Nadia
Aku berkali-kali menghembuskan napas
sepanjang mungkin. Apa aku sedang frustasi? Haaaah.... aku jadi bingung. Apa
tindakanku selama ini salah?
“Aku... ketemu dengan kakakmu.” Kata
Elsa ragu-ragu mengatakannya. Dia mengatakan ini sesudah kami bersenang-senang,
dan aku baru saja sukses mengirim sms ke Vinci. Sepertinya aku terkena shock
pendek, karena itu hanya terjadi selama beberapa detik.
“Dia kelihatan cemas, dan betul-betul
seperti orang gila. Menelpon kita semua, mencari ke jalan-jalan dan banyak lagi
usahanya. Kalau saja waktu itu dia tidak harus berangkat lagi ke Australia,
mungkin dia masih ada di sini dan mencarimu. Tak disangka, saat-saat dia tak
ada, kami bertemu lagi denganmu.” Kata Fitri.
“Sebenarnya kami tidak mau ikut
campur, tapi... sebaiknya kamu rukun lagi ama kakakmu. Mungkin kamu bisa menelpon
dan nggak bikin dia cemas. Jangan sampai dia sakit seperti waktu itu.” Kata
Romy.
Sa... sakit? Kak Jun sakit?
“Sakit apa?”
“Demam, karena nggak istirahat
mencarimu. Sesudah demam hampir seminggu, lusanya dia berangkat ke Australia.
Kami semua kaget waktu tahu dia sakit parah. Karena itu...” Jawab Rita.
“Aku ngerti... jadi, semua ini karena
aku ya?”
“Nggak. Kami semua nggak nyalahin
kamu. Tapi... dia sampai sakit karena mencemaskanmu, jadi sebaiknya kamu telpon
dia. Satu kali aja.” Jawab Rita cepat. Tapi i nggak menenangkanku. Aku tahu,
aku egois. Padahal selama ini...
Semua akhirnya nggak menyenangkan
lagi. Perasaan enak membuatku mual. Perasaan yang terus saja membuat perutku
sakit. Tapi aku harus tetap ceria, tahan saja beberapa menit lagi, pasti semua
akan baik-baik saja. Akan kembali tenang.
“Paling nggak, cerita kondisi kamu
sekarang.” Kata Romy.
“Aku... memang kabur dari rumah.” Aku
harus berusaha dengan sebaiknya, mengatakan yang sebenarnya. “Gara-garanya...
aku nggak bisa cerita dengan kalian. Akhirnya sekarang aku kerja sambilan. Aku
bilang aku kerja magang, dan diterima. Bosku orangnya selalu santai. Jadi
dengan mudahnya aku diterima jadi semacam jurnalis sekarang.”
“Nia juga cerita itu sama kami. Tapi
kami juga pingin tahu, kenapa sih kamu sampai bisa kelahi dengan kakakmu?”
Tanya Elsa.
“Sudah ku bilang kan? Aku nggak bisa
kasih tahu. Itu membuatku betul-betul sedih. Kami selama ini terus bersama.
Tapi... dia tega sekali. Huh...” Kenapa ini? Rasanya aneh...
“Kamu tinggal di mana sekarang? Schoolnya?”
“Hm... aku menyewa tempat tinggal. Aku
tetap sekolah bersama kalian. Tenang saja.”
Begitu selesai makan, sebenarnya
mereka juga mau mengantarku ke hotel. Tapi aku menolak dengan tegas. Tentunya
karena berbagai macam hal yang terjadi.
“Ya sudah. Kami mungkin akan pulang
besok pagi. Kalau boleh kami sarankan sekali lagi, rukunlah dengan kakakmu ya?
Teleponlah dia, dan minta maaf. Dia kan kakakmu satu-satunya. Sudah... kami
pulang dulu.” Kata mereka pamit.
Aku melambai dan mencari jalan lain.
Makin lama, rasa sesak itu makin banyak. Betul-betul sakit. Semakin lama aku
memikirkan kak Jun, rasanya aku makin susah bernapas. Apalagi ingat kalau kak
Jun sakit karena aku. Aku terus saja kepikiran apa sakitnya parah. Haruskah aku
menelponnya, setelah aku terus mereject bahkan sempat ganti nomor selama
sebulan untuk menyakinkan dia?
