahan?” Tanya Hazel begitu melihat kondisi rumah Sarah, yang sekarang dipenuhi orang-orang tidak dikenal.
“Well, sebenarnya tidak terlalu. Selama ini ada Ian yang mengantarku dan kau juga sibuk. Dan...”
“Tahu nggak, aku bisa jadi bestman, dan kamu jadi bestmaiden. Bisa jadi pasangan keren kan?”
Sarah cekikikan. “Giliran aku kau malah nyebut sembarangan. Tidak usah, semua sudah diatur.” Jawab Sarah mengiring Hazel ke dapur. “Pagar ayu, pagar bagus, aku nanti jadi... yang kau bilang, bestmaiden dan yang jadi bestmannya Ian. Permintaan spesial calon mempelai, sepupu terdekat yang jadi pengiring mereka.”
Dan Hazel sama sekali tidak berkomentar apapun.
“Hazel?” Terdengar seseorang yang heran. Begitu berpaling, yang terlihat ternyata Tante Dena, ibu Sarah.
“Halo tante.” Sapa Hazel sopan.
“Aduh, jarang-jarang kamu main. Gimana, kaget lihat rumah tante sekarang?”
“Iya, lumayan sih. Keluarga saya tidak sebesar ini.” Jawab Hazel jujur. Ibunya Sarah hanya tertawa.
“Kayaknya pantes kalau kamu jadi pagar bagus buat Rira nanti.” Kata ibunya Sarah menilik Hazel.
“Mama!” Tegur Sarah. “Kan yang jadi pagar ayu sama pagar bagus udah ditentuin.”
“Iya, mama tahu. Bahkan nanti juga kamu yang jadi pengiring, sama-sama dengan Ian. Oh iya, sudah kenal sama Ian?”
“Sudah, di sekolah waktu Ian datang menjemput.”
“Anak baik, Ian itu. Dia kuliah jurusan psikologi. Entah apa dia benar-benar bisa jadi pengiring prianya.”
“Kenapa?”
“Tidak seperti kelihatannya, Ian lumayan sibuk.” Jawab Sarah menggantikan mamanya. “Dia berusaha mengambil waktu supaya kami berdua bisa mengepas baju, tapi sepertinya susah...”
“Tapi kalau misalkan Sophian nggak bisa datang, kita suruh Hazel saja yang menggantikan.” Tiba-tiba, Rira menyahut dari belakang. Sepertinya dia baru saja datang, bersama calon suami. Farhan tersenyum di belakang, kedua tangannya memegang kotak kue.
“Bajunya?” Tanya Sarah. Rira bergegas mengambil minum.
“Bisa diatur. Posture keduanya mirip, Cuma Hazel lebih kurus.... sedikit.”
“Jangan khawatir kak,” kata Hazel menenangkan, meskipun wajahnya jelas-jelas nggak tenang. “Aku tahu aku ini terlalu kurus dari cowok kebanyakan.”
“Ya, dietnya gagal.” Gumam Sarah yang langsung dipelototin ibunya. Hazel Cuma bisa tertawa hambar.
*
“Nanti datang ya, keluargamu bakal dikasih undangan kok.” Kata Sarah lagi.
“Kalaupun aku datang, kamu sibuk berduaan dengan Ian. Siapa yang nemanin aku nanti?” Tanya Hazel mengeluh yang dilebai-lebaikan.
“Bisa dengan Cindy, bisa juga dengan Amel. Kamu nggak liat gimana Amel liat kamu tadi? Jadi cowok keren emang susah.”
“Jadi nggak apa-apa aku jalan dengan Amel?” Tanya Hazel heran, mengingat apa yang terjadi. Sarah menghela napas.
“Aku memang tidak suka padanya tapi kalau kau suka, why not? Dia cantik kan?” Kata Sarah lagi. Wajahnya sendu karena ingat perlakuan Amel.
“Sarah...” Hazel berniat mengatakan sesuatu.
“Ya?” Begitu mendengar suara Darah, suara Hazel tertahan. Dia menggeleng.
“Aku pulang dulu.”
“Bye...” Sarah melambai dengan cepat. Dia terus memandangi mobil Hazel sampai tidak terlihat lagi di pandangannya.
***
“Seperti yang kita duga, ternyata memang tidak bisa.” Kata Sarah memulai percakapan, sementara Zel yang baru datang diseret begitu saja.
“Kok bisa ok begitu saja sih? Bukannya kalian ke perancang pakaian?” Teriak Zel dari dalam kamar ganti. Sarah menunggunya di depan.
