Rabu, 07 November 2012

Best Friend vs...

cerpen, novel

“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang  saudara dalam kesukaran.”

Seiren dan Maria adalah pasangan emas di SMA ini. Semua yang melihat bagaimana mereka pasti berpikir keajaibanlah yang membuat mereka terus bersahabat hingga kini. Tidak ada satupun kesamaan mereka selain sama-sama cewek, sama-sama berumur 16 tahun, sama-sama manusia tipe  positive thinking dan sama-sama punya penggemar (yang persentasenya sama!!). Seiren cewek tomboy yang bergaya dan perpenampilan cowok tulen, dengan tubuh tinggi ramping dan menguasai karate yang mampu membuat para preman kabur. Sedangkan Maria adalah cewek yang punya sifat keibuan sejati, tubuh biasa-biasa saja dan punya wajah yang mungil, pemalu dan baik hati. Kalau Maria suka masak sama nyulam, maka Seiren suka ngutak ngatik motor dan main PS. Kalau Seiren di resto mesen kopi, maka Maria kalau di resto pasti mesen es krim atau teh. Yang jelas, kalau kita melihat mereka jalan berduaan (apalagi pakai baju bebas), pasti yang kita lihat adalah pasangan mesra yang serasi satu sama lain. Saking serasinya, ada yang yang berpendapat kalau mereka lesbi. Benar atau tidaknya sih nggak ada yang tahu, dan nggak ada yang mau tahu terlalu dalam, karena mereka semua menyukai Seiren dan Maria. Semua keadaan tenang dan damai, cerah selalu.
Sampai pada akhirnya keadaan cerah mulai dimasuki awan mendung ketika Maria dengan sumringah berkata dengan tenangnya, “Aku sudah ketemu cowok impian.”
“Apa?” Tanya Ren kaget. Hampir saja dia tersedak mie yang dia makan dengan beringas. Semua orang menoleh, karena tidak biasanya Ren ribut waktu ada Maria. Tapi wajah Ren yang ganas membuat mereka semua kembali makan. Setelah memastikan tidak ada yang menoleh lagi, Ren bertanya lagi pada Maria, “apa maksudmu?”
“Namanya Leksa. Aku ketemu dia di acara pernikahannya kak Yuni.” Jawab Maria. Yuni adalah sepupu Maria dari ibunya.
“Ibumu tahu?” Tanya Ren. Dia khawatir. Ibu Maria sangat ketat, Maria dikenakan jam malam paling lambat jam delapan. Bahkan dia pernah tidak mengijinkan Maria berteman dengan Seiren, karena selain status keluarga yang berbeda, Seiren sangat kasar berperilaku seperti preman. Ibunya Maria khawatir kalau Maria, putri satu-satunya berteman dengan Seiren, Maria bakal ikut-ikutan kasar dan dibawa ke tempat yang nggak bagus. Untung saja Seiren mengerti dan membuktikan kalau dugaan Ibu Maria itu salah.
“Nggak.” Jawab Maria enteng. “Lagipula Leksa itu baik kok. Orangnya sangat ramah dan gentleman.” Kelihatan sekali kalau Maria sangat menyukai cowok yang bahkan Ren baru dengar namanya hari ini. Biar bagaimanapun, Maria dari kecil tidak kenal cowok selain kakak laki-lakinya yang baik hati itu. Ren yang saudaranya cowok semua otomatis banyak melihat beragam macam cowok dari teman-teman saudaranya, khawatir. Dia sudah sering mendengar pembicaraan saudara-saudaranya dan teman-teman mereka bagaimana cara mereka menghadapi cewek.
Tapi bagaimanapun, Maria adalah teman baiknya. Ren masih ingat betapa pemalu, kikuk dan polosnya Maria sewaktu pertama kali bertemu. Tapi Maria sudah banyak berubah. Dia bisa mengobrol dengan orang lain selain Ren, tertawa lepas, dan lebih berani tanpa menghilangkan kelemahlembutannya. Mungkin Maria harus diberi banyak kesempatan,  pikir Ren positif.