Dalam kamar, aku akhirnya hanya bisa
menangis. Satu sisi aku sangat menyesal dan ingin sekali berbaikan dengan kak
Jun. Tapi... di sisi lain... ah, apa yang kupikirkan? Kenapa aku begitu cengeng
begini?
Begitu bangun pagi, semua orang
menanyakan kabarku. Apa aku lagi sakit, atau aku perlu sesuatu. Apalagi Pak
Martin. Dia care banget. Bahkan sebelum aku masuk resto pun dia berkali-kali
bertanya apa aku baik-baik saja, seperti tadi malam. Sedangkan si Vinci itu
nggak merasa apa-apa. Tapi buat apa mengharapkan dia memperhatikanku? Malahan
aku yang harus memperhatikan dia.
Vinci kelihatannya sangat sibuk. Lebih
baik kutinggalkan obat-obatnya karena kami akan pergi lagi ke tempat makan lain.
Sekarang aku harus menjernihkan otakku, karena kami sekarang ada di tepi tebing
yang biasa dipakai untuk paralayang.
Orang bilang, oksigen berkualitas
tinggi yang dihirup bisa melancarkan peredaran darah. Hm... mungkin memang bisa
menjernihkan otakku dari pikiran-pikiran buruk. Tanpa sadar, aku ada di daerah
yang banyak pohonnya. Aneh ya? Padahal harusnya lapangan paralayang nggak boleh
ada pohon. Jadi aku ini di mana?
Meskipun begitu, antara pepohonan
dengan tebing masih ada jarak kira-kira 10 meter lebih dari tebing. Dan
tanahnya bersih sekali. Pasti sudah pernah dibersihkan. Dan melihat banyaknya
jejak ban, kurasa ada juga beberapa orang yang lewat sini. Mungkin nanti bisa
papasan.
Semenit... dua menit... AAAHH!! Entah
berapa lama lagi menit-menit yang terlewat. Kenapa bisa begini sih? Mana
semakin lama aku semakin jauh berjalan. Karena capek, akhirnya aku duduk.
Karena nggak bisa ngapa-ngapain, akhirnya Cuma bisa menonton pemandangan di
balik tepi jurang ini. Ternyata, kalau di lapangan paralayang tadi di bawahnya
padang rumput, kalau di sini ternyata sudah ada laut!! Agak jauh di seberangku
ada pantai. Banyak warga lokal yang surfing. Ada juga beberapa orang bule, tapi
kayaknya pantai itu nggak terlalu menarik untuk turis. Soalnya turisnya dikit.
Bagaimana ini? Ya ampun... aku
betul-betul payah. Tapi untungnya, karena beberapa kru nggak ada yang kenal
aku, jadi pekerjaan bisa langsung dilanjutkan. Aku sudah putus asa nih, apalagi
selagi aku jalan sampai Cuma bisa duduk bengong, nggak ada seorangpun yang
lewat. Apalagi ternyata hpku nggak punya pulsa. Tinggal berapa rupiah nih?
Kemaren nggak sempat beli pulsa sih... atau nggak, coba aja aku punya kartu sim
yang katanya sms satu karakter Cuma 1 rupiah...
Cuma bisa pasrah aja... haaahhh....
perasaanku jadi galau. Kubenamkan kepalaku ke lipatan tangan, mencoba berpikir
keras. Apa ada yang bisa menemukanku? Aku sendirian... berteriak pasti terlalu
jauh, bahkan bisa mengundang penjahat. Bagaimana? Aku harus bagaimana? Pikirku
sambil menatap hp yang kugenggam erat ini. Hadiah kak Jun waktu aku kelas dua
SMP. Memang kuno, tapi kalau ingat dia yang bekerja demi kami berdua...
haah....
Ada yang menyentuh pundakku!!! Aku
langsung berdiri menghadapnya dan menepis tangannya. Betul-betul kaget aku
dibuatnya.
Cowok tinggi berambut hitam dan
berwajah pokerface. Vinci!!! Kenapa dia bisa ada di sini?!!
Vinci menatapku tajam. Dia langsung
mengeluarkan hp dan menelpon seseorang.
