Nadia
Yah! Ke Bali!!! Meskipun akhirnya
tersisa satu hari sebelum mulai sekolah, aku beruntung. Tapi untung saja aku
mengemas semua jenis pakaianku, juga buku-buku pelajaranku. Aku bisa sekolah
tanpa harus kembali ke rumah.
“Nadia, tetap tenang dan ikuti aku
ya?” Tiba-tiba ada suara Pak Martin. Wah! Kagetnya... tapi aku senang.
“Loh, Pak Martin juga ikut ya?
Senangnya...” Kataku cepat.
“Iya. Soalnya ke luar Jakarta sih.
Sebenarnya aku masih harus mengecek jadwal dan menerima job baru sampai tahun
baru, tapi....”
“Vinci punya job sampai tahun baru?
Selebritis hebat ya?” Tanyaku kaget. Ternyata, biarpun kelihatan santai dan
seperti nggak terjadi apa-apa, dia sibuk banget ya?
“Yah... karena ini bulan puasa, jadi
memang banyak acara-acara seputar Ramadhan... sedangkan Vinci kan nggak puasa,
jadi nggak terlalu sibuk. Meskipun begitu, jadwalnya cukup ketat. Untung saja
kita masih bisa mengosongkan hari Kamis nanti untuk test.”
“Iya, ya. Dia aja masih suruh aku
untuk membawa semua skrip pelajarannya. Aku khawatir, apa dia bisa langsung
ujian ya? Vinci hebat sekali. Dia masih memikirkan sekolahnya meskipun sibuk.”
Kataku sambil memperhatikan Vinci meliput. Memang benar, senyumnya mirip kak
Jun. Tapi itu semua senyum bisnis yang dipakainya saat syuting atau bertemu
dengan kalangan entertaiment yang lain. Bagaimana ya, senyumnya saat dia
betul-betul senang? Apakah masih sama dengan senyum bisnisnya? Atau lebih
cemerlang lagi? Aduh... mikir apa sih, aku ini. Memangnya aku bisa ngebedain
antara senyum bisnisnya atau senyumnya yang sebenarnya? Lho, kok aku mikir soal
senyuman terus? Arrrgghhhh!!!!
“Nadia?” Pak Martin menyentuh bahuku.
Sontak aku tersadar.
“Maaf.”
“Nggak apa-apa.” Pak Martin tersenyum
lembut. Hoooh.... benar-benar orang hebat. “Nadia, sudah kamu serahkan semua
bagasi kalian? Terbiasa dengan pesawat?”
“Sudah! Aku kan sudah sering pulang
pergi Kalimantan-Jawa. Nggak masalah lah! Yang kubawa ini Cuma barang-barang
yang mungkin nanti diperlukan Vinci.” Kataku langsung.
Syuting di bandara berjalan lancar.
Kami bisa istirahat kira-kira satu jam di pesawat. Vinci, Pak Martin, dan sang
produser satu bangku di kelas bisnis. Sedangkan aku dan kru lainnya ada di
kelas ekonomi.
“Hai.” Terdengar suara cewek yang
lembut. Dia cantik banget. “Salam kenal.”
“Ya. Salam kenal juga. Mbak siapa?”
“Oh... aku. Aku salah satu kru di
sini. Kamu datang bersama Vinci ya? Apa hubungan kalian?” hah? Mbak ini to the
poin banget!
“Hah? Siapa? Vinci?”
“Ya, yang tadi. Yang meliput dalam
acara ‘Tempat LuarBiasa’.”
“Anu... sebenarnya... sebenarnya aku
ini keluarga jauh Pak Martin. Kalau dilihat dari silsilah... dia itu kakak
sepupuku. Kebetulan saja waktu itu dia bersama... siapa? Ng... Vinci. Ya,
Vinci. Cowok berambut hitam agak gondrong itu kan? Jadi aku dan kak Martin
mengobrol. Aku berencana untuk liburan ke Bali. Sayangnya aku ketinggalan
rombongan... maka... makanya aku di sini.”
Aku nggak tahu, entah kenapa omonganku jadi lancar begini.
“Tapi lokasi ini kan... dari deretan
kursi C sampai F ini semua khusus untuk kru acara?”
“Oh? I, iya! Kan aku sudah bilang, aku
ketinggalan rombongan. Waktu ketemu kak Martin, dia bilang pakai saja tiket
dari kru acara. Dia yang memberikannya ke aku. Begitu!”
“Oh... begitu. Maaf, sudah
mengganggumu dengan pertanyaan-pertanyaan aneh.”
