Kamis, 08 November 2012

Bab 7

cerpen, novel

Nadia




Aku berkali-kali menghembuskan napas sepanjang mungkin. Apa aku sedang frustasi? Haaaah.... aku jadi bingung. Apa tindakanku selama ini salah?
Ini semua gara-gara kejadian kemarin.

“Aku... ketemu dengan kakakmu.” Kata Elsa ragu-ragu mengatakannya. Dia mengatakan ini sesudah kami bersenang-senang, dan aku baru saja sukses mengirim sms ke Vinci. Sepertinya aku terkena shock pendek, karena itu hanya terjadi selama beberapa detik.
“Dia kelihatan cemas, dan betul-betul seperti orang gila. Menelpon kita semua, mencari ke jalan-jalan dan banyak lagi usahanya. Kalau saja waktu itu dia tidak harus berangkat lagi ke Australia, mungkin dia masih ada di sini dan mencarimu. Tak disangka, saat-saat dia tak ada, kami bertemu lagi denganmu.” Kata Fitri.
“Sebenarnya kami tidak mau ikut campur, tapi... sebaiknya kamu rukun lagi ama kakakmu. Mungkin kamu bisa menelpon dan nggak bikin dia cemas. Jangan sampai dia sakit seperti waktu itu.” Kata Romy.
Sa... sakit? Kak Jun sakit?
“Sakit apa?”
“Demam, karena nggak istirahat mencarimu. Sesudah demam hampir seminggu, lusanya dia berangkat ke Australia. Kami semua kaget waktu tahu dia sakit parah. Karena itu...” Jawab Rita.
“Aku ngerti... jadi, semua ini karena aku ya?”
“Nggak. Kami semua nggak nyalahin kamu. Tapi... dia sampai sakit karena mencemaskanmu, jadi sebaiknya kamu telpon dia. Satu kali aja.” Jawab Rita cepat. Tapi i nggak menenangkanku. Aku tahu, aku egois. Padahal selama ini...
Semua akhirnya nggak menyenangkan lagi. Perasaan enak membuatku mual. Perasaan yang terus saja membuat perutku sakit. Tapi aku harus tetap ceria, tahan saja beberapa menit lagi, pasti semua akan baik-baik saja. Akan kembali tenang.

“Paling nggak, cerita kondisi kamu sekarang.” Kata Romy.
“Aku... memang kabur dari rumah.” Aku harus berusaha dengan sebaiknya, mengatakan yang sebenarnya. “Gara-garanya... aku nggak bisa cerita dengan kalian. Akhirnya sekarang aku kerja sambilan. Aku bilang aku kerja magang, dan diterima. Bosku orangnya selalu santai. Jadi dengan mudahnya aku diterima jadi semacam jurnalis sekarang.”
“Nia juga cerita itu sama kami. Tapi kami juga pingin tahu, kenapa sih kamu sampai bisa kelahi dengan kakakmu?” Tanya Elsa.
“Sudah ku bilang kan? Aku nggak bisa kasih tahu. Itu membuatku betul-betul sedih. Kami selama ini terus bersama. Tapi... dia tega sekali. Huh...” Kenapa ini? Rasanya aneh...
“Kamu tinggal di mana sekarang? Schoolnya?”
“Hm... aku menyewa tempat tinggal. Aku tetap sekolah bersama kalian. Tenang saja.”
Begitu selesai makan, sebenarnya mereka juga mau mengantarku ke hotel. Tapi aku menolak dengan tegas. Tentunya karena berbagai macam hal yang terjadi.
“Ya sudah. Kami mungkin akan pulang besok pagi. Kalau boleh kami sarankan sekali lagi, rukunlah dengan kakakmu ya? Teleponlah dia, dan minta maaf. Dia kan kakakmu satu-satunya. Sudah... kami pulang dulu.” Kata mereka pamit.
Aku melambai dan mencari jalan lain. Makin lama, rasa sesak itu makin banyak. Betul-betul sakit. Semakin lama aku memikirkan kak Jun, rasanya aku makin susah bernapas. Apalagi ingat kalau kak Jun sakit karena aku. Aku terus saja kepikiran apa sakitnya parah. Haruskah aku menelponnya, setelah aku terus mereject bahkan sempat ganti nomor selama sebulan untuk menyakinkan dia?
Dalam kamar, aku akhirnya hanya bisa menangis. Satu sisi aku sangat menyesal dan ingin sekali berbaikan dengan kak Jun. Tapi... di sisi lain... ah, apa yang kupikirkan? Kenapa aku begitu cengeng begini?