“Halo? Ya, dia sudah ketemu. Sebentar
lagi kami sampai ke sana. Ya. Nggak apa-apa. Bilang sama produser disiapkan
saja. Ok.” Kata Vinci. Sepertinya yang dia telpon itu Pak Martin. Sesudah
menutup hpnya, dia menatapku langsung ke arah mataku. Melihat tatapan matanya,
tiba-tiba aku merasa takut. Mengerikan... ini mengerikan...
Secara reflek, aku mulai melangkah
mundur. Siap-siap mau kabur.
“Kamu... sebenarnya kamu ini kenapa
sih?” Tanya Vinci akhirnya.
“Apa?”
“Dari tadi pagi kamu terus murung.
Seperti orang yang banyak pikiran, nggak konsen. Kamu jangan bikin orang lain
repot. Meskipun kamu ninggalin barang-barang di meja, jangan pergi begitu saja!
Kalau kamu memang tersesat atau nggak bisa pulang, kenapa kamu nggak nelpon
saja! Kamu bawa hp kan?” Vinci benar-benar kesal. Ini memang salahku. Aku jadi
merasa takut, takut banget... aku mundur selangkah lagi. Vinci cepat
mendatangiku. Mau apa dia?
Aku merasakan tanah gembur di
belakangku. Tebing!! Aku kehilangan keseimbangan. Aku jatuh!!!
Vinci meraih tanganku. Dengan mudahnya
dia memegang erat tanganku karena ternyata tangannya besar. Aku baru tahu tahu
tangannya besar banget.
“Anak bodoh!!” Omelnya. Akhirnya dia
berhasil menarikku. Jantungku rasanya nggak karuan. Dia menarikku
sekuat-kuatnya dan menangkapku. Jadi bagaimana aku bisa menormalkan detak
jantungku kalau dipeluk kayak gini!!!
“Bagus kalau kamu nggak takut
ketinggian. Jadi kamu nggak meronta sama sekali gara-gara takut.” Kata Vinci
melepaskan pelukannya. Aku berusaha mengatur napasku. Rasanya betul-betul
pacuan jantung yang kerjanya dobel. Untung aja jantungku nggak jebol sangking
deg-degannya.
“hpku?” baru tersadar kalau hpku
hilang. Aku cepat-cepat mencarinya. Nggak ada. Sama sekali nggak ada di
mana-mana. Hp yang kak Jun kasih... padahal
tadi masih kupegang. Masa sih jatuh... di jurang?!
“Padahal tadi kamu sudah hampir
pingsan gara-gara jatuh, sekarang sudah ngari-nyari hp. Dasar anak-anak, nggak
bisa hidup kalau nggak megang hp satu detik aja. Padahal udah kuno dan usang.
Beli aja yang baru...”
“Santai banget kamu bilang gitu! Hpku
itu memang udah usang, kuno, jelek, tapi dia bukan barang murahan!!!” Mendengar
hp dari kak Jun dibilang kuno, aku langsung nggak bisa nahan emosi. “Kalau
untuk orang kayak kamu, yang terbiasa dengan uang banyak, mudah aja beli hp
yang harganya 100 kali lipat dari hpku ini. Kamu yang nggak pernah terima
barang pemberian orang lain, nggak tahu rasanya! Hpku itu... hp itu... sudah
susah payah dibelikan untukku. Aku...”
“Kita pulang,” kata Vinci seperti
biasa. Aku akhirnya merasakan wajahku memanas, dan mataku yang mulai kabur.
Astaga... apa aku bakal menangis tadi?! Aku nggak mau! Apalagi di depan dia.
Aku nggak mau dia lihat aku nangis.
Kami berdua dalam mobil dan nggak
bicara apa-apa. Panasnya kemarahanku udah mulai mereda karena dinginnya AC dan
suasana ini. Kalau dipikir-pikir, aku harusnya minta maaf dan berterima kasih
sama Vinci. Dia udah datang nyariin aku, apalagi semua kru udah pergi duluan ke
rumah makan itu. Kalau urusan hp, kan salahnya Vinci! Jadi buat yang itu, aku
nggak bakal minta maaf.
Kami sampai di lapangan parkir. Aku
berjalan cepat-cepat supaya nggak ngelihat Vinci. Tapi kalau ingat yang tadi...
rasanya nggak fair. Aku berhenti dan berbalik.
