Sabtu, 08 Desember 2012

Bab 9

cerpen, novel

Nadia




Capek banget. Dari jam setengah 4 bangun untuk membuat semua masakan ini. Waktuku habis percuma, dan badanku pasti bau masakan. Aku cepat langsung ke sekolah.
Biasanya hari-hari pertama sedikit saja orang yang datang. Dan habis itu, baru mulai banyak bermunculan. Yak, jam tujuh tepat. Masih ada lima belas menit lagi. Masih bisa santai. Coba keliling dulu, siapa tahu ketemu hal-hal menarik.
“Nadine!!! Pagi!!!” Sapaan riang menderaku. Ternyata teman-temanku ada di kantin sepagi ini. Aku hanya bisa tersenyum senang. Kangen.
Sekian lama aku nggak ketemu mereka dan nggak jawab telepon mereka, entah kenapa jadi terharu gini.
“Kenapa hpmu sekarang sering nggak aktif? Kami nyariin terus sejak kita ketemu di Bali...” Tanya Fit cemas.
“Iya nih. Habisnya kamu kami tinggalin wajahnya sedih banget. Jadi kepikiran...” Kata Elsa juga.
“Maaf... aku... aku baru aja ganti hp. Hp yang lama... jatuh di jurang. Udah hilang.” Jawabku ragu.
“BENER?!” Tanya mereka bersamaan. Aku mengangguk. Harusnya terus seperti ini?
“Beneran hilang gara-gara jatuh? Nggak yang lain?” Tanya Rita. Aku menggangguk sebagai jawabannya. Kenyataan kok.
“Ya udah kalau gitu. Berapa nomor mu yang baru?” Tanya Romy. Aku langsung merongoh ke kantong.
“Ng... aku baru di kasih kemarin. Aku belum hapal nomornya. Kusimpan punya kalian dulu ya?” Kataku cepat. Mereka terdiam sesaat.
“Astaga Nadine!!! Ini kan hp yang terbaru dari merek terkenal itu! Harganya mahal banget loh, Dine! Gue pengen banget dari dulu, Cuma bonyok aja yang nggak ngasih. Lo di kasih siapa?” Tanya Nia terkagum-kagum.
“Mahal banget? Masa sih?” Tanyaku bingung. Yang benar aja.
“Aduh... lo aja yang nggak tahu. Ni hp harganya jutaan!! Ini baru... sebulan dari pertama jual. Harganya masih sekitar 5 jutaan loh!”
“LI.. LIMA JUTA?!” Ulangku nggak percaya. Dasar Vinci! Kenapa dia bisa kasih hp mahal kayak gini? Apa dia mau hutangku tambah banyak? Dasar cowok sialan!! Kukutuk dia baru tahu!
“Kalau gitu, siapa yang ngasih hp ini ke Nadine?” Tanya Romy. Semua saling bertatapan sebelum akhirnya tatapan mata menuntut jawaban itu diarahkan ke aku. Aku harus jawab apa?
Tepat di saat itu bell berbunyi!!! Puji Tuhan!!!!!!
“Bell udah bunyi! Aku pergi duluan ya!” Kataku bergegas ke kelas. Bersyukur juga kelas dua ini aku beda kelas dari mereka semua. He he.
Teman-teman saling menyapa pagi ini. Soalnya hari ini hari pertama sekolah. Pasti banyak yang kangenan, atau nggak, banyak hal-hal yang baru. Contohnya Tika, teman paling cerewet di kelasku. Model rambutnya berubah lagi!! Tambahan, dia punya tas baru, sepatu baru, bahkan banyak aksesoris kinclong di bajunya. Ini kan baru pertama sekolah, masa dia nggak takut kena razia?
Terus, ada pasangan yang makin dekat. Lia ama Deno, padahal dulu masih malu-malu kucing. Sekarang jadi makin disorak nih. Wah banyak banget ya. Ini baru contoh-contoh kecil yang mewakili beberapa jenis perubahan. Terus....
“Nadine, pagi.” Sapa seseorang di dekatku. Uih, kaget. Siapa sih?
“Haris?” Sapaku heran. Aku nggak mungkin salah, karena papan namanya. Yang membuat aku heran adalah... penampilannya!
“Eh? Kenapa? Ada yang aneh ya?” Dia langsung meneliti seluruh penampilannya dengan terburu-buru. Benar juga, dia Haris.
