Rabu, 07 November 2012

Bab 5

cerpen, novel

Nadia




Yah! Ke Bali!!! Meskipun akhirnya tersisa satu hari sebelum mulai sekolah, aku beruntung. Tapi untung saja aku mengemas semua jenis pakaianku, juga buku-buku pelajaranku. Aku bisa sekolah tanpa harus kembali ke rumah.
“Nadia, tetap tenang dan ikuti aku ya?” Tiba-tiba ada suara Pak Martin. Wah! Kagetnya... tapi aku senang.
“Loh, Pak Martin juga ikut ya? Senangnya...” Kataku cepat.
“Iya. Soalnya ke luar Jakarta sih. Sebenarnya aku masih harus mengecek jadwal dan menerima job baru sampai tahun baru, tapi....”
“Vinci punya job sampai tahun baru? Selebritis hebat ya?” Tanyaku kaget. Ternyata, biarpun kelihatan santai dan seperti nggak terjadi apa-apa, dia sibuk banget ya?
“Yah... karena ini bulan puasa, jadi memang banyak acara-acara seputar Ramadhan... sedangkan Vinci kan nggak puasa, jadi nggak terlalu sibuk. Meskipun begitu, jadwalnya cukup ketat. Untung saja kita masih bisa mengosongkan hari Kamis nanti untuk test.”
“Iya, ya. Dia aja masih suruh aku untuk membawa semua skrip pelajarannya. Aku khawatir, apa dia bisa langsung ujian ya? Vinci hebat sekali. Dia masih memikirkan sekolahnya meskipun sibuk.” Kataku sambil memperhatikan Vinci meliput. Memang benar, senyumnya mirip kak Jun. Tapi itu semua senyum bisnis yang dipakainya saat syuting atau bertemu dengan kalangan entertaiment yang lain. Bagaimana ya, senyumnya saat dia betul-betul senang? Apakah masih sama dengan senyum bisnisnya? Atau lebih cemerlang lagi? Aduh... mikir apa sih, aku ini. Memangnya aku bisa ngebedain antara senyum bisnisnya atau senyumnya yang sebenarnya? Lho, kok aku mikir soal senyuman terus? Arrrgghhhh!!!!
“Nadia?” Pak Martin menyentuh bahuku. Sontak aku tersadar.
“Maaf.”
“Nggak apa-apa.” Pak Martin tersenyum lembut. Hoooh.... benar-benar orang hebat. “Nadia, sudah kamu serahkan semua bagasi kalian? Terbiasa dengan pesawat?”
“Sudah! Aku kan sudah sering pulang pergi Kalimantan-Jawa. Nggak masalah lah! Yang kubawa ini Cuma barang-barang yang mungkin nanti diperlukan Vinci.” Kataku langsung.
Syuting di bandara berjalan lancar. Kami bisa istirahat kira-kira satu jam di pesawat. Vinci, Pak Martin, dan sang produser satu bangku di kelas bisnis. Sedangkan aku dan kru lainnya ada di kelas ekonomi.
“Hai.” Terdengar suara cewek yang lembut. Dia cantik banget. “Salam kenal.”
“Ya. Salam kenal juga. Mbak siapa?”
“Oh... aku. Aku salah satu kru di sini. Kamu datang bersama Vinci ya? Apa hubungan kalian?” hah? Mbak ini to the poin banget!
“Hah? Siapa? Vinci?”
“Ya, yang tadi. Yang meliput dalam acara ‘Tempat LuarBiasa’.”
“Anu... sebenarnya... sebenarnya aku ini keluarga jauh Pak Martin. Kalau dilihat dari silsilah... dia itu kakak sepupuku. Kebetulan saja waktu itu dia bersama... siapa? Ng... Vinci. Ya, Vinci. Cowok berambut hitam agak gondrong itu kan? Jadi aku dan kak Martin mengobrol. Aku berencana untuk liburan ke Bali. Sayangnya aku ketinggalan rombongan... maka... makanya aku di sini.”  Aku nggak tahu, entah kenapa omonganku jadi lancar begini.
“Tapi lokasi ini kan... dari deretan kursi C sampai F ini semua khusus untuk kru acara?”
“Oh? I, iya! Kan aku sudah bilang, aku ketinggalan rombongan. Waktu ketemu kak Martin, dia bilang pakai saja tiket dari kru acara. Dia yang memberikannya ke aku. Begitu!”
“Oh... begitu. Maaf, sudah mengganggumu dengan pertanyaan-pertanyaan aneh.”
Sebenarnya, siapa sih cewek ini? Jangan-jangan dia wartawan? Tapi dia kan duduk di kursi ini. Katanya dari kursi ini sampai F itu punya kru acara ini. Gimana sih? Ah... toh nanti bisa nanya sama Pak Martin. Bali! Bali! Akhirnya aku bisa ke pulau dewata!
