Rabu, 07 November 2012

Bab 6

cerpen, novel

Vinci




“Restoran ini adalah restoran modern yang memiliki kebudayaan Hindu Bali yang terkenal.
Cita rasa masakan yang menarik, bahkan cara memasaknya masih memakai cara-cara lama yang memperkuat tradisi. Kalau cara penyajiannya, benar-benar modern dan bersih.”
Saat ini aku masih dalam restoran Nirwana, dan liputan masih terus berlanjut. Sampai sekarang masih sangat lancar, dan jarang take ulang. Makanannya juga enak, lumayanlah.
Yang jadi masalah, dari mulai sampai selesai take, anak itu nggak kelihatan. Kemana aja dia tadi? Begitu kutanyakan pada Martin, dia jawab sudah mengsms anak itu. 20 menit lagi pasti muncul. Semoga aja.
Akhirnya kami istirahat sebentar, dan aku bisa betul-betul makan. Ada suara cewek-cewek yang berisik banget. Cewek mana sih?
Entah sengaja atau nggak, mereka terus aja ngomong-ngomong nggak karuan. Berisik banget.
“Siapa sih, kok cewek ribut banget...” Salah seorang kru melihat anak itu.
“Perlu kulihat juga?” Tanya Martin.
“Buat apa? Yang penting, mana anak itu. Bisa jadi masalah kalau dia hilang di pulau kecil ini. Aku sudah minta untuk mengawasinya kan?” Kataku cepat. Martin terdiam. Haah... pasti dia seperti itu. Aku kan jadi nggak enak juga. Hm? Kenapa sekarang aku bisa kayak gitu? Bukannya sudah biasa. Jangan-jangan gara-gara anak cerewet itu.
Sesudah pelayan meminta mereka tenang, suara mereka agak mengecil. Tapi tetap saja mereka berisik. Persis kayak anak itu.
“Loh, itu kan anak yang satu pesawat dengan kita.” Terdengar suara seorang kru. Hah? yang benar? Pikirku penasaran.
“Yang sama Rianna kan?” Tanya yang lainnya lagi. Tiba-tiba Martin berjalan dari arah belakangku dan duduk. Dia rupanya baru saja dari toilet.
“Ada Nadia di sebelah sana, di tempat anak-anak cewek tadi.” Bisik Martin.
Anak itu jalan-jalan sama cewek-cewek berisik itu? Apa hubungannya ‘anak’ itu dengan cewek-cewek berisik itu? Apa mereka teman? Pantas sikapnya begitu jelek. Rupanya teman-temannya seperti itu. Sudahlah, yang penting anak itu sudah ada di sini dan nggak bikin masalah. Tapi aku harus pastikan teman-temannya nggak bakal mengganggu lagi.
Sesudah makan-makan ini, waktu sudah menunjukkan jam 1 siang. Sisa tempat yang akan dikunjungi dalam waktu delapan jam ini masih ada tiga plus satu tempat untuk makan malam. Dan anak itu...
“Vinci, Nadia sms. Katanya dia bersama dengan teman-teman sekelasnya dan akan baik-baik saja sampai makan malam nanti. Apa kita sms saja nama hotelnya?” Tanya Martin.
“Kenapa kau selalu menggangguku soal anak itu? Kan kau yang mengawasinya?”
“Karena... sepertinya Vinci mencemaskan anak itu.”
Aku? Yang benar saja.
“Jangan konyol. Aku mau baca naskah sisanya. Kau urus pekerjaanmu yang lain.” Kataku cepat. Lalu aku teringat sesuatu. “Mana cewek itu?”
“Siapa? Oh iya. Rianna. Dia ada acara tersendiri. Makanya nggak bergabung dengan kita di sini.” Jawab Martin. Hm... bagus. Dia nggak akan menggangguku soal yang tidak perlu. Sekarang harus konsen sama kerjaan. Dan anak itu...!!! dia meninggalkan pekerjaan dan senang-senang seharian! Dia kan kubawa ke sini untuk bekerja, dasar bodoh!
Hm... liputan untuk dua episode sekaligus ya. Aku sudah selesai baca naskahnya, dan sekarang mengecek jadwal harianku. Sekarang... tanggal 25 ya. Hari Minggu. Pekerjaanku sampai sekarang adalah : dua syuting sinetron striping, dua episode liputan, satu presenter-entah apa namanya-, lalu persiapan syuting movie yang terbaru.
Kegiatan biasa : tidak ada. Semuanya sudah diserahkan ke anak itu. Membereskan rumah, berbelanja, memasak, mencuci dan mengurus barang-barang selama syuting. Hm... karena katanya dia mau sekolah, kurasa semuanya akan berat. Soal berbelanja dan mengurus barang selama syuting, diserahkan lagi pada Martin. Agak berat, karena Martin masih sibuk menyesuaikan jadwalku sampai bulan Februari tahun depan. Ah iya. Aku ada kuliah 5 kali sebulan dan test sekali tiga bulan. Mungkin itu saja kegiatanku selain mengurus mobil.
“Vinci, sudah siap?” Kata salah seorang kru memanggil.
“Sudah.”