Jadi, Leksa ini adalah mahasiswa semester tiga salah satu universitas swasta terkenal. Orangnya bertipe pangeran yang baik hati dan ramah. Pintar memperlakukan perempuan. Dia salah satu adik tingkat dari suami kak Yuni.
“Kalau menurutku, ibu pasti suka padanya.” Kata Maria menerawang. Cewek ini betul-betul jatuh cinta. Ren ikut senang dan nggak berpikir macam-macam lagi.
Hari Sabtu siang tiba. Di hari yang ternyata sudah menjelang sore itu Ren dipanggil langsung ke rumah Maria. Biasanya mereka janjian dulu atau bagaimana caranya. Dengan memohon (lebih tepatnya setengah memaksa) Maria memintanya datang sore itu juga. Dengan kebingungan Ren datang.
“Lho.... Ren, kenapa lagi-lagi kamu datang dengan pakaian cowok?” Tanya Ny. Nuri, ehm. Tante Nuri. “Tante kan sudah bilang, anak cewek harus bersikap sebagai anak cewek. Anak cewek nggak pantas bergaya cowok, mengerti?”
“Mengerti, tante.” Jawab Ren tersenyum paksa. Bagaimanapun, kalau menghadapi orang tua, yang apalagi kaya dan bermartabat, kita juga harus sopan.
“Bagus. Maria, Ren sudah datang.” Panggil Ny. Nuri. Maria dengan semangat dan kelincahan yang belum pernah dilihat Ren datang.
“Syukurlah, ayo kita berangkat.” Kata Maria riang. Memang sudah seharusnya, ada yang tumbuh waktu itu. Rasa curiga.
 “Denger, ya, Maria.” Kata Ren yang dibawa paksa. “Kenapa aku harus cepat datang ke rumahmu dan...”
“Itu dia! Ayo!” kata Maria mengacuhkan kata-kata Ren. Mereka masuk ke sebuah kafe dan Ren melihat seorang cowok yang sendirian. Maria langsung duduk di depannya. Ren mengikuti dari belakang. “Sudah lama nunggunya?”
“Nggak juga.” Jawab cowok itu. Ren takjub. Dia benar-benar melihat gambaran seorang pangeran seperti yang diceritakan Maria. Cowok itu putih, tubuhnya sedang, tampan. Memang biasa saja, gambaran cowok ganteng selama ini memang begitu kan? Tapi suaranya jernih, matanya memancarkan sinar, dan orangnya ramah sekali. Sesaat, Ren seperti terkena sihir. Leksa menoleh kaget. “Dia ini...”
Oh, ini temenku.” Jawab Maria cepat-cepat. “Namanya Ren, dari Seiren. Dia ini cewek loh, tapi terkenal dengan gaya cowoknya. Memang kami sering jalan bareng, jadi kalau ada yang baru kenal pasti nyangka kami pacaran.”
“Oh, Seiren. Leksa.” Katanya memperkenalkan diri. Nggak heran Maria jatuh cinta padanya. Mereka ngobrol sebentar. Leksa berwawasan luas, dan selera humornya bagus sekali. Jadi nggak ada yang kekurangan bahan obrolan, dan obrolan mereka seru.
“Jadi bagaimana Ren?” Tanya Maria, lagi nyisir rambut. Ren diam. Tumben di kafe yang sibuk itu toiletnya kosong.
“Dia baik.” Jawab Ren. Ren nggak bisa bilang apa-apa. Leksa sempurna. Tapi Leksa terlalu sempurna untuknya. Entah kenapa, Ren seperti melihat sinetron, yang live. Itu disadarinya sejak mulai ngobrol tadi.
“Karena itu, tolong aku ya, Ren!” Kata Maria tegas. Ren seperti melihat sisi Maria yang lain. Maria serius.
* * *
Ini yang dibilang minta tolong? Pikir Ren sekali lagi. Sekarang sudah jam setengah enam sore, dan dia pulang naik angkot. Sendirian. Maria memintanya pulang duluan dan pura-pura masih jalan bersama. Ini demi menipu Tante Nuri yang nggak suka Maria jalan dengan sembarang orang.