‘Tempat LuarBiasa’ ya? Aku pernah nonton satu kali. Kalau nggak salah, ini acara yang mencari tempat-tempat unik, menarik, bersejarah, bahkan berbahaya. Episodenya udah panjang, karena menyusur dari Pulau Sumatra (episode 1 – 89), Jawa (episode 90-167), Kalimantan (168 – 181), dan sekarang Bali yang rencananya tujuh episode. Tahu dari mana aku dapat informasi terakhir ini? Tentu aja dari para kru donk!
Tapi semua episodenya panjang-panjang ya. Habis ini apa? Jangan-jangan Sulawesi atau Timor? Kan Indonesia punya 33 propinsi. Dan yang terakhir dari episode ini pasti Merauke kan? Heeh... pasti panjang banget episodenya ini. Apalagi wilayah Papua itu luas dan banyak hutannya. Pikirku mengkhayal jauh. Tapi itu Cuma khayalan. Entah sampai kapan aku kerja sama si pokerface itu. Mungkin aja belum sampai Sulawesi aku sudah keluar.
Yah... capek juga mikir yang macam-macam. Hari ini kan hari ini, mana bisa kita mikirin masa depan terlalu jauh. Pikirkan aja hari mau kemana. Hm... terus ikut Vinci atau jalan-jalan sendiri.
Begitu turun, semua bersiap-siap lagi. Kami sudah ada di Bali!! Aku terus bersama cewek-entah apa namanya-sampai bandara. Akhirnya kami bertemu dengan rombongan kelas bisnis.
“Pak Martin!!” Panggilku mengejar Pak Martin. Pak Martin menoleh dan kaget sekali. Lho, waktunya salah ya?
“Rianna!!!” Seruannya terdengar olehku. Eh? Siapa?
“Wah... Martin. Ketahuan ya?” Kata cewek disampingku pelan. Dia... Rianna? Cewek ini? Yang Vinci benci itu? APA??!!
Cewek cantik itu melepas ikat rambutnya, kacamata hitamnya, dan memakai jepit rambut berhiaskan entah apa. Rambutnya yang halus itu melambai sebentar. Gerakannya bagus sekali. Tiba-tiba dia berubah seperti seorang model. Hei, dia memang model kan?
Dengan anggunnya dia mendekati Martin dan yang lain. Vinci Cuma diam saja seakan-akan nggak terjadi apa-apa. Dia memang biasa begitu kan? Hebat, padahal waktu itu dia marah-marah gara-gara yang namanya Rianna itu. Hei, kalau begitu... yang di mobil itu wajah yang luarbiasa langka kan?
Wow... ternyata sudah agak banyak ekspresi yang dia tunjukkan selama ini selain Cuma pokerface! Kenapa aku nggak sadar ya? Memang sih, kata teman-teman kepekaanku kurang. Tapi masa cowok sedatar Vinci nggak bisa kulihat juga!!! Astaga, payah banget dong, aku selama ini! Padahal aku sudah berusaha supaya bisa peka. Bahaya, bahaya!!
“Kenapa kamu ada di sini?” Tanya Pak Martin kebingungan. Rianna hanya tersenyum manis saja.
“Nggak ada apa-apa. Aku Cuma di undang oleh pihak produser. Benarkan?” Tanya Rianna balik.
“Tapi kenapa tidak bersama-sama dengan kami di kelas bisnis? Aku sama sekali tidak melihatmu di sana!” Tegas Pak Martin.
“Yah... aku Cuma mau memberi kejutan saja kok. Kebetulan aku lagi sama-sama anak itu dan mendapatkan cerita yang menarik.” Kata Rianna santai. Tapi kenapa dia nunjuk-nunjuk ke aku? Apa maksudnya?
“Cerita menarik?” Ulang Pak Martin heran menatapku sebentar. Merasakan firasat aneh, aku cepat menggeleng.
“Katanya dia saudara sepupumu yang ketinggalan rombongan wisatanya ke sini. Padahal aku yakin dia tidak pernah berkumpul bersama kita, sepupu.” Kata Rianna lagi. Sepupu?! Rianna sepupu dengan Pak Martin?! Yang benar saja!!! Aku salah cerita dong!
Sejak awal Rianna tahu aku bohong. Pasti dia mengira ada yang nggak beres.
“Dan katanya lagi, kau memberikan tiket untuk para kru acara padanya karena dia ketinggalan pesawat. Kamu benar-benar baik ya?”
