Rabu, 07 November 2012

The Magic Words

cerpen, novel




“Ditolak lagi?” sahut Rima nggak percaya. Sahabatnya mengangguk, dan menghela napas panjang. Lama-lama Rima juga merasa kasihan.
Tiara, begitu nama gadis cantik itu, hanya bisa terdiam. Rima hanya bisa memandang dengan perasaan bersalah.
“Kau ini benar-benar.... ya ampun... aku bingung.” Kata Rima lagi. Kali ini Tiara menoleh dengan mimik wajah tidak senang. Rima cepat-cepat minta maaf.
“Bukan maksudku... tapi,” Rima berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Sejak kita berteman sampai sekarang, mungkin sudah hampir sepuluh tahun. Selama tahun-tahun itu juga aku tahu kau itu gadis paling menarik yang pernah para pria lihat dan sampai sekarang, nggak sedikitpun yang berusaha supaya dekat, dan jadian denganmu. Tapi...”
“Aku menolak semuanya.” Potong Tiara pelan. Rima melirik tanpa berkata apa-apa. Seolah memang itu kata yang diinginkan sejak tadi.
“Kali ini kenapa?” Tanya Rima.
“Dia ngajak jadian lewat sms.” Jawab Tiara pelan.
“Orang-orang yang suka sama kamu, beberapa diantaranya nggak pernah berani datang, ada cuma datang (dan jelas-jelas suka) dan nggak pernah bilang apa-apa, ada yang ngajak nelpon tapi akhirnya nggak nelpon lagi, ada yang Cuma sms-an, ada yang ngegodain terus-terusan, dan ada yang... yah, banyak lagi.” Kata Rima mengingat kejadian yang sudah-sudah.
“Ya, kali ini pun sama.”
“Sebenarnya, apa sih yang kau cari dari cowok?”
“Yang aku cari? Nggak ada.” Jawab Tiara. “Aku suka semua apa adanya. Tapi, kalau mereka mau jadi pacarku, setidaknya...”
“Setidaknya?”
“Dia bilang, ‘aku cinta padamu’ langsung dengan mulutnya sendiri.”
“Hah?”

* *

“Aku suka padamu.” Kata Tony. Tiara menatapnya tanpa ekspresi. Yang terdengar hanya suara hujan lebat. Akhirnya, Tiara menyesap kopi yang sedari tadi belum sempat disentuh.
Tepat seperti yang diduga Batin Tiara yang sedikit tidak nyaman. Tapi ini terlalu mudah. Apa ini sebenarnya lelucon seperti yang dilakukan beberapa orang sebelumnya? Malapetaka.
“Ah, aku...” Tiara mulai bimbang. Terima saja atau..
“Benar juga, kita baru berkenalan 3 minggu. Baru tahu nama, umur, alamat, dan hal umum lainnya. Gimana kalau kita jalan bareng, biar bisa lebih kenal.”
Kencan? Boleh juga...

