Seiren
dan Maria adalah pasangan emas di SMA ini. Semua yang melihat bagaimana mereka
pasti berpikir keajaibanlah yang membuat mereka terus bersahabat hingga kini.
Tidak ada satupun kesamaan mereka selain sama-sama cewek, sama-sama berumur 16
tahun, sama-sama manusia tipe positive
thinking dan sama-sama punya penggemar (yang persentasenya sama!!). Seiren
cewek tomboy yang bergaya dan perpenampilan cowok tulen, dengan tubuh tinggi
ramping dan menguasai karate yang mampu membuat para preman kabur. Sedangkan
Maria adalah cewek yang punya sifat keibuan sejati, tubuh biasa-biasa saja dan
punya wajah yang mungil, pemalu dan baik hati. Kalau Maria suka masak sama
nyulam, maka Seiren suka ngutak ngatik motor dan main PS. Kalau Seiren di resto
mesen kopi, maka Maria kalau di resto pasti mesen es krim atau teh. Yang jelas,
kalau kita melihat mereka jalan berduaan (apalagi pakai baju bebas), pasti yang
kita lihat adalah pasangan mesra yang serasi satu sama lain. Saking serasinya,
ada yang yang berpendapat kalau mereka lesbi. Benar atau tidaknya sih nggak ada
yang tahu, dan nggak ada yang mau tahu terlalu dalam, karena mereka semua
menyukai Seiren dan Maria. Semua keadaan tenang dan damai, cerah selalu.
Sampai
pada akhirnya keadaan cerah mulai dimasuki awan mendung ketika Maria dengan
sumringah berkata dengan tenangnya, “Aku sudah ketemu cowok impian.”
“Apa?”
Tanya Ren kaget. Hampir saja dia tersedak mie yang dia makan dengan beringas.
Semua orang menoleh, karena tidak biasanya Ren ribut waktu ada Maria. Tapi
wajah Ren yang ganas membuat mereka semua kembali makan. Setelah memastikan
tidak ada yang menoleh lagi, Ren bertanya lagi pada Maria, “apa maksudmu?”
“Namanya
Leksa. Aku ketemu dia di acara pernikahannya kak Yuni.” Jawab Maria. Yuni
adalah sepupu Maria dari ibunya.
“Ibumu
tahu?” Tanya Ren. Dia khawatir. Ibu Maria sangat ketat, Maria dikenakan jam
malam paling lambat jam delapan. Bahkan dia pernah tidak mengijinkan Maria
berteman dengan Seiren, karena selain status keluarga yang berbeda, Seiren
sangat kasar berperilaku seperti preman. Ibunya Maria khawatir kalau Maria,
putri satu-satunya berteman dengan Seiren, Maria bakal ikut-ikutan kasar dan
dibawa ke tempat yang nggak bagus. Untung saja Seiren mengerti dan membuktikan
kalau dugaan Ibu Maria itu salah.
“Nggak.”
Jawab Maria enteng. “Lagipula Leksa itu baik kok. Orangnya sangat ramah dan
gentleman.” Kelihatan sekali kalau Maria sangat menyukai cowok yang bahkan Ren
baru dengar namanya hari ini. Biar bagaimanapun, Maria dari kecil tidak kenal
cowok selain kakak laki-lakinya yang baik hati itu. Ren yang saudaranya cowok
semua otomatis banyak melihat beragam macam cowok dari teman-teman saudaranya,
khawatir. Dia sudah sering mendengar pembicaraan saudara-saudaranya dan
teman-teman mereka bagaimana cara mereka menghadapi cewek.
Tapi
bagaimanapun, Maria adalah teman baiknya. Ren masih ingat betapa pemalu, kikuk
dan polosnya Maria sewaktu pertama kali bertemu. Tapi Maria sudah banyak berubah.
Dia bisa mengobrol dengan orang lain selain Ren, tertawa lepas, dan lebih
berani tanpa menghilangkan kelemahlembutannya. Mungkin Maria harus diberi banyak kesempatan, pikir Ren positif.
Jadi,
Leksa ini adalah mahasiswa semester tiga salah satu universitas swasta
terkenal. Orangnya bertipe pangeran yang baik hati dan ramah. Pintar
memperlakukan perempuan. Dia salah satu adik tingkat dari suami kak Yuni.