A, aku harus bagaimana? Aku terpaku berdiri dengan jarak 10 meter dari mereka. Vinci menatapku tajam, seperti biasa. Tapi auranya hitam, dan sepertinya dia marah besar padaku! Apa yang harus kukatakan?
“Yah, ng... itu bisa dibicarain nanti. Sekarang waktunya meliput dari Bandara Ngurah Rai ini. Kita sudah ditunggu oleh guide kita hari ini.” Kata Pak Martin mengalihkan pembicaraan.
Liputan kembali dilanjutkan. Pengambilan berjalan lancar tanpa banyak pengambilan take ulang. Soalnya kedua orang ini sama-sama profesional sih. Oh iya, si Rianna tadi kemana? Harusnya dia ada di sekitar sini. Haah... sudahlah.
“Pak Martin... maaf. Aku nggak tahu kalau dia Rianna dan ternyata keluarga Pak Martin.” Kataku cepat. Pak Martin mengangguk. Dia masih tersenyum lembut padaku.
“Nggak apa-apa. Idemu bagus juga. Aku Cuma khawatir sama Vinci.” Kata Pak Martin. Sorot matanya terlihat sedih menatap Vinci.
“Ada apa dengan Vinci dan Rianna?” Tanyaku penasaran. Masa ada lagi yang aku nggak tahu?
“Rianna itu... artis yang sangat berbakat. Dia dengan waktu singkat bisa naik daun dan langsung populer. Yah... kalau ada pemisahaan antara cewek dan cowok, bisa dianggap dia dan Vinci popularitasnya sejajar. Tapi... kalau bersama, tetap Vinci lebih hebat daripada anak manja itu.” Pak Martin terdiam. Haruskah aku minta dia lanjutkan ceritanya? Tapi itu nggak sopan. Sudah untung Pak Martin mau ceritakan apa masalahnya.
“Karena itu, Rianna mungkin jadi sangat marah. Dia nggak suka ada yang lebih hebat darinya, meskipun nggak ada artis cewek lain yang bisa menyainginya. Akhirnya... tersebar gosip miring soal Vinci. Kami sama sekali nggak peduli, tapi dampaknya agak buruk. Rianna tenang-tenang saja, karena dia masih bisa memperoleh sensasi dari gosip itu. Vinci betul-betul marah, meskipun dia nggak pernah menunjukkannya padaku. Mungkin karena Rianna adalah keluargaku ya?”
“Betul juga! Rianna manggil Pak Martin sepupu kan? Kalian betul-betul punya hubungan darah ya?”
“Hm? Nggak. Sama sekali nggak ada hubungan darah. Salah satu anggota keluarganya dan anggota keluargaku menikah. Dan kami memang selalu mengadakan pesta besar untuk keluarga kami. Mungkin itulah yang Vinci tidak suka darinya. Mungkin dia sengaja menekankan kata sepupu supaya terdengar aneh diantara wartawan gosip.”
Heh? Tapi dia menunjuk aku kan? Jangan-jangan aku diincar.
“Tapi ceritamu bagus juga. Toh aku ragu dia bisa mengingat pesta keluarga kami yang ramainya seperti pesta rakyat itu. Selama ada di sini, teruslah berada di dekatku ya. Karena kamu samasekali nggak bisa mendekati Vinci sekarang.”
Itu benar. Nggak mungkin bisa. Oh iya, kenapa aku nggak jalan-jalan saja?
“Pak Martin!! Aku jalan dulu ya. Eh, kakak...”
Hm... seperti yang kuduga, banyak juga bulenya. Bali memang hebat, rame banget!
“Nadine?” Terdengar suara cewek di dekatku. Suara ini...
“Elsa... Fitri... Rita... Romy... kalian ada di sini?” Tanyaku kaget. Empat orang ini teman sekelas yang hebat di sekolah.
“Dine, ngapain sendirian di Bali? Kata Nia kamu sibuk. Tahu gini kan bareng-bareng sama kami aja.” Kata Elsa.
“Oh... gitu. Ng... ini mendadak. Nggak punya jadwal aku ke sini. Yang lainnya nggak pergi ya? Cuma kalian berempat aja?”
“Iya. Elsi masih di Bandung. Rosi katanya libur ke Jogja. Nia... pergi ke Singapur sama Ortunya. Yang lain juga sibuk sendiri-sendiri. Jadi kami pergi berempat aja.” Jawab Rita. Nadine mengangguk paham.
“Eh... kita cari makan dulu yuk!” Usul Romy tiba-tiba. Ternyata udah jam makan siang.
“Tapi makan di mana?” Tanya Fitri melihat sekeliling. Terdengar suara sms.

