Nadia
Capek banget. Dari jam setengah 4
bangun untuk membuat semua masakan ini. Waktuku habis percuma, dan badanku
pasti bau masakan. Aku cepat langsung ke sekolah.
Biasanya hari-hari pertama sedikit
saja orang yang datang. Dan habis itu, baru mulai banyak bermunculan. Yak, jam
tujuh tepat. Masih ada lima belas menit lagi. Masih bisa santai. Coba keliling
dulu, siapa tahu ketemu hal-hal menarik.
“Nadine!!! Pagi!!!” Sapaan riang
menderaku. Ternyata teman-temanku ada di kantin sepagi ini. Aku hanya bisa
tersenyum senang. Kangen.
Sekian lama aku nggak ketemu mereka
dan nggak jawab telepon mereka, entah kenapa jadi terharu gini.
“Kenapa hpmu sekarang sering nggak
aktif? Kami nyariin terus sejak kita ketemu di Bali...” Tanya Fit cemas.
“Iya nih. Habisnya kamu kami tinggalin
wajahnya sedih banget. Jadi kepikiran...” Kata Elsa juga.
“Maaf... aku... aku baru aja ganti hp.
Hp yang lama... jatuh di jurang. Udah hilang.” Jawabku ragu.
“BENER?!” Tanya mereka bersamaan. Aku
mengangguk. Harusnya terus seperti ini?
“Beneran hilang gara-gara jatuh? Nggak
yang lain?” Tanya Rita. Aku menggangguk sebagai jawabannya. Kenyataan kok.
“Ya udah kalau gitu. Berapa nomor mu
yang baru?” Tanya Romy. Aku langsung merongoh ke kantong.
“Ng... aku baru di kasih kemarin. Aku
belum hapal nomornya. Kusimpan punya kalian dulu ya?” Kataku cepat. Mereka
terdiam sesaat.
“Astaga Nadine!!! Ini kan hp yang
terbaru dari merek terkenal itu! Harganya mahal banget loh, Dine! Gue pengen
banget dari dulu, Cuma bonyok aja yang nggak ngasih. Lo di kasih siapa?” Tanya
Nia terkagum-kagum.
“Mahal banget? Masa sih?” Tanyaku
bingung. Yang benar aja.
“Aduh... lo aja yang nggak tahu. Ni hp
harganya jutaan!! Ini baru... sebulan dari pertama jual. Harganya masih sekitar
5 jutaan loh!”
“LI.. LIMA JUTA?!” Ulangku nggak
percaya. Dasar Vinci! Kenapa dia bisa kasih hp mahal kayak gini? Apa dia mau
hutangku tambah banyak? Dasar cowok sialan!! Kukutuk dia baru tahu!
“Kalau gitu, siapa yang ngasih hp ini
ke Nadine?” Tanya Romy. Semua saling bertatapan sebelum akhirnya tatapan mata
menuntut jawaban itu diarahkan ke aku. Aku harus jawab apa?
Tepat di saat itu bell berbunyi!!!
Puji Tuhan!!!!!!
“Bell udah bunyi! Aku pergi duluan
ya!” Kataku bergegas ke kelas. Bersyukur juga kelas dua ini aku beda kelas dari
mereka semua. He he.
Teman-teman saling menyapa pagi ini.
Soalnya hari ini hari pertama sekolah. Pasti banyak yang kangenan, atau nggak,
banyak hal-hal yang baru. Contohnya Tika, teman paling cerewet di kelasku.
Model rambutnya berubah lagi!! Tambahan, dia punya tas baru, sepatu baru,
bahkan banyak aksesoris kinclong di bajunya. Ini kan baru pertama sekolah, masa
dia nggak takut kena razia?
Terus, ada pasangan yang makin dekat.
Lia ama Deno, padahal dulu masih malu-malu kucing. Sekarang jadi makin disorak
nih. Wah banyak banget ya. Ini baru contoh-contoh kecil yang mewakili beberapa
jenis perubahan. Terus....
“Nadine, pagi.” Sapa seseorang di
dekatku. Uih, kaget. Siapa sih?
“Haris?” Sapaku heran. Aku nggak
mungkin salah, karena papan namanya. Yang membuat aku heran adalah...
penampilannya!
“Eh? Kenapa? Ada yang aneh ya?” Dia
langsung meneliti seluruh penampilannya dengan terburu-buru. Benar juga, dia
Haris.