Sebenarnya, siapa sih cewek ini?
Jangan-jangan dia wartawan? Tapi dia kan duduk di kursi ini. Katanya dari kursi
ini sampai F itu punya kru acara ini. Gimana sih? Ah... toh nanti bisa nanya
sama Pak Martin. Bali! Bali! Akhirnya aku bisa ke pulau dewata!
‘Tempat LuarBiasa’ ya? Aku pernah
nonton satu kali. Kalau nggak salah, ini acara yang mencari tempat-tempat unik,
menarik, bersejarah, bahkan berbahaya. Episodenya udah panjang, karena menyusur
dari Pulau Sumatra (episode 1 – 89), Jawa (episode 90-167), Kalimantan (168 –
181), dan sekarang Bali yang rencananya tujuh episode. Tahu dari mana aku dapat
informasi terakhir ini? Tentu aja dari para kru donk!
Tapi semua episodenya panjang-panjang
ya. Habis ini apa? Jangan-jangan Sulawesi atau Timor? Kan Indonesia punya 33
propinsi. Dan yang terakhir dari episode ini pasti Merauke kan? Heeh... pasti
panjang banget episodenya ini. Apalagi wilayah Papua itu luas dan banyak
hutannya. Pikirku mengkhayal jauh. Tapi itu Cuma khayalan. Entah sampai kapan
aku kerja sama si pokerface itu. Mungkin aja belum sampai Sulawesi aku sudah
keluar.
Yah... capek juga mikir yang
macam-macam. Hari ini kan hari ini, mana bisa kita mikirin masa depan terlalu
jauh. Pikirkan aja hari mau kemana. Hm... terus ikut Vinci atau jalan-jalan
sendiri.
Begitu turun, semua bersiap-siap lagi.
Kami sudah ada di Bali!! Aku terus bersama cewek-entah apa namanya-sampai
bandara. Akhirnya kami bertemu dengan rombongan kelas bisnis.
“Pak Martin!!” Panggilku mengejar Pak
Martin. Pak Martin menoleh dan kaget sekali. Lho, waktunya salah ya?
“Rianna!!!” Seruannya terdengar
olehku. Eh? Siapa?
“Wah... Martin. Ketahuan ya?” Kata
cewek disampingku pelan. Dia... Rianna? Cewek ini? Yang Vinci benci itu?
APA??!!
Cewek cantik itu melepas ikat
rambutnya, kacamata hitamnya, dan memakai jepit rambut berhiaskan entah apa.
Rambutnya yang halus itu melambai sebentar. Gerakannya bagus sekali. Tiba-tiba
dia berubah seperti seorang model. Hei, dia memang model kan?
Dengan anggunnya dia mendekati Martin
dan yang lain. Vinci Cuma diam saja seakan-akan nggak terjadi apa-apa. Dia
memang biasa begitu kan? Hebat, padahal waktu itu dia marah-marah gara-gara
yang namanya Rianna itu. Hei, kalau begitu... yang di mobil itu wajah yang
luarbiasa langka kan?
Wow... ternyata sudah agak banyak
ekspresi yang dia tunjukkan selama ini selain Cuma pokerface! Kenapa aku nggak
sadar ya? Memang sih, kata teman-teman kepekaanku kurang. Tapi masa cowok
sedatar Vinci nggak bisa kulihat juga!!! Astaga, payah banget dong, aku selama
ini! Padahal aku sudah berusaha supaya bisa peka. Bahaya, bahaya!!
“Kenapa kamu ada di sini?” Tanya Pak
Martin kebingungan. Rianna hanya tersenyum manis saja.
“Nggak ada apa-apa. Aku Cuma di undang
oleh pihak produser. Benarkan?” Tanya Rianna balik.
“Tapi kenapa tidak bersama-sama dengan
kami di kelas bisnis? Aku sama sekali tidak melihatmu di sana!” Tegas Pak
Martin.
“Yah... aku Cuma mau memberi kejutan
saja kok. Kebetulan aku lagi sama-sama anak itu dan mendapatkan cerita yang
menarik.” Kata Rianna santai. Tapi kenapa dia nunjuk-nunjuk ke aku? Apa
maksudnya?
“Cerita menarik?” Ulang Pak Martin
heran menatapku sebentar. Merasakan firasat aneh, aku cepat menggeleng.
“Katanya dia saudara sepupumu yang
ketinggalan rombongan wisatanya ke sini. Padahal aku yakin dia tidak pernah
berkumpul bersama kita, sepupu.” Kata Rianna lagi. Sepupu?! Rianna sepupu
dengan Pak Martin?! Yang benar saja!!! Aku salah cerita dong!