“Ini kencan pertamaku. Leksa memintaku kencan bersamanya. Berdua saja. Meski tadi dia tersenyum senang, aku tahu dia nggak nyaman dengan kita bertiga. Lagipula, aku minta kamu datang supaya aku bisa keluar...” Maria beralasan.
“Jadi aku Cuma jadi alasan nih?” Tanya Ren nggak percaya.
“Maaf,” Kata Maria cemas. “Aku tahu ini egois. Tapi ini kesempatanku!! Leksa begitu baik dan dia memiliki apa yang kuimpikan dari cowok selama ini. Aku mohon!!!”
Dan aku selama ini nggak bisa menolak kalau dia seperti itu! Pikir Ren. Jadi mereka jalan bersama dan pelan-pelan memisahkan diri. Ren Cuma bisa berharap, keputusannya tidak salah.
Begitulah yang terjadi. Kencan Maria jadi semakin sering, dan semakin sering Ren mendapat telepon nggak jelas dari Maria yang minta tolong supaya dia bisa keluar. Dan sekarang, Maria jadi semakin aktif. Ren sama sekali nggak tahu apa yang dikerjakan Maria di luar sana, dan kalau ditanya Maria selalu mengalihkan ke topik lain.
“Ada apa? Lagi berantem?” Tanya Dion, ketua kelasnya Ren dan Maria. Ren mengacuhkannya, terlalu jengkel mendengar kata-kata yang nggak mau diakuinya itu, dan Dion bukannya nggak sadar. “Ternyata kembar siam bisa kelahi juga.”
“Kembar siam? Bukannya pasangan lesbi?” Tanya Ren.  Dion tertawa kecil. Jarang-jarang bisa lihat Ren badmood begini.
“Temani aku jalan mau nggak?” Tanya Dion. Ren acuh tak acuh. “Aku mau beli hadiah ulang tahun buat cewek, tapi nggak tahu selera mereka.”
“Siapa?” Akhirnya Ren penasaran. Dengan semua masalah cinta-cintaan ini, mungkin dia bisa mendapat ilham.
“Cewek yang aku perhatikan dari dulu. Cewek yang aku pengen dekati dari dulu. Begitulah... mau nggak? Kutraktir makan siang deh!”
Ren setuju. Maria sudah terlalu sibuk dengan pacarnya dan dia nganggur. Kenapa nggak habiskan saja waktu dengan cowok? Mungkin bisa membuat dia merasakan pengalaman yang sama dengan Maria, dan itu bisa membuatnya nggak jengkel lagi.
Ternyata mencari hadiah itu susah-susah gampang. Apalagi hadiah untuk orang yang kita tidak kenal. Dionnya juga tidak tahu menahu dan Cuma menyuruh Ren mencari barang yang dia suka. Untunglah ketemu.
“Kenapa mengajakku mencari hadiah?” Tanya Ren waktu makan siang.
“Soalnya kamu mirip dengan dia.” Jawab Dion tanpa ragu-ragu. “Dia enerjik, hobi olahraga. Dia juga tomboy. Mirip kan? Lagipula kamu kelihatannya lagi suntuk banget. Jadi apa salahnya kuajak jalan-jalan?”
“Iya juga sih. Makasih ya!” Kata Ren. “Aku betul-betul bete beberapa hari terakhir ini. Maria sibuk banget sama pacarnya, dan kalau aku protes, dia malah bilang itu karena aku iri nggak seperti dia yang sudah punya pacar. Aku jadi nggak tahan.”
“Nggak tahan apanya? Nggak punya pacar?” Tanya Dion. “Kita pacaran aja, biar impas.”
“Ha ha. Biar becanda, nggak lucu tuh!” Tanggap Ren. Tiba-tiba dia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.
“Leksa?” Gumam Ren kaget. Dion menoleh ke arah tatapan Ren. Leksa lagi jalan sama cewek lain. Cewek cantik dan seksi. Mereka mesra banget, tapi cewek itu bukan Maria!!
“Siapa Leksa? Cowok yang kamu taksir ya?” Tanya Dion heran.
