Vinci
Malam hari sebelum ujian aku terus
saja membaca buku. Tapi aku terus teringat beberapa hari di Bali. Betul-betul
banyak masalah dan sebagainya. Apalagi soal yang menyangkut anak itu.
Sebetulnya aku sudah merasa ada yang
aneh karena murungnya anak itu. Tapi tak kusangka aku betul-betul terganggu
dengan hal-hal seperti itu. Aku jadi merasakan perasaan yang nggak enak.
Sekali-sekali kusempatkan melihatnya, dan dia selalu terlihat murung. Meskipun
dia berusaha mencoba memakai cara agar dia bisa rileks, tapi kayaknya semuanya
gagal. Jangan-jangan memang terjadi sesuatu tentang anak itu. Sekarang dia
sudah rileks, tapi aku tetap penasaran apa yang menyebabkan dia sedih.
Aku betul-betul panik begitu tahu dia
hilang. Kalau saja Martin tidak panik duluan, mungkin aku yang panik dan
meninggalkan syuting. Begitu Martin kutenangkan, kusuruh dia dan kru yang lain
berangkat duluan, sementara aku pergi mencari anak itu. Masih kuingat arah
kemana dia pergi, dan mulai menyusuri tebing jurang. Kurasa dia ingin sejenis
‘menjernihkan kepala’, dan mencari angin segar.
Begitu kutemukan dia, aku merasa lega.
Dia yang terduduk gontai seperti orang yang putus asa, aku langsung mau
memanggilnya. Tapi dia kaget dan meloncat menjauhi aku.
Begitu melihat wajahnya, semua
kepanikanku langsung berubah menjadi kekesalan. Terbayang bagaimana capeknya
aku, dan menemukan dia seperti itu karena masalah yang dia sembunyikan dariku,
membuatku marah. Mungkin karena kemarahanku, dia sampai terpeleset di tebing
itu. Melihat keseimbangannya goyang, rasanya jantungku mau berhenti. Seketika
itu dalam pikiranku hanyalah meraih tangannya. Untunglah dia sama sekali nggak
berontak begitu kupegang. Mungkin juga karena dia nggak takut apapun, jadi dia
nggak takut dengan ketinggian dan laut itu. Aku jadi ingat, dan baru merasakan,
kalau ternyata badan anak itu mungil juga. Karena terlalu takut, ku dekap dia
erat-erat. Entah apa pendapatnya soal itu.
Kalau dipikir lagi sekarang, aku jadi
heran sendiri kenapa aku waktu itu aku begitu terganggu dengan murungnya anak
itu. Juga sangat panik begitu dia hilang dan akibatnya jadi marah. Mungkin,
waktu dia jatuh itu memang betul-betul naluri-sudah pasti karena aku nggak mau
ada yang mati di depanku-tapi masa dua hal sebelumnya juga dengan alasan yang
sama. Sebenarnya aku sudah dapat sedikit petunjuk dan hampir dapat jawabannya,
tapi aku rasa itu mustahil, bahkan jika dihitung menggunakan rumus apapun di
dunia ini.
Sebenarnya, ada apa denganku?
Begitu pagi dan bersiap mengganti
pakaian, aku merasa ada yang kurang. Dan ternyata itu adalah jam tangan. Jam
tangan itu rusak waktu aku menyelamatkan anak itu. Jam tangan itu kuletakkan di
atas meja. Toh nanti bisa di ganti lagi.
Aku turun untuk sarapan. Aneh, dia
nggak ada. Hari apa ini? Apa ini hari dia cucian? Begitu selesai makan, aku
pergi lagi ke lantai dua. Ada balkon yang sangat luas yang digunakan untuk
jemuran. Kita juga bisa santai di situ, karena ada semacam meja berkaki rendah
yang digunakan untuk lesehan. Ah, dia ada.
Angin sejuk karena masih pagi beradu
dengan sinar matahari yang hangat. Pakaian-pakaian melambai terkena angin.
Sosok anak itu yang berdiri dan memandang puas dengan hasil kerjanya.
Dia menoleh, menyadari keberadaanku
dan tersenyum.
“Selamat pagi. Kau sudah makan?”
Sapanya dengan nada lembut. Sepertinya dia senang sekali.
“Pagi.” Jawabku pendek. Sesaat, aku
tertegun. Wajahnya begitu bersinar, persis matahari pada pagi ini.
“Kalau gitu, aku mau beres-beres
dulu.” Katanya riang, dan bergegas ke bawah.
Apa dia memang senang dengan kerjaan
cucian? Jarang-jarang melihatnya bekerja disaat-saat seperti ini. Terakhir kali
aku melihatnya, aku juga merasa hal aneh. Apa ya? Yah, sudahlah. Nanti juga
ingat lagi.
“Kamu ke kantor saja. Atau kamu mau
tinggal di rumah?” Tanyaku bersiap-siap.
