Vinci
“Vincent?” Terdengar Vina memanggiku.
Kami berada di salah satu restoran termewah di kota ini untuk makan malam. Vina
menatapku bingung. “Kenapa? Masakannya nggak cocok dengan seleramu?”
“Nggak. Biasa saja.” Jawabku. Aku
nggak boleh merusak suasana saat kami sedang dinner.
“Waktu aku mengantar Jun kemarin...”
Vina mulai bicara, tapi berusaha ditahannya.
“Apa?”
“Aku sempat kepikiran apa sebenarnya
yang terjadi diantara kamu dan anak itu.” Kata Vina hati-hati. Aku masih ingat
wajahnya waktu kuminta mengantarkan kakak pujaan Nadia itu. Vina lalu menatapku
lagi. Aku nggak melihatnya, tapi itu memang kebiaasaannya, memperhatikan raut
wajah orang sebelum bicara. Apalagi kalau pembicaraannya mengenai orang itu.
“Aku juga.” Kataku balik, sambil
mengambil minuman. “Aku bertanya-tanya apa hubunganmu dengan cowok yang bernama
Juno itu. Kalian akrab sekali.”
“Dia... cowok yang dibiayai ayah untuk
kuliah di Aussie. Dia seumuran denganmu, senior di kampusku. Karena ayah suka
dengannya dan percaya padanya, maka akupun mencoba berteman dengannya. Dia
pintar, berbakat, dan...”
“Sangat menarik hati.” Sambungku.
“Berbeda denganku, dia sangat bersahaja, murah senyum dan supel. “Aku bertemu
dengannya siang ini. Kami sudah berbicara banyak. Kakak beradik itu...”
“Ada apa?” Tanya Vina. Meskipun
ditahan, terlihat kalau dia sangat penasaran dengan apa yang terjadi. Haruskah
kuceritakan padanya? Sepertinya... harus.
“Kamu sudah tahu kalau cincin yang kau
beli waktu itu sudah ku kasih ke Nadia dan alasannya kan? Cincin itu...
sebenarnya adalah cincin pernikahan milik orangtua mereka. Juno memegang cincin
milik ayahnya, dan Nadia memegang cincin milik ibunya. Dan cincin itu...”
Agak meragukan, tapi...
“Cincin itu digunakan Nadia untuk
membuktikan pada Juno kalau dia benar-benar mencintai kakaknya itu.”
“Kok bisa?!” Tanya Vina kaget. “Mereka
kan bersaudara?”
“Saudara tiri.” Jawabku. Reaksinya
sudah kuduga. “hubungan mereka rumit banget. Waktu orangtua mereka menikah,
ibunya Nadia sudah hamil dua bulan. Itu keterangan yang didapat Nadia dari
diari ibunya. Bahkan katanya ada beberapa surat yang tertera. Entah surat-surat
apa itu. Mungkin sejak itulah, pandangan Nadia berubah dari seorang adik yang
brother’s complex jadi seorang gadis yang jatuh cinta.”
“Tidak mungkin.” Kelihatannya Vina
shock. Dia menggumam sepelan mungkin. Ini lebih aneh dari kekagetanku. Hubungan
yang dalam, kusadari itu. “Juno sangat menyayangi adiknya. Mungkinkah... dia
juga mencintai Nadia?”
“Itu aku tidak tahu.” Jawabku. “Dan
kupikir, kita tidak berhak ikut campur dalam urusan keluarga mereka kan? Yang
harus kita fokuskan sekarang adalah... hubungan kita yang sekarang.”
“Apa? Oh, iya.”
“Jadi... kamu serius mau mengumumkan
pertunangan kita?” Tanyaku lagi. Vina mengangguk mantap. Tapi sesaat,
pikirannya melayang ke tempat lain. Apa yang harus kulakukan disaat-saat
seperti ini? Aku sama sekali nggak paham pikiran perempuan!
“Aku serius, karena Cuma itulah
tujuanku datang kemari.”
Yah... bagaimana aku harus
mengekspresikannya. Meskipun nggak berkata apa-apa, yang jelas aku tidak suka.
Seandainya saja... seandainya saja aku punya keberanian mengatakan kalau aku
menyukai Nadia... tapi bagaimanapun juga, Nadia lebih mencintai kakaknya
daripada aku. Disamping itu, ada Vina disampingku. Haruskah aku tidak suka?