“Jangan sembarangan. Dia itu Leksa pacarnya Maria!! Ngapain Leksa di sini, sama cewek lain lagi!” Ren mencubit pipi Dion sampai memar.
“Apalagi kalau bukan selingkuhannya?” Kata Dion. “Banyak kok cowok yang brengsek di dunia ini. Yah, yang nggak brengsek nggak sedikit sih. Jadi, kalau kamu mau jadi...”
“Dasar! Sudah punya Maria, malah mesra-mesraan sama cewek lain.” Seruan Ren langsung membungkam Dion.
“Jangan-jangan dia Cuma main-main sama Maria. Orang yang tampangnya dewasa mana mau serius sama yang kayak Maria, apalagi kamu.” Tambah Dion lagi.
“Diam kamu! Bikin keruh aja!” Tukas Ren jengkel. Dia langsung menelpon Maria, tapi nggak ada yang nyambut.
Ren pulang dengan marah-marah. Untung dia bisa tenang sehabis mandi dan makan-makan. Waktu mau mengerjakan pr, tiba-tiba telpon berbunyi. Begitu Ren angkat, suara wanita bernada tinggi dan agak angkuh yang sangat dikenalnya terdengar.
“Teman macam apa kamu?” Tanyanya dengan nada marah.
“A, apa maksud tante?”  Tanya Ren bingung. Tante Nuri, ibunya Maria mulai mengoceh tidak karuan sangkin marahnya. Maria tidak pulang, padahal sudah jam setengah sembilan!! Dia bilang menemani Ren membeli alat-alat untuk tugas KTK.
Ren diam. Rupanya Maria sudah mulai berbohong dan melanggar jam malam. Rasanya seperti ditampar. Sekarang tante Nuri sudah menyalahkannya. Menyangka Ren sudah mengajarkan dan mengajak Maria kemana-mana. Padahal Ren sama sekali tidak tahu apa-apa.
Seperti yang di duga, Maria absen hari ini. Ren tahu itu pasti ulah tante Nuri yang mengurungnya sebagai hukuman karena melanggar jam malam. Ren memutuskan untuk datang dan melihatnya sendiri, apa yang dialami Maria. Sampai di sana, Ren sama sekali tidak disambut baik, bahkan mau diusir kalau saja nggak ada kakak Maria, Marcel.
“Maafkan ibu kami ya.” Kata Marcel lembut. Ren hanya mengangguk. Rasanya ajaib, punya ibu yang sombong dan pemarah, anak-anaknya lembut dan sopan. Ren dijamu dengan baik dan mengobrol sebentar dengan Marcel. “Maria belum bisa keluar, lagi dihukum. Kamu tahu sesuatu soal teman barunya?”
“Darimana kakak tahu Maria punya teman baru?” Tanya Ren.
“Nggak susah. Maria jadi ceria akhir-akhir ini. Bahkan dia menggunakan telepon lebih lama dari biasanya. Temannya cowok kan?”
“I, iya.” Ren merasa aman menceritakan soal Leksa. “Namanya Leksa, dia mahasiswa semester tiga di sebuah universitas swasta. Cuma sebatas itu yang kutahu soal dia. Aku bertemu dengannya sekali. Orangnya ganteng, tinggi, punya bentuk badan yang bagus. Orangnya ramah, tutur katanya lembut dan gentle. Yang terakhir itu cerita Maria.”
“Kayaknya orangnya sempurna.” Kata Marcel. Leksa bukan orang sempurna. Tukang selingkuh!! Pikir Ren. Dia ragu mengatakan fakta ini. Pasti sesudah jalan sama cewek seksi itu baru dia mengajak Maria.
“Apa aku nggak bisa ketemu Maria sama sekali?” Tanya Ren setengah memohon. Dia mau melihat keadaan Maria sekali saja, meski dia tidak jamin bisa menahan diri kalau melihat kondisinya nanti. Marcel mengijinkan. Ren langsung pergi ke lantai atas dan masuk ke kamarnya Maria.
Maria jadi murung. Dia terus meringkuk di atas ranjangnya dengan penampilan yang awut-awutan. Matanya bengkak, dan terlihat bekas tamparan di pipinya. Maria pasti menangis sepanjang malam.
