Sabtu, 08 Desember 2012

Bab 13

cerpen, novel

Nadia




Pepatah apa yang cocok buatku?
Mungkin yang disebut “sepandai-pandainya monyet memanjat, pasti jatuh juga”.

Mungkin kalau kubilang ini aneh, pasti banyak yang ketawa. Bahkan bisa terbahak-bahak. Jadi akan kupersingkat.
Di mulai dari Vinci yang buru-buru memanggilku tapi aku sudah pergi ke sekolah. Mulai dari panggilan, bahkan telepon dari hp. Gara-gara itu, hp yang lowbat memutuskan untuk istirahat dan aku yang kebingungan nggak bisa menelpon balik. Aku yang salah, sama sekali nggak menchargenya sama sekali tadi malam. Jadi begitu kulihat beberapa wartawan yang menunggu, yang pertama kali kupikirkan adalah... ‘ho.... rupanya ada salah satu artis yang kepergok ngumpet di sekolah kami. Kan ada murid baru yang kelasnya di sebelah.’
“Itu dia anaknya!!” Terdengar salah seorang cewek berteriak. Begitu aku menoleh, kulihat dia menunjukku dengan tampang super duper bengis!!! Tiba-tiba saja aku merasakan banyaknya pasang mata iblis yang mengarah padaku. A.... apa-apaan ini!!!!
Lari... aku harus lari... sedetik setelah mata iblis mengerikan itu, muncul hawa pembunuh yang kuat, tebal, dan berat!!! Aku harus kabur dari sini!!!!
Di tengah kebingungan itu, aku di seret cewek-cewek yang lalu kusadari adalah teman-temanku dan dengan secepat kilat kabur dari situ. Kami masuk ke tempat yang biasanya nggak ada banyak orang.
“Bodoh! Ngapain skul? Sekarang ini lagi panas-panasnya tahu! Emangnya lo nggak baca sms gue, supaya jangan skul sekarang?” Terdengar suara Nia panik tapi berusaha supaya suaranya nggak terlalu keras. Beruntunglah kami punya sekolah luar-biasa besar, jadinya kantin langganan kami susah dicari. Apalagi kami ini sekelompok cewek-cewek yang heboh sendiri, jadi nggak pernah menarik perhatian orang.... sampai sekarang.
“Jadi, Dine. Sekarang cerita dong, sebenarnya ada apa sih? Kalau kamu diam di situasi kayak gini, kita semua bisa repot!!” Kata Romi lagi. Aku yang paling nggak ngerti apa-apa ini, disuruh cerita apa?
“Justru aku yang mau nanya. Ini sebenarnya kenapa? Kok jadi rame begini?” Tanyaku kebingungan. semuanya saling bertatapan, berunding lewat sorot mata. Rita menghembuskan napas.
“Sebenarnya... ada selebaran aneh. Kamu dan Vinci bertunangan...” Kata Rita ragu-ragu. “Muncul pagi ini. Cepat kami sadar itu gambarmu, dan ada cewek ceroboh yang histeris begitu tahu itu kamu.”
“Selebaran...” Ulangku. “Jadi... wartawan itu...
“Soal wartawan itu... tenang saja. Selama ini nggak ada anak dibawah umur yang langsung diwawancarai begitu saja. Lagipula pihak sekolah kan nggak bakal ngasih ijin kok.” Kata Rosi yakin. Aku jadi penuh pikiran. Kuputuskan bercerita yang sebenarnya pada mereka.
“Ini baru cerita heboh.” Komentar Elsi.
“Pikiran konyol.” Tambah Elsa.
“Apa yang ada di otakmu? Bisa-bisanya nekat seperti itu. Akhirnya jadi masalah begini.”
“Gue udah nebak, pasti lo punya hubungan ma Vinci. Emang hebat insting fan’s gue.” Kata Nia. Dan banyak lagi komentar mereka.
Aku diam saja. Sesudah mereka habis berkomentar, aku baru ngomong.
“Jadi apa? Aku sudah nanggung kalau begini. Sudah empat bulan, dan tinggal empat bulan lagi!! Memangnya aku suka kerja untuk iblis kayak si Vinci itu?”
“Enak aja nyebut idole gue iblis!! Lo aja kali yang kerjanya nggak bener!” Kata Nia tersinggung. Nia aja yang nggak pernah liat Vinci sehari-hari. eh.... iya juga sih, dia akhir-akhir ini tambah baik. Aku menyerah. “Sori.”
“Pantas aja kalian disangka tunangan. Cincin itu disematkan dijari manis sih. Bagaimana Vinci sendiri? Dia tahu soal ini? Bagaimana dengan pacarnya?” Tanya Riyen mengamati cincin pembawa masalah itu. Pacar?
“Pacar?” Ulangku heran. Benar juga. Aku lupa soal pacar Vinci. Apa dia punya pacar? Nia mungkin tahu. “Tanya Nia aja. Vinci punya pacar?”
“Nggak ada yang tahu doi punya pacar atau enggak. Vinci itu misterius soal cintanya. Makanya begitu muncul selebaran yang bilang lo tunangannya, semua pada heboh. Lihat aja, tadi gue barusan ngecek di sms gosip langganan. Kayaknya udah muncul berita di internet mulai tadi malam atau tadi subuh. Pasti sekarang udah ditayangkan di infotaiment.” Jelas Nia bingung. “Lo sendiri? Kan satu rumah ama doi? Nggak nanya ama keluarnya yang lain?”
“Heh... aku belum bilang ya? Vinci itu tinggal sendiri. Kami Cuma tinggal berdua aja. Keluarganya tinggal di luarnegeri. Adiknya ada di Aussie. Rumahnya amat-sangat sepi. Cuma Pak Martin ama Mario aja yang kadang-kadang datang ke rumahnya.” Jelasku pusing. Semuanya jadi mumet begini.
“APA?!! LO TINGGAL BERDUA AJA MA VINCI?! YANG BENER?!” Kata Nia shock. Akhirnya bell berdentang. Nggak sadar kalau kami semua sudah melewatkan satu jam pelajaran, semuanya mulai panik mencari tas dan lainnya.
“Lo aman di kelas. Cincinnya disimpen, biar nggak ada yang curiga. Jangan deket-deket ma cewek, siapa tahu dia fan’snya Vinci. Kami cabut dulu!” Kata Nia langsung keluar. Aku juga berjalan sambil ngumpet dan ikut pelajaran. Kayaknya beberapa orang saja yang sadar kalau yang diselebaran itu aku. Wajahku sedikit disamarkan sih.

