Sabtu, 15 Desember 2012

Bab 16

cerpen, novel

Vinci




NADIA. Anak itu...
“Vincent?” Terdengar Vina memanggiku. Kami berada di salah satu restoran termewah di kota ini untuk makan malam. Vina menatapku bingung. “Kenapa? Masakannya nggak cocok dengan seleramu?”
“Nggak. Biasa saja.” Jawabku. Aku nggak boleh merusak suasana saat kami sedang dinner.
“Waktu aku mengantar Jun kemarin...” Vina mulai bicara, tapi berusaha ditahannya.
“Apa?”
“Aku sempat kepikiran apa sebenarnya yang terjadi diantara kamu dan anak itu.” Kata Vina hati-hati. Aku masih ingat wajahnya waktu kuminta mengantarkan kakak pujaan Nadia itu. Vina lalu menatapku lagi. Aku nggak melihatnya, tapi itu memang kebiaasaannya, memperhatikan raut wajah orang sebelum bicara. Apalagi kalau pembicaraannya mengenai orang itu.
“Aku juga.” Kataku balik, sambil mengambil minuman. “Aku bertanya-tanya apa hubunganmu dengan cowok yang bernama Juno itu. Kalian akrab sekali.”
“Dia... cowok yang dibiayai ayah untuk kuliah di Aussie. Dia seumuran denganmu, senior di kampusku. Karena ayah suka dengannya dan percaya padanya, maka akupun mencoba berteman dengannya. Dia pintar, berbakat, dan...”
“Sangat menarik hati.” Sambungku. “Berbeda denganku, dia sangat bersahaja, murah senyum dan supel. “Aku bertemu dengannya siang ini. Kami sudah berbicara banyak. Kakak beradik itu...”
“Ada apa?” Tanya Vina. Meskipun ditahan, terlihat kalau dia sangat penasaran dengan apa yang terjadi. Haruskah kuceritakan padanya? Sepertinya... harus.
“Kamu sudah tahu kalau cincin yang kau beli waktu itu sudah ku kasih ke Nadia dan alasannya kan? Cincin itu... sebenarnya adalah cincin pernikahan milik orangtua mereka. Juno memegang cincin milik ayahnya, dan Nadia memegang cincin milik ibunya. Dan cincin itu...”
Agak meragukan, tapi...
“Cincin itu digunakan Nadia untuk membuktikan pada Juno kalau dia benar-benar mencintai kakaknya itu.”
“Kok bisa?!” Tanya Vina kaget. “Mereka kan bersaudara?”
“Saudara tiri.” Jawabku. Reaksinya sudah kuduga. “hubungan mereka rumit banget. Waktu orangtua mereka menikah, ibunya Nadia sudah hamil dua bulan. Itu keterangan yang didapat Nadia dari diari ibunya. Bahkan katanya ada beberapa surat yang tertera. Entah surat-surat apa itu. Mungkin sejak itulah, pandangan Nadia berubah dari seorang adik yang brother’s complex jadi seorang gadis yang jatuh cinta.”
“Tidak mungkin.” Kelihatannya Vina shock. Dia menggumam sepelan mungkin. Ini lebih aneh dari kekagetanku. Hubungan yang dalam, kusadari itu. “Juno sangat menyayangi adiknya. Mungkinkah... dia juga mencintai Nadia?”
“Itu aku tidak tahu.” Jawabku. “Dan kupikir, kita tidak berhak ikut campur dalam urusan keluarga mereka kan? Yang harus kita fokuskan sekarang adalah... hubungan kita yang sekarang.”
“Apa? Oh, iya.”
“Jadi... kamu serius mau mengumumkan pertunangan kita?” Tanyaku lagi. Vina mengangguk mantap. Tapi sesaat, pikirannya melayang ke tempat lain. Apa yang harus kulakukan disaat-saat seperti ini? Aku sama sekali nggak paham pikiran perempuan!
“Aku serius, karena Cuma itulah tujuanku datang kemari.”
Yah... bagaimana aku harus mengekspresikannya. Meskipun nggak berkata apa-apa, yang jelas aku tidak suka. Seandainya saja... seandainya saja aku punya keberanian mengatakan kalau aku menyukai Nadia... tapi bagaimanapun juga, Nadia lebih mencintai kakaknya daripada aku. Disamping itu, ada Vina disampingku. Haruskah aku tidak suka? Haruskah aku protes? Bukankah setiap orang yang melihatnya mengatakan dia sempurna? Cantik, berbakat, baik hati, dan disukai semua orang.
Menatap Vina yang gelisah, meskipun berusaha menyembunyikannya, membuatku merasa marah pada kakaknya Nadia itu. Beruntungnya dia, bisa membuat dua wanita memikirkan dia terus, meskipun dia nggak seperti aku. Terlebih, Nadia menyukai dia. Padahal ada aku... ada aku yang lebih daripada orang itu. Ada aku...
“Vinci?” Terdengar Nadia yang bingung, dia menatapku dengan khawatir. “Kenapa? Kelihatannya, wajahmu tadi...”
“Nggak ada apa-apa. Cuma... aku ragu dengan hasil konferensi pers nanti.” Jawabku. Vina terlihat nggak puas, tapi dia nggak protes apa-apa. Seperti biasa, benar-benar pengertian. Nggak seperti Nadia, yang kadang ngotot bertanya kalau dia benar-benar khawatir. Ya... begitulah. Ternyata banyak juga karakter cewek di dunia ini ya?
“Aku mencemaskanmu,” Kata Vina tiba-tiba. Apa? Vina meneruskan minumnya dan berhenti makan. “Semakin lama, terlihat Vinci yang semakin berubah, nggak kukenal. Tapi, bagaimanapun juga, kelihatannya perubahanmu perubahan yang positif. Aku selalu memikirkan apa yang berubah darimu dan apa penyebabnya. Tapi kupikir sekarang nggak perlu lagi. Yang penting, Vinci tetaplah milikku. Ya kan?”
Agak berat mengiyakannya. Aku Cuma bisa berkata ya sekarang ini. Benar-benar nggak bisa apa-apa. Sejak kapan aku lemah begini? Apa yang membuatku seperti ini?