Akhirnya selesai dua tempat. Ternyata jadwalnya lebih cepat dari perkiraan. Kami sudah mengelilingi dua tempat. Begitu selesai, Martin memberikanku minuman bervitamin. Mereknya sama dengan yang biasa diberikan Nadia.
“Aku diminta Nadia membelikannya sesuai memo yang ada dalam tasnya. Tas itu ditinggalkan untukku. Betul-betul lengkap ya?” Kata Martin tersenyum senang.
“Apa maksudmu?” Tanyaku sambil minum. Tas besar punya anak itu ada di genggaman Martin. Dia lalu membuka relsletingnya.
“Hm... ada handuk, aqua, memo, minyak kayu putih, obat maag, obat mual, dan obat anti alergimu. Kayaknya dalam waktu singkat dia mengenal semua kebiasaanmu ya. Masih banyak lagi barang lainnya di sini. Tapi sepertinya tidak bisa di bongkar sekarang.”
Darimana anak itu tahu? Apa dia memang penguntit? Hm... padahal aku nggak pernah bilang siapa-siapa aku punya gejala maag. Begitu juga mabuknya naik kapal, dan yang lain. Oh iya, apa anak itu masih main?
“Sepertinya kita bisa santai. Bagaimana kalau mandi dulu?” Tanya Martin. Aku mengambil handuk dan membasahinya dengan air.
“Nanti malam aku mau berendam yang lama. Sekarang ini saja kan?”
“Hm... kalau begini, mungkin kita akan menambah sisa tempat. Besok adalah puncak. Kita akan mengunjungi Tanah Lot, lalu menikmati paralayang, pergi ke pulau Nusa Dua, dan masih banyak lagi. Sampai Rabu sore, baru kamu akan tampil sebagai bintang tamu dan kita pulang lewat pesawat malam. Kau butuh istirahat banyak sampai jam 9 pagi di hari Kamis. Ada yang kau butuhkan?”
“Tidak ada. Ini sudah cukup. Aku mau semuanya cepat selesai dan aku bisa cepat istirahat.” Jawabku cepat. Terdengar bunyi ringtone sms. Ternyata dari anak itu.


From : Anak Kecil

S E M A N G A T ! ! ! jgn
Lp, d dlm tasq dah bxk
Isix. Kalo da pp, mnt ma P.Martin
Z y!

Anak ini.... meremehkan!! Memangnya sudah bagus hanya dengan menyemangati saja. Huh!
“Apa isinya?” Tanya si sialan Martin. “Isinya bagus juga, ya.”
“Apanya?”
“Tandanya dia perhatian. Dia juga nggak lupa dengan tugasnya.”
“Apanya yang nggak lupa? Dia malah senang-senang dengan temannya.”
“Yah... aku ngerti perasaanmu. Tapi yang kudengar, Nadia pergi dari rumah kan? Pasti dia sama sekali tidak menghubungi teman-temannya karena tidak mau dicari. Apalagi sekarang, dia sudah bekerja denganmu. Karena privasimu yang harus dijaga, dia pasti tidak mengontak siapa-siapa. Aku yakin, baik dia maupun temannya pasti sama-sama kesepian. Karenanya begitu bertemu, rasanya mau menghabiskan waktu bersama-sama supaya setimpal dengan sepinya sebulanan ini.”
“Aku nggak ngerti maksudmu.”
“Asal kau memakluminya, itu sudah cukup.” Balas Martin cepat. Memang, kalau dia mau, dia tidak akan kalah ngototnya dengan anak kecil. Entah kenapa, dia seperti nggak pernah kehabisan kata-kata. Selalu saja ada jawaban untuk setiap argumen yang diberikan. Tentu berlaku kalau nggak cocok sama perasaannya.