Begitu bangun pagi, semua orang menanyakan kabarku. Apa aku lagi sakit, atau aku perlu sesuatu. Apalagi Pak Martin. Dia care banget. Bahkan sebelum aku masuk resto pun dia berkali-kali bertanya apa aku baik-baik saja, seperti tadi malam. Sedangkan si Vinci itu nggak merasa apa-apa. Tapi buat apa mengharapkan dia memperhatikanku? Malahan aku yang harus memperhatikan dia.
Vinci kelihatannya sangat sibuk. Lebih baik kutinggalkan obat-obatnya karena kami akan pergi lagi ke tempat makan lain. Sekarang aku harus menjernihkan otakku, karena kami sekarang ada di tepi tebing yang biasa dipakai untuk paralayang.
Orang bilang, oksigen berkualitas tinggi yang dihirup bisa melancarkan peredaran darah. Hm... mungkin memang bisa menjernihkan otakku dari pikiran-pikiran buruk. Tanpa sadar, aku ada di daerah yang banyak pohonnya. Aneh ya? Padahal harusnya lapangan paralayang nggak boleh ada pohon. Jadi aku ini di mana?
Meskipun begitu, antara pepohonan dengan tebing masih ada jarak kira-kira 10 meter lebih dari tebing. Dan tanahnya bersih sekali. Pasti sudah pernah dibersihkan. Dan melihat banyaknya jejak ban, kurasa ada juga beberapa orang yang lewat sini. Mungkin nanti bisa papasan.
Semenit... dua menit... AAAHH!! Entah berapa lama lagi menit-menit yang terlewat. Kenapa bisa begini sih? Mana semakin lama aku semakin jauh berjalan. Karena capek, akhirnya aku duduk. Karena nggak bisa ngapa-ngapain, akhirnya Cuma bisa menonton pemandangan di balik tepi jurang ini. Ternyata, kalau di lapangan paralayang tadi di bawahnya padang rumput, kalau di sini ternyata sudah ada laut!! Agak jauh di seberangku ada pantai. Banyak warga lokal yang surfing. Ada juga beberapa orang bule, tapi kayaknya pantai itu nggak terlalu menarik untuk turis. Soalnya turisnya dikit.
Bagaimana ini? Ya ampun... aku betul-betul payah. Tapi untungnya, karena beberapa kru nggak ada yang kenal aku, jadi pekerjaan bisa langsung dilanjutkan. Aku sudah putus asa nih, apalagi selagi aku jalan sampai Cuma bisa duduk bengong, nggak ada seorangpun yang lewat. Apalagi ternyata hpku nggak punya pulsa. Tinggal berapa rupiah nih? Kemaren nggak sempat beli pulsa sih... atau nggak, coba aja aku punya kartu sim yang katanya sms satu karakter Cuma 1 rupiah...
Cuma bisa pasrah aja... haaahhh.... perasaanku jadi galau. Kubenamkan kepalaku ke lipatan tangan, mencoba berpikir keras. Apa ada yang bisa menemukanku? Aku sendirian... berteriak pasti terlalu jauh, bahkan bisa mengundang penjahat. Bagaimana? Aku harus bagaimana? Pikirku sambil menatap hp yang kugenggam erat ini. Hadiah kak Jun waktu aku kelas dua SMP. Memang kuno, tapi kalau ingat dia yang bekerja demi kami berdua... haah....
Ada yang menyentuh pundakku!!! Aku langsung berdiri menghadapnya dan menepis tangannya. Betul-betul kaget aku dibuatnya.
Cowok tinggi berambut hitam dan berwajah pokerface. Vinci!!! Kenapa dia bisa ada di sini?!!
Vinci menatapku tajam. Dia langsung mengeluarkan hp dan menelpon seseorang.
“Halo? Ya, dia sudah ketemu. Sebentar lagi kami sampai ke sana. Ya. Nggak apa-apa. Bilang sama produser disiapkan saja. Ok.” Kata Vinci. Sepertinya yang dia telpon itu Pak Martin. Sesudah menutup hpnya, dia menatapku langsung ke arah mataku. Melihat tatapan matanya, tiba-tiba aku merasa takut. Mengerikan... ini mengerikan...
