Jumat, 09 November 2012

Bab 8

cerpen, novel

Vinci




Malam hari sebelum ujian aku terus saja membaca buku. Tapi aku terus teringat beberapa hari di Bali. Betul-betul banyak masalah dan sebagainya. Apalagi soal yang menyangkut anak itu.
Sebetulnya aku sudah merasa ada yang aneh karena murungnya anak itu. Tapi tak kusangka aku betul-betul terganggu dengan hal-hal seperti itu. Aku jadi merasakan perasaan yang nggak enak. Sekali-sekali kusempatkan melihatnya, dan dia selalu terlihat murung. Meskipun dia berusaha mencoba memakai cara agar dia bisa rileks, tapi kayaknya semuanya gagal. Jangan-jangan memang terjadi sesuatu tentang anak itu. Sekarang dia sudah rileks, tapi aku tetap penasaran apa yang menyebabkan dia sedih.
Aku betul-betul panik begitu tahu dia hilang. Kalau saja Martin tidak panik duluan, mungkin aku yang panik dan meninggalkan syuting. Begitu Martin kutenangkan, kusuruh dia dan kru yang lain berangkat duluan, sementara aku pergi mencari anak itu. Masih kuingat arah kemana dia pergi, dan mulai menyusuri tebing jurang. Kurasa dia ingin sejenis ‘menjernihkan kepala’, dan mencari angin segar.
Begitu kutemukan dia, aku merasa lega. Dia yang terduduk gontai seperti orang yang putus asa, aku langsung mau memanggilnya. Tapi dia kaget dan meloncat menjauhi aku.
Begitu melihat wajahnya, semua kepanikanku langsung berubah menjadi kekesalan. Terbayang bagaimana capeknya aku, dan menemukan dia seperti itu karena masalah yang dia sembunyikan dariku, membuatku marah. Mungkin karena kemarahanku, dia sampai terpeleset di tebing itu. Melihat keseimbangannya goyang, rasanya jantungku mau berhenti. Seketika itu dalam pikiranku hanyalah meraih tangannya. Untunglah dia sama sekali nggak berontak begitu kupegang. Mungkin juga karena dia nggak takut apapun, jadi dia nggak takut dengan ketinggian dan laut itu. Aku jadi ingat, dan baru merasakan, kalau ternyata badan anak itu mungil juga. Karena terlalu takut, ku dekap dia erat-erat. Entah apa pendapatnya soal itu.
Kalau dipikir lagi sekarang, aku jadi heran sendiri kenapa aku waktu itu aku begitu terganggu dengan murungnya anak itu. Juga sangat panik begitu dia hilang dan akibatnya jadi marah. Mungkin, waktu dia jatuh itu memang betul-betul naluri-sudah pasti karena aku nggak mau ada yang mati di depanku-tapi masa dua hal sebelumnya juga dengan alasan yang sama. Sebenarnya aku sudah dapat sedikit petunjuk dan hampir dapat jawabannya, tapi aku rasa itu mustahil, bahkan jika dihitung menggunakan rumus apapun di dunia ini.
Sebenarnya, ada apa denganku?