Haruskah aku protes? Bukankah setiap orang yang melihatnya mengatakan dia
sempurna? Cantik, berbakat, baik hati, dan disukai semua orang.
Menatap Vina yang gelisah, meskipun
berusaha menyembunyikannya, membuatku merasa marah pada kakaknya Nadia itu.
Beruntungnya dia, bisa membuat dua wanita memikirkan dia terus, meskipun dia
nggak seperti aku. Terlebih, Nadia menyukai dia. Padahal ada aku... ada aku
yang lebih daripada orang itu. Ada aku...
“Vinci?” Terdengar Nadia yang bingung,
dia menatapku dengan khawatir. “Kenapa? Kelihatannya, wajahmu tadi...”
“Nggak ada apa-apa. Cuma... aku ragu
dengan hasil konferensi pers nanti.” Jawabku. Vina terlihat nggak puas, tapi
dia nggak protes apa-apa. Seperti biasa, benar-benar pengertian. Nggak seperti
Nadia, yang kadang ngotot bertanya kalau dia benar-benar khawatir. Ya...
begitulah. Ternyata banyak juga karakter cewek di dunia ini ya?
“Aku mencemaskanmu,” Kata Vina
tiba-tiba. Apa? Vina meneruskan minumnya dan berhenti makan. “Semakin lama,
terlihat Vinci yang semakin berubah, nggak kukenal. Tapi, bagaimanapun juga,
kelihatannya perubahanmu perubahan yang positif. Aku selalu memikirkan apa yang
berubah darimu dan apa penyebabnya. Tapi kupikir sekarang nggak perlu lagi.
Yang penting, Vinci tetaplah milikku. Ya kan?”
Agak berat mengiyakannya. Aku Cuma
bisa berkata ya sekarang ini. Benar-benar nggak bisa apa-apa. Sejak kapan aku
lemah begini? Apa yang membuatku seperti ini?
Akhirnya waktu pulang, kami tidak
bicara apa-apa lagi. Haaah... jadi ingat kejadian tadi siang. Agak kaget juga
waktu dia memintaku datang. Entah bagaimana, orang sama sekali tidak mengira
aku adalah Vinci. Mungkin juga karena penyamaranku yang lumayan bagus. Seperti
beberapa artis lain, aku mempelajari sedikit tentang penyamaran. Meskipun itu
dilakukan karena iseng.
Kulihat dia yang terlihat khawatir.
Mungkin karena adiknya. Dia juga terlihat tegang. Apa sebenarnya yang dia minta
dariku?
“Entah apa yang kupikirkan waktu aku
memintamu datang,” dia memulai bicaranya dengan gugup. “Mungkin karena aku
terlalu cemas tentang adikku, aku jadi seperti ini.”
Bicara apa dia? Ngelantur.
“Mungkin adikku sangat menyusahkanmu.
Aku benar-benar minta maaf, semua keegoisannya adalah salahku. “
Pernyataan yang tenang. Aku merasa dia
jadi sosok yang berbeda.
“Dia benar-benar menyukaimu, sampai
nekat seperti itu. Apa bisa kau bilang dia egois?” Tanyaku. Dia tersenyum.
“Sejak kecil, aku selalu ingin jadi
kakak. Bukan sekedar kakak, tapi kakak yang bisa jadi teladan untuk adiknya.
Dan begitu Nadia lahir, aku merasa impianku jadi kenyataan. Karena itu, aku
sangat menyayanginya.” Dia tersenyum. Senyum lega yang pertama sejak bertemu
denganku.
“Aku tahu, dia bukanlah adik
kandungku. Tapi itu tidak jadi soal. Yang penting, aku punya adik, apalagi adik
perempuan. Kami jadi benar-benar komplit kan? Satu laki-laki dan satu
perempuan.”
Sebenarnya cowok ini mau ngomong apa?
“Tanpa sadar, aku jadi memanjakannya.
Aku selalu melindunginya, dan selalu menuruti permintaannya. Aku ingat, aku
sempat dijuluki ‘sister’s complex’ gara-gara itu. Aneh ya?”
Ya, sister complex dan brother
complex, kalian benar-benar pasangan ideal.
“Mungkin karena itu juga, dia jadi
seperti ini. Kasihan dia, dia salah paham.”
Salam paham?