Begitu bell pulang, aku langsung disekap sama Nia dan yang lainnya. Ditarik paksa, dimasukkan paksa, ke dalam bagasi mobil. Mulutku ditutup dan disuruh jangan ribut... sulit kupercaya aku diperlakukan seperti korban penculikan. Begitu beberapa lama, akhirnya aku dilepaskan dan akhirnya bebas duduk dengan nyaman.
“Ada yang punya batrei cadangan? Batreiku habis.” Tanyaku. Aku penasaran bagaimana kondisi yang lain, dan apakah aku boleh pulang ke rumah atau nggak. Yang lain memang nggak ada, tapi aku masih bisa nelpon karena aku masih ingat nomor hp Pak Martin.
“Halo?” Sambut Pak Martin. Aku girang, ini betul no hpnya.
“Pak Martin!! Bagaimana ini?”
“Syukurlah, aku percaya firasatku. Aku sudah capek dengan berbagai telepon berisik itu. Kamu nggak apa-apa?” Tanya Pak Martin cemas. Aku mengiyakan.
“Nggak apa-apa. Aku dilarikan teman-temanku dan nggak ada yang mengikuti kami sampai sekarang. Oh iya. Bagaimana keadaan kalian?” Tanyaku cepat.
“Baik. Masih bisa dikendalikan meskipun terlalu banyak telepon yang masuk dan banyaknya permintaan konferensi pers. Semua media sibuk menanyakan siapa tunangan Vinci karena dia nggak pernah bilang siapa saja cewek yang dekat dengannya. Jadi heboh.”
“Aku baru saja di kasih tahu soal itu. Apa aku boleh pulang ke rumah atau aku harus melakukan sesuatu yang lain? Apa yang akan kalian lakukan sekarang?” Tanyaku.
“Soal itu... pulang saja ke rumah dan bereskan barang-barangmu. Jangan sampai ada jejakmu di rumah itu. Hati-hatilah, mungkin wartawan diam-diam mengawasimu sekarang. Dan... apa?” Terdengar suara Pak Martin yang panik.
“Ada apa?”
“Eh, nggak ada apa-apa. Sial, kenapa baru datang sekarang? Kamu cepatlah pulang. Habis berberes, cepat pergi dari situ. Sekarang, media pasti sudah menyelidiki dimana rumah Vinci dan mendatanginya. Waktumu duapuluh empat jam dari sekarang!”
Heh... hubungan langsung terputus. Hebat juga kalau bisa ditahan selama duapuluh empat jam.
“Memang, Vinci kayak ditelan bumi. Doi pindah rumah dengan cara yang rumit. Gue denger semuanya diatur sampai bertahun-tahun. Karena itu nggak ada yang bisa melacaknya dengan cepat.” Kata Nia.