“Nggak. Nggak kenapa-kenapa. Rupanya kamu juga kena perubahan liburan ya?” Tanyaku seramah mungkin. Ternyata ketua kelasku jadi rapi. Semua orang kaget begitu melihatnya, seperti aku tadi.
Haris adalah ketua kelas yang dikenal sembrono, kuper, kurang perhatian dengan penampilan, tapi pintar. Matanya minus karena terlalu banyak main game di rumah. Dia sembrono karena pasti aja ada barang-barangnya yang ketinggalan atau tingkah lakunya. Dia kuper... yah itu karena dia terlalu banyak mendekam dalam rumah. Dia kucel, semua karena komposisi itu. Tapi yang jelas, dia jenius. Itu menurutku pribadi karena dia selalu juara satu, tapi nggak pernah mau ikut yang namanya perlombaan apapun, karena alasannya merepotkan. Tapi dia baik, dia selalu ngajarin aku tentang pelajaran apapun yang aku nggak ngerti, karena itu kami jadi akrab.
Tapi sekarang, dia terlihat berubah. Dia nggak kucel lagi, amat sangat rapi. Hidungnya nggak lagi jadi tempat bertenggernya kacamata yang tebal itu. Matanya tidak seloyo dulu, dan sekarang badannya tegap. Sebulan ini, apa aja yang dia lakuin. Apa dia masih kuper atau nggak ya?
“Kamu selama liburan ini kemana aja?” Tanyaku sambil meletakkan tas. Dia berpikir sebentar.
“Semedi kali.” Jawabnya enteng.
“Serius nih! Kamu nggak lihat semua mata cewek-cewek jadi melototin kamu terus?” Kataku setengah bercanda.
“Liburan puasa tahun ini kelewat panjang. Jadi makin bosan di rumah. Jadi aku mulai melakukan hal-hal baru.” Katanya. Dia duduk di sampingku. “Seperti... membersihkan rumah dan melakukan beberapa pekerjaan di kebun.”
“Melakukan kerjaan yang berkeringat.” Komenku senang.
“Terus... dengan senangnya keluargaku, aku jadi makin semangat. Aku mulai keliling kota dan entah kenapa, semakin banyak jalan, semakin asyik rasanya. Jadi ketemu hal-hal baru. Aku ikut fs*ketahuan banget ni jadul ya... tahun 2002* loh. Nanti cek ya!” Katanya promosi.
“Terus kamu rubah penampilanmu? Hm... bukan. Kayaknya yang berubah hanya gaya rambutmu aja deh.” Kataku lagi.
“Iya. Jadi begitulah yang kulakukan selama ini. Dan inilah hasilnya. Apa aku jadi aneh? Aku masih doyan makan snack dan main game. Pulang sekolah kita online yuk?” Ajaknya. Yah... sayang. Aku menggeleng, menolaknya. “Kenapa?”
“Soalnya ada yang harus kulakukan. Ris.. sekarang aku jadi sibuk. Maaf ya?” Kataku. Haris agak kecewa, sepertinya dia mengharapkan sesuatu terjadi hari ini. Mungkin Cuma perasaanku aja?
Nggak ada yang spesial hari ini. Guru-guru dan murid sama-sama belum full yang masuk karena ini baru hari pertama. Udah biasa lagi. Akhirnya jam dua kami pulang. Aku bergegas merapikan tasku dan pergi keluar.
“Nadia!” Panggil Haris. Aku menunggunya.
“Kenapa?”
“Begini, kita bisa jalan nggak nanti. Mungkin hari Jum.at atau hari Sabtu... eh, maksudku, kapan saja boleh. Mau?” Kata Haris. Kenapa dia semangat banget mau ngajak aku jalan?
“Sekarang... entah sampai kapan, aku nggak bisa jalan-jalan. Sori banget, ya Ris. Sekarang saja aku lagi buru-buru.” Kataku cepat. Kasihan dia, dia makin kecewa.
Begitu kulihat di depan gerbang sekolah, kulihat teman-temanku berkerumun.
“Nunggu siapa?” Tanyaku.
“Nunggu Elsi ma Rosi.” Jawab Rita. “Dine, kita jalan yuk? Bareng-bareng habis ini...”
“Maaf, nggak bisa. Kalian pergi sendiri aja. Aku harus cepat pulang. Sori ya!” Jawabku cepat. Kucepatkan langkah kakiku. Lama kuberpikir, mungkin pekerjaan ini nggak bakal mudah. Tiba-tiba aja aku jadi merasa tersisih dari duniaku sendiri. Melihat mereka yang tertawa dan berjalan riang, aku tahu... aku jadi berbeda.