“Dia pasti mengira jatuh cinta padaku,
karena aku sangat menyayanginya. Padahal itu hanya karena rasa sayangnya yang
terlalu besar.”
“Dalam perasaan, jarang ada yang
namanya salah paham. Bagaimana kau tahu kalau Nadia Cuma salah paham?” Tanyaku
cepat.
“Karena aku kakaknya. Selama tujuh
belas tahun aku menjaganya, apalagi sesudah orangtua kami meninggal. Aku
mengenalnya lebih dari siapapun.” Nada yang tegas. Dia yakin sekali dengan
kata-katanya. Apa dia bisa dipercaya?
“Lalu, apa maksudmu mengatakan ini
padaku?” Tanyaku agak bingung. Kulihat dia tersenyum.
“Ada banyak alasan, tapi...” Dia
menatapku dengan tatapan lembut. Seperti... seperti apa ya? Agak susah
diartikan. “Bisa saja disebut firasat seorang kakak.”
Kulihat wajahnya tersenyum senang.
Entah apa maksudnya. Setelah itu kami ngobrol cukup lama soal Nadia. Setiap
mendengar ceritaku, kadang dia tertawa. Aku agak heran, tapi biarlah. Akhirnya
kami berpisah.
“Kau orang yang berbeda dari cerita
orang ya? Kau baik sekali.” Komentarnya begitu pamit pergi. Bahkan orang yang
baru bertemu dengankupun...
Nadia... apa pengaruhmu begitu
besarnya ya? Apa yang harus kulakukan sekarang dengan situasi seperti ini?
Melupakannya, atau...
“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Martin
lewat HP. Aku diputuskan menghindar dulu dari wartawan, jadi agak menjauh dari
ibukota.
“Baik,” Jawabku.
“Baguslah.” Kata Martin lega. “Jadi,
kau sudah memutuskan konferensi apa kan? Tinggal beberapa hari lagi. Apa kau
siap?”
“Pertanyaanmu nggak seperti manajer.”
“Aku mencemaskanmu. Bahkan Direkturpun
nggak berani langsung mengambil keputusan seperti biasanya. Tak kusangka semua
jadi runyam begini. Oh, oke. Terima kasih, akan kuurus nanti.” Terdengar suara
Martin aneh.
“Ada apa?”
“Ah, bukan apa-apa. Cuma ada yang
menitipkan beberapa berkas untukku. Ya sudah ya, goodbye.”
“Bye bye.”
Hari ini, sepanjang hari di tempat
yang disediakan keluarga Vina, agak membosankan. Apa aku keluar saja? Hm...
tidak bisa. Kali ini aku nggak bawa alat penyamaran. Biarlah. Ternyata, hidup
yang terbiasa ada kerjaan, kalau nggak kerja bakal kaku luarbiasa. Bagaimana?
Apa aku olahraga... atau jalan-jalan?
Jangan, jalan-jalan bisa membawa
masalah. Apalagi sekarang. Ng? HP?
“Ini... nomor tidak dikenal. Kenapa
bisa?” Harusnya nomor ini nggak ada seorangpun yang tahu kecuali aku, Vina,
Martin, Direktur dan...
“Halo?” Terdengar suara yang familiar.
“Nadia.” Perasaan lega begitu
mendengar suaranya. Sudah lama sekali... “Ada apa?”
“Hm... tidak ada apa-apa. Aku Cuma...
bingung. Tapi, sekarang aku Cuma mau tahu keadaanmu saja. Apa Vinci baik-baik
saja? Karena kita sudah nggak bertemu hampir seminggu, jadi... penasaran.”
Kadang-kadang dia terdengar gugup.
Kenapa?
“Kenapa? Aku selalu baik-baik saja
kan?”
“Mmm... yang pertama, aku mau tahu apa
Vinci masih tetap sarapan pagi? Dan ada juga yang lainnya... ng.... begini, aku
pernah diberitahu seseorang kalau Vinci nggak biasa makan pagi, dan punya
beberapa kebiasaan baru. Jadi mungkin...”
“Aku sampai sekarang masih tetap
melakukannya. Kau sendiri, apa baik-baik saja?”
“Eh?”
“Hm. Bukankah harusnya kita tidak
punya hubungan lagi sejak itu? Tapi kenapa? Apa hubunganmu tidak lancar dengan
kakakmu?”
Tidak ada jawaban.