Begitu pagi dan bersiap mengganti pakaian, aku merasa ada yang kurang. Dan ternyata itu adalah jam tangan. Jam tangan itu rusak waktu aku menyelamatkan anak itu. Jam tangan itu kuletakkan di atas meja. Toh nanti bisa di ganti lagi.
Aku turun untuk sarapan. Aneh, dia nggak ada. Hari apa ini? Apa ini hari dia cucian? Begitu selesai makan, aku pergi lagi ke lantai dua. Ada balkon yang sangat luas yang digunakan untuk jemuran. Kita juga bisa santai di situ, karena ada semacam meja berkaki rendah yang digunakan untuk lesehan. Ah, dia ada.
Angin sejuk karena masih pagi beradu dengan sinar matahari yang hangat. Pakaian-pakaian melambai terkena angin. Sosok anak itu yang berdiri dan memandang puas dengan hasil kerjanya.
Dia menoleh, menyadari keberadaanku dan tersenyum.
“Selamat pagi. Kau sudah makan?” Sapanya dengan nada lembut. Sepertinya dia senang sekali.
“Pagi.” Jawabku pendek. Sesaat, aku tertegun. Wajahnya begitu bersinar, persis matahari pada pagi ini.
“Kalau gitu, aku mau beres-beres dulu.” Katanya riang, dan bergegas ke bawah.
Apa dia memang senang dengan kerjaan cucian? Jarang-jarang melihatnya bekerja disaat-saat seperti ini. Terakhir kali aku melihatnya, aku juga merasa hal aneh. Apa ya? Yah, sudahlah. Nanti juga ingat lagi.
“Kamu ke kantor saja. Atau kamu mau tinggal di rumah?” Tanyaku bersiap-siap.
“Sebenarnya aku mau belanja keperluan sekolah dan baju-baju baru. Soalnya besok aku sudah harus sekolah. Aku Cuma bawa baju seragam saja. Yang lainnya nggak ada.” Kata anak itu berpikir. Ada-ada saja, ingat bawa baju seragam tapi buku pelajaran sama sekali nggak dibawa? Yang benar aja.
“Kalau gitu kau siap-siap kuturunkan di mall. Kebetulan satu jurusan. Kamu bisa belanja di sana.” Kataku sambil mengambil kunci mobil.
“Uangnya?”
“Nanti kukasih.”
Anak itu kegirangan, dan langsung naik keatas untuk siap-siap. Dasar anak-anak.
Begitu sampai di depan supermarket, aku baru sadar kalau aku nggak bawa uang tunai. Jadi kuberikan saja kartu kreditku.
“Loh, nggak apa nih? Nggak bakal jadi masalah?” Tanya anak itu bingung. Aku jadi jengkel dengernya. Tadi senang, sekarang malah kebingungan.
“Pakai saja. Daripada lama... nanti kamu pulang saja ke kantor, sampai di kantor kamu minta uang taksinya ke Martin. Untuk belanjamu, pakai saja itu. Jangan cerewet lagi.”
“Makasih.” Dengan agak ragu anak itu ngambil. Dia langsung bersiap keluar. Sebelum menutup pintu, dia tersenyum padaku. “Vinci, good luck di examnya ya!”
Dia pergi. Selama ini nggak ada yang ngucapin itu ke aku karena meskipun nggak di beri semangatpun examku tetap lancar seperti biasa. Yah, biasa-biasa saja.
Dan seperti yang kuduga, ujianku tetap berjalan lancar. Kalau nggak salah, nanti kira-kira dua minggu lagi akan ada praktek.
Yah... agak sibuk juga dengan semua kuliah ini. Aku sudah menyelesaikan semua kuis-kuis ini. Jadi aku punya banyak waktu untuk berpikir tentang apa yang terjadi jika aku tetap melanjutkan kuliah ini. Semakin lama pekerjaanku semakin banyak. Dan untunglah sebagai aktor top jadi aku bisa memilih dengan santai semua pekerjaan hingga bisa memanage waktu dengan baik tanpa khawatir turunnya popularitas. Yah... meskipun bukan aku yang khawatir, tapi orang-orang manajemen.
Karena hari ini aku seharian off, mungkin bagus juga kalau aku jalan-jalan dulu. Anak itu gimana ya, apa dia sudah belanja atau belum? Sebaiknya sudah, kalau nggak, pasti dia memanfaatkan kartuku untuk beli macam-macam yang nggak perlu.
Sebaiknya aku beli sesuatu sebelum pulang. Keperluan mobilku dan yang lainnya. Kali ini aku pakai kartu atmku saja. Hm...
Sesudah keliling kampus untuk penyelesaian administrasi, dan pergi untuk belanja sebentar, sampai akhirnya jam 6 sore aku sampai di rumah. Dia menyambutku selagi memasak.
“Vinci lama banget. Aku sampai capek nunggu di kantor. Untuk aku pulang, jadi sempat memasak. Kau mandi aja dulu, selagi makanan siap. Pasti capek.” Katanya sambil berkonsentrasi memasak. Salah satu hal yang juga agak mengganggu. Ah, biarlah.
Kami makan malam bersama. Kelihatannya dia memutuskan nggak menghindariku lagi. Dia tersenyum senang, mungkin karena puas belanja.
“Semua uang yang kubelanjakan sudah kukembalikan sama Pak Martin. Dia bilang, aku punya bonus karena sudah menemanimu keluar pulau. Untunglah uangku cukup.” Kata anak itu senang. Dasar Martin. Padahal anak itu bukannya bantu malah bikin repot selama perjalanan, kau malah beri bonus untuk dia?
“Jadi, kamu beli apa aja?” Tanyaku.
“Hm... tentu aja baju, buku sekolah dan peralatan lainnya, tas, bahan makan malam kita, dan... sepasang jam tangan. Satu untukku dan satu untukmu.”
Untukku? Kenapa...
“Kaget ya? Aku... sebenarnya waktu aku membangunkanmu, aku melihat jam tanganmu yang besar dan berwarna hitam itu. dan... dan aku ingat, terakhir kali aku melihatnya adalah waktu kamu menolongku. Jadi... jadi kupikir... aku harus beli. Ng.... ini. Punyaku warna pink dan punyamu warna silver.” Anak itu gugup. Apa yang dia rencanakan?
“Apa maksudmu dengan membeli sepasang? Apa kau punya maksud tertentu?”
“Kau mencurigaiku?” Amarahnya naik. Tapi kemudian dia mencoba menahan sebisanya. “Waktu itu... waktu aku mau membeli jam berwarna silver, Cuma jam itu saja yang ada. Dan itu khusus sepasang. Kebetulan aku juga suka dengan model pink-nya ini, jadi aku pikir apa salahnya kubeli. Ta, tapi kalau kamu nggak suka nggak masalah.”
“Kenapa nggak pilih warna yang lain? Kenapa harus warna silver?” Begitu kutanyakan itu, anak itu terdiam. Dia sepertinya ragu dengan apa yang dia pikirkan.
“Ka... karena kupikir kau menyukai warna silver atau abu-abu. Warna abu-abu juga bagus untuk jam, tapi modelnya jelek. Karena itu, kupilih warna silver saja.”
Apa juga harus kutanyakan, kenapa dia tahu aku suka warna silver? Tapi kalau melihat dia yang gugup seperti itu, kurasa sebaiknya nggak usah. Jadi... aku harus bilang apa untuk jam tangan ini? Modelnya nggak jelek juga.
“Kalau ini sebagai tanda penyesalanmu, jam ini kuterima. Tapi bagaimanapun juga, jam ini tidak akan bisa menyogokku untuk memberikan cincin ini untukmu. Satu-satunya cara, adalah membayar semua harga cincin ini. Mengerti?”
“I, iya.” Kata anak itu lemas. “Oh iya. Bagaimana exammu? Lancar?”
“Examku selalu lancar. Belajar nggak belajar juga nggak ada bedanya.” Jawabku. Ya, yang jadi masalah aku selalu ikut exam susulan gara-gara kerjaan. Atau bahkan minta duluan.
“Vinci mau banget jadi dokter ya? Kenapa?”
“Nggak juga. Semua orang merasa aku cocok jadi dokter. Yah... kupikir apa salahnya?” Anak itu diam saja menatapku. Sepertinya dia menyelidiki sesuatu. “Kenapa?”
“Ah, nggak. Nggak ada apa-apa. Sudah malam. Aku harus bersiap untuk besok. Aku harus tidur lebih cepat supaya bisa bangun lebih pagi lagi. Soalnya, jam setengah tujuh sudah harus berangkat.” Kata anak itu cepat. Dia lalu membereskan makan malam dan mencuci. Ternyata dia mulai berangkat dari jam setengah tujuh pagi. Dan kalau nggak salah, anak sekolah pulang jam dua siang kan? Memang susah kalau anak kecil. Dari jam setengah tiga sore, dia harus langsung pergi ke lokasi syuting. Berarti beres-beres rumah dilakukan setiap malam. Kenapa rasanya bakal jadi susah meskipun baru mikir? Yah, kita lihat saja, anak itu bakal tahan atau nggak.
Jatah makan berkurang. Dari biasanya ada nasi (minimal nasi goreng), sekarang roti. Tapi sebagai gantinya, ada bekal super besar yan terdiri dari 4 tingkat. Kayak orang Jepang aja. Apa aja isinya? Dan ada memo.