“Tapi aku nggak suka sama yang namanya Anthony itu.” Kata Rima nggak jelas, keesokan harinya. Tiara menceritakan semuanya.
“Kenapa? Gara-gara gosip?”
“Ya, itu juga.” Jawab Rima. “Reputasinya terkenal sebagai pria mata keranjang. Meski aku nggak dengar dia menduakan cewek, tapi dia bisa mendapatkan cewek secepat apapun yang dia mau. Dan kata-katanya itu, pasti sudah sering dikatakannya pada cewek lain.”
“Itu benar.” Jawab Tiara setuju. “Sejalan waktu, kata-kata seperti itu tidak ada artinya untuk seorang playboy.”
“Jujur, aku masih bingung dengan kata-katamu waktu itu.” Ucap Rima waktu mengingat kata-kata Tiara. “Gara-gara kau begitu keras kepala, makanya sampai sekarang nggak punya pacar! Apa salahnya sih, bilang iya meskipun dia nembak lewat sms?”
“Itu... ada bedanya.” Jawaban Tiara lirih, bahkan seperti bisikan.
“Bahkan sekarang,” Rima masih melanjutkan. “Tepat sesudah kau bilang seperti itu, Anthony datang. Orang yang mengucapkan kata cinta semudah mengucapkan ‘halo’. Aku jadi khawatir. Kalau kau terima, dia bakal jadi ‘cowok’ pertamamu kan? Cowok yang seperti dia jadi pengalaman pertama... agak...”
“Aku tahu. Aku sudah tahu dari dulu.” Potong Tiara lagi. Dia tahu...
Mempunyai banyak anggota keluarga dan teman, yang mempunyai pengalaman cinta yang berbeda-beda. Ditambah dia adalah pendengar yang baik, bahkan sangat baik dan objektif, dia melihat semuanya, dan mendengar semuanya. Dia tahu. Dia sangat tahu Anthony bukanlah cowok yang bisa diterima begitu saja. Tapi...
Dengan karakter yang dimilikinya, dengan pengalaman yang sudah dirasakannya, dengan ketajaman pikirannya, Tiara hampir merasa dirinya mati. Dia sama sekali tidak mengerti perasaannya sendiri. Ketika banyak pria berusaha mendekatinya secara tidak langsung, hatinya tidak tergerak sama sekali. Apa itu bukan mati namanya? Apa dia sudah tidak punya perasaan lagi? Atau perasaannya sudah membeku dan menjadi sekeras batu?
Mungkin Anthony bisa menolongnya. Paling tidak, itu yang dibutuhkan Tiara saat ini. Pria yang terus terang, yang mampu mengucapkan kata cinta yang mungkin bisa mencairkan hatinya. Yang mampu membuat Tiara benar-benar merasa dia wanita. Tidak peduli Anthony itu playboy. Tidak. Justru karena Anthony playboy, dia bisa dengan mudah meluluhkan hati Tiara. Benar, hanya seorang playboy yang berani dan bisa. Sekarang, hanya Anthony yang bisa.
“Aku akan mencobanya.”
“Tiara?”
“Aku akan mencoba kencan dengan Anthony.”
“Kau serius? Menjadi pacarnya?”
“Tidak, hanya ingin mengenalnya saja.”
“Tapi Tiara, reputasi pria itu... kau bisa patah hati!!”
“Kita lihat saja.” Putus Tiara pada akhirnya. Rima tidak bisa membantah apa-apa lagi.

* *

“Aku mendengarnya sendiri.” Kata Ryan bangga. Anthony hanya menyesap kopi sambil mendengarnya. Tidak tidak bilang apa-apa.
“Sepertinya kali ini akan mudah. Ternyata Tiara yang cantik dan menawan itu, sampai sekarang tidak punya pengalaman dengan cowok. Kau pasti bisa mendapatkannya.” Sambung Ryan bersemangat.
“Selamat Anthony. Kau bisa mendapat cewek yang cantik, baik, pintar, yang sudah menolak banyak pria. Kalau kau menaklukannya, wah, kau bisa lebih terkenal lagi.” Kali ini Erik, berbicara dengan semangat.
Tapi, lagi-lagi Anthony hanya diam mendengarkan. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Dan lagi-lagi, dia hanya menyesap kopi. Semua cowok yang disekitarnya asyik berbicara soal Tiara yang ternyata sangat terkenal itu.
Memang, bagaimanapun, cewek seperti Tiara selalu bisa menjadi bahan omongan. Cantik, ramah, pintar. Tapi juga dingin dan sangat susah dijangkau. Kalau tidak ada hubungan dan tujuan, Tiara tidak pernah dekat dengan pria manapun. Tidak ada yang bisa langsung mendekatinya dengan basa-basi ingin kenalan. Dinginnya perlakuan Tiara, meskipun ramah menyambut mereka, membuat mereka mundur dan bosan dengan sendirinya.
Mereka bilang, meskipun Tiara sangat ramah, tidak sedikitpun Tiara menunjukkan rasa tertarik pada pria manapun. Bahkan ada yang bilang “suka” dan “cantik” setiap harinya, dianggap lelucon saja oleh Tiara. Tidak ada rasa ekspresi. Hanya angin lalu.
Waktu itu juga...  Batin Anthony membenarkan. Padahal dia sudah bilang suka, tapi Tiara tidak bergeming sedikitpun. Waktu Tiara mau menjawab, tiba-tiba Anthony merasa takut. Ini pertama kalinya dia merasa cewek yang ekspresi biasa saja sangat menakutkan.
Biasanya, kalau Anthony bilang suka, paling tidak mata para cewek itu yang menjawabnya. Kadang mata itu menyiratkan rasa terkejut, atau melirik ke lain karena merasa malu, atau berkaca-kaca karena terharu.
Tapi mata Tiara tidak. Tiara menatapnya dengan ekspresi biasa saja. Seolah-olah tidak mendengar apa-apa.
Benar-benar... biasa saja.
Anthony sudah pernah berkencan dengan cewek manapun. Yang cantik, yang jelek, yang pendiam, yang pemalu, yang pemarah, yang mana saja...
Tapi Tiara berbeda. Tiara menerima semuanya sebagai apa adanya. Dia tidak marah, dia tidak sedih, dia menerima apapun juga seperti itu ‘memang seharusnya’. Itulah yang dirasakan Anthony tiga minggu ini. Menakutkan, sekaligus membuat penasaran.
Seperti apa Tiara waktu dia marah? Seperti apa wajahnya waktu dia sedih? Seperti apa Tiara waktu dia bahagia?
Sepertinya hanya Tiara dan Tuhan yang tahu.