“Kalau
menurutku, ibu pasti suka padanya.” Kata Maria menerawang. Cewek ini
betul-betul jatuh cinta. Ren ikut senang dan nggak berpikir macam-macam lagi.
Hari
Sabtu siang tiba. Di hari yang ternyata sudah menjelang sore itu Ren dipanggil
langsung ke rumah Maria. Biasanya mereka janjian dulu atau bagaimana caranya.
Dengan memohon (lebih tepatnya setengah memaksa) Maria memintanya datang sore
itu juga. Dengan kebingungan Ren datang.
“Lho....
Ren, kenapa lagi-lagi kamu datang dengan pakaian cowok?” Tanya Ny. Nuri, ehm.
Tante Nuri. “Tante kan sudah bilang, anak cewek harus bersikap sebagai anak
cewek. Anak cewek nggak pantas bergaya cowok, mengerti?”
“Mengerti,
tante.” Jawab Ren tersenyum paksa. Bagaimanapun, kalau menghadapi orang tua,
yang apalagi kaya dan bermartabat, kita juga harus sopan.
“Bagus.
Maria, Ren sudah datang.” Panggil Ny. Nuri. Maria dengan semangat dan
kelincahan yang belum pernah dilihat Ren datang.
“Syukurlah,
ayo kita berangkat.” Kata Maria riang. Memang sudah seharusnya, ada yang tumbuh
waktu itu. Rasa curiga.
“Denger, ya, Maria.” Kata Ren yang dibawa
paksa. “Kenapa aku harus cepat datang ke rumahmu dan...”
“Itu
dia! Ayo!” kata Maria mengacuhkan kata-kata Ren. Mereka masuk ke sebuah kafe
dan Ren melihat seorang cowok yang sendirian. Maria langsung duduk di depannya.
Ren mengikuti dari belakang. “Sudah lama nunggunya?”
“Nggak
juga.” Jawab cowok itu. Ren takjub. Dia benar-benar melihat gambaran seorang
pangeran seperti yang diceritakan Maria. Cowok itu putih, tubuhnya sedang,
tampan. Memang biasa saja, gambaran cowok ganteng selama ini memang begitu kan?
Tapi suaranya jernih, matanya memancarkan sinar, dan orangnya ramah sekali.
Sesaat, Ren seperti terkena sihir. Leksa menoleh kaget. “Dia ini...”
Oh,
ini temenku.” Jawab Maria cepat-cepat. “Namanya Ren, dari Seiren. Dia ini cewek
loh, tapi terkenal dengan gaya cowoknya. Memang kami sering jalan bareng, jadi
kalau ada yang baru kenal pasti nyangka kami pacaran.”
“Oh,
Seiren. Leksa.” Katanya memperkenalkan diri. Nggak heran Maria jatuh cinta
padanya. Mereka ngobrol sebentar. Leksa berwawasan luas, dan selera humornya
bagus sekali. Jadi nggak ada yang kekurangan bahan obrolan, dan obrolan mereka
seru.
“Jadi
bagaimana Ren?” Tanya Maria, lagi nyisir rambut. Ren diam. Tumben di kafe yang
sibuk itu toiletnya kosong.
“Dia
baik.” Jawab Ren. Ren nggak bisa bilang apa-apa. Leksa sempurna. Tapi Leksa
terlalu sempurna untuknya. Entah kenapa, Ren seperti melihat sinetron, yang
live. Itu disadarinya sejak mulai ngobrol tadi.
“Karena
itu, tolong aku ya, Ren!” Kata Maria tegas. Ren seperti melihat sisi Maria yang
lain. Maria serius.
* * *
Ini yang dibilang minta tolong? Pikir
Ren sekali lagi. Sekarang sudah jam setengah enam sore, dan dia pulang naik
angkot. Sendirian. Maria memintanya pulang duluan dan pura-pura masih jalan
bersama. Ini demi menipu Tante Nuri yang nggak suka Maria jalan dengan
sembarang orang.