Kecepatan Nia memang luarbiasa!! Nia selalu bisa diandalkan kalau kita butuh mobil yang cepat dimanapun dan kapanpun. Sayangnya aku harus melarang mereka datang ke rumah. Jadi terpaksa mereka pulang dengan percuma. Tapi Nia kesenangan, dia bakal dapat foto dan tandatangan Vinci dengan gratis dan hanya untuk dia seorang. Dia juga senang kalau ingat berkat dialah konser Vinci yang waktu itu sukses.
Aku cepat-cepat masuk. Ternyata ada sepasang sepatu wanita di tempat sepatu. Agak kaget juga. Siapa ya? Jangan-jangan... adiknya? Wah... gawat kalau nggak bikin minum sekarang.
Cepat-cepat aku menuju dapur dan membuat minuman. Ternyata hari ini banyak masalah Cuma gara-gara cincin. Cincin....
Gara-gara cincin ini, aku harus tinggal berdua dengan cowok, yang dingin, kejam dan bengis. Gara-gara cincin ini juga, aku bahkan harus bekerja siang malam untuk cowok super menakutkan itu. Dan gara-gara cincin ini... aku disangka tunangan dengan Vinci?
Entah kenapa... begitu ingat yang terakhir... rasanya ada sesuatu yang hangat menyebar di dada. Rasa sesak menyenangkan dan begitu membuai. Senyumku mengembang mengingat betapa baiknya Vinci akhir-akhir ini. Kalau ternyata semua itu jadi kenyataan....
Hei, kenapa aku malah mikir begini? Aku harus fokus dengan kak Jun!! Kalau aku berhasil membawa cincin ini sama dia, aku pasti bisa membuktikan aku benar. Jadi aku dan kak Jun bisa... bisa...
Akhirnya, kopipun siap. Kulihat nggak ada yang di kamar tamu. Pasti ada di kamar Vinci. Aku dan kakak juga biasanya ngobrol di kamar. Waah... pasti mereka amat sangat akrab.
Kulihat lagi potret ibu dan anak perempuan yang kusangka Vina dulu. Eh, Vinci maksudnya. Potret yang langsung menarik perhatian karena kedua wanita yang amat sangat cantik tergambar begitu jelas begitu kita masuk ke ruang tengah itu. Kayak apa ya, keluarga Vinci?
Aku naik ke lantai dua. Dalam benakku yang terus penasaran mengingatkanku waktu aku dulu bertanya soal keluarga sama Vinci. Entah karena dia yang dingin atau lagi malas, dia nggak pernah menjawab serius. Malas-malasan malah.
Apa ya, yang pernah di bilang sama Vinci dulu?
Oh iya...
“Vinci, aku bawakan...” Aku masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu. Soalnya dia kalau sudah asik pasti nggak bakal dengar.
Deg!!!!
Ya Tuhan... aku melihat...
Peganganku goyang, dan baki yang ku pegang jadi terlepas. Suara keramik yang pecah menyadarkanku kembali. Aku.. ingat....

“Vinci, itu foto siapa? Keluargamu?”
“Ya...”