Sejak awal Rianna tahu aku bohong.
Pasti dia mengira ada yang nggak beres.
“Dan katanya lagi, kau memberikan
tiket untuk para kru acara padanya karena dia ketinggalan pesawat. Kamu
benar-benar baik ya?”
A, aku harus bagaimana? Aku terpaku
berdiri dengan jarak 10 meter dari mereka. Vinci menatapku tajam, seperti
biasa. Tapi auranya hitam, dan sepertinya dia marah besar padaku! Apa yang
harus kukatakan?
“Yah, ng... itu bisa dibicarain nanti.
Sekarang waktunya meliput dari Bandara Ngurah Rai ini. Kita sudah ditunggu oleh
guide kita hari ini.” Kata Pak Martin mengalihkan pembicaraan.
Liputan kembali dilanjutkan.
Pengambilan berjalan lancar tanpa banyak pengambilan take ulang. Soalnya kedua
orang ini sama-sama profesional sih. Oh iya, si Rianna tadi kemana? Harusnya
dia ada di sekitar sini. Haah... sudahlah.
“Pak Martin... maaf. Aku nggak tahu
kalau dia Rianna dan ternyata keluarga Pak Martin.” Kataku cepat. Pak Martin
mengangguk. Dia masih tersenyum lembut padaku.
“Nggak apa-apa. Idemu bagus juga. Aku
Cuma khawatir sama Vinci.” Kata Pak Martin. Sorot matanya terlihat sedih
menatap Vinci.
“Ada apa dengan Vinci dan Rianna?”
Tanyaku penasaran. Masa ada lagi yang aku nggak tahu?
“Rianna itu... artis yang sangat
berbakat. Dia dengan waktu singkat bisa naik daun dan langsung populer. Yah...
kalau ada pemisahaan antara cewek dan cowok, bisa dianggap dia dan Vinci
popularitasnya sejajar. Tapi... kalau bersama, tetap Vinci lebih hebat daripada
anak manja itu.” Pak Martin terdiam. Haruskah aku minta dia lanjutkan
ceritanya? Tapi itu nggak sopan. Sudah untung Pak Martin mau ceritakan apa
masalahnya.
“Karena itu, Rianna mungkin jadi
sangat marah. Dia nggak suka ada yang lebih hebat darinya, meskipun nggak ada
artis cewek lain yang bisa menyainginya. Akhirnya... tersebar gosip miring soal
Vinci. Kami sama sekali nggak peduli, tapi dampaknya agak buruk. Rianna
tenang-tenang saja, karena dia masih bisa memperoleh sensasi dari gosip itu.
Vinci betul-betul marah, meskipun dia nggak pernah menunjukkannya padaku.
Mungkin karena Rianna adalah keluargaku ya?”
“Betul juga! Rianna manggil Pak Martin
sepupu kan? Kalian betul-betul punya hubungan darah ya?”
“Hm? Nggak. Sama sekali nggak ada
hubungan darah. Salah satu anggota keluarganya dan anggota keluargaku menikah.
Dan kami memang selalu mengadakan pesta besar untuk keluarga kami. Mungkin
itulah yang Vinci tidak suka darinya. Mungkin dia sengaja menekankan kata
sepupu supaya terdengar aneh diantara wartawan gosip.”
Heh? Tapi dia menunjuk aku kan?
Jangan-jangan aku diincar.
“Tapi ceritamu bagus juga. Toh aku
ragu dia bisa mengingat pesta keluarga kami yang ramainya seperti pesta rakyat
itu. Selama ada di sini, teruslah berada di dekatku ya. Karena kamu samasekali
nggak bisa mendekati Vinci sekarang.”
Itu benar. Nggak mungkin bisa. Oh iya,
kenapa aku nggak jalan-jalan saja?
“Pak Martin!! Aku jalan dulu ya. Eh,
kakak...”
Hm... seperti yang kuduga, banyak juga
bulenya. Bali memang hebat, rame banget!
“Nadine?” Terdengar suara cewek di
dekatku. Suara ini...
“Elsa... Fitri... Rita... Romy...
kalian ada di sini?” Tanyaku kaget. Empat orang ini teman sekelas yang hebat di
sekolah.
“Dine, ngapain sendirian di Bali? Kata
Nia kamu sibuk. Tahu gini kan bareng-bareng sama kami aja.” Kata Elsa.
“Oh... gitu. Ng... ini mendadak. Nggak
punya jadwal aku ke sini. Yang lainnya nggak pergi ya? Cuma kalian berempat
aja?”