Akhirnya waktu pulang, kami tidak bicara apa-apa lagi. Haaah... jadi ingat kejadian tadi siang. Agak kaget juga waktu dia memintaku datang. Entah bagaimana, orang sama sekali tidak mengira aku adalah Vinci. Mungkin juga karena penyamaranku yang lumayan bagus. Seperti beberapa artis lain, aku mempelajari sedikit tentang penyamaran. Meskipun itu dilakukan karena iseng.
Kulihat dia yang terlihat khawatir. Mungkin karena adiknya. Dia juga terlihat tegang. Apa sebenarnya yang dia minta dariku?
“Entah apa yang kupikirkan waktu aku memintamu datang,” dia memulai bicaranya dengan gugup. “Mungkin karena aku terlalu cemas tentang adikku, aku jadi seperti ini.”
Bicara apa dia? Ngelantur.
“Mungkin adikku sangat menyusahkanmu. Aku benar-benar minta maaf, semua keegoisannya adalah salahku. “
Pernyataan yang tenang. Aku merasa dia jadi sosok yang berbeda.
“Dia benar-benar menyukaimu, sampai nekat seperti itu. Apa bisa kau bilang dia egois?” Tanyaku. Dia tersenyum.
“Sejak kecil, aku selalu ingin jadi kakak. Bukan sekedar kakak, tapi kakak yang bisa jadi teladan untuk adiknya. Dan begitu Nadia lahir, aku merasa impianku jadi kenyataan. Karena itu, aku sangat menyayanginya.” Dia tersenyum. Senyum lega yang pertama sejak bertemu denganku.
“Aku tahu, dia bukanlah adik kandungku. Tapi itu tidak jadi soal. Yang penting, aku punya adik, apalagi adik perempuan. Kami jadi benar-benar komplit kan? Satu laki-laki dan satu perempuan.”
Sebenarnya cowok ini mau ngomong apa?
“Tanpa sadar, aku jadi memanjakannya. Aku selalu melindunginya, dan selalu menuruti permintaannya. Aku ingat, aku sempat dijuluki ‘sister’s complex’ gara-gara itu. Aneh ya?”
Ya, sister complex dan brother complex, kalian benar-benar pasangan ideal.
“Mungkin karena itu juga, dia jadi seperti ini. Kasihan dia, dia salah paham.”
Salam paham?
“Dia pasti mengira jatuh cinta padaku, karena aku sangat menyayanginya. Padahal itu hanya karena rasa sayangnya yang terlalu besar.”
“Dalam perasaan, jarang ada yang namanya salah paham. Bagaimana kau tahu kalau Nadia Cuma salah paham?” Tanyaku cepat.
“Karena aku kakaknya. Selama tujuh belas tahun aku menjaganya, apalagi sesudah orangtua kami meninggal. Aku mengenalnya lebih dari siapapun.” Nada yang tegas. Dia yakin sekali dengan kata-katanya. Apa dia bisa dipercaya?
“Lalu, apa maksudmu mengatakan ini padaku?” Tanyaku agak bingung. Kulihat dia tersenyum.
“Ada banyak alasan, tapi...” Dia menatapku dengan tatapan lembut. Seperti... seperti apa ya? Agak susah diartikan. “Bisa saja disebut firasat seorang kakak.”
Kulihat wajahnya tersenyum senang. Entah apa maksudnya. Setelah itu kami ngobrol cukup lama soal Nadia. Setiap mendengar ceritaku, kadang dia tertawa. Aku agak heran, tapi biarlah. Akhirnya kami berpisah.
“Kau orang yang berbeda dari cerita orang ya? Kau baik sekali.” Komentarnya begitu pamit pergi. Bahkan orang yang baru bertemu dengankupun...
Nadia... apa pengaruhmu begitu besarnya ya? Apa yang harus kulakukan sekarang dengan situasi seperti ini? Melupakannya, atau...