Aku secepat mungkin pergi ke lokasi syuting. Kasihan Pak Martin kalau aku terlalu lama. Begitu sampai di lokasi, awalnya aku nggak diijinkan masuk sampai ada kru yang mengenaliku. Aku pergi ke toilet dan langsung ganti baju.
“Mana Pak Martin?” Tanyaku pada salah satu kru.
“Nggak tahu. Dia dari pagi nggak datang.” Jawabnya. Pak Martin nggak datang, apa karena terjadi sesuatu?
Kutunggu Vinci sampai selesai syuting. Cuma sebentar, karena ini sudah jam tiga sore. Sudah waktunya Vinci pulang. Waktu kami pergi, mereka masih melanjutkan syuting. Mungkin adegan yang nggak ada Vincinya.
Kami berangkat menuju kantor. Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh dengan Vinci. Sejak kapan ya? Kalau nggak salah, sejak pulang dari Bali. Vinci mungkin memang pendiam, tapi sorot matanya tajam dan wajahnya serius. Sekarang Vinci jadi lebih sering seperti orang yang bengong. Tatapan nggak jelas, kayak menerawang, dan tampak selalu seperti orang yang bingung dan terus berpikir.
“Terima kasih... atas hpnya.” Kataku memecahkan kesunyian diantara kami.
“Kau suka?”
“Yah... aku suka. Tapi... kayaknya terlalu mahal. Eh, aku suka kok!” Aku jadi gugup.
Vinci terdiam. Dia kembali seperti yang biasa, penuh konsentrasi.
“Apa ada masalah?” Tanyaku nekat.
“Masalah apa?”
“Nggak tahu. Tapi kayaknya ada yang terus dipikirkan Vinci akhir-akhir ini. Kamu kayak orang yang bingung dan gelisah. Apa jangan-jangan karena hasil testmu?”
“Nggak ada masalah. Nggak ada yang kupikirkan terlalu dalam. Jangan banyak tanya.” Katanya singkat, tenang dan datar. Seperti biasa.
“Maaf,” Kataku cepat. Mobil kami terus melaju di jalanan.

Begitu sampai di kantor, aku melihat sesuatu yang sedikit mengagetkanku. Untuk kesekian kalinya, Pak Martin menjatuhkan rak bukunya dan harus bersusah payah membereskannya kembali.
“Sudah kubilang panggil bantuan saja.” Kata Vinci tegas, menyalahkan Pak Martin. Pak Martin hanya senyum-senyum saja. Cepat-cepat kubantu dia membereskan arsip. Kebanyakan isi rak ini adalah arsip pribadinya dan salinan dari kontrak-kontrak untuk Vinci.
“Maaf, maaf. Mau minum teh?” Tanya Pak Martin. Kami lalu duduk dan mulai bersantai.
“Jadi, bulan depan acaranya jadi?” Tanya Vinci. Acara apa?
“Yah, sebenarnya dipercepat. Tapi kamu nggak keberatan kan? Mulai lusa. Tiga minggu dari sekarang.”
“Apaan sih?” Tanyaku agak bingung.
“Vinci nanti bakal nyanyi.” Jawab Pak Martin. Apa?!
“Vi, Vinci nyanyi?” Ulangku heran. “Memangnya dia bisa?”
“Tentu saja bisa. Debutnya dulu kan...” Pak Martin mau mengatakan sesuatu, tapi dicegah Vinci. Debutnya?
“Debutnya penyanyi ya?” Tanyaku.
“Ng... Vokalis Band.” Jawab Pak Martin melirik Vinci. Vinci masih terdiam, sepertinya menatapku.
“Jadi... mungkin Vinci dan band akan berkalaborasi. Jadi... latihannya diatur ulang. Hm... dari sore dari Kamis sampai Sabtu off kan? Jadi tolong datang ke sini.” Kata Pak Martin. Vinci hanya mengangguk.
“Baiklah. Terserah saja. Kan kau yang mengatur segala jadwalku.” Kata Vinci.
Akhirnya kami pulang. Aku juga memasukkannya dalam agendaku. Vinci diam saja, merenung sesuatu.
“Aku baru tahu, kalau Vinci dulu adalah vokalis band. Apa Vinci juga bisa memainkan alat musik?” Tanyaku yang sekali lagi, nekat.