“Iya. Elsi masih di Bandung. Rosi
katanya libur ke Jogja. Nia... pergi ke Singapur sama Ortunya. Yang lain juga
sibuk sendiri-sendiri. Jadi kami pergi berempat aja.” Jawab Rita. Nadine
mengangguk paham.
“Eh... kita cari makan dulu yuk!” Usul
Romy tiba-tiba. Ternyata udah jam makan siang.
“Tapi makan di mana?” Tanya Fitri
melihat sekeliling. Terdengar suara sms.
From : Martin
Kmu dmana?Wktnya mkn siang.
Ditunggu d resto khas Bali,’Nirwana’
“Nirwana?” Ulangku bingung. Aneh
banget namanya.
“Oh itu!!! Itu restoran bagus loh!
Dekat dari sini. Kita ke sana aja yuk!” Kata Elsa semangat. Aduh... kenapa ada
mereka? Ancur... bisa-bisa rahasiaku ketahuan!
Kami tiba di restoran Nirwana.
Suasananya memang Bali banget. Kami disambut dengan patung singa dan banyak
benda-benda Bali. Termasuk arca-arca yang memakai sarung motif papan catur.
Ngomong-ngomong soal kain bercorak itu, kain itu banyak banget di Bali. Katanya
untuk menggambarkan dunia ini, dimana putih (kebaikan) dan hitam (kejahatan)
selalu berdampingan. Mirip dengan filsafat China, Yin dan Yang itu. Tidak ada
yang pasti. Dimana ada kebaikan, pasti ada kejahatan. Dan dimana ada kejahatan,
pasti ada kebaikan. Tidak ada di dunia ini orang yang betul-betul jahat ataupun
orang yang betul-betul baik.
Begitu masuk, semua orang sibuk
meliput acara siaran itu. Dan tentu saja membuat semua temanku penasaran.
“Kebetulan banget! Di sini ada yang
lagi meliput acara. Eh, coba liat. Itu kan Vinci!!! Wow, Nadia! Hebat banget
kamu milih tempat!!” Kata Fit kesenangan. Aku terdiam, melihat semua peliputan
itu dari jauh sambil berharap nggak ada seorangpun dari orang-orang kru itu
yang mengenaliku.
Teman-temanku semuanya kesenangan.
Hm... harus bagaimana ya? Pasti mereka bakal melakukan semua yang gila-gila
supaya menarik perhatian Vinci, atau minimal para krulah...
Biasanya kan kalau acara makan-makan
pasti ada tanya-tanya pengunjung lain. Kalau semua teman-temanku ini sampai
menarik perhatian... aku bisa ikut kerekam juga!!! Bisa kena marah... nyalahin
wewenanglah, lari dari tugaslah, mau terkenallah, mau temennya bisa kenalan
sama bintanglah, wow...!!! aku harus menyingkir!
“Hei, kita duduk di sana aja!” Kataku
cepat menunjuk ke sudut pojok ruangan yang ada jendelanya. Tempat itu sepi, dan
pasti nggak bakal menyolok.
“Aduh... Nadine ini kenapa sih! Dekat
jendela sekarang panas tahu. Lagian, kalau di pojok, mana bisa kelihatan
Vinci!!!” Kata Rita cepat. Yang lain ngangguk-ngangguk.
“Dine, kita semua juga tahu kalau kamu
alergi artis. Tapi nggak segitu-gitu amat kan? Ayo, kita dekat-dekat mereka.
Mininal, dekat produsernya deh!” Kata Elsa tegas, dan mereka menyeretku menuju
meja dekat para kru. Malangnya aku...
Mampus!!! Aku pasti mampus! Batin
pikirku mulai kacau. Mana mereka nggak perduli dengan semua tatapan aneh itu!!
Semua juga pada tahu, kalau saat-saat
makan bagi Nadia dkk, berarti semuanya pesta!!! Ada yang cerewet, ada yang
maunya ngoceh, ada juga yang nggak peduli apapun yang dimakannya. Tapi intinya
dari semua itu adalah.... B E R I S I K !!!!!!
Mau nggak mau, hobi nggak hobi, dan
sadar nggak sadar, mereka sudah menarik perhatian tamu-tamu yang terganggu
dengan kericuhan lima orang ini. Huuu.... aku nangis darah nih!!! Nggak
perdulian banget sih! Kenapa aku jadi merasa menuju neraka dan ada Vinci yang
menyambutku dengan tatapan seramnya? Huuaaa!!! HELP ME!!!
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?