Sabtu, 08 Desember 2012

Bab 11

cerpen, novel

Nadia




Benar-benar hari yang cerah. Sesuai keputusan, karena syuting movie ini sudah semakin dekat, akhirnya aku hanya memasak sarapan, bekal makan siang. Makan malam dia cari sendiri. Jadi begitulah!!!
Setelah kejadian-kejadian itu, rasanya Vinci jadi semakin membaik. Dia jadi lebih sering memberi komentar, meskipun tetap sadis. Bahkan dia memanggilku Nadia!! Biasanya Cuma kamu atau anak kecil. Ini kemajuan kan?
Mario juga jadi baik banget sama aku. Kalau dia off, dia sering mengunjungi kami berdua. Meski aku nggak keberatan sih. Cuma dia betul-betul ngefans sama Vinci. Dan kayaknya Vinci nggak suka sama dia. Ya iyalah....
Mario itu umur 19 tahun, tingginya 179 cm (mungkin), bertubuh kurus, dan dia trendy. Rambutnya dicatnya coklat, dan wajahnya itu.... C-U-T-E bangets!!! Tapi karena harga dirinya tinggi, dia pasti bakal ngamuk kalau dengar ada yang bilang dia itu cute, babyface atau sebagainya. Padahal itu kenyaataan. Orang masih sangka dia itu anak cewek loh!! Dan itulah nilai jualnya (Dia itu peringkat dua).
Meskipun begitu, dia selalu bermanja-manja sama Vinci yang dipanggilnya ‘darling’ (hueks). Yah, bagaimanapun dia baik. Dia selalu mengajakku bercanda dengan bahasa campur-sari Indonesa-Inggris itu. Untungnya aku paham-paham saja.
Jadi, setelah beberapa hari tidur dan sekolah, aku bisa ngumpul lagi dengan teman-teman se-genkku. Sebenarnya aku nggak mau manggil mereka genk, soalnya mereka lebih pantas disebut grup lawak. Ada dua bersaudara Elsa dan Elsi, Fitri, Rita, Romy, Rosi, Riyen, dan masih banyak lagi. Kalau kami lagi ngumpul, rasanya seperti pesta. Ribuuuuutttttt terus. Tapi mereka baik, kalau ada salah satu temen lagi susah, mereka pasti bantu, meskipun Cuma dalam doa dan saran. Apalagi mereka peka, dan terutama itu Nia.
Dalam hal apa nih?
Karena baru kali ini bertemu setelah semua kesibukan ini dan itu-biasalah, urusannya Vinci-kukira mereka bakal senang seperti biasa. Memang senang, tapi itu nggak lengkap. Dan yang nggak lengkap itu adalah Nia. Padahal dia yang paling heboh, apalagi dengan gosip super nggak pentingnya dia itu.
“Kamu nggak apa-apa?” Tanyaku heran. Dia menatapku seperti mengharapkan sesuatu, tapi nggak jadi. Dengan senyum yang menurutku sangat sederhana, dia mengatakan, “Nggak ada apa-apa.”
Nah, jadi siapa yang bisa percaya dengan kata-kata klise begitu? Semuanya juga, tapi mereka berusaha untuk membuat suasana lebih heboh, dengan harapan Nia bakal ngikut. Tapi...
“Gue ngantarin lo balik ya?” Tanya Nia. Ini lebih aneh lagi. Kenapa? Jangan-jangan...

“Dine, lo sebenarnya ada hubungan ya, dengan Vinci?” Tanya Nia to the point. Jantungku rasanya kena tembak. Untung aja nggak terlihat sampai ke wajahku.
“Kok gitu? Memangnya aku punya minat sama artis? Aku ini yang terus tidur alau kamu udah mulai ngegosip itu loh!! Masa nggak hapal?”
“Waktu itu... waktu Vinci konser itu, lo ngantarin siapa?”  Tanya Nia serius.