“Vinci... aku... soal aku yang pergi
tadi. Aku minta maaf.” Kataku agak gugup. “Dan... dan terima kasih karena udah
nyariin aku. Makasih...”
Habis bilang kayak gitu, aku merasa
jadi malu banget! Aku langsung menundukkan wajah, dan cepat-cepat pergi dari
situ. Aku bertemu dengan Pak Martin yang menungguku cemas, dan aku cerita semua
dari jalanan yang sepi, dan pulsa hpku yang sekarat. Pak Martin cerita kalau
tempat itu memang sepi soalnya kawasan itu, kawasan yang baru di buka. Apalagi
ada kegiatan liputan itu. Pantasan aja sepi, bahkan sampai di pantai yang di
seberang itu.
Lagi-lagi syuting. Habis ini kami ke
pulau kecil... kalau nggak salah Nusa Dua ya? Pokoknya aku berusaha kerja
sebaik-baiknya. Pak Martin sangat cemas padaku, apalagi mendengar hpku hilang.
Kayaknya dia tahu nilai hpku itu. Kalaupun nggak, dia udah nunjukin rasa
simpati. Meskipun banyak hal yang terjadi, kami semua bisa melaluinya dengan
baik. Besok adalah terakhir, dan kami makai penerbangan sore karena mau
langsung istirahat di rumah. Dan kurasa juga bagaimanapun jeniusnya Vinci, dia
juga butuh belajar yang tenang.
Sejak saat itu, aku berusaha nggak
ngomong sama Vinci. Entah kenapa, rasanya kata-kataku waktu itu betul-betul
bikin malu. Jadi nggak bisa melihat langsung Vinci. Pokoknya menghindar sajalah
sejauh mungkin. Mungkin juga dia lebih tenang kalau aku menjauh. Diakan selalu
menganggapku mengganggunya.
Ternyata ada acara lokal di Bali. Tapi
meskipun acara lokal, tetap aja rame. Apalagi banyak atraksinya. Selagi si
Vinci di panggung, aku memuaskan diri dengan berbagai atraksi-atraksi, pameran,
bahkan ada juga souvenir-souvenir. Apa lebih baik aku beli satu dua ya?
Pak Martin memberi kami sebotol aqua
tanggung. Ini karena kami sukses menyelesaikan tugas terakhir. Vinci
kelihatannya capek, meskipun dia sama sekali nggak menunjukkannya.
“Kita berangkat duluan. Kru liputan
akan mengambil beberapa tempat lagi. Lagipula hari Jumat ada persiapan untuk movie
kan? Ngomong-ngomong, apa kamu masih sanggup untuk job dadakan nanti?
Katanya...”
“Pak Martin, semua barang kita sudah
diantarkan. Bagaimana kalau kita pergi ke Bandara?” Tanyaku. Meski lancang
memotong perkataan orang, kayaknya Pak Martin tidak menyadarinya.
“Oh iya. Ya sudah kalau begitu. Ayo
kita berangkat.” Kata Pak Martin bergegas.
Dalam mobil yang disupiri oleh Pak
Martin, kami semua menikmati angin yang sejuk.
“Vinci, kalau mau tidur, tidur aja.”
Kataku nekat. Ini menurutku nekat karena sudah lama banget aku nggak berani
ngomong.
“Bisa banget kamu ngomong gitu.”
“Habis kayaknya kamu tersiksa menahan
ngantuk sih.”
Vinci terdiam. Kalau dia nggak mau
tidur, biar aja aku yang tidur. Capek sih...
Ternyata Vinci tertidur juga kayak
aku, dan dia melanjutkannya lagi di pesawat. Ini cerita Pak Martin loh!
Katanya, dia juga hampir tidur karena melihat kami berdua yang tertidur pulas.
Selama dalam perjalanan pulang, aku
ketiduran. Dan besoknya, karena seharian itu dia off, dia ninggalin aku di mall
buat belanja keperluan sekolah dan sebagainya. Utangku nggak bertambah, karena
kata Pak Martin dia memberiku uang bonus untuk pergi keluar. Wah, kalau gini,
mudah-mudahan aja Vinci keluar pulau terus.
Aku membeli baju baru, alat-alat
sekolah, sepatu, buku dsb. Senangnya...
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?