“Maria.” Ren menyapa Maria. Maria melirik sebentar dan dia diam lagi.
“Kenapa bilang?” Tanya Maria membelakangi Ren. “Kenapa kamu bilang pada ibuku kalau aku pergi dengan cowok?”
“Maria, aku...”
“Kamu ini temanku nggak?!” Tanya Maria lagi. “Padahal aku sudah minta, kamu menolongku. Nggak bisa? Gitu yang namanya teman? Berkat kamu, aku dikurung seperti ini. Aku nggak bisa kemana-mana, bahkan nggak nelpon. Aku...”
“Kenapa sih, Cuma cowok itu yang kamu pikirin?!” Ren muak. Dia sudah melihat pacar temannya selingkuh, lalu dimarahi ibu temannya, dan sekarang temannya sendiri menyalahkan dia? Ren kurang apa coba, sudah menolong temannya. Ren kurang apa, sudah berusaha memperingatkan Maria. Ren kurang apa, sampai harus dijadikan kambing hitam begini? Ren benar-benar kecewa. “Kamu tahu, Leksa itu Cuma main-main sama kamu!! Hari ini aku sudah liat dia sama cewek lain, dan mereka mesra banget tahu!! Kamu Cuma dipermainkan!!!”
“Diam kamu!!” Hardik Maria kasar. “Dasar orang nggak tahu terima kasih!! Kami berdua tahu kok, kamu nggak suka kalau kami jadian. Tapi aku nggak nyangka kalau kamu sampai memfitnah dia seperti ini. Kamu itu jahat. Ternyata Leksa bener. Kamu itu... kamu itu..”
“Apanya yang nggak tahu terima kasih!!” Balas Ren nggak mau kalah. “Justru kamu yang nggak tahu terima kasih!! Leksa itu penipu, dan kamu telan tipuannya mentah-mentah. Kamu pakai namaku supaya bisa keluar. Berkali-kali!!! Dan sekarang kamu bilang aku nggak bantu kamu??!!! Aku yang pertama kali kena marah ibumu tahu!!! Aku yang nggak tahu apa-apa, jadi sasaran kemarahan kalian semua!!! Yang salah itu aku!!! Sudah puas? Yang salah itu selalu aku!!!”
Suara Ren bergetar karena marah. Dia sudah tidak tahan. “Aku pulang. Nggak ada gunanya aku di sini. Sahabat yang kukenal nggak ada lagi. Dia sudah hilang, diambil orang.”
Sejak saat itu tidak ada rasa peduli di antara mereka. Ren tetap Ren yang biasa, Maria tetap Maria yang biasa. Nggak, nggak biasa. Maria berubah sedikit demi sedikit. Dia sudah berubah dari gadis yang sederhana menjadi gadis kaya yang egois dan manja. Perubahannya terlalu sedikit, dan tidak ada yang menyadarinya selain orang yang selama ini menemaninya. Yaitu Ren.
Maria jadi jarang masuk, Ren menduga karena hukuman ibunya yang menjadi-jadi. Semua hal menjadi biasa tanpa Maria, sampai akhirnya ada berita itu.
“Maria masuk rumah sakit. Dia keracunan alkohol dan ditemukan orang di jalanan dalam keadaan pingsan.” Kata Marcel melalui telepon. Suara petir terdengar keras sekali didekatnya, membuatnya kaku selama beberapa menit. “Halo? Ren? Ren?”
Ren langsung ke rumah sakit diantar kakaknya. Maria terbaring lemah di ranjang dengan selang infus dan oksigen. Tante Nuri menangis di sisi tempat tidur dan ada Marcel yang bicara serius dengan dokter.
“Selain keracunan alkohol, teridentifikasi adanya obat-obatan terlarang. Meski masa kristisnya sudah lewat, pasien perlu beberapa hari untuk sadar.” Terdengar penjelasan dokter.
“Maria... padahal kau putriku satu-satunya. Kenapa begini... padahal aku sudah mendidikmu sedemikian keras...” isak tante Nuri. Miris hati Ren mendengarnya. Ibu mana yang nggak menyayangi anaknya, biar dia seseram setan sekalipun.