“Ini
kencan pertamaku. Leksa memintaku kencan bersamanya. Berdua saja. Meski tadi
dia tersenyum senang, aku tahu dia nggak nyaman dengan kita bertiga. Lagipula,
aku minta kamu datang supaya aku bisa keluar...” Maria beralasan.
“Jadi
aku Cuma jadi alasan nih?” Tanya Ren nggak percaya.
“Maaf,”
Kata Maria cemas. “Aku tahu ini egois. Tapi ini kesempatanku!! Leksa begitu
baik dan dia memiliki apa yang kuimpikan dari cowok selama ini. Aku mohon!!!”
Dan aku selama ini nggak bisa menolak kalau
dia seperti itu! Pikir Ren. Jadi mereka jalan bersama dan pelan-pelan
memisahkan diri. Ren Cuma bisa berharap, keputusannya tidak salah.
Begitulah
yang terjadi. Kencan Maria jadi semakin sering, dan semakin sering Ren mendapat
telepon nggak jelas dari Maria yang minta tolong supaya dia bisa keluar. Dan
sekarang, Maria jadi semakin aktif. Ren sama sekali nggak tahu apa yang
dikerjakan Maria di luar sana, dan kalau ditanya Maria selalu mengalihkan ke
topik lain.
“Ada
apa? Lagi berantem?” Tanya Dion, ketua kelasnya Ren dan Maria. Ren
mengacuhkannya, terlalu jengkel mendengar kata-kata yang nggak mau diakuinya
itu, dan Dion bukannya nggak sadar. “Ternyata kembar siam bisa kelahi juga.”
“Kembar
siam? Bukannya pasangan lesbi?” Tanya Ren.
Dion tertawa kecil. Jarang-jarang bisa lihat Ren badmood begini.
“Temani
aku jalan mau nggak?” Tanya Dion. Ren acuh tak acuh. “Aku mau beli hadiah ulang
tahun buat cewek, tapi nggak tahu selera mereka.”
“Siapa?”
Akhirnya Ren penasaran. Dengan semua masalah cinta-cintaan ini, mungkin dia
bisa mendapat ilham.
“Cewek
yang aku perhatikan dari dulu. Cewek yang aku pengen dekati dari dulu.
Begitulah... mau nggak? Kutraktir makan siang deh!”
Ren
setuju. Maria sudah terlalu sibuk dengan pacarnya dan dia nganggur. Kenapa
nggak habiskan saja waktu dengan cowok? Mungkin bisa membuat dia merasakan
pengalaman yang sama dengan Maria, dan itu bisa membuatnya nggak jengkel lagi.
Ternyata
mencari hadiah itu susah-susah gampang. Apalagi hadiah untuk orang yang kita
tidak kenal. Dionnya juga tidak tahu menahu dan Cuma menyuruh Ren mencari
barang yang dia suka. Untunglah ketemu.
“Kenapa
mengajakku mencari hadiah?” Tanya Ren waktu makan siang.
“Soalnya
kamu mirip dengan dia.” Jawab Dion tanpa ragu-ragu. “Dia enerjik, hobi
olahraga. Dia juga tomboy. Mirip kan? Lagipula kamu kelihatannya lagi suntuk
banget. Jadi apa salahnya kuajak jalan-jalan?”
“Iya
juga sih. Makasih ya!” Kata Ren. “Aku betul-betul bete beberapa hari terakhir
ini. Maria sibuk banget sama pacarnya, dan kalau aku protes, dia malah bilang
itu karena aku iri nggak seperti dia yang sudah punya pacar. Aku jadi nggak
tahan.”
“Nggak
tahan apanya? Nggak punya pacar?” Tanya Dion. “Kita pacaran aja, biar impas.”
“Ha
ha. Biar becanda, nggak lucu tuh!” Tanggap Ren. Tiba-tiba dia melihat sesuatu
yang menarik perhatiannya.
“Leksa?”
Gumam Ren kaget. Dion menoleh ke arah tatapan Ren. Leksa lagi jalan sama cewek
lain. Cewek cantik dan seksi. Mereka mesra banget, tapi cewek itu bukan Maria!!
“Siapa
Leksa? Cowok yang kamu taksir ya?” Tanya Dion heran.
“Jangan
sembarangan. Dia itu Leksa pacarnya Maria!! Ngapain Leksa di sini, sama cewek
lain lagi!” Ren mencubit pipi Dion sampai memar.