“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Martin lewat HP. Aku diputuskan menghindar dulu dari wartawan, jadi agak menjauh dari ibukota.
“Baik,” Jawabku.
“Baguslah.” Kata Martin lega. “Jadi, kau sudah memutuskan konferensi apa kan? Tinggal beberapa hari lagi. Apa kau siap?”
“Pertanyaanmu nggak seperti manajer.”
“Aku mencemaskanmu. Bahkan Direkturpun nggak berani langsung mengambil keputusan seperti biasanya. Tak kusangka semua jadi runyam begini. Oh, oke. Terima kasih, akan kuurus nanti.” Terdengar suara Martin aneh.
“Ada apa?”
“Ah, bukan apa-apa. Cuma ada yang menitipkan beberapa berkas untukku. Ya sudah ya, goodbye.”
“Bye bye.”
Hari ini, sepanjang hari di tempat yang disediakan keluarga Vina, agak membosankan. Apa aku keluar saja? Hm... tidak bisa. Kali ini aku nggak bawa alat penyamaran. Biarlah. Ternyata, hidup yang terbiasa ada kerjaan, kalau nggak kerja bakal kaku luarbiasa. Bagaimana? Apa aku olahraga... atau jalan-jalan?
Jangan, jalan-jalan bisa membawa masalah. Apalagi sekarang. Ng? HP?
“Ini... nomor tidak dikenal. Kenapa bisa?” Harusnya nomor ini nggak ada seorangpun yang tahu kecuali aku, Vina, Martin, Direktur dan...
“Halo?” Terdengar suara yang familiar.
“Nadia.” Perasaan lega begitu mendengar suaranya. Sudah lama sekali... “Ada apa?”
“Hm... tidak ada apa-apa. Aku Cuma... bingung. Tapi, sekarang aku Cuma mau tahu keadaanmu saja. Apa Vinci baik-baik saja? Karena kita sudah nggak bertemu hampir seminggu, jadi... penasaran.”
Kadang-kadang dia terdengar gugup. Kenapa?
“Kenapa? Aku selalu baik-baik saja kan?”
“Mmm... yang pertama, aku mau tahu apa Vinci masih tetap sarapan pagi? Dan ada juga yang lainnya... ng.... begini, aku pernah diberitahu seseorang kalau Vinci nggak biasa makan pagi, dan punya beberapa kebiasaan baru. Jadi mungkin...”
“Aku sampai sekarang masih tetap melakukannya. Kau sendiri, apa baik-baik saja?”
“Eh?”
“Hm. Bukankah harusnya kita tidak punya hubungan lagi sejak itu? Tapi kenapa? Apa hubunganmu tidak lancar dengan kakakmu?”
Tidak ada jawaban.
“Aku... tidak tahu harus bagaimana lagi. Kakak, biar bagaimanapun aku bilang aku mencintainya, masih tetap nggak perduli padaku. Kau tahu? Rasanya konyol sekali. Bersamanya yang nggak perduli dengan pernyataanku, aku sangat marah dan membencinya. Tapi saat itu juga, dia memperhatikanku dan berusaha membuatku senang. Melihatnya seperti itu, aku langsung ceria kembali. Mungkin kalau kau dengar ini, kau pasti merasa ceritaku aneh dan lucu. Tapi itu betul-betul terjadi! Lagipula...”
Rasa benci dan cinta disaat yang sama ya. Memang terdengar konyol. Ternyata memang Cuma Juno yang bisa menggerakkan perasaan Vina.
“Lagipula?” Tanyaku.