Setelah dua hari tertidur, akhirnya Maria membuka mata. Lega rasanya Ren melihat Maria sadar setelah lama Ren berdoa di setiap pagi, siang, malam harinya. Ren nggak bisa langsung melihat Maria. Maria sama sekali nggak mau ketemu siapapun dan mau sendiri dulu. Untunglah akhirnya Maria mau berbicara dengannya.
“Aku... rasanya malu sekali melihat ibu, kakak, dan kamu datang dengan wajah khawatir seperti ini.” Kata Maria pelan. “Maaf.”
“Untuk apa?”
“Maaf sudah memakimu. Maaf sudah memanfaatkanmu dan tidak tahu terima kasih. Maaf, karena aku sudah membuatmu jadi sasaran ibuku padahal tidak tahu apa-apa. Maaf, tidak mendengarkanmu. Maaf... seribu kalipun aku minta maaf, rasanya tidak akan cukup. Maaf, ma..” Ternyata airmata Maria bercucuran. Kata-katanya berhenti karena berusaha menahan tangis.
“Apa yang terjadi?” Tanya Ren spontan. Dia tahu, tidak sopan menanyakan langsung, tapi kata-kata itu tercetus begitu saja.
“Malam itu, aku kabur dari rumah karena rindu dengannya. Dia menjemputku dan kami berdua pergi ke tempat temannya makan-makan. Tempat itu aneh, bau rokok dan bir di mana-mana. Tapi dia bilang, dia akan menjagaku. Lagipula banyak cewek juga di situ.” Jelas Maria. “Awalnya dari sebuah permainan, aku mulai disuruh minum-minum. Aku nggak tahu apa campurannya, tapi itu membuatku pusing dan lemah. Aku nggak tahan, dan muntah-muntah. Dia menemaniku, sampai dia dia dipanggil temennya. Di situlah aku tahu, kalau dia... dia...”
“Dia?”
“Dia mau mengajakku tidur malam itu. Aku ketakutan. Entah kenapa, rasanya aku harus pergi.” Cerita Maria. Dia terdiam, lalu tersenyum kecil. “Kau tahu? Rasanya aku beruntung sekali. orang-orang yang mabuk itu nggak ada yang sadar aku pergi. Meskipun mabuk, pusing dan lemah, entah kenapa aku bisa berjalan jauh sampai akhirnya jatuh pingsan di tempat ramai. Berkat itu, aku jadi cepat ditolong. Seandainya saat itu aku tidak kabur entah apa yang kualami saat itu.”
Badan Maria bergetar. Dia ketakutan. “Aku merasa mimpi bisa ada di sini bersama kalian. Aku takut aku terbangun dan ternyata masih ada di tempat itu.”
“Tenang. Kamu sudah bangun kok.” Hibur Ren. “Nggak apa-apa kok. Kamu bisa mulai lagi. Nggak ada yang nyalahin kamu karena hal beginian. Ibumu bahkan tobat dari sikap kejamnya. Aku melihatnya, dia sedih banget waktu nunggu kamu sadar.”
“Tapi... aku sudah...”
“Kamu belum jatuh kok! Kamu Cuma salah jalan. Kamu tinggal balik lagi dan jalan menuju jalan yang benar. Lagipula, meski kamu jatuh ke jurang sekalipun, ada kami di sini yang menangkap tanganmu dan menarikmu jadi kamu nggak jatuh.” Mendengar kata hiburan Ren yang ngaco, Maria tersenyum.
“Kamu itu... memang teman paling aneh yang pernah kutemui.” Kata Maria akhirnya tertawa.
“Tentu saja,” balas Ren tersenyum. “Kita kan sahabat.”
Akhirnya, hari jadi cerah lagi. Maria dapat banyak sekali oleh-oleh dari keluarga dan teman-teman yang lain. Peristiwa kali ini membawa pelajaran bagi Maria, keluarganya, dan orang-orang di sekitarnya. Dan mungkin buatmu juga.(Kutai Barat, 07-05-09, 01:00 am)

* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?