From : Martin

Kmu dmana?Wktnya mkn siang.
Ditunggu d resto khas Bali,’Nirwana’

“Nirwana?” Ulangku bingung. Aneh banget namanya.
“Oh itu!!! Itu restoran bagus loh! Dekat dari sini. Kita ke sana aja yuk!” Kata Elsa semangat. Aduh... kenapa ada mereka? Ancur... bisa-bisa rahasiaku ketahuan!
Kami tiba di restoran Nirwana. Suasananya memang Bali banget. Kami disambut dengan patung singa dan banyak benda-benda Bali. Termasuk arca-arca yang memakai sarung motif papan catur. Ngomong-ngomong soal kain bercorak itu, kain itu banyak banget di Bali. Katanya untuk menggambarkan dunia ini, dimana putih (kebaikan) dan hitam (kejahatan) selalu berdampingan. Mirip dengan filsafat China, Yin dan Yang itu. Tidak ada yang pasti. Dimana ada kebaikan, pasti ada kejahatan. Dan dimana ada kejahatan, pasti ada kebaikan. Tidak ada di dunia ini orang yang betul-betul jahat ataupun orang yang betul-betul baik.
Begitu masuk, semua orang sibuk meliput acara siaran itu. Dan tentu saja membuat semua temanku penasaran.
“Kebetulan banget! Di sini ada yang lagi meliput acara. Eh, coba liat. Itu kan Vinci!!! Wow, Nadia! Hebat banget kamu milih tempat!!” Kata Fit kesenangan. Aku terdiam, melihat semua peliputan itu dari jauh sambil berharap nggak ada seorangpun dari orang-orang kru itu yang mengenaliku.
Teman-temanku semuanya kesenangan. Hm... harus bagaimana ya? Pasti mereka bakal melakukan semua yang gila-gila supaya menarik perhatian Vinci, atau minimal para krulah...
Biasanya kan kalau acara makan-makan pasti ada tanya-tanya pengunjung lain. Kalau semua teman-temanku ini sampai menarik perhatian... aku bisa ikut kerekam juga!!! Bisa kena marah... nyalahin wewenanglah, lari dari tugaslah, mau terkenallah, mau temennya bisa kenalan sama bintanglah, wow...!!! aku harus menyingkir!
“Hei, kita duduk di sana aja!” Kataku cepat menunjuk ke sudut pojok ruangan yang ada jendelanya. Tempat itu sepi, dan pasti nggak bakal menyolok.
“Aduh... Nadine ini kenapa sih! Dekat jendela sekarang panas tahu. Lagian, kalau di pojok, mana bisa kelihatan Vinci!!!” Kata Rita cepat. Yang lain ngangguk-ngangguk.
“Dine, kita semua juga tahu kalau kamu alergi artis. Tapi nggak segitu-gitu amat kan? Ayo, kita dekat-dekat mereka. Mininal, dekat produsernya deh!” Kata Elsa tegas, dan mereka menyeretku menuju meja dekat para kru. Malangnya aku...
Mampus!!! Aku pasti mampus! Batin pikirku mulai kacau. Mana mereka nggak perduli dengan semua tatapan aneh itu!!
Semua juga pada tahu, kalau saat-saat makan bagi Nadia dkk, berarti semuanya pesta!!! Ada yang cerewet, ada yang maunya ngoceh, ada juga yang nggak peduli apapun yang dimakannya. Tapi intinya dari semua itu adalah.... B E R I S I K !!!!!!
Mau nggak mau, hobi nggak hobi, dan sadar nggak sadar, mereka sudah menarik perhatian tamu-tamu yang terganggu dengan kericuhan lima orang ini. Huuu.... aku nangis darah nih!!! Nggak perdulian banget sih! Kenapa aku jadi merasa menuju neraka dan ada Vinci yang menyambutku dengan tatapan seramnya? Huuaaa!!! HELP ME!!!

* * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?