“Nggak tahu. Dia bilang itu lagi mendesak dan dia harus ke tempat konser itu. Karena kupikir pasti kamu ke sana, jadi aku nelpon kamu.” Nia percaya nggak ya? Itu alasan paling bodoh dari yang kutahu!
“Tapi, lo langsung ngilang kan, sama cowok itu? Gue liat kok, lo masuk ke belakang panggung kan? Apa hubungan lo dengan orang-orang di sana? Jangan-jangan, lo ada apa-apanya dengan Vinci?”
“Apa hubungannya? Cowok yang waktu itu, karena liat aku kebasahan, jadinya nyuruh aku ke belakang panggung dulu. Lagian, darimana kamu bisa mikir aku punya sama Vinci itu? Orang di belakang panggung kan banyak?” Kataku cepat. Duh... aku harus cari alasan kemana lagi nih!
“Itulah insting seorang penggemar!! Gue itu penggemar sejati dari superstar Vinci, jadi gue yang paling tahu soal doi!!” Kata Nia begitu berapi-api. Sampai dia sempat pasang pose segala! Dia langsung menatapku tajam. “Dari insting fans gue, gue merasa lo punya hubungan dengan doi!!”
Berbahaya. Sudah kuduga dia berbahaya!!
“Ha ha... instingmu lucu sekali. Capek aku ngeladeni. Sampai di sini aja.” Kataku cepat. Lebih cepat aku menjauh, itu lebih baik.
“Oke, gue percaya. Terserah lo. Bye...” Kata Nia mendingin. Tapi aku tahu, Nia nggak akan mudah menyerah kayak gitu. Aku harus berbuat sesuatu. Kalau nggak, semua hasil jerih payahku sia-sia. Tapi bagaimana caranya?
Aku tahu, Nia masih membuntutiku. Untung aku pakai jalan pintas, jadi bisa selamat dari Nia. Rasanya aku masih dibuntuti, tapi akhirnya setelah sampai di rumah aku mulai tenang lagi.
Begitu sampai di rumah, aku langsung mandi dan bersiap ke tempat Vinci. Pak Martin sudah membuat semacam kartu pass untukku, jadi aku bisa masuk ke manapun tempat Vinci berada. Bersms dengan Vinci sebentar, menanyakan apa yang diperlukan dan bersiap ke tempat kerjanya.
Pak Martin sudah mengatur ulang jadwalnya. Aku rasa Cuma Pak Martin yang selalu merubah jadwal artis yang diurusnya. Terkesan nggak profesional. Dan kalau melihat jam kerja Vinci yang sekarang, aku sepertinya bisa melihat jadwal artis yang sebenarnya (soalnya aku belum pernah liat jadwal yang sebenarnya sih).
Total pekerjaan Vinci. 2 sinetron striping, 1 movie, 3 presenter, dan nanti masih melanjutkan sisa episode Bali (episode terakhir). Untuk ke Bali, Vinci bakal pergi sendiri. Karena Cuma satu hari saja, aku jadi nggak ikut. Nggak masalah sih, jadi bisa istirahat di rumah.
Movienya bergenre komedi romantis, kesukaanku. Tokoh utamanya diperankan Vinci dan Rianna. Ceritanya sederhana saja, tentang reuni SMP kocak yang mempertemukan kembali Vinci dan Rianna ini. Mereka pun mengenang masalalu mereka dan banyak kejadian-kejadian seru. Itu menurut skrip. Entah kenapa Vinci mau movie kayak gini. Menurutku ceritanya payah.
Dalam seminggu ada tujuh hari. Karena 2 sinetron itu nggak seseram namanya, jadi Vinci bisa bekerja selama empat hari untuk movie, dan sisanya untuk sinetron, yang tentunya bergantian. Ada kalanya aku mau minta motor pribadi aja. Tapi yang benar aja? Kalau Vinci marah, bisa batal kontrak.