“Nggak. Nggak kenapa-kenapa. Rupanya
kamu juga kena perubahan liburan ya?” Tanyaku seramah mungkin. Ternyata ketua
kelasku jadi rapi. Semua orang kaget begitu melihatnya, seperti aku tadi.
Haris adalah ketua kelas yang dikenal
sembrono, kuper, kurang perhatian dengan penampilan, tapi pintar. Matanya minus
karena terlalu banyak main game di rumah. Dia sembrono karena pasti aja ada
barang-barangnya yang ketinggalan atau tingkah lakunya. Dia kuper... yah itu
karena dia terlalu banyak mendekam dalam rumah. Dia kucel, semua karena
komposisi itu. Tapi yang jelas, dia jenius. Itu menurutku pribadi karena dia
selalu juara satu, tapi nggak pernah mau ikut yang namanya perlombaan apapun,
karena alasannya merepotkan. Tapi dia baik, dia selalu ngajarin aku tentang
pelajaran apapun yang aku nggak ngerti, karena itu kami jadi akrab.
Tapi sekarang, dia terlihat berubah.
Dia nggak kucel lagi, amat sangat rapi. Hidungnya nggak lagi jadi tempat
bertenggernya kacamata yang tebal itu. Matanya tidak seloyo dulu, dan sekarang
badannya tegap. Sebulan ini, apa aja yang dia lakuin. Apa dia masih kuper atau
nggak ya?
“Kamu selama liburan ini kemana aja?”
Tanyaku sambil meletakkan tas. Dia berpikir sebentar.
“Semedi kali.” Jawabnya enteng.
“Serius nih! Kamu nggak lihat semua
mata cewek-cewek jadi melototin kamu terus?” Kataku setengah bercanda.
“Liburan puasa tahun ini kelewat
panjang. Jadi makin bosan di rumah. Jadi aku mulai melakukan hal-hal baru.”
Katanya. Dia duduk di sampingku. “Seperti... membersihkan rumah dan melakukan
beberapa pekerjaan di kebun.”
“Melakukan kerjaan yang berkeringat.”
Komenku senang.
“Terus... dengan senangnya keluargaku,
aku jadi makin semangat. Aku mulai keliling kota dan entah kenapa, semakin
banyak jalan, semakin asyik rasanya. Jadi ketemu hal-hal baru. Aku ikut fs*ketahuan
banget ni jadul ya... tahun 2002* loh. Nanti cek ya!” Katanya promosi.
“Terus kamu rubah penampilanmu? Hm...
bukan. Kayaknya yang berubah hanya gaya rambutmu aja deh.” Kataku lagi.
“Iya. Jadi begitulah yang kulakukan
selama ini. Dan inilah hasilnya. Apa aku jadi aneh? Aku masih doyan makan snack
dan main game. Pulang sekolah kita online yuk?” Ajaknya. Yah... sayang. Aku
menggeleng, menolaknya. “Kenapa?”
“Soalnya ada yang harus kulakukan.
Ris.. sekarang aku jadi sibuk. Maaf ya?” Kataku. Haris agak kecewa, sepertinya
dia mengharapkan sesuatu terjadi hari ini. Mungkin Cuma perasaanku aja?
Nggak ada yang spesial hari ini.
Guru-guru dan murid sama-sama belum full yang masuk karena ini baru hari
pertama. Udah biasa lagi. Akhirnya jam dua kami pulang. Aku bergegas merapikan
tasku dan pergi keluar.
“Nadia!” Panggil Haris. Aku
menunggunya.
“Kenapa?”
“Begini, kita bisa jalan nggak nanti.
Mungkin hari Jum.at atau hari Sabtu... eh, maksudku, kapan saja boleh. Mau?”
Kata Haris. Kenapa dia semangat banget mau ngajak aku jalan?
“Sekarang... entah sampai kapan, aku
nggak bisa jalan-jalan. Sori banget, ya Ris. Sekarang saja aku lagi buru-buru.”
Kataku cepat. Kasihan dia, dia makin kecewa.
Begitu kulihat di depan gerbang
sekolah, kulihat teman-temanku berkerumun.
“Nunggu siapa?” Tanyaku.
“Nunggu Elsi ma Rosi.” Jawab Rita.
“Dine, kita jalan yuk? Bareng-bareng habis ini...”
“Maaf, nggak bisa. Kalian pergi
sendiri aja. Aku harus cepat pulang. Sori ya!” Jawabku cepat. Kucepatkan
langkah kakiku. Lama kuberpikir, mungkin pekerjaan ini nggak bakal mudah.