“Piano, gitar, biola, dan beberapa alat musik lain. Kakek dan nenekku musisi.” Jawab Vinci. Oh... gitu. Pantas saja...
“Aku sampai sekarang Cuma bisa gitar. Kapan-kapan bisa ajari aku alat musik yang kau bisa?” Tanyaku lagi. Kali ini Vinci nggak menjawab. Jadi kami terus berdiam begitu saja sampai di rumah.
“Kau,” Kata Vinci waktu makan malam. “Begitu pulang sekolah, langsung ke rumah dan siapkan bekal untuk malam.”
Agak aneh juga. Tapi itu berarti Vinci menyukai masakanku kan? Asyik!!!

Dua minggu berlalu, jadi aku selalu saja sibuk dengan jadwal harian yang nggak putus-putus. Bangun jam setengah empat dan menyiapkan sarapan. Pergi jam setengah tujuh, sekolah dan pulang jam setengah tiga lalu membereskan rumah. Mandi dan menyiapkan bekal lagi, pergi ke kantor sekitar jam lima dan pulang jam sembilan malam, berberes bekal lalu belajar, dan sekitar jam sebelas baru tidur.
Entah kenapa rasanya jadi cepat ngantuk. Mungkin karena aku kurang tidur? Apalagi cuaca minggu-minggu ini aneh. Kadang panas, kadang mendung. Bahkan sempat hujan deras beberapa hari terakhir.
“Nadia!! Katanya, Vinci bakal nyanyi berkalaborasi ama band terkenal loh!! Doi emang hebat, top abis! Gue udah pesan tiket VIPnya jauh-jauh hari. idola gue mau nyanyi, memang doi itu orang berbakat, bisa segalanya!” Kata Nia berbusa-busa. Ngomong-ngomong soal bakat, kak Jun juga amat sangat berbakat. Dia pintar, jago olahraga, bahkan serba bisa. Dari caranya membuat model rumah yang keren itu, sampai memasak masakan yang lezat seperti koki bintang lima. Kak Jun...
“Nadine, kamu nggak apa-apa? Kayaknya capek banget... lesu.” Tanya Rita. Aku cepat-cepat mengeleng.
“Aku baik-baik aja, kok. Mungkin karena tadi malam aku tidur larut malam untuk mengerjakan semua pr ini? Soalnya aku mau cepat selesai. Apalagi bos kerja magangku galak banget. Hooaah... iya juga ya. Aku jadi ngantuk. Tapi nanti begitu pulang dan tidur, pasti nanti jadi sehat lagi.” Jawabku, entah kenapa kok aku nggak yakin ya? “Katanya, konsernya hari ini ya?”
“Ya, jam tujuh malam ini! Kyaaa!!! Gue nggak sabar!!!” Nia histeris. Dia memang betul-betul fansnya Vinci. Entah apa komentarnya kalau dia tahu yang sebenarnya.
Badanku jadi pegal-pegal. Untungnya hari ini pulang cepat. Kan hari Jum’at. Aku harus siap-siap untuk konser malam ini. Kostumnya kan diambil jam empat nanti. Bisalah... bawa peralatan seperti biasa, terus nanti buat bekal untuk makan di jalan. Berarti harus yang praktis ya. Kalau bisa yang biasa dimakan pakai tangan.
Vinci kan syuting untuk adegan pertama movie. Jadwalnya diatur dengan pembagian tiga dan tiga. Hari minggunya untuk bonus manapun yang perlu. Ah, mikir apa aku ini. Dia jam empat sudah selesai. Kostumnya diantar ke lokasi syuting. Makan, mandi, lalu siap-siap di lokasi konser dengan gladibersih. Padat juga ya. Apalagi dengan cuaca sepanas ini.
“Cuacanya panas ya?” Terdengar suara Haris di sampingku. Lagi-lagi dia dengan gaya kerennya. “Kayaknya, bentar lagi bakal hujan.”
“Masa? Cuacanya panas banget begini...” Kataku melihat sekeliling.
“Justru itu. Banyak orang bilang, semakin panas cuaca di siang hari, makin deras hujannya diwaktu sore. Soalnya waktu siang waktunya awan mengumpulkan kekuatan.”
“Moga-moga cuaca cerah. Ya sudah ya, aku duluan!!” Kataku pamit. Sekarang, aku jadi semakin sibuk, apalagi untuk hari ini.