“Apalagi
kalau bukan selingkuhannya?” Kata Dion. “Banyak kok cowok yang brengsek di
dunia ini. Yah, yang nggak brengsek nggak sedikit sih. Jadi, kalau kamu mau
jadi...”
“Dasar!
Sudah punya Maria, malah mesra-mesraan sama cewek lain.” Seruan Ren langsung
membungkam Dion.
“Jangan-jangan
dia Cuma main-main sama Maria. Orang yang tampangnya dewasa mana mau serius
sama yang kayak Maria, apalagi kamu.” Tambah Dion lagi.
“Diam
kamu! Bikin keruh aja!” Tukas Ren jengkel. Dia langsung menelpon Maria, tapi
nggak ada yang nyambut.
Ren
pulang dengan marah-marah. Untung dia bisa tenang sehabis mandi dan
makan-makan. Waktu mau mengerjakan pr, tiba-tiba telpon berbunyi. Begitu Ren
angkat, suara wanita bernada tinggi dan agak angkuh yang sangat dikenalnya
terdengar.
“Teman
macam apa kamu?” Tanyanya dengan nada marah.
“A,
apa maksud tante?” Tanya Ren bingung.
Tante Nuri, ibunya Maria mulai mengoceh tidak karuan sangkin marahnya. Maria
tidak pulang, padahal sudah jam setengah sembilan!! Dia bilang menemani Ren
membeli alat-alat untuk tugas KTK.
Ren
diam. Rupanya Maria sudah mulai berbohong dan melanggar jam malam. Rasanya
seperti ditampar. Sekarang tante Nuri sudah menyalahkannya. Menyangka Ren sudah
mengajarkan dan mengajak Maria kemana-mana. Padahal Ren sama sekali tidak tahu
apa-apa.
Seperti
yang di duga, Maria absen hari ini. Ren tahu itu pasti ulah tante Nuri yang
mengurungnya sebagai hukuman karena melanggar jam malam. Ren memutuskan untuk
datang dan melihatnya sendiri, apa yang dialami Maria. Sampai di sana, Ren sama
sekali tidak disambut baik, bahkan mau diusir kalau saja nggak ada kakak Maria, Marcel.
“Maafkan
ibu kami ya.” Kata Marcel lembut. Ren hanya mengangguk. Rasanya ajaib, punya
ibu yang sombong dan pemarah, anak-anaknya lembut dan sopan. Ren dijamu dengan
baik dan mengobrol sebentar dengan Marcel. “Maria belum bisa keluar, lagi
dihukum. Kamu tahu sesuatu soal teman barunya?”
“Darimana
kakak tahu Maria punya teman baru?” Tanya Ren.
“Nggak
susah. Maria jadi ceria akhir-akhir ini. Bahkan dia menggunakan telepon lebih
lama dari biasanya. Temannya cowok kan?”
“I,
iya.” Ren merasa aman menceritakan soal Leksa. “Namanya Leksa, dia mahasiswa
semester tiga di sebuah universitas swasta. Cuma sebatas itu yang kutahu soal
dia. Aku bertemu dengannya sekali. Orangnya ganteng, tinggi, punya bentuk badan
yang bagus. Orangnya ramah, tutur katanya lembut dan gentle. Yang terakhir itu
cerita Maria.”
“Kayaknya
orangnya sempurna.” Kata Marcel. Leksa
bukan orang sempurna. Tukang selingkuh!! Pikir Ren. Dia ragu mengatakan
fakta ini. Pasti sesudah jalan sama cewek seksi itu baru dia mengajak Maria.
“Apa
aku nggak bisa ketemu Maria sama sekali?” Tanya Ren setengah memohon. Dia mau
melihat keadaan Maria sekali saja, meski dia tidak jamin bisa menahan diri
kalau melihat kondisinya nanti. Marcel mengijinkan. Ren langsung pergi ke
lantai atas dan masuk ke kamarnya Maria.
Maria
jadi murung. Dia terus meringkuk di atas ranjangnya dengan penampilan yang
awut-awutan. Matanya bengkak, dan terlihat bekas tamparan di pipinya. Maria
pasti menangis sepanjang malam.