Aku mengeluhkan itu semua pada Mario hari ini. Mario hari ini terasa lain. Lebih kecowokan, menurutku. Rambutnya kembali hitam, dengan gaya potongan yang keren, dan ada beberapa helai – atau jumput? – rambut yang di cat merah. Mengingatkanku pada seseorang... atau sesuatu...
“Kamu agak berbeda ya, Mario?” Tanyaku yang nggak tertahankan lagi, selagi kami jalan berdua. Mario menemaniku membeli minuman. “Agak... bagaimana ya?”
“Sebenarnya aku sekarang lagi main sinetron yang menurutku ceritanya agak aneh, tapi lucu. Tentang seorang cewek yang masuk sekolah yang berada di pulau terpencil, lalu bertemu dengan banyak orang yang mengubah jalur kehidupannya.” Jelas Mario.
“Pulau terpencil?”
“Iya, sekolah termoderen dan terekslusif yang pernah ada. Sekolah paling mewah dengan fasilitas terlengkap. Dan aku adalah tokoh terakhir dalam cerita itu.”
“Tokoh apaan?”
“Tokoh terarogan, terbengis, terjahat dalam cerita itu. Dia dalam cerita itu, dia adalah penguasa bayangan yang paling muda dalam sekolah itu.”
Tunggu dulu. Rasanya... rasanya pernah...
“Ryu?” Terdengar suara cewek entah darimana. Kulihat seorang cewek tercengang melihat Ryu. Siapa cewek ini?
“Siapa Ngan?”
“Mirip banget dengan bayanganku!! Dia itulah modelnya! Hebat ya, ada juga modelnya di dunia nyata!!”
Dan berlalulah menit-menit yang kulalui dengan adanya cewek bernama Bungan dan temennya itu. Untunglah itu semua berlangsung cepat. Kami berdua jadi tertawa mengingat hal tadi.
“Cowok macho ya?” Kataku teringat cewek itu. “Berarti belajar beladiri.”
“Karate dari umur 6 tahun. Judo juga di tahun yang sama. Kurasa nggak masalah.” Kata Mario. Aku menatapnya. Memang benar, Mario sedikitpun nggak terasa aneh dengan penampilan barunya.
“Aku sangat senang, begitu mendapat peran ini.” Kata Mario. “Meskipun itu peran untuk anak umur 16 tahun.” Raut wajahnya nggak senang. “Tapi kalau punya kesempatan untuk merubah image, itu bagus kan?”
Iya juga sih... katanya dia terpilih karena babyfacenya. Lagipula, nggak ada wajah yang cocok selain Mario. Tapi karena dia kelihatan senang, kurasa itu adalah sesuatu yang bagus.
Mungkin sejak saat itulah, aku dan Mario menjadi semakin akrab. Kami ngobrol, bercanda. Apalagi kalau bertemu di kantor, sampai saat ini. Bulan Nopember lagi puncak-puncaknya. Aku jadi selalu terburu-buru. Ya ampun... capek banget. Tapi aku harus berusaha. Aku nggak boleh sakit kayak dulu! Nanti perjanjiannya bisa batal.
Karena kesibukan ini, nggak terpikirkan olehku kalau aku melupakan sesuatu. Sesuatu yang dulu sudah kusadari, tapi nggak kurasakan lagi. Dan sesuatu itu seperti saluran air yang tersumbat, dan akhirnya sumbatan itu jebol juga.
“Nadia, aku mau bicara sebentar.” Terdengar Elsa bicara serius. Aku jadi gugup. Ini terjadi waktu aku mau pulang. Tiba-tiba saja aku ditarik dan diajak bicara. Aku tegang. Sudah lama mereka nggak bertampang serius seperti ini. Eh, nggak....
Sudah lama aku nggak melihat mereka lagi.
“Sebenarnya kamu ini sedang apa sih? Semakin lama, kamu semakin nggak terlihat!! Kamu sudah lama nggak jalan bareng sama kami lagi? Bicaramu selalu saja sok sibuk! Kau ini masih teman kami atau nggak?!” Tanya Elsa penuh tuntutan. Dia selalu aja terus terang.