* *

“Bagaimana film tadi?” Tanya Anthony. Tiara diam sebentar...
“Lumayan.” Jawabnya, sambil melirik ke arah Hpnya.
Lagi... Anthony hampir tidak tahan. Kata-kata ‘lumayan’ hampir membuatnya stress. Dia mencoba untuk tahu apa yang membuat Tiara tertarik, tapi hanya lumayan yang didapatnya. Tiara tersenyum.
“Kurasa film itu layak untuk ditonton dua kali.” Kata Tiara pada akhirnya. Beat.
“Bener?” Tanya Anthony tidak yakin. Dia menyimpan baik-baik memory Tiara, meski senyum itu hanya senyum Tiara yang biasa.

“Makasih buat hari ini. Kita sudah banyak jalan-jalan.” Ucap Tiara, begitu sampai dekat rumahnya. Anthony merasa aneh, senang dan bangga. Tiara memang sangat cantik waktu tersenyum. Anthony ingin melihat lebih.
“Aku juga senang. Apalagi kalau jalan bersamamu.” Kata Anthony. Senyum Tiara tidak putus, artinya dia tidak kaget. Anthony sudah menduganya. “Gimana kalau lain kali, Tiara saja yang memutuskan ke mana kita pergi? Mungkin ada tempat yang kau sukai...”
Beat.
Anthony tidak menyangka, kali ini senyum Tiara terputus. Bahkan beberapa detik yang terlewat seakan jadi seabad. Napas Anthony seakan tertahan, menunggu suara Tiara.
“Akan kupikirkan...” Jawab Tiara akhirnya.
Anthony menatap terus punggung Tiara yang terlihat, sampai akhirnya Tiara masuk ke dalam rumah. Kenapa memikirkan apa yang disukainya menjadi begitu berat?

* *

“Ha ha, mungkin aku sudah ketahuan.” Gumam Tiara, begitu dia menutup pintu kamarnya. Rasa tidak nyaman di hatinya begitu membekas, ketika Anthony menanyakan tempat yang disukainya.
“Apa benar... kalau ternyata aku separah ini?” Terus terang, Anthony cukup membuat shock. Butuh seorang Anthony untuk menyadari bukan hanya cinta, tapi untuk hal apapun... Tiara tidak menyukai apapun.