“Haha, yang dibuat sama perancang Cuma pengantin, orangtua mempelai, sama bajuku. Yang cowok sih, disewakan saja.”
“Tahu nggak, itu yang namanya diskriminasi. Cuma kali ini terbalik.” Kata Hazel begitu keluar. Luar biasa, memakai jas pun tetap kelihatan oke.
“Biarin. Ah, dasinya...” Sarah langsung bergerak merapikan dasi Hazel. Hazel tidak berkata apa-apa. Dia kaku.
“Kamu kesal ya, karena aku bukan Sophian?” Tanya Hazel, setelah memperhatikan raut muka Sarah.
“Nggak apa. Aku sudah tahu kok. Aku kan tahu segalanya, jadi aku bisa memprediksi hal ini.”
“Yakin, kamu tahu segalanya?” Tanya Hazel, nada suaranya merendah. Tiba-tiba diraihnya pergelangan tangan Sarah, sampai wajah mereka berdekatan. “Apa kamu tahu perasaanku? Waktu kamu bersama Ian?”
Sarah langsung menjadi gugup. Tapi dia mengendalikan emosinya. “Tahu.”
Tangan kiri Hazel mendekap Sarah dari belakang dan bibir mereka bersentuhan!!!
Atau setidaknya itu yang ada dipikiran Sarah. Nyatanya, hanya pipi mereka yang bersentuhan.
“Bohong...” Suara Hazel yang dekat di telinga Sarah membuatnya menggigil seketika. Hembusan napasnya nyaris membuat Sarah melumer.
Hazel pergi meninggalkan Sarah yang kebingungan. Ini pertama kalinya, Hazel tidak seperti yang diperkirakannya.
**
Sementara itu, Hazel terus saja berjalan cepat. Dia tidak menyangka, melakukan itu ke Sarah. Akhir-akhir ini dia bingung, kesal dan rasanya mau meledak. Apa benar ini..
“Hazel?” terdengar suara yang familiar. Ternyata Amel. “Kamu kenapa? Sakit? Wajahmu merah padam begitu... lho? Kamu jadi bestman kak Farhan?”
Hazel mengangguk. “Sophian nggak bisa datang, jadi aku yang disuruh ngegantiin.”
“Siapa yang minta? Sarah?” Tanya Amel. Hazel mengangguk. “Kenapa kalian bisa berteman sih? Begini tampan, cekatan, cocok dengan gaya apapun, kenapa bisa berteman dengan Sarah yang sangat berbeda bahkan payah seperti dia.”
“Payah? Maksudnya?” Tanya Hazel.
“Iya.” Jawab Amel tanpa ragu. “Anaknya kikuk, pendek, nggak pernah dandan sampai jelek begitu, cerewet dan pemarah. Kalau bersama dia, mana ada cowok yang mau mendekat? Malu-maluin aja dekat-dekat sama anak dekil begitu.”
“Benar juga ya. Sarah tidak pernah peduli dengan penampilannya sendiri. Kikuk, ceroboh, dan bertemperamen tinggi.” Hazel mendekat. Dia membisikkan sesuatu ke Amel. “Dia seribu kali lebih baik darimu, jelek.”
Amel nyaris tidak bisa berkata-kata.
Sebelum berpisah Hazel Cuma berkata, “Pikirkan lagi kenapa pasaranmu bisa turun. Ternyata benar, Sarah masih terlalu baik padamu.”
**
Sarah tidak melihatnya. Hazel pasti melakukan kesalahan. Bahkan setelah upacara pemberkatan selesai, Sarah sama sekali tidak kelihatan. Dan ini membuat Hazel cemas, dan mencarinya kemana-mana.
“Sarah...” Gumam Hazel begitu dia menemukannya. Tapi seketika, rasa leganya berganti dengan rasa kaget. Sarah bersama dengan Ian! Dan mereka kelihatannya sangat mesra!!
Lagi? Jadi rencana Ian itu sengaja mangkir dari tugas supaya nanti bisa berduaan dengan Sarah? Pikir Hazel kesal. Sejak bertemu dia merasa jengkel setiap kali mengingat Sophian. Dia tidak pernah lupa rasa kalahnya waktu itu.
Sophian itu... Sophian itu superior.
Tapi kali tidak lagi!! Hazel melangkah maju dalam kenyakinan dengan mantap mendekati Ian dan Sarah, sampai-sampai semua orang disekitarnya langsung menoleh ke arahnya. Aura Hazel membara.