“Maria.”
Ren menyapa Maria. Maria melirik sebentar dan dia diam lagi.
“Kenapa
bilang?” Tanya Maria membelakangi Ren. “Kenapa kamu bilang pada ibuku kalau aku
pergi dengan cowok?”
“Maria,
aku...”
“Kamu
ini temanku nggak?!” Tanya Maria lagi. “Padahal aku sudah minta, kamu
menolongku. Nggak bisa? Gitu yang namanya teman? Berkat kamu, aku dikurung
seperti ini. Aku nggak bisa kemana-mana, bahkan nggak nelpon. Aku...”
“Kenapa
sih, Cuma cowok itu yang kamu pikirin?!” Ren muak. Dia sudah melihat pacar
temannya selingkuh, lalu dimarahi ibu temannya, dan sekarang temannya sendiri
menyalahkan dia? Ren kurang apa coba, sudah menolong temannya. Ren kurang apa,
sudah berusaha memperingatkan Maria. Ren kurang apa, sampai harus dijadikan
kambing hitam begini? Ren benar-benar kecewa. “Kamu tahu, Leksa itu Cuma
main-main sama kamu!! Hari ini aku sudah liat dia sama cewek lain, dan mereka
mesra banget tahu!! Kamu Cuma dipermainkan!!!”
“Diam
kamu!!” Hardik Maria kasar. “Dasar orang nggak tahu terima kasih!! Kami berdua
tahu kok, kamu nggak suka kalau kami jadian. Tapi aku nggak nyangka kalau kamu
sampai memfitnah dia seperti ini. Kamu itu jahat. Ternyata Leksa bener. Kamu
itu... kamu itu..”
“Apanya
yang nggak tahu terima kasih!!” Balas Ren nggak mau kalah. “Justru kamu yang
nggak tahu terima kasih!! Leksa itu penipu, dan kamu telan tipuannya
mentah-mentah. Kamu pakai namaku supaya bisa keluar. Berkali-kali!!! Dan
sekarang kamu bilang aku nggak bantu kamu??!!! Aku yang pertama kali kena marah
ibumu tahu!!! Aku yang nggak tahu apa-apa, jadi sasaran kemarahan kalian
semua!!! Yang salah itu aku!!! Sudah puas? Yang salah itu selalu aku!!!”
Suara
Ren bergetar karena marah. Dia sudah tidak tahan. “Aku pulang. Nggak ada
gunanya aku di sini. Sahabat yang kukenal nggak ada lagi. Dia sudah hilang,
diambil orang.”
Sejak
saat itu tidak ada rasa peduli di antara mereka. Ren tetap Ren yang biasa,
Maria tetap Maria yang biasa. Nggak, nggak biasa. Maria berubah sedikit demi
sedikit. Dia sudah berubah dari gadis yang sederhana menjadi gadis kaya yang
egois dan manja. Perubahannya terlalu sedikit, dan tidak ada yang menyadarinya
selain orang yang selama ini menemaninya. Yaitu Ren.
Maria
jadi jarang masuk, Ren menduga karena hukuman ibunya yang menjadi-jadi. Semua
hal menjadi biasa tanpa Maria, sampai akhirnya ada berita itu.
“Maria
masuk rumah sakit. Dia keracunan alkohol dan ditemukan orang di jalanan dalam
keadaan pingsan.” Kata Marcel melalui telepon. Suara petir terdengar keras
sekali didekatnya, membuatnya kaku selama beberapa menit. “Halo? Ren? Ren?”
Ren
langsung ke rumah sakit diantar kakaknya. Maria terbaring lemah di ranjang
dengan selang infus dan oksigen. Tante Nuri menangis di sisi tempat tidur dan
ada Marcel yang bicara serius dengan dokter.
“Selain
keracunan alkohol, teridentifikasi adanya obat-obatan terlarang. Meski masa
kristisnya sudah lewat, pasien perlu beberapa hari untuk sadar.” Terdengar
penjelasan dokter.
“Maria...
padahal kau putriku satu-satunya. Kenapa begini... padahal aku sudah mendidikmu
sedemikian keras...” isak tante Nuri. Miris hati Ren mendengarnya. Ibu mana
yang nggak menyayangi anaknya, biar dia seseram setan sekalipun.