“Aku... tidak tahu harus bagaimana
lagi. Kakak, biar bagaimanapun aku bilang aku mencintainya, masih tetap nggak
perduli padaku. Kau tahu? Rasanya konyol sekali. Bersamanya yang nggak perduli
dengan pernyataanku, aku sangat marah dan membencinya. Tapi saat itu juga, dia
memperhatikanku dan berusaha membuatku senang. Melihatnya seperti itu, aku
langsung ceria kembali. Mungkin kalau kau dengar ini, kau pasti merasa ceritaku
aneh dan lucu. Tapi itu betul-betul terjadi! Lagipula...”
Rasa benci dan cinta disaat yang sama
ya. Memang terdengar konyol. Ternyata memang Cuma Juno yang bisa menggerakkan
perasaan Vina.
“Lagipula?” Tanyaku.
“Ada seorang temanku... bernama Haris.
Dia bilang, dia sangat menyukaiku. Sekarang aku benar-benar bingung. Aku tidak
mungkin menyerah untuk mendapatkan kakak, tapi ada Haris yang jelas-jelas
menyukaiku. Waktu aku memikirkan semua ini, anehnya aku teringat padamu.
Tiba-tiba, aku jadi pengen melihatmu sekali saja. Maaf, mungkin Vinci menyangka
aku membuatmu jadi pelarian. Tapi...”
“Aku tahu.” Karena Nadia tidak pernah
curhat sepanjang ini padaku. Biasanya dia memendamnya sendiri, dan melupakannya
begitu saja. “Ini bukan pelarian. Aku tahu itu.”
“Mungkin Vinci memang nggak ada
hubungannya dengan semua ini. Tapi, apa yang harus kulakukan? Aku ragu, aku
bisa bahagia meski jadian dengan Haris kalau terus memikirkan kak Juno. Tapi
kak Juno nggak pernah sekalipun memberiku harapan, jadi...”
Kau bilang aku nggak ada hubungannya
dengan ini? Jelas ada hubungannya!
“Kau mau minta pendapatku?” Tanyaku
jengkel. “Jangan. Jangan pilih keduanya. Kalau kau ragu dengan kedua, jangan
pilih keduanya pasti ada orang yang lebih baik dari mereka, yang mungkin nggak
ada hubungannya dengan kalian dan bisa membuatmu melupakan kakakmu.”
“Apa?”
“Sudah, lupakan. Bukankah hal seperti
ini harusnya kamu sendiri yang memutuskan. Kamu dimana sekarang?”
Begitu telepon terputus, baru kuingat
Tuhan sayang padaku. Nadia ada di kota ini!!
Aku sama sekali tidak mencarinya,
karena semua keterbatasan ini. Dan ternyata, dia yang menelponku. Aku sekarang
sudah tahu dimana tempatnya dan nomor hpnya yang baru. Juga nomor rumahnya.
Sampai kapanpun aku nggak bakal minta bantuan sama Juno itu. Sekarang, tinggal
memikirkan apa yang harus kulakukan.
Aku yang sekarang tidak boleh
sepengecut dulu. Sekarang aku harus...
“Vinci!!! Ada telepon dari Martin!!
Katanya darurat!!” Tiba-tiba Vina datang dan menerobos masuk ke dalam kamar.
Dia langsung menyerahkan telepon padaku.
“Vinci!! Kenapa hpmu sibuk terus?
Sekarang ada saat yang gawat!! Direktur mempercepat konferensi persnya karena
media sudah tak sabar lagi. Apapun jawabanmu, usahakan tidak menghancurkan
image dan karirmu sekarang. Bicarakanlah dengan Vina apapun jawabanmu, karena
kurasa...” Suara Martin yang panik semakin lama semakin melemah. “Jawabanmu
mungkin... soal... dia...”
“Aku mengerti.” Jawabku. “Akan
kuberitahu paling lambat sebelum acara konferensi pers di mulai.”
“Ok. Konferensi pers dimulai besok
siang. Vinci...” Martin terdengar ragu. Dia memang kadang begini. “Aku...
secara pribadi... akan terus mendukung apapun keputusanmu.”
“Terima kasih.”
Vina memandangiku dengan wajah
khawatir. Aku mencoba tersenyum.
“Tidak ada apa-apa. Jangan khawatir.
Cuma konferesi persnya dimulai lebih cepat. Mungkin media masa itu menyangka
satu atau dua hari nggak ada bedanya.”