Akhirnya semua pekerjaan selesai tepat sesudah makan malam. Sesudah mandi dan ganti pakaian, aku berbaring sebentar dan melihat ke sekeliling kamarku. Begitu melihat jam, sekarang sudah jam 9 malam. Apa anak itu sudah pulang? Ini sudah kemalaman. Dasar anak bodoh, bikin repot saja. Terdengar suara ringtone HP. Anak kecil?
“Halo?” Terdengar suara anak itu yang kedengaran gugup. Apa dia merasa bersalah?
“Apa?” Tanyaku.
“Ma, maaf. Aku baru pulang larut malam. Aku baru saja bertemu dengan temanku setelah sekian lama, jadi mereka nggak mau aku cepat pulang...”
“Kau senang?” Potongku cepat.
“Eh?”
“Setelah seharian ini jalan-jalan kau senang?”
“Aku Cuma...”
“Bahkan sekarang kau Cuma menelponku. Tidak minta maaf langsung. Beginikah tanggungjawabmu?” Entah kenapa, aku jadi benar-benar kesal dan marah. Mungkin karena ini, bicaraku bisa jadi lebih banyak lagi setelah sekian lama.
“Aku Cuma mau bilang, kalau mulai besok aku akan serius bekerja dan Cuma hari ini saja aku jalan-jalan!! Aku juga nggak akan bisa datang ke kamarmu karena ini bukan di rumah. Ini hotel!!! Dan banyak saja orang-orang yang menanti saat-saat dimana seorang gadis ada di kamar hotelmu larut malam untuk dijadikan gosip! Jangan memarahiku hanya karena itu saja!”
Teleponnya dimatikan. Beberapa saat kemudian aku menyadari, rasa kesalku membuatku mencari-cari kesalahan. Padahal dia sudah benar meski berusaha meminta maaf lewat telepon demi menjaga imageku. Anak itu kadang bisa berpikir lebih dewasa daripada aku. Kedengarannya dia mau nangis. Masa karena omonganku dia jadi begitu sensitif? Padahal selama ini Cuma Martin dan Direktur yang bisa menyadari kapan aku marah dan kapan aku bersikap apa adanya. Seperti kata Martin, sepertinya anak itu bisa mengenali kebiasaanku dalam tempo singkat.
“Shit!” Kenapa rasanya jadi kalah begini? Aku baru saja tinggal sebulan dengannya, dan mulai hari Kamis nanti pasti juga nggak bakal sering-sering ketemu dia. Tapi dalam waktu sesingkat ini, kenapa rasanya kami jadi saling terbiasa satu sama lain? Untung kamar ini single room. Jadi nggak ada yang bakal lihat aku yang sekarang jadi uring-uringan seperti ini. Aku harus bisa jadi Vinci yang pendiam, berwajah seperti biasa, dan juga seorang idola. Aku nggak boleh membiarkan sesuatu menghalangiku seperti ini.

Begitu bangun, aku merasa bisa menjadi sangat baik. Kurasa ini akan berjalan lancar, ketika kubuka pintu dan melihat gadis kecil yang sekarang berada tepat di depanku! Dia betul-betul pengaruh buruk untuk jantungku, meskipun nggak akan ada yang melihatnya.
“Ng... maaf. Maafkan aku. Kemarin itu adalah hal yang pertama dan terakhir kalinya dalam perjalanan kita di Bali ini. Aku akan terus ada di sekitarmu.” Katanya pelan, dan wajahnya menunduk. Entah karena dia lagi sedih atau memang nggak mau melihat wajahku. Setelah mengucapkan semua itu, dia langsung pergi dengan cepat. Aku menyusul dalam jarak beberapa meter darinya.
Ini suatu kemajuan untuk ego si anak kecil. Tak kusangka dia akan mengulang permintaan maafnya. Padahal sampai tadi malam, dia masih bisa menyalahkanku. Sudah begitu merasa bersalahkah?
Begitu mendekati resto, kulihat anak itu berbicara pada Martin. Rupanya dia menungguku. Kami akan membahas lagi soal tempat-tempat yang akan dikunjungi hari ini dengan produser. Dan mungkin juga nanti akan meliput daerah-daerah Bali pada malam hari.
Tertangkap olehku gadis yang duduk tak jauh dari meja kami. Bahkan dia berada tepat dalam garis tatapanku. Anak itu luarbiasa murung. Kepalanya menunduk terus. Ini masih berupa kejutan baru. Diakan tipe anak yang segala kesedihan, kekesalan, dan kemarahannya tidak akan bertahan lebih dari 24 jam itu? Yang bagaimanapun sedih dan murungnya, pasti setelah bangun pagi langsung segar dan ceria lagi. Apa terjadi sesuatu kemarin? Ataukah ada hal lain yang membuatnya shock hari ini?
Semangat yang menurun mempengaruhi cara kerja. Aku harus melakukan sesuatu. Tapi mau buat apa? Ng... kenapa aku harus repot-repot untuk anak itu? Nanti dia juga baik sendiri. Biarkan sajalah. Kalau nanti keadaannya mengkhawatirkan, baru aku bertindak.
“Pasti terjadi sesuatu pada Nadia.” Kata Martin. Dia kelihatan cemas. “Aku sudah menelponnya, dan berbicara padanya tadi. Dia betul-betul dalam kondisi yang jelek. Apa sudah terjadi sesuatu?”
Aku nggak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, karena aku juga memikirkan pertanyaan yang sama.

* * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?