“Ada seorang temanku... bernama Haris. Dia bilang, dia sangat menyukaiku. Sekarang aku benar-benar bingung. Aku tidak mungkin menyerah untuk mendapatkan kakak, tapi ada Haris yang jelas-jelas menyukaiku. Waktu aku memikirkan semua ini, anehnya aku teringat padamu. Tiba-tiba, aku jadi pengen melihatmu sekali saja. Maaf, mungkin Vinci menyangka aku membuatmu jadi pelarian. Tapi...”
“Aku tahu.” Karena Nadia tidak pernah curhat sepanjang ini padaku. Biasanya dia memendamnya sendiri, dan melupakannya begitu saja. “Ini bukan pelarian. Aku tahu itu.”
“Mungkin Vinci memang nggak ada hubungannya dengan semua ini. Tapi, apa yang harus kulakukan? Aku ragu, aku bisa bahagia meski jadian dengan Haris kalau terus memikirkan kak Juno. Tapi kak Juno nggak pernah sekalipun memberiku harapan, jadi...”
Kau bilang aku nggak ada hubungannya dengan ini? Jelas ada hubungannya!
“Kau mau minta pendapatku?” Tanyaku jengkel. “Jangan. Jangan pilih keduanya. Kalau kau ragu dengan kedua, jangan pilih keduanya pasti ada orang yang lebih baik dari mereka, yang mungkin nggak ada hubungannya dengan kalian dan bisa membuatmu melupakan kakakmu.”
“Apa?”
“Sudah, lupakan. Bukankah hal seperti ini harusnya kamu sendiri yang memutuskan. Kamu dimana sekarang?”
Begitu telepon terputus, baru kuingat Tuhan sayang padaku. Nadia ada di kota ini!!
Aku sama sekali tidak mencarinya, karena semua keterbatasan ini. Dan ternyata, dia yang menelponku. Aku sekarang sudah tahu dimana tempatnya dan nomor hpnya yang baru. Juga nomor rumahnya. Sampai kapanpun aku nggak bakal minta bantuan sama Juno itu. Sekarang, tinggal memikirkan apa yang harus kulakukan.
Aku yang sekarang tidak boleh sepengecut dulu. Sekarang aku harus...
“Vinci!!! Ada telepon dari Martin!! Katanya darurat!!” Tiba-tiba Vina datang dan menerobos masuk ke dalam kamar. Dia langsung menyerahkan telepon padaku.
“Vinci!! Kenapa hpmu sibuk terus? Sekarang ada saat yang gawat!! Direktur mempercepat konferensi persnya karena media sudah tak sabar lagi. Apapun jawabanmu, usahakan tidak menghancurkan image dan karirmu sekarang. Bicarakanlah dengan Vina apapun jawabanmu, karena kurasa...” Suara Martin yang panik semakin lama semakin melemah. “Jawabanmu mungkin... soal... dia...”
“Aku mengerti.” Jawabku. “Akan kuberitahu paling lambat sebelum acara konferensi pers di mulai.”
“Ok. Konferensi pers dimulai besok siang. Vinci...” Martin terdengar ragu. Dia memang kadang begini. “Aku... secara pribadi... akan terus mendukung apapun keputusanmu.”
“Terima kasih.”
Vina memandangiku dengan wajah khawatir. Aku mencoba tersenyum.
“Tidak ada apa-apa. Jangan khawatir. Cuma konferesi persnya dimulai lebih cepat. Mungkin media masa itu menyangka satu atau dua hari nggak ada bedanya.”
“Vinci...”