“Kenapa Ian bisa ada di sini?” Tanya Hazel garang. “Bukannya kau sibuk? Kenapa bisa ada di sini Cuma berduaan dengan Sarah?” pelukan segala!!
“Hazel, kak Ian ini tadi...” mendengar Sarah membela Ian, membuat Hazel bertambah jengkel. Tanpa peringatan, Sarah langsung ditarik dan dibawa pergi. Seperti penculikan saja.
“Dasar...” Komen Ian dengan tenang mencoba minumannya. “Kelihatan sekali niatnya. Tipe pencemburu ya?”
“Hazel, apa-apaan nih?” Tanya Sarah kesal. Bahkan, sebenarnya dia tidak mau melihat wajah Hazel lagi. Sejak dia melihat Hazel bersama Amel.
“Tahu nggak, kalau kalian keterlaluan? Kalian bahkan tidak pacaran, tapi peluk-pelukan di tengah orang banyak?” Hazel mulai kesal.
 “Dia Cuma dengerin keluhanku aja kok. Dan kalau bukan karena kamu yang narsis, nggak ada yang ngeliatin kami!! Kami nggak pelukan di depan umum!!”
“Jadi ini semua salahku? Kecewa gara-gara aku mengganggu gitu? Kamu lebih senang ngomong dengan dia, pelukan sama dia, ternyata kamu ini licik juga yah! Padahal dia sudah sengaja mangkir dan sekarang kalian Cuma berduaan doang. Nggak mikirin aku yang...”
“Cukup!!” Potong Sarah. “Memangnya kenapa kalau aku cerita-cerita dengan Ian, memangnya kenapa kalau aku pelukan sama dia? Toh kamu juga main peluk dengan Amel!! Kamu nggak akan dengar ceritaku lagi!! Kamu juga sama dengan dia, menganggapku aneh kan?”
“Kamu dengar?”
“Iya, aku dengar. Aku sudah tahu semua yang Amel ceritakan. Aku nggak mau dengar lagi, apalagi waktu kamu mengakuinya. Aku tahu semuanya!!” Seru Sarah kesal. Hazel terdiam. “Kenapa begini? Padahal kalau kamu bilang terus terang kalau kamu suka sama dia dan tidak mau bersamaku mengiring pengantin, tapi mau berduaan dengan Amel?”
“Aku nggak suka dengan dia!” Hazel meraih kedua tangan Sarah, berusaha menyakinkan dia. “Aku sukanya Cuma kamu!!”
Lalu Sarah melihat, wajah yang begitu merah padam, baru sadar dengan apa yang diserukannya.
“A, aku... menyukaimu... selama ini.” Hazel memelankan suaranya. Bahkan menundukkan wajahnya, tidak ingin wajahnya yang merah seperti tomat terlihat Sarah. “Kalau sudah tertarik dengan sesuatu, pikiranmu selalu terfokus kesana sampai tidak memikirkan yang lain. Terlalu cemas dan perduli dengan orang sekitar sampai dirimu sendiri tidak kau pikirkan. Baik, bahkan dengan musuhmu sendiri. Selalu berusaha, keras pada diri sendiri dan juga orang lain sampai mereka mengira kau pemarah. Aku menyukai semuanya, aku menyukai semua tentang dirimu.”
“Kau terus memperhatikanku, seperti itu?” Tanya Sarah nyaris tidak percaya.
“Aku kan belajar darimu. Berusaha keras memahami orang lain dengan memperhatikannya terus menerus. Aku sudah jadi pengamat yang baik kan?”
“Kalian ngapain aja?” Tanya Amel yang tahu-tahu sudah ada di belakang mereka. “kak Rira dan kak Farhan sudah mau pergi tuh!”
Sarah masih belum bisa mengucapkan apa-apa waktu dibawa pergi Hazel menuju kerumunan orang. Dia sama sekali tidak menyangka. Dia sama sekali tidak tahu...
“Hazel, aku sama sekali tidak tahu... aku tidak menyangka kalau selama ini kau.. bahkan aku... Ian...”
“Kalian tidak ada hubungan apa-apa kan?” Hazel dan Sarah menatap pengantin yang sudah melambaikan salam sebelum mereka pergi.
“Tidak. Tidak ada, tapi...”
“Kalau begitu, biarkanlah aku yang meluluhkan hatimu. Jadi kita berdua akan tahu...”
Rira melempar buket bunganya, Hazel menyambar buket bunga itu dan memberikannya pada Sarah. “Giliran kita sebentar lagi akan tiba.”


I love you
Kutai Barat, 25.8.2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?