Secara reflek, aku mulai melangkah mundur. Siap-siap mau kabur.
“Kamu... sebenarnya kamu ini kenapa sih?” Tanya Vinci akhirnya.
“Apa?”
“Dari tadi pagi kamu terus murung. Seperti orang yang banyak pikiran, nggak konsen. Kamu jangan bikin orang lain repot. Meskipun kamu ninggalin barang-barang di meja, jangan pergi begitu saja! Kalau kamu memang tersesat atau nggak bisa pulang, kenapa kamu nggak nelpon saja! Kamu bawa hp kan?” Vinci benar-benar kesal. Ini memang salahku. Aku jadi merasa takut, takut banget... aku mundur selangkah lagi. Vinci cepat mendatangiku. Mau apa dia?
Aku merasakan tanah gembur di belakangku. Tebing!! Aku kehilangan keseimbangan. Aku jatuh!!!
Vinci meraih tanganku. Dengan mudahnya dia memegang erat tanganku karena ternyata tangannya besar. Aku baru tahu tahu tangannya besar banget.
“Anak bodoh!!” Omelnya. Akhirnya dia berhasil menarikku. Jantungku rasanya nggak karuan. Dia menarikku sekuat-kuatnya dan menangkapku. Jadi bagaimana aku bisa menormalkan detak jantungku kalau dipeluk kayak gini!!!
“Bagus kalau kamu nggak takut ketinggian. Jadi kamu nggak meronta sama sekali gara-gara takut.” Kata Vinci melepaskan pelukannya. Aku berusaha mengatur napasku. Rasanya betul-betul pacuan jantung yang kerjanya dobel. Untung aja jantungku nggak jebol sangking deg-degannya.
“hpku?” baru tersadar kalau hpku hilang. Aku cepat-cepat mencarinya. Nggak ada. Sama sekali nggak ada di mana-mana. Hp yang kak Jun kasih... padahal  tadi masih kupegang. Masa sih jatuh... di jurang?!
“Padahal tadi kamu sudah hampir pingsan gara-gara jatuh, sekarang sudah ngari-nyari hp. Dasar anak-anak, nggak bisa hidup kalau nggak megang hp satu detik aja. Padahal udah kuno dan usang. Beli aja yang baru...”
“Santai banget kamu bilang gitu! Hpku itu memang udah usang, kuno, jelek, tapi dia bukan barang murahan!!!” Mendengar hp dari kak Jun dibilang kuno, aku langsung nggak bisa nahan emosi. “Kalau untuk orang kayak kamu, yang terbiasa dengan uang banyak, mudah aja beli hp yang harganya 100 kali lipat dari hpku ini. Kamu yang nggak pernah terima barang pemberian orang lain, nggak tahu rasanya! Hpku itu... hp itu... sudah susah payah dibelikan untukku. Aku...”
“Kita pulang,” kata Vinci seperti biasa. Aku akhirnya merasakan wajahku memanas, dan mataku yang mulai kabur. Astaga... apa aku bakal menangis tadi?! Aku nggak mau! Apalagi di depan dia. Aku nggak mau dia lihat aku nangis.
Kami berdua dalam mobil dan nggak bicara apa-apa. Panasnya kemarahanku udah mulai mereda karena dinginnya AC dan suasana ini. Kalau dipikir-pikir, aku harusnya minta maaf dan berterima kasih sama Vinci. Dia udah datang nyariin aku, apalagi semua kru udah pergi duluan ke rumah makan itu. Kalau urusan hp, kan salahnya Vinci! Jadi buat yang itu, aku nggak bakal minta maaf.
Kami sampai di lapangan parkir. Aku berjalan cepat-cepat supaya nggak ngelihat Vinci. Tapi kalau ingat yang tadi... rasanya nggak fair. Aku berhenti dan berbalik.
“Vinci... aku... soal aku yang pergi tadi. Aku minta maaf.” Kataku agak gugup. “Dan... dan terima kasih karena udah nyariin aku. Makasih...”