“Vinci...”
* * *
Pagi ini menjadi pagi yang suntuk
bagiku. Aku semalaman nggak bisa tidur dan harus memutuskan apa yang harus
kulakukan. Ini sudah biasa harusnya, bagiku sebelum konferensi pers. Tapi...
bagaimanapun juga, yang paling kucemaskan adalah...
“Vinci? Sudah siap?” Tanya Vina
mengetuk pintu. Aku membukanya dan mengangguk. “Kalau begitu, ayo kita sarapan.”
Tidak banyak yang bisa diobrolkan di
sini.
“Sampai sekarang, aku maih kaget
ternyata Vinci sekarang biasa sarapan. Padahal biasanya Cuma makan siang.” Kata
Vina.
“Begitulah. Anak itu menyangka aku
biasa makan pagi di rumah. Jadi dia terus membuat sarapan untukku. Supaya
makanan nggak terbuang, aku makan saja.”
“Oh... begitu.”
Kami kemudian pergi ke tempat
konferensi pers. Dalam pikiranku selalu penuh...
“Bagaimana, kau sudah siap?” Tanya
Martin begitu aku sampai. Tinggal sejam sebelum konferensi pers di mulai dan
sudah banyak wartawan yang menunggu. Si nenek sama sekali tidak menanyaiku. Dia
terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Tapi memang, dia cemas.
“Vinci, aku mau bicara.” Kata Vina.
Dia memang diam sejak kami makan, dan mungkin ada sesuatu yang dipendamnya. Ada
apa?
Kami pergi ke tempat yang sepi, dan
itu adalah lantai paling atas.
“Ada apa...”
“Setiap kali aku bicara begini, pasti
terlihat aneh.” Kata Vina. Dia membelakangiku. “Sudah pernah kubilang kan, kau
berubah.”
Tunggu, apa yang mau kau katakan...
“Kau berubah, menjadi orang yang tak
kukenal. Dan sudah kukatakan juga, selama kau berubah secara positif, itu tidak
apa-apa. Tapi...” Vina terdiam, dia berbalik. “Kau bukan milikku lagi.”
“Apa maksudmu.” Aku tidak kaget lagi.
Ada yang aneh dengannya.
“Mulai dari kebiasaan yang berubah,
emosi yang berubah, bahkan perhatianmupun berubah. Kau memperhatikan kami semua
kan? Mungkin, wajah datarmu yang sekarang masih bertahan karena memang sudah
dasarnya kan? Tapi itupun sudah berubah meskipun sedikit. Kamu bukan mulai
berubah, tapi sudah jadi orang lain. Jadi... kau bukan milikku lagi.”
Aku diam saja. Tak mungkin aku
mengatakan sesuatu untuk hal seperti ini.
“Jadi pergilah. Aku... tidak akan
mengumumkan pertunangan kita. Aku akan pulang ke Aussie hari ini. Pergilah...
temui Nadia.” Saat mengatakan itu, Vina tersenyum. Senyum lembut. Vina terlihat
rapuh sekali. Bagaimanapun juga, sejak kecil kami selalu bersama, jadi...
“Jangan cemaskan aku. Aku tidak
apa-apa.” Kata Vina. “Bukankah itu yang selalu ada dipikiranmu? Pergilah, nanti
aku bisa berubah pikiran.”
“Terima kasih, kau selalu bisa
mengerti aku.” Kataku. Aku berlari cepat ke bawah. Martin ada di sana.
“Nih!” Dia melemparku sebuah kunci
mobil. “Kalau nggak ada ini, bagaimana kau bisa ke tempat dia?”
Semuanya... semua mendukungku. Aku
bergegas menuju parkiran dan mencari mobilku. Begitu masuk mobil, aku
cepat-cepat pergi dari tempat itu. Mereka berbuat semua ini karena aku
pengecut. Sekarang aku harus berani. Aku harus menemuinya.
Hari yang sangat panas, pasti bakal
ada hujan. Rasanya menyengat. Rasanya... ada yang tak beres.
“ DHUUAAARRRR!!!”
Terdengar suara yang menggelegar di belakangku. Mustahil, di jalan tol begini?
Terdengar suara tabrakan di sana-sini. Apa yang sebenarnya terjadi!!!
Mobil itu... mengarah ke sini!!!!
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?