* * *

Pagi ini menjadi pagi yang suntuk bagiku. Aku semalaman nggak bisa tidur dan harus memutuskan apa yang harus kulakukan. Ini sudah biasa harusnya, bagiku sebelum konferensi pers. Tapi... bagaimanapun juga, yang paling kucemaskan adalah...
“Vinci? Sudah siap?” Tanya Vina mengetuk pintu. Aku membukanya dan mengangguk. “Kalau begitu, ayo kita sarapan.”
Tidak banyak yang bisa diobrolkan di sini.
“Sampai sekarang, aku maih kaget ternyata Vinci sekarang biasa sarapan. Padahal biasanya Cuma makan siang.” Kata Vina.
“Begitulah. Anak itu menyangka aku biasa makan pagi di rumah. Jadi dia terus membuat sarapan untukku. Supaya makanan nggak terbuang, aku makan saja.”
“Oh... begitu.”
Kami kemudian pergi ke tempat konferensi pers. Dalam pikiranku selalu penuh...
“Bagaimana, kau sudah siap?” Tanya Martin begitu aku sampai. Tinggal sejam sebelum konferensi pers di mulai dan sudah banyak wartawan yang menunggu. Si nenek sama sekali tidak menanyaiku. Dia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Tapi memang, dia cemas.
“Vinci, aku mau bicara.” Kata Vina. Dia memang diam sejak kami makan, dan mungkin ada sesuatu yang dipendamnya. Ada apa?
Kami pergi ke tempat yang sepi, dan itu adalah lantai paling atas.
“Ada apa...”
“Setiap kali aku bicara begini, pasti terlihat aneh.” Kata Vina. Dia membelakangiku. “Sudah pernah kubilang kan, kau berubah.”
Tunggu, apa yang mau kau katakan...
“Kau berubah, menjadi orang yang tak kukenal. Dan sudah kukatakan juga, selama kau berubah secara positif, itu tidak apa-apa. Tapi...” Vina terdiam, dia berbalik. “Kau bukan milikku lagi.”
“Apa maksudmu.” Aku tidak kaget lagi. Ada yang aneh dengannya.
“Mulai dari kebiasaan yang berubah, emosi yang berubah, bahkan perhatianmupun berubah. Kau memperhatikan kami semua kan? Mungkin, wajah datarmu yang sekarang masih bertahan karena memang sudah dasarnya kan? Tapi itupun sudah berubah meskipun sedikit. Kamu bukan mulai berubah, tapi sudah jadi orang lain. Jadi... kau bukan milikku lagi.”
Aku diam saja. Tak mungkin aku mengatakan sesuatu untuk hal seperti ini.
“Jadi pergilah. Aku... tidak akan mengumumkan pertunangan kita. Aku akan pulang ke Aussie hari ini. Pergilah... temui Nadia.” Saat mengatakan itu, Vina tersenyum. Senyum lembut. Vina terlihat rapuh sekali. Bagaimanapun juga, sejak kecil kami selalu bersama, jadi...
“Jangan cemaskan aku. Aku tidak apa-apa.” Kata Vina. “Bukankah itu yang selalu ada dipikiranmu? Pergilah, nanti aku bisa berubah pikiran.”
“Terima kasih, kau selalu bisa mengerti aku.” Kataku. Aku berlari cepat ke bawah. Martin ada di sana.
“Nih!” Dia melemparku sebuah kunci mobil. “Kalau nggak ada ini, bagaimana kau bisa ke tempat dia?”
Semuanya... semua mendukungku. Aku bergegas menuju parkiran dan mencari mobilku. Begitu masuk mobil, aku cepat-cepat pergi dari tempat itu. Mereka berbuat semua ini karena aku pengecut. Sekarang aku harus berani. Aku harus menemuinya.
Hari yang sangat panas, pasti bakal ada hujan. Rasanya menyengat. Rasanya... ada yang tak beres.
DHUUAAARRRR!!!” Terdengar suara yang menggelegar di belakangku. Mustahil, di jalan tol begini? Terdengar suara tabrakan di sana-sini. Apa yang sebenarnya terjadi!!!
Mobil itu... mengarah ke sini!!!!




* * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?