Setelah
dua hari tertidur, akhirnya Maria membuka mata. Lega rasanya Ren melihat Maria
sadar setelah lama Ren berdoa di setiap pagi, siang, malam harinya. Ren nggak
bisa langsung melihat Maria. Maria sama sekali nggak mau ketemu siapapun dan
mau sendiri dulu. Untunglah akhirnya Maria mau berbicara dengannya.
“Aku...
rasanya malu sekali melihat ibu, kakak, dan kamu datang dengan wajah khawatir
seperti ini.” Kata Maria pelan. “Maaf.”
“Untuk
apa?”
“Maaf
sudah memakimu. Maaf sudah memanfaatkanmu dan tidak tahu terima kasih. Maaf,
karena aku sudah membuatmu jadi sasaran ibuku padahal tidak tahu apa-apa. Maaf,
tidak mendengarkanmu. Maaf... seribu kalipun aku minta maaf, rasanya tidak akan
cukup. Maaf, ma..” Ternyata airmata Maria bercucuran. Kata-katanya berhenti
karena berusaha menahan tangis.
“Apa
yang terjadi?” Tanya Ren spontan. Dia tahu, tidak sopan menanyakan langsung,
tapi kata-kata itu tercetus begitu saja.
“Malam
itu, aku kabur dari rumah karena rindu dengannya. Dia menjemputku dan kami
berdua pergi ke tempat temannya makan-makan. Tempat itu aneh, bau rokok dan bir
di mana-mana. Tapi dia bilang, dia akan menjagaku. Lagipula banyak cewek juga
di situ.” Jelas Maria. “Awalnya dari sebuah permainan, aku mulai disuruh
minum-minum. Aku nggak tahu apa campurannya, tapi itu membuatku pusing dan
lemah. Aku nggak tahan, dan muntah-muntah. Dia menemaniku, sampai dia dia
dipanggil temennya. Di situlah aku tahu, kalau dia... dia...”
“Dia?”
“Dia
mau mengajakku tidur malam itu. Aku ketakutan. Entah kenapa, rasanya aku harus
pergi.” Cerita Maria. Dia terdiam, lalu tersenyum kecil. “Kau tahu? Rasanya aku
beruntung sekali. orang-orang yang mabuk itu nggak ada yang sadar aku pergi.
Meskipun mabuk, pusing dan lemah, entah kenapa aku bisa berjalan jauh sampai
akhirnya jatuh pingsan di tempat ramai. Berkat itu, aku jadi cepat ditolong.
Seandainya saat itu aku tidak kabur entah apa yang kualami saat itu.”
Badan
Maria bergetar. Dia ketakutan. “Aku merasa mimpi bisa ada di sini bersama
kalian. Aku takut aku terbangun dan ternyata masih ada di tempat itu.”
“Tenang.
Kamu sudah bangun kok.” Hibur Ren. “Nggak apa-apa kok. Kamu bisa mulai lagi.
Nggak ada yang nyalahin kamu karena hal beginian. Ibumu bahkan tobat dari sikap
kejamnya. Aku melihatnya, dia sedih banget waktu nunggu kamu sadar.”
“Tapi...
aku sudah...”
“Kamu
belum jatuh kok! Kamu Cuma salah jalan. Kamu tinggal balik lagi dan jalan
menuju jalan yang benar. Lagipula, meski kamu jatuh ke jurang sekalipun, ada
kami di sini yang menangkap tanganmu dan menarikmu jadi kamu nggak jatuh.”
Mendengar kata hiburan Ren yang ngaco, Maria tersenyum.
“Kamu
itu... memang teman paling aneh yang pernah kutemui.” Kata Maria akhirnya tertawa.
“Tentu saja,” balas Ren tersenyum.
“Kita kan sahabat.”
Akhirnya,
hari jadi cerah lagi. Maria dapat banyak sekali oleh-oleh dari keluarga dan
teman-teman yang lain. Peristiwa kali ini membawa pelajaran bagi Maria,
keluarganya, dan orang-orang di sekitarnya. Dan mungkin buatmu juga.(Kutai
Barat, 07-05-09, 01:00 am)
* *
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?