Jam dua akhirnya semua selesai dan aku langsung pergi ke lokasi syuting. Lagi-lagi aku bisa masuk karena ada yang mengenalku. Apa aku memang terlalu muda ya? Hm...
Sekarang lokasi syutingnya Vinci. Aktingnya seperti biasa, briliant! Begitu juga dengan lawan mainnya. Ng... Rianna. Rianna?!
Astaga, dia kan si cewek misterius yang instingnya aneh itu! Yang bencinya setengah mati sama Vinci sampai pernah mencoba menjebaknya dengan serbuan gosip. Waktu itu aku mengenalkan diri sebagai keluarga Pak Martin, dan Rianna sendiri sepupunya. Dia pernah mencurigaiku. Pasti curiganya tambah besar kalau tahu aku di sini!! Bagaimana ini?
Tenanglah, semua pasti baik-baik saja. Vinci datang ke sini. Kayaknya mulai rehat.
“Sudah disiapkan semuanya?” Tanya Vinci. Tumben dia bertanya. Apa dia gugup? Wow, analisa macam apa tadi? Mungkin Cuma tebakan aja.
“Sudah. Yang belum siap Cuma baju dan kamu aja.” Jawabku tegas. Dia meneguk aqua, lalu menatapku.
“Kunci mobil. Bawa semua ke mobil dan tunggu di sana. Nyalakan AC, biar begitu aku duduk, semua sudah dingin.” Kata Vinci menyerahkan kunci mobilnya padaku. Jadi aku mengangkut semuanya ke mobil dan menunggu di sana.
Haaah... sejuknya AC ini. Kenapa dia minta aku bawa semua barang-barangnya dan menunggu di mobil? Kan parkir mobil ini jauh, tapi dia minta aku nunggu di sini? Aku kan bisa-bisa ketiduran di mobil ini. Hm? Apa bukan itu tujuannya, menyuruh aku istirahat di sini. Kalau itu benar, dia baik juga ya. Empuknya....
Tapi kenapa dia nyuruh aku istirahat? Apa aku kelihatan capek? Hei, sudah jam setengah empat!! Bentar lagi selesai. Tunggu dulu!
Tiba-tiba hujan turun. Tadinya Cuma rintik-rintik, tapi 10 menit kemudian jadi deras begini! Kenapa? Di saat seperti ini...

“Banyak orang bilang, semakin panas cuaca di siang hari, makin deras hujannya diwaktu sore. Soalnya waktu siang waktunya awan mengumpulkan kekuatan.”

Itu kata-kata Haris. Apa betul? Soalnya tiba-tiba sekelilingku jadi dingin banget. Padahal aku sangat mengharapkan cuaca yang cerah. Gara-gara hujan ini, aku jadi makin ngantuk...
“Woi!” Terdengar suara ketukan dari luar. Ternyata Vinci. Dia dipayungi oleh seorang kru dan datang ke sini.
“Loh, Vinci? Kenapa ada di sini? Syutingnya?” Tanyaku kaget. Vinci mulai menstater mobil.
“Syuting ditunda. Soalnya hujannya deras banget, dan sisa beberapa menit lagi. Bajunya juga sudah ku dapat. Kayaknya hujan ini nggak bakal sebentar.” Kata Vinci. Kamipun cepat-cepat meluncur menuju tempat konser.
Sial! Ditengah hujan begini, jalanan pada macet, apalagi yang menuju tempat konser. Kami Cuma bisa berlambat-lambat saja. Kalau perhitunganku tepat, paling lambat kami berada di sana jam setengah enam. Sementara itu, kami mulai makan bekal yang kubuat. Untunglah aku membuat yang mudah dimakan di mana saja dan kapan saja.
Jam lima lewat, jalanan mulai lancar lagi. Mobil kami melaju secepat mungkin. Sip... kala lihat waktunya, mungkin jam setengah enam kami sudah ada di....
“DHAARR!!!” Terdengar suara ledakan dan ban meletus.
“Apa?” Teriakku kaget. Ini terlalu kebetulan!! Kenapa sih, disaat genting begini semuanya jadi susah. Kami bisa telat ke tempat konser!!!
“Vinci!! Kenapa belum datang? Waktu kita sudah mepet! Kayaknya mereka mau dimulai cepat, apalagi gara-gara hujan ini!” Terdengar suara Pak Martin yang panik di seberang sana. Oh astaga, komplekslah jadinya.