“Tiara, kamu jadi makin sibuk ya?” Tanya Rima. Tiara mengangguk. Ujian makin dekat. Tiara makin sibuk mengumpulkan catatan.
“Apa boleh buat.” Jawab Tiara setengah-setengah. Kalau yang lain panik setengah hidup, Tiara masih sibuk membaca novel disela-sela pengumpulan materinya.
Apa karena Tiara jenius? Nope. Karena pengen aja.
Tiara memang tidak pernah panik. Batin Rima. Bahkan waktu ada gempa hebat sekalipun, Tiara Cuma bergegas menemui security untuk menanyakan pintu darurat, dan dibalas dengan jawaban yang panik dari secuity itu. Heran ya, pihak keamanannya bahkan lebih panik dari Tiara sendiri.
“Gimana soal Anthony? Sukses? Udah jadian belum?” Tanya Rima yang tiba-tiba ingat.
“Hm? Gimana apanya? Lagi mau ujian gini mau jalan-jalan. Dia kan juga sibuk.” Jawab Tiara tanpa menoleh. “Dia juga nggak sms aku beberapa hari  ini.”
“Sekali-kali kamu yang duluan sms.” Kata Rima.
“Mana mungkin. Aku nggak ada urusan sama dia.” Kata Tiara lagi. Benar-benar tanpa merasa cemas atau penasaran. Tapi buat apa Tiara merasa begitu? Memangnya mereka punya hubungan apa? Tiara tidak pernah cari-cari alasan waktu menghubungi seseorang. Kalau ada urusan, baru dia menghubungi orang lain.
Wajar-wajar saja kan?
“Habis ujian ini, kamu ada acara nggak?” Tanya Rima. Dia berharap bisa mengajak Tiara jalan-jalan melepas stress.
“Ah, ada.” Jawab Tiara berusaha mengingat. “Hari ziarah ke makam orangtuaku. Aku, paman dan bibi akan ke sana. Lalu menginap di kampung selama seminggu.”
Tiara tersenyum. “Sayang, kita nggak bisa jalan-jalan.”
“hah? Ng, nggak apa-apa kok.” Jawab Rima panik. Pikirannya ketahuan. “Maaf ya, bikin kamu ingat hal sedih.”
“Kenapa harus sedih?” Tanya Tiara balik. “Sedih nggak bakal membuat orang mati kembali. Lagipula, itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Sekarang, aku senang bersama dengan paman dan bibi.”
Seperti biasa, sangat realistis. Pikir Rima lagi. Sosok menakutkan Tiara muncul lagi.

* *

“Jadi Tiara tidak pernah mencoba menelpon?” Erik bertanya seolah-olah itu tidak mungkin terjadi. Anthony kembali tidak merespon.
“Apa dia benar-benar tidak menganggapmu spesial? Ayolah, kalian sudah jalan bareng selama ini, dan dia tidak merasakan apa-apa seperti khawatir waktu kamu nggak menghubungi dia lagi?” Tanya Ryan, yang sama tidak percayanya.
“Benar-benar cewek yang sulit. Mungkin kalau kau tidak menghubunginya seminggu lagi, dia pasti lupa padamu.” Kata Ryan. Anthony melengos.
“Dia pasti sibuk.” Jawab Anthony. Sekarang kan musim ujian. Alasan yang paling utama, mereka memang tidak punya alasan untuk menelpon satu sama lain. Tiara memang seperti itu. Bahkan terhadap keluarganya, jadi untuk apa Anthony berharap Tiara bersikap lain kepadanya?
“Sebaiknya kamu menyerah saja Anthony.” Putus Ryan pada akhirnya. Semuanya beranggapan sama. Jika cowok seperti Anthony yang sudah bersikap manis bahkan tidak mempan, jika hari-hari yang dilalui bersama selama ini hanya dianggap biasa saja, bahkan sewaktu Anthony menarik diri sedikit, tidak diacuhkan, tidak ada harapan lagi. Bahkan untuk pria lain.
Anthony berpikir.
Dari awalnya, untuk apa aku mendekati Tiara?
Tiara yang ramah sekaligus dingin. Sangat mudah didekati, tapi sangat sulit untuk dijangkau.
Cewek seperti itu, kalau dari awal Anthony menerima semua ini, lebih baik tidak mendekatinya dari awal.
Mengucapkan ‘aku suka padamu’ itu mudah. Bilang ‘aku selalu memperhatikanmu’, well, harus hati-hati. ‘kau cantik’, ‘baik hati’, ‘membuat bahagia’ dan kata-kata pujian yang bisa melambungkan hati wanita semuanya Anthony bisa lakukan. Tapi kalau mengucapkan di depan Tiara, semua kata-kata itu bisa sangkut di tenggorokan. Meski akhirnya Anthony bisa mengucapkannya dengan mudah, menunggu reaksi Tiara benar-benar membuat sengsara.
Tapi Anthony melakukannya, lagi dan lagi.
Kenapa?
Padahal Tiara tidak merespon sedikitpun. Tapi Anthony selalu mengucapkannya. Dan Anthony bersungguh-sungguh. Anthony sungguh-sungguh berharap, dari kata-kata yang diucapkannya, Tiara bisa tergerak, walau sedikit saja.
Anthony tidak tahu apa itu benar atau salah. Tapi begitu melihat wajah Tiara, Anthony tanpa sadar selalu mengucapkannya. Selalu penasaran jika dia memilih kata-kata lain.
Kenapa?