“Sebenarnya aku mau belanja keperluan
sekolah dan baju-baju baru. Soalnya besok aku sudah harus sekolah. Aku Cuma
bawa baju seragam saja. Yang lainnya nggak ada.” Kata anak itu berpikir.
Ada-ada saja, ingat bawa baju seragam tapi buku pelajaran sama sekali nggak
dibawa? Yang benar aja.
“Kalau gitu kau siap-siap kuturunkan
di mall. Kebetulan satu jurusan. Kamu bisa belanja di sana.” Kataku sambil
mengambil kunci mobil.
“Uangnya?”
“Nanti kukasih.”
Anak itu kegirangan, dan langsung naik
keatas untuk siap-siap. Dasar anak-anak.
Begitu sampai di depan supermarket,
aku baru sadar kalau aku nggak bawa uang tunai. Jadi kuberikan saja kartu
kreditku.
“Loh, nggak apa nih? Nggak bakal jadi
masalah?” Tanya anak itu bingung. Aku jadi jengkel dengernya. Tadi senang,
sekarang malah kebingungan.
“Pakai saja. Daripada lama... nanti
kamu pulang saja ke kantor, sampai di kantor kamu minta uang taksinya ke
Martin. Untuk belanjamu, pakai saja itu. Jangan cerewet lagi.”
“Makasih.” Dengan agak ragu anak itu
ngambil. Dia langsung bersiap keluar. Sebelum menutup pintu, dia tersenyum padaku.
“Vinci, good luck di examnya ya!”
Dia pergi. Selama ini nggak ada yang
ngucapin itu ke aku karena meskipun nggak di beri semangatpun examku tetap
lancar seperti biasa. Yah, biasa-biasa saja.
Dan seperti yang kuduga, ujianku tetap
berjalan lancar. Kalau nggak salah, nanti kira-kira dua minggu lagi akan ada
praktek.
Yah... agak sibuk juga dengan semua
kuliah ini. Aku sudah menyelesaikan semua kuis-kuis ini. Jadi aku punya banyak
waktu untuk berpikir tentang apa yang terjadi jika aku tetap melanjutkan kuliah
ini. Semakin lama pekerjaanku semakin banyak. Dan untunglah sebagai aktor top
jadi aku bisa memilih dengan santai semua pekerjaan hingga bisa memanage waktu
dengan baik tanpa khawatir turunnya popularitas. Yah... meskipun bukan aku yang
khawatir, tapi orang-orang manajemen.
Karena hari ini aku seharian off,
mungkin bagus juga kalau aku jalan-jalan dulu. Anak itu gimana ya, apa dia
sudah belanja atau belum? Sebaiknya sudah, kalau nggak, pasti dia memanfaatkan
kartuku untuk beli macam-macam yang nggak perlu.
Sebaiknya aku beli sesuatu sebelum
pulang. Keperluan mobilku dan yang lainnya. Kali ini aku pakai kartu atmku
saja. Hm...
Sesudah keliling kampus untuk
penyelesaian administrasi, dan pergi untuk belanja sebentar, sampai akhirnya
jam 6 sore aku sampai di rumah. Dia menyambutku selagi memasak.
“Vinci lama banget. Aku sampai capek
nunggu di kantor. Untuk aku pulang, jadi sempat memasak. Kau mandi aja dulu,
selagi makanan siap. Pasti capek.” Katanya sambil berkonsentrasi memasak. Salah
satu hal yang juga agak mengganggu. Ah, biarlah.
Kami makan malam bersama. Kelihatannya
dia memutuskan nggak menghindariku lagi. Dia tersenyum senang, mungkin karena
puas belanja.
“Semua uang yang kubelanjakan sudah
kukembalikan sama Pak Martin. Dia bilang, aku punya bonus karena sudah
menemanimu keluar pulau. Untunglah uangku cukup.” Kata anak itu senang. Dasar
Martin. Padahal anak itu bukannya bantu malah bikin repot selama perjalanan,
kau malah beri bonus untuk dia?
“Jadi, kamu beli apa aja?” Tanyaku.
“Hm... tentu aja baju, buku sekolah
dan peralatan lainnya, tas, bahan makan malam kita, dan... sepasang jam tangan.
Satu untukku dan satu untukmu.”
Untukku? Kenapa...
“Kaget ya? Aku... sebenarnya waktu aku
membangunkanmu, aku melihat jam tanganmu yang besar dan berwarna hitam itu.
dan... dan aku ingat, terakhir kali aku melihatnya adalah waktu kamu
menolongku. Jadi... jadi kupikir... aku harus beli. Ng.... ini. Punyaku warna
pink dan punyamu warna silver.” Anak itu gugup. Apa yang dia rencanakan?
“Apa maksudmu dengan membeli sepasang?
Apa kau punya maksud tertentu?”
“Kau mencurigaiku?” Amarahnya naik.