“Masalahnya, sepertinya di depan kami terjadi kecelakaan. Kami mungkin akan terlambat. Dan di sini juga tidak ada yang bisa ditumpangi.” Jawab Vinci, yang pastinya mengumpan kepanikan Pak Martin. Dia bakal dengan susah payah menjelaskan keterlambatan ini. Aku harus melakukan sesuatu. Tapi apa?
“Nadia!!!! Gue mo pergi ke konser, malah di dekat gue ada kecelakaan!! Wuih... serem amat! Coba lo ama gue sekarang!” Nia lagi-lagi histeris. Loh, dia ada dimana?
“Kamu di mana? Kecelakaannya itu ada di sebelah mananya kamu?” Tanyaku cepat. Mungkin ini bisa...
“Ada di belakang gue. Gue istirahat bentar, sangking kagetnya. Suaranya keras banget, jantung gue mau copot!” Sembur Nia. Bagus!
“Nia, tunggu aku! Aku sekarang lagi sama-sama orang penting di konser itu!! Dia penanggungjawabnya di sana. Kami terjebak macet gara-gara kecelakaan ini. Kamu bisa ngantarin kami kan? Kalo dia nggak datang, konsernya bisa gagal!” Kataku nekat.
Payung nggak ada. Jas hujan terusan panjang ada satu. Topi, kacamata, ada. Aku mengaduk-aduk bagasi belakang dan menyuruh Vinci memakainya. Bagus.
“Kita mau ngapain? Nembus hujan?” Tanya Vinci begitu aku menariknya keluar.
“Ada temanku yang mau datang ke konser! Kita bisa numpang sama dia. Pasti kita bisa tepat waktu.”
“Tapi kamu sendiri?” Tanya Vinci. Aku menggeleng.
“Aku pakai baju hangat! Nggak masalah kok! Ayo cepat!!!” Aku meraih tangannya dan kai berlari menembus hujan dan orang-orang itu. Kulihat mobil Nia warna pink yang ngejereng ada di tepi jalan. Aku cepat mengetuknya.
“Nadia!”
“Nia!”
“Ayo, kita cepat masuk!”
Kami langsung masuk ke dalam. Nia yang chargenya udah full mulai bersiap-siap.
“Dia mau ngapain?” Bisik Vinci. Aku memberi isyarat diam.
“Ready... GO!!!” Teriak Nia. Adrenalin bertambah, seiring dengan kecepatan yang bisa diukur ampemeter ini. Nia memang jagoan sejati!
Kami melesat dijalanan, meski jalanan itu licin karena hujan. Meskipun beberapa kali harus menukik tajam karena belokan, kami semua tetap selamat karena Tuhan memberinya kontrol kemudia yang bagus. Mantan pembalap sih!
Akhirnya kami sampai tepat waktu. Nia pergi ke ruang VIPnya, Vinci dan aku masuk menuju belakang panggung. Pak Martin lega melihat kami datang, dan panik saat melihatku.
“Astaga, Nadia!!! Cepat keringkan tubuhmu dengan lap ini!!” Katanya sambil menggosok-gosok kepalaku. Aku berpaling cepat ke arah Vinci. Dalam waktu secepat mungkin, dia sudah siap dengan kostumnya. Wow, dia jadi keren!!
“Hebat! Untunglah kita bisa tepat waktu ya?” Kataku senang dan mengucap syukur. Vinci sepertinya juga senang dengan keberuntungan ini. Dia menepuk kepalaku.
“Kerja bagus.” Mendengar suaranya, dalam rasanya perasaanku menghangatkan badanku yang dingin ini. Aku senang.
“Kerja yang semangat! Good luck!” Seruku waktu dia muncul di panggung. Haah... aku mau duduk. Capek juga lari-lari tadi. Tapi si Vinci tahan juga.
Melihatnya, aku merasa tenang. Tapi kenapa kepalaku jadi sakit ya? Kayak dihantam palu godam. Tanganku juga memanas. Angin jadi begitu dingin di sekelilingku. Apa karena hujan deras di luar?
Ya ampun... aku mengantuk. Aku harus tahan...
“Nadia? Kau mau duduk? Pasti capek ya?” Suara Pak Martin terdengar kasar. Agak mendengung. Kenapa lagi ini? Yah, mungkin karena aku kurang istirahat. Aku mau tidur sebentar... lho, pandanganku...


* * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?