* *

“Tiara.” Terdengar suara yang familiar. Tiara menoleh. Ada Anthony di sana.
“Anthony...” Tiara menyapa Anthony, tapi jadinya hanya mengucapkan lirihan.
“Kudengar kau baru kembali dari kampung keluargamu.” Kata Anthony. Tiara mengangguk.
“Dengar dari Rima ya?” Tanya Tiara, berpikir sejenak bagaimana cara Anthony menanyakan sesuatu ke Rima, saat dia tahu Rima tidak suka pada Anthony.
“Ya, dengan sedikit usaha...”
“Kau merayunya? Rima bilang dia tidak suka padamu.” Potong Tiara. Sejenak, Tiara berpikir, bagaimana mungkin khayalannya sampai sejauh itu.
“Tidak, eh, mungkin juga.” Kata Anthony, mencari kata yang tepat. “Aku meneraktirnya, dan itu butuh waktu dan usaha yang tidak sedikit.”
Ya, Rima pasti menguras isi kantongnya. Batin Tiara. Dia tersenyum, membayangkan betapa lucunya hal itu.
“Kau tersenyum.” Gumam Anthony. Lebih pada dirinya sendiri, tapi tetap saja sampai di telinga Tiara.
“Memangnya aneh kalau aku tersenyum?” Tanya Tiara, masih tersenyum.
“Senyumnya berbeda.” Kata Anthony. “Kau merasa itu sangat lucu, jadi tersenyum seperti itu. Kau... terlihat sangat manis.”
“Benarkah? Terima kasih.” Jawab Tiara. Masih tetap dengan senyum yang sama. Tidak mengembang, tidak juga menghilang.
“Tiara.” Panggil Anthony sekali lagi. Tiara menoleh, menatap matanya. “Apa kau menyukaiku, sedikit saja?”
Tiara terdiam. Jujur, Tiara tidak merasa apapun. Selama bersama dengan Anthony, Tiara melewati semua itu dengan kewajaran. Hampir sama dekat dan senangnya ketika bersama dengan Rima. Membayangkan pergi ke mana saja, makan apa saja. Tapi itu sama dengan ketika dia bersama Rima, ataupun teman-teman yang lain. Anthony tidak berbeda.
Anthony sahabatnya yang berharga.
“Aku...”
“Aku suka padamu.” Potong Anthony, memperhatikan mimik wajah Tiara. Dia mendekat, berlutut di depan Tiara, kedua tangannya membungkus kedua tangan Tiara. “Lebih tepatnya, aku mencintaimu.”
Hanya satu yang terlintas di benak Tiara : untunglah saat ini dia duduk di taman yang sepi.
“Sejak aku melihatmu pertama kali, aku memikirkanmu. Memikirkanmu yang ramah, sekaligus dingin, yang dekat tapi ternyata begitu jauh. Rasa penasaran yang terus bertumbuh ini tidak bisa kuhentikan.”
Tiara tidak bisa membantah. Itu persis dirinya. Dia yang sebenarnya tidak bisa menyatu dengan dunia ini.
Anthony tidak membiarkan tatapan Tiara beralih. Tatapan matanya menghipnotis. Tidak, tatapan mata Anthony terlalu meyakinkan untuk diacuhkan begitu saja.
“Aku yakin, begitu banyak orang yang bilang suka padamu begitu saja. Terlalu sering, sehingga kau menganggap mereka main-main. Tapi aku berbeda.” Kata Anthony lagi. “Aku selalu serius saat mengucapkannya.”
“Anthony, aku ini...”
“Sulit untuk menyukai apapun.” Potong Anthony. “Kau begitu dingin dan tenang, tidak pernah terguncang pada situasi apapun, bahkan ketika orangtuamu meninggalkanmu. Tidak punya kesukaan apa-apa, maupun kedekatan apa-apa di dunia ini. Dalam pikiranmu, kau selalu punya batas untuk orang lain.”