Tiba-tiba aja aku jadi merasa tersisih dari duniaku sendiri. Melihat mereka
yang tertawa dan berjalan riang, aku tahu... aku jadi berbeda.
Aku secepat mungkin pergi ke lokasi
syuting. Kasihan Pak Martin kalau aku terlalu lama. Begitu sampai di lokasi,
awalnya aku nggak diijinkan masuk sampai ada kru yang mengenaliku. Aku pergi ke
toilet dan langsung ganti baju.
“Mana Pak Martin?” Tanyaku pada salah
satu kru.
“Nggak tahu. Dia dari pagi nggak
datang.” Jawabnya. Pak Martin nggak datang, apa karena terjadi sesuatu?
Kutunggu Vinci sampai selesai syuting.
Cuma sebentar, karena ini sudah jam tiga sore. Sudah waktunya Vinci pulang.
Waktu kami pergi, mereka masih melanjutkan syuting. Mungkin adegan yang nggak
ada Vincinya.
Kami berangkat menuju kantor. Entah
kenapa, aku merasa ada yang aneh dengan Vinci. Sejak kapan ya? Kalau nggak
salah, sejak pulang dari Bali. Vinci mungkin memang pendiam, tapi sorot matanya
tajam dan wajahnya serius. Sekarang Vinci jadi lebih sering seperti orang yang
bengong. Tatapan nggak jelas, kayak menerawang, dan tampak selalu seperti orang
yang bingung dan terus berpikir.
“Terima kasih... atas hpnya.” Kataku
memecahkan kesunyian diantara kami.
“Kau suka?”
“Yah... aku suka. Tapi... kayaknya
terlalu mahal. Eh, aku suka kok!” Aku jadi gugup.
Vinci terdiam. Dia kembali seperti
yang biasa, penuh konsentrasi.
“Apa ada masalah?” Tanyaku nekat.
“Masalah apa?”
“Nggak tahu. Tapi kayaknya ada yang
terus dipikirkan Vinci akhir-akhir ini. Kamu kayak orang yang bingung dan
gelisah. Apa jangan-jangan karena hasil testmu?”
“Nggak ada masalah. Nggak ada yang
kupikirkan terlalu dalam. Jangan banyak tanya.” Katanya singkat, tenang dan
datar. Seperti biasa.
“Maaf,” Kataku cepat. Mobil kami terus
melaju di jalanan.
Begitu sampai di kantor, aku melihat
sesuatu yang sedikit mengagetkanku. Untuk kesekian kalinya, Pak Martin
menjatuhkan rak bukunya dan harus bersusah payah membereskannya kembali.
“Sudah kubilang panggil bantuan saja.”
Kata Vinci tegas, menyalahkan Pak Martin. Pak Martin hanya senyum-senyum saja.
Cepat-cepat kubantu dia membereskan arsip. Kebanyakan isi rak ini adalah arsip
pribadinya dan salinan dari kontrak-kontrak untuk Vinci.
“Maaf, maaf. Mau minum teh?” Tanya Pak
Martin. Kami lalu duduk dan mulai bersantai.
“Jadi, bulan depan acaranya jadi?”
Tanya Vinci. Acara apa?
“Yah, sebenarnya dipercepat. Tapi kamu
nggak keberatan kan? Mulai lusa. Tiga minggu dari sekarang.”
“Apaan sih?” Tanyaku agak bingung.
“Vinci nanti bakal nyanyi.” Jawab Pak
Martin. Apa?!
“Vi, Vinci nyanyi?” Ulangku heran.
“Memangnya dia bisa?”
“Tentu saja bisa. Debutnya dulu
kan...” Pak Martin mau mengatakan sesuatu, tapi dicegah Vinci. Debutnya?
“Debutnya penyanyi ya?” Tanyaku.
“Ng... Vokalis Band.” Jawab Pak Martin
melirik Vinci. Vinci masih terdiam, sepertinya menatapku.
“Jadi... mungkin Vinci dan band akan
berkalaborasi. Jadi... latihannya diatur ulang. Hm... dari sore dari Kamis
sampai Sabtu off kan? Jadi tolong datang ke sini.” Kata Pak Martin. Vinci hanya
mengangguk.
“Baiklah. Terserah saja. Kan kau yang
mengatur segala jadwalku.” Kata Vinci.
Akhirnya kami pulang. Aku juga
memasukkannya dalam agendaku. Vinci diam saja, merenung sesuatu.
“Aku baru tahu, kalau Vinci dulu
adalah vokalis band. Apa Vinci juga bisa memainkan alat musik?” Tanyaku yang
sekali lagi, nekat.
“Piano, gitar, biola, dan beberapa
alat musik lain. Kakek dan nenekku musisi.” Jawab Vinci. Oh... gitu. Pantas
saja...
“Aku sampai sekarang Cuma bisa gitar.
Kapan-kapan bisa ajari aku alat musik yang kau bisa?” Tanyaku lagi. Kali ini
Vinci nggak menjawab. Jadi kami terus berdiam begitu saja sampai di rumah.
“Kau,” Kata Vinci waktu makan malam.
“Begitu pulang sekolah, langsung ke rumah dan siapkan bekal untuk malam.”
Agak aneh juga. Tapi itu berarti Vinci
menyukai masakanku kan? Asyik!!!
Dua minggu berlalu, jadi aku selalu
saja sibuk dengan jadwal harian yang nggak putus-putus. Bangun jam setengah
empat dan menyiapkan sarapan. Pergi jam setengah tujuh, sekolah dan pulang jam
setengah tiga lalu membereskan rumah. Mandi dan menyiapkan bekal lagi, pergi ke
kantor sekitar jam lima dan pulang jam sembilan malam, berberes bekal lalu
belajar, dan sekitar jam sebelas baru tidur.
Entah kenapa rasanya jadi cepat
ngantuk. Mungkin karena aku kurang tidur? Apalagi cuaca minggu-minggu ini aneh.
Kadang panas, kadang mendung. Bahkan sempat hujan deras beberapa hari terakhir.
“Nadia!! Katanya, Vinci bakal nyanyi
berkalaborasi ama band terkenal loh!! Doi emang hebat, top abis! Gue udah pesan
tiket VIPnya jauh-jauh hari. idola gue mau nyanyi, memang doi itu orang
berbakat, bisa segalanya!” Kata Nia berbusa-busa. Ngomong-ngomong soal bakat,
kak Jun juga amat sangat berbakat. Dia pintar, jago olahraga, bahkan serba
bisa. Dari caranya membuat model rumah yang keren itu, sampai memasak masakan
yang lezat seperti koki bintang lima. Kak Jun...
“Nadine, kamu nggak apa-apa? Kayaknya
capek banget... lesu.” Tanya Rita. Aku cepat-cepat mengeleng.
“Aku baik-baik aja, kok. Mungkin
karena tadi malam aku tidur larut malam untuk mengerjakan semua pr ini? Soalnya
aku mau cepat selesai. Apalagi bos kerja magangku galak banget. Hooaah... iya
juga ya. Aku jadi ngantuk. Tapi nanti begitu pulang dan tidur, pasti nanti jadi
sehat lagi.” Jawabku, entah kenapa kok aku nggak yakin ya? “Katanya, konsernya
hari ini ya?”
“Ya, jam tujuh malam ini! Kyaaa!!! Gue
nggak sabar!!!” Nia histeris. Dia memang betul-betul fansnya Vinci. Entah apa
komentarnya kalau dia tahu yang sebenarnya.
Badanku jadi pegal-pegal. Untungnya
hari ini pulang cepat. Kan hari Jum’at. Aku harus siap-siap untuk konser malam
ini. Kostumnya kan diambil jam empat nanti. Bisalah... bawa peralatan seperti
biasa, terus nanti buat bekal untuk makan di jalan. Berarti harus yang praktis
ya. Kalau bisa yang biasa dimakan pakai tangan.
Vinci kan syuting untuk adegan pertama
movie. Jadwalnya diatur dengan pembagian tiga dan tiga. Hari minggunya untuk
bonus manapun yang perlu. Ah, mikir apa aku ini. Dia jam empat sudah selesai.
Kostumnya diantar ke lokasi syuting. Makan, mandi, lalu siap-siap di lokasi
konser dengan gladibersih. Padat juga ya. Apalagi dengan cuaca sepanas ini.
“Cuacanya panas ya?” Terdengar suara
Haris di sampingku. Lagi-lagi dia dengan gaya kerennya. “Kayaknya, bentar lagi
bakal hujan.”
“Masa? Cuacanya panas banget
begini...” Kataku melihat sekeliling.
“Justru itu. Banyak orang bilang,
semakin panas cuaca di siang hari, makin deras hujannya diwaktu sore. Soalnya
waktu siang waktunya awan mengumpulkan kekuatan.”
“Moga-moga cuaca cerah. Ya sudah ya,
aku duluan!!” Kataku pamit. Sekarang, aku jadi semakin sibuk, apalagi untuk
hari ini.
Jam dua akhirnya semua selesai dan aku
langsung pergi ke lokasi syuting. Lagi-lagi aku bisa masuk karena ada yang
mengenalku. Apa aku memang terlalu muda ya? Hm...
Sekarang lokasi syutingnya Vinci.
Aktingnya seperti biasa, briliant! Begitu juga dengan lawan mainnya. Ng...
Rianna. Rianna?!
Astaga, dia kan si cewek misterius
yang instingnya aneh itu! Yang bencinya setengah mati sama Vinci sampai pernah
mencoba menjebaknya dengan serbuan gosip. Waktu itu aku mengenalkan diri
sebagai keluarga Pak Martin, dan Rianna sendiri sepupunya. Dia pernah
mencurigaiku. Pasti curiganya tambah besar kalau tahu aku di sini!! Bagaimana
ini?
Tenanglah, semua pasti baik-baik saja.
Vinci datang ke sini. Kayaknya mulai rehat.
“Sudah disiapkan semuanya?” Tanya
Vinci. Tumben dia bertanya. Apa dia gugup? Wow, analisa macam apa tadi? Mungkin
Cuma tebakan aja.
“Sudah. Yang belum siap Cuma baju dan
kamu aja.” Jawabku tegas. Dia meneguk aqua, lalu menatapku.
“Kunci mobil. Bawa semua ke mobil dan
tunggu di sana. Nyalakan AC, biar begitu aku duduk, semua sudah dingin.” Kata
Vinci menyerahkan kunci mobilnya padaku. Jadi aku mengangkut semuanya ke mobil
dan menunggu di sana.
Haaah... sejuknya AC ini. Kenapa dia
minta aku bawa semua barang-barangnya dan menunggu di mobil? Kan parkir mobil
ini jauh, tapi dia minta aku nunggu di sini? Aku kan bisa-bisa ketiduran di
mobil ini. Hm? Apa bukan itu tujuannya, menyuruh aku istirahat di sini. Kalau
itu benar, dia baik juga ya. Empuknya....
Tapi kenapa dia nyuruh aku istirahat?
Apa aku kelihatan capek? Hei, sudah jam setengah empat!! Bentar lagi selesai.
Tunggu dulu!
Tiba-tiba hujan turun. Tadinya Cuma
rintik-rintik, tapi 10 menit kemudian jadi deras begini! Kenapa? Di saat
seperti ini...
“Banyak orang bilang, semakin panas cuaca di siang hari, makin deras
hujannya diwaktu sore. Soalnya waktu siang waktunya awan mengumpulkan
kekuatan.”
Itu kata-kata Haris. Apa betul?
Soalnya tiba-tiba sekelilingku jadi dingin banget. Padahal aku sangat
mengharapkan cuaca yang cerah. Gara-gara hujan ini, aku jadi makin ngantuk...
“Woi!” Terdengar suara ketukan dari
luar. Ternyata Vinci. Dia dipayungi oleh seorang kru dan datang ke sini.
“Loh, Vinci? Kenapa ada di sini?
Syutingnya?” Tanyaku kaget. Vinci mulai menstater mobil.
“Syuting ditunda. Soalnya hujannya
deras banget, dan sisa beberapa menit lagi. Bajunya juga sudah ku dapat.
Kayaknya hujan ini nggak bakal sebentar.” Kata Vinci. Kamipun cepat-cepat
meluncur menuju tempat konser.
Sial! Ditengah hujan begini, jalanan
pada macet, apalagi yang menuju tempat konser. Kami Cuma bisa berlambat-lambat
saja. Kalau perhitunganku tepat, paling lambat kami berada di sana jam setengah
enam. Sementara itu, kami mulai makan bekal yang kubuat. Untunglah aku membuat
yang mudah dimakan di mana saja dan kapan saja.
Jam lima lewat, jalanan mulai lancar
lagi. Mobil kami melaju secepat mungkin. Sip... kala lihat waktunya, mungkin
jam setengah enam kami sudah ada di....
“DHAARR!!!” Terdengar suara ledakan
dan ban meletus.
“Apa?” Teriakku kaget. Ini terlalu
kebetulan!! Kenapa sih, disaat genting begini semuanya jadi susah. Kami bisa
telat ke tempat konser!!!
“Vinci!! Kenapa belum datang? Waktu
kita sudah mepet! Kayaknya mereka mau dimulai cepat, apalagi gara-gara hujan
ini!” Terdengar suara Pak Martin yang panik di seberang sana. Oh astaga,
komplekslah jadinya.
“Masalahnya, sepertinya di depan kami
terjadi kecelakaan. Kami mungkin akan terlambat. Dan di sini juga tidak ada
yang bisa ditumpangi.” Jawab Vinci, yang pastinya mengumpan kepanikan Pak
Martin. Dia bakal dengan susah payah menjelaskan keterlambatan ini. Aku harus
melakukan sesuatu. Tapi apa?
“Nadia!!!! Gue mo pergi ke konser,
malah di dekat gue ada kecelakaan!! Wuih... serem amat! Coba lo ama gue
sekarang!” Nia lagi-lagi histeris. Loh, dia ada dimana?
“Kamu di mana? Kecelakaannya itu ada
di sebelah mananya kamu?” Tanyaku cepat. Mungkin ini bisa...
“Ada di belakang gue. Gue istirahat
bentar, sangking kagetnya. Suaranya keras banget, jantung gue mau copot!”
Sembur Nia. Bagus!
“Nia, tunggu aku! Aku sekarang lagi
sama-sama orang penting di konser itu!! Dia penanggungjawabnya di sana. Kami
terjebak macet gara-gara kecelakaan ini. Kamu bisa ngantarin kami kan? Kalo dia
nggak datang, konsernya bisa gagal!” Kataku nekat.
Payung nggak ada. Jas hujan terusan
panjang ada satu. Topi, kacamata, ada. Aku mengaduk-aduk bagasi belakang dan
menyuruh Vinci memakainya. Bagus.
“Kita mau ngapain? Nembus hujan?”
Tanya Vinci begitu aku menariknya keluar.
“Ada temanku yang mau datang ke
konser! Kita bisa numpang sama dia. Pasti kita bisa tepat waktu.”
“Tapi kamu sendiri?” Tanya Vinci. Aku
menggeleng.
“Aku pakai baju hangat! Nggak masalah
kok! Ayo cepat!!!” Aku meraih tangannya dan kai berlari menembus hujan dan
orang-orang itu. Kulihat mobil Nia warna pink yang ngejereng ada di tepi jalan.
Aku cepat mengetuknya.
“Nadia!”
“Nia!”
“Ayo, kita cepat masuk!”
Kami langsung masuk ke dalam. Nia yang
chargenya udah full mulai bersiap-siap.
“Dia mau ngapain?” Bisik Vinci. Aku
memberi isyarat diam.
“Ready... GO!!!” Teriak Nia. Adrenalin
bertambah, seiring dengan kecepatan yang bisa diukur ampemeter ini. Nia memang
jagoan sejati!
Kami melesat dijalanan, meski jalanan
itu licin karena hujan. Meskipun beberapa kali harus menukik tajam karena
belokan, kami semua tetap selamat karena Tuhan memberinya kontrol kemudia yang
bagus. Mantan pembalap sih!
Akhirnya kami sampai tepat waktu. Nia
pergi ke ruang VIPnya, Vinci dan aku masuk menuju belakang panggung. Pak Martin
lega melihat kami datang, dan panik saat melihatku.
“Astaga, Nadia!!! Cepat keringkan
tubuhmu dengan lap ini!!” Katanya sambil menggosok-gosok kepalaku. Aku
berpaling cepat ke arah Vinci. Dalam waktu secepat mungkin, dia sudah siap
dengan kostumnya. Wow, dia jadi keren!!
“Hebat! Untunglah kita bisa tepat
waktu ya?” Kataku senang dan mengucap syukur. Vinci sepertinya juga senang
dengan keberuntungan ini. Dia menepuk kepalaku.
“Kerja bagus.” Mendengar suaranya,
dalam rasanya perasaanku menghangatkan badanku yang dingin ini. Aku senang.
“Kerja yang semangat! Good luck!”
Seruku waktu dia muncul di panggung. Haah... aku mau duduk. Capek juga
lari-lari tadi. Tapi si Vinci tahan juga.
Melihatnya, aku merasa tenang. Tapi
kenapa kepalaku jadi sakit ya? Kayak dihantam palu godam. Tanganku juga
memanas. Angin jadi begitu dingin di sekelilingku. Apa karena hujan deras di
luar?
Ya ampun... aku mengantuk. Aku harus
tahan...
“Nadia? Kau mau duduk? Pasti capek
ya?” Suara Pak Martin terdengar kasar. Agak mendengung. Kenapa lagi ini? Yah,
mungkin karena aku kurang istirahat. Aku mau tidur sebentar... lho,
pandanganku...
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?