Tapi kemudian dia mencoba menahan sebisanya. “Waktu itu... waktu aku mau
membeli jam berwarna silver, Cuma jam itu saja yang ada. Dan itu khusus
sepasang. Kebetulan aku juga suka dengan model pink-nya ini, jadi aku pikir apa
salahnya kubeli. Ta, tapi kalau kamu nggak suka nggak masalah.”
“Kenapa nggak pilih warna yang lain?
Kenapa harus warna silver?” Begitu kutanyakan itu, anak itu terdiam. Dia
sepertinya ragu dengan apa yang dia pikirkan.
“Ka... karena kupikir kau menyukai
warna silver atau abu-abu. Warna abu-abu juga bagus untuk jam, tapi modelnya
jelek. Karena itu, kupilih warna silver saja.”
Apa juga harus kutanyakan, kenapa dia
tahu aku suka warna silver? Tapi kalau melihat dia yang gugup seperti itu,
kurasa sebaiknya nggak usah. Jadi... aku harus bilang apa untuk jam tangan ini?
Modelnya nggak jelek juga.
“Kalau ini sebagai tanda penyesalanmu,
jam ini kuterima. Tapi bagaimanapun juga, jam ini tidak akan bisa menyogokku
untuk memberikan cincin ini untukmu. Satu-satunya cara, adalah membayar semua
harga cincin ini. Mengerti?”
“I, iya.” Kata anak itu lemas. “Oh
iya. Bagaimana exammu? Lancar?”
“Examku selalu lancar. Belajar nggak
belajar juga nggak ada bedanya.” Jawabku. Ya, yang jadi masalah aku selalu ikut
exam susulan gara-gara kerjaan. Atau bahkan minta duluan.
“Vinci mau banget jadi dokter ya?
Kenapa?”
“Nggak juga. Semua orang merasa aku
cocok jadi dokter. Yah... kupikir apa salahnya?” Anak itu diam saja menatapku.
Sepertinya dia menyelidiki sesuatu. “Kenapa?”
“Ah, nggak. Nggak ada apa-apa. Sudah
malam. Aku harus bersiap untuk besok. Aku harus tidur lebih cepat supaya bisa
bangun lebih pagi lagi. Soalnya, jam setengah tujuh sudah harus berangkat.”
Kata anak itu cepat. Dia lalu membereskan makan malam dan mencuci. Ternyata dia
mulai berangkat dari jam setengah tujuh pagi. Dan kalau nggak salah, anak
sekolah pulang jam dua siang kan? Memang susah kalau anak kecil. Dari jam
setengah tiga sore, dia harus langsung pergi ke lokasi syuting. Berarti
beres-beres rumah dilakukan setiap malam. Kenapa rasanya bakal jadi susah
meskipun baru mikir? Yah, kita lihat saja, anak itu bakal tahan atau nggak.
Jatah makan berkurang. Dari biasanya
ada nasi (minimal nasi goreng), sekarang roti. Tapi sebagai gantinya, ada bekal
super besar yan terdiri dari 4 tingkat. Kayak orang Jepang aja. Apa aja isinya?
Dan ada memo.
Semua
sudah ada dalam tas. Isinya seperti biasa. Kalau ada yang kurang, sms aku.
Awas, jangan nelpon. Bekal ini sebagai rasa terima kasihku atas hpnya. TERIMA KASIH!!
AKU SENANG BANGET!
Tulisannya jelek. Tapi lumayan, bisa
dibaca. Baguslah kalau dia senang. Paling tidak, kalau mau nelpon atau sms dia
jadi gampang. Ini mempermudah pekerjaan. Dan mempermudah perasaan bersalahku. Uughh...
jangan diingat-ingat lagi! Kan dia yang salah!
“Halo, Vinci? Kita bakal syuting
kira-kira... satu jam lagi. Bisa kau datang jam itu? Apa aku perlu ikut?” Tanya
Martin di seberang sana. Kalau dia bertanya ini, pasti terjadi sesuatu.
“Ada apa?” Tanyaku pelan. Dia
kedengaran agak gugup.
“Ng.... Bukan apa-apa. Nggak terlalu
penting tapi... aku baru saja merubuhkan lemariku lagi dan akibatnya aku
ketumpahan kopi. Sekarang aku harus membereskan arsip dan mulai menata ulang
jadwalmu juga mencari kemeja baru.” Kata Martin mencoba tertawa. Lagi lagi.
Okelah.
“Aku pergi sendiri. Datanglah secepat
mungkin yang kau bisa, sesudah membereskan semua kekacauan di kantormu. Jangan
lupa simpan semua cemilanmu di kulkas. Itu semua bisa menghemat ruangan. Apa
kau perlu bantuan? Bisa kusuruh anak...”
“Ah, nggak usah.” Potongnya cepat.
“Aku bisa mengurusnya. Kasihan dia, kalau sampai membantuku juga.”
“Ya sudah kalau begitu.” Kataku nggak
mau membuang waktu. Martin menjadwal ulang sceduleku? Kenapa?
Aku harus tahu apa yang terjadi.
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?