Semua sudah ada dalam tas. Isinya seperti biasa. Kalau ada yang kurang, sms aku. Awas, jangan nelpon. Bekal ini sebagai rasa terima kasihku atas hpnya. TERIMA KASIH!! AKU SENANG BANGET!

Tulisannya jelek. Tapi lumayan, bisa dibaca. Baguslah kalau dia senang. Paling tidak, kalau mau nelpon atau sms dia jadi gampang. Ini mempermudah pekerjaan. Dan mempermudah perasaan bersalahku. Uughh... jangan diingat-ingat lagi! Kan dia yang salah!
“Halo, Vinci? Kita bakal syuting kira-kira... satu jam lagi. Bisa kau datang jam itu? Apa aku perlu ikut?” Tanya Martin di seberang sana. Kalau dia bertanya ini, pasti terjadi sesuatu.
“Ada apa?” Tanyaku pelan. Dia kedengaran agak gugup.
“Ng.... Bukan apa-apa. Nggak terlalu penting tapi... aku baru saja merubuhkan lemariku lagi dan akibatnya aku ketumpahan kopi. Sekarang aku harus membereskan arsip dan mulai menata ulang jadwalmu juga mencari kemeja baru.” Kata Martin mencoba tertawa. Lagi lagi. Okelah.
“Aku pergi sendiri. Datanglah secepat mungkin yang kau bisa, sesudah membereskan semua kekacauan di kantormu. Jangan lupa simpan semua cemilanmu di kulkas. Itu semua bisa menghemat ruangan. Apa kau perlu bantuan? Bisa kusuruh anak...”
“Ah, nggak usah.” Potongnya cepat. “Aku bisa mengurusnya. Kasihan dia, kalau sampai membantuku juga.”
“Ya sudah kalau begitu.” Kataku nggak mau membuang waktu. Martin menjadwal ulang sceduleku? Kenapa?
Aku harus tahu apa yang terjadi.

* * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?