“Anthony, henti..”
“Aku menyadarinya waktu itu, dan cerita Rima membuatku yakin dengan semua perasaan dan pemikiranku selama ini. Kau pasti takut dengan dirimu sendiri, yang tidak punya perasaan menyukai, memiliki, bahkan ketakutan untuk kehilangan apapun.”
Seakan-akan dari awal kau tidak pernah ada.”
“HENTIKAN!!” jerit Tiara, melepaskan tangannya dari genggaman Anthony. Dia sadar benar, apa yang diucapkan Anthony memang kenyataan.
Tapi haruskah dia mendengar dari orang lain? Tidak. “Memang benar, aku tidak punya hati. Aku tidak memiliki apapun, tidak merasa kehilangan apapun. Apa yang terjadi, itu sudah seharusnya, jadi siapapun yang menyukaiku, lalu meninggalkanku, itu sudah seharusnya. Aku ini orang yang menakutkan. Aku sudah tahu itu.”
“Tiara.” Anthony kembali menggenggam tangan Tiara. Tiara membiarkannya.
“Sudah tahu aku seperti ini, kenapa masih...” Tiara tidak meneruskan. Tidak punya tenaga untuk melanjutkan. Pikirannya sudah kemana-mana. Memikirkan alasan kenapa Anthony sekarang masih di hadapannya, padahal tahu Tiara tidak punya perasaan apapun yang ada di dunia ini. Tahu bahwa dia tidak punya kesempatan mendapatkan hati Tiara.
Karena Tiara tidak punya hati.
“Aku tidak tahu.” Kata Anthony, seakan dia tahu apa yang Tiara maksud. “Yang aku ingat hanyalah, dari hari ke hari, saat aku melihat wajahmu, aku selalu merasa harus mengucapkan ‘kau cantik’.”
Beat.
“Setiap kali mengucapkan kata-kata itu, detik berikutnya aku pasti memperhatikan wajahmu, memastikan apa kau bahagia, atau senang ketika mendengarnya. Tahu-tahu, yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya membuatmu tertawa, dari lubuk hatimu yang paling dalam.”
Karena aku yakin kau masih punya hati.”
Ya ampun... Tiara tidak percaya apa yang didengarnya. Anthony masih mempercayainya. Masih percaya Tiara masih punya perasaan.
“Bagaimana...” Tiara menghentikan ucapannya. Ada yang basah. Hujan? Dia melihat ke atas.
Tidak ada hujan.
Tangan Anthony menyentuh pipi Tiara. Hangat. Kehangatannya menjalar ke seluruh wajah Tiara.
“Terasa kan? Ini buktinya...”
Tiara menangis. Tiara tidak percaya ini, dia menangis.
Bahkan waktu orangtuanya pergi, dia tidak menangis. Hanya karena Anthony bilang dia percaya pada Tiara. Tiara jadi menangis seperti ini.
“Mana mungkin. Aku masih belum punya sesuatu yang kusukai.” Tiara berusaha menghapus airmatanya. Dan berusaha memperbaiki moodnya.
“Kalau begitu,” Anthony berdiri. Kepala Tiara menengadah, mengikuti wajah Anthony. Memperhatikan setiap ucapannya. “mulailah dari menyukaiku.”
Apa tadi yang diharapkannya? Tiara tidak tahu. Tahu-tahu, kini dia berada dipelukan Anthony. Merasakan hangat dan nyamannya pelukan Anthony, Tiara menyadari, dia masih bisa merasakan. Dia percaya.
Dia masih punya hati.
                (dengan begini, jatuh cintapun tidak akan sulit)

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?