Habis bilang kayak gitu, aku merasa jadi malu banget! Aku langsung menundukkan wajah, dan cepat-cepat pergi dari situ. Aku bertemu dengan Pak Martin yang menungguku cemas, dan aku cerita semua dari jalanan yang sepi, dan pulsa hpku yang sekarat. Pak Martin cerita kalau tempat itu memang sepi soalnya kawasan itu, kawasan yang baru di buka. Apalagi ada kegiatan liputan itu. Pantasan aja sepi, bahkan sampai di pantai yang di seberang itu.
Lagi-lagi syuting. Habis ini kami ke pulau kecil... kalau nggak salah Nusa Dua ya? Pokoknya aku berusaha kerja sebaik-baiknya. Pak Martin sangat cemas padaku, apalagi mendengar hpku hilang. Kayaknya dia tahu nilai hpku itu. Kalaupun nggak, dia udah nunjukin rasa simpati. Meskipun banyak hal yang terjadi, kami semua bisa melaluinya dengan baik. Besok adalah terakhir, dan kami makai penerbangan sore karena mau langsung istirahat di rumah. Dan kurasa juga bagaimanapun jeniusnya Vinci, dia juga butuh belajar yang tenang.
Sejak saat itu, aku berusaha nggak ngomong sama Vinci. Entah kenapa, rasanya kata-kataku waktu itu betul-betul bikin malu. Jadi nggak bisa melihat langsung Vinci. Pokoknya menghindar sajalah sejauh mungkin. Mungkin juga dia lebih tenang kalau aku menjauh. Diakan selalu menganggapku mengganggunya.
Ternyata ada acara lokal di Bali. Tapi meskipun acara lokal, tetap aja rame. Apalagi banyak atraksinya. Selagi si Vinci di panggung, aku memuaskan diri dengan berbagai atraksi-atraksi, pameran, bahkan ada juga souvenir-souvenir. Apa lebih baik aku beli satu dua ya?
Pak Martin memberi kami sebotol aqua tanggung. Ini karena kami sukses menyelesaikan tugas terakhir. Vinci kelihatannya capek, meskipun dia sama sekali nggak menunjukkannya.
“Kita berangkat duluan. Kru liputan akan mengambil beberapa tempat lagi. Lagipula hari Jumat ada persiapan untuk movie kan? Ngomong-ngomong, apa kamu masih sanggup untuk job dadakan nanti? Katanya...”
“Pak Martin, semua barang kita sudah diantarkan. Bagaimana kalau kita pergi ke Bandara?” Tanyaku. Meski lancang memotong perkataan orang, kayaknya Pak Martin tidak menyadarinya.
“Oh iya. Ya sudah kalau begitu. Ayo kita berangkat.” Kata Pak Martin bergegas.
Dalam mobil yang disupiri oleh Pak Martin, kami semua menikmati angin yang sejuk.
“Vinci, kalau mau tidur, tidur aja.” Kataku nekat. Ini menurutku nekat karena sudah lama banget aku nggak berani ngomong.
“Bisa banget kamu ngomong gitu.”
“Habis kayaknya kamu tersiksa menahan ngantuk sih.”
Vinci terdiam. Kalau dia nggak mau tidur, biar aja aku yang tidur. Capek sih...
Ternyata Vinci tertidur juga kayak aku, dan dia melanjutkannya lagi di pesawat. Ini cerita Pak Martin loh! Katanya, dia juga hampir tidur karena melihat kami berdua yang tertidur pulas.

Selama dalam perjalanan pulang, aku ketiduran. Dan besoknya, karena seharian itu dia off, dia ninggalin aku di mall buat belanja keperluan sekolah dan sebagainya. Utangku nggak bertambah, karena kata Pak Martin dia memberiku uang bonus untuk pergi keluar. Wah, kalau gini, mudah-mudahan aja Vinci keluar pulau terus.
Aku membeli baju baru, alat-alat sekolah, sepatu, buku dsb. Senangnya...


* * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?