“Kami semua bingung, Dine. Dulu, minimal kamu bisa ngobrol sama kami meski sebentar. Tapi sekarang, datang selalu waktu bell, dan hilang begitu bell pulang. Kami kan jadi merasa kehilangan...” Tambah Fit.
“Jadi, sebenarnya selama ini kamu ngapain aja?” Tanya Rita. Semuanya menatap mataku penuh pertanyaan dan tuntutan untuk dijawab. Nggak terkecuali Nia. Dia menatapku dengan sorot mata yang sulit diartikan.
“Aku... aku nggak bisa bilang sama kalian.” Jawabku akhirnya.
“Sebenarnya, lo bohong waktu lo bilang lo magang di majalah kan?” Kata Nia. Aku tercekat. Dia semakin tegas menatapku. “Gue udah tahu lama banget. Gue nggak bilang apa-apa, karena gue pikir nggak bakal ada masalah. Tapi... lo... lo makin jauh dari kami.”
Belum pernah kutemui situasi seperti ini. Apa aku sebegitu pentingnya? He he, jadi geer. Hei, jangan tersipu-sipu sekarang dodol!!
“Iya. Aku memang bohong. Tapi apapun yang aku lakukan sekarang, nggak membahayakanku dalam bentuk apapun. Jadi jangan khawatir.” Kataku tegas.
“Apa ada hubungannya dengan kakakmu?” Tanya Rita. Aku terdiam. Kakak... apa yang harus kujawab?
 “Kenapa harus ada hubungannya dengan kakak?”
“Memangnya siapa lagi?” Tegas Elsi.
“Selama ini, yang ada dalam otakmu kalau bukan kak Juno? Kamu itu big brother complex kan?” Tanya Elsa lagi. Kenapa aku malah ingat kata-kata Vinci saat sekarang ini?
“Terus, memangnya kenapa kalau aku big brother complex?”
“Menurut dugaan kami, kamu pasti cekcok sama kakakmu terus kamu melakukan sesuatu di belakang kami untuk membuktikan sesuatu sama kakakmu. Tapi bagaimanapun, itu dugaan paling rumit dan nggak ada dasarnya sama sekali. Aku nggak terlalu mikirin, jadi lebih baik nanya langsung aja. Sebenarnya ada apa sih?” Tanya Romi. Tepat saat seperti itu, ada telepon. Dari Vinci sialan! Romi yang ngangkatin. “Siapa ini?” Tanyanya padaku. Oh Tuhan.... mampus aku kali ini.
“Aku Romi, temen Nadia. Jangan memperbudak teman kami untuk semua pekerjaan konyolmu, dasar bos sialan!” Entah apa yang dibilang Vinci, kayaknya Romi marah banget.
“Maaf, aku harus pergi.” Kataku cepat. Ini gawat. Sudah sore dan aku bahkan belum belanja makan malam. Mereka terus saja memaksaku menemani mereka.
“Aku bakal cerita.” Janjiku pada mereka. “Semuanya, sampai ke detil terkecil. Tapi aku minta, jangan tanya apa-apa sampai aku bilang semuanya sudah selesai. Selama pekerjaanku belum selesai, ini tetap harus jadi rahasia soalnya menyangkut hidup dan mati orang.” Hidup dan matinya karirnya Vinci, sama aja hitungannya dengan nyawanya kan?
“Hidup dan mati? Apa pekerjaanmu...”
“Aku nggak berbuat kriminal kok! Sungguhan.” Kataku menyakinkan mereka. “Pokoknya semuanya nanti saja. Aku harus cepat pergi soalnya nggak boleh telat. Sampai jumpa besok!”
Aku langsung lari dan mencari angkot. Satu-satunya yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana caranya menjelaskan soal hari ini sama Vinci.

Sudah sekitar... tiga bulan. Hampir empat bulan tinggal dan bekerja bersama Vincent, atau Vinci. Seorang superidol serba bisa yang menjadi idola banyak cewek di seluruh Indonesia ini. Berlebihan? Nggak. Bukan kenapa-kenapa... tapi betapa memalukannya saat kusadari, aku mulai melupakan tujuanku. Mungkin semangatkulah yang melemah. Arena aku sudah berpikir terbiasa bekerja untuk Vinci dan merasa itu sudah sewajarnya.
Sudah banyak detik, menit, jam hari dan bulan -ups, yang terakhir ini masih bisa dihitung dengan jari- yang kulewati bersama Vinci. Makan, bekerja, bersantai, jalan-jalan, dan banyak hal lainnya. Terkecuali mandi dan tidur -ya iyalah, nggak mungkin!!-. entah kenapa dan sejak kapan, nggak ada hari kulewati tanpa Vinci. Dia itu jadi semacam... apa ya? Ada yang bisa membantuku menemukan apa istilahnya? Kami akrab, tapi nggak bisa dibilang akrab. Cuma sebatas kenal juga nggak mungkin, apalagi kai Cuma tinggal berdua. Pacaran juga bukan, soalnya kami nggak ada mesra-mesranya!! Dan saudara.... hei, mendekati saudara. Tapi siapa sudi punya kakak kayak dia? Apa ya?
Entah karena aku yang lamban, atau karena apa. Tapi baru kali ini aku berpikir, apa sebenarnya hubungan kami ini, karena masalah kami yang tinggal serumah. Mungkin kalau aku cerita hal seperti ini ke orang, orang itu bakal bertanya, “Kenapa baru kau pikirkan sekarang? Apa kau memang orangnya lamban?”
Aku masih ingat, suatu kali di pertengahan Oktober sehabis aku ngobrol sama Mario, kulihat Vinci yang berwajah agak murung. Yah... mungkin aku dibilang sotak –sok tahu- soalnya Vinci selalu kelihatan murung, tapi aku yakin dia moodnya lagi jelek. Apa gara-gara Rianna lagi? Masa sih?
Mungkin aku yang berpikir terlalu berlebihan. Tapi terkadang, aku merasa mata yang dingin itu selalu menatap kearahku dimanapun aku berada. Aku merasa seperti diawasi. Tapi oleh siapa? Nggak ada satupun orang yang kukenal atau mengenaliku. Yang mereka tahu aku itu adalah asisten Vinci yang bahkan nggak pernah berdekatan dengannya di lokasi syuting manapun. Kami dekat kalau Cuma sampai di rumah, dan Pak Martin jadi saksinya. Dalam mata orang-orang itu, bisa kujamin nggak ada yang melihat sedekat apa aku dan Vinci –kami memang nggak dekat sama sekali-.
Akhir-akhir ini kurasakan dia bertampang bengong, dan sekarang dia makin bertambah bingung. Kelihatannya dia mengalami apa yang biasa kubilang gejala depresi. Dan apa yang kurasakan geer, adalah dia seperti selalu mau mengatakan sesuatu padaku tapi nggak jadi. Apa dia mau bilang usaha kerasku lumayan dan mau menyerahkan cincin itu? Hore!!! 
Kukira ini semua membingungkan. Aku harus mengoreksi diri sendiri, dan mencoba untuk mengurangi semua masalah. Bukannya sok jago, tapi apa daya? Ternyata, banyak juga yang kupikirkan sampai harus kaget waktu supir angkot bilang, “Sampai!!”
Sampai di gang ini pun masih harus jalan memasuki perumahan dan masuk ke rumah Vinci. Cape deh...
Yah... segalanya harus jadi mungkin. Aku mungkin juga harus mengatur ulang jadwalku sampai ke detik-detiknya. Meskipun itu jadwal rutin yang nggak pernah harus berubah kayak Vinci.  Haaah.... lagi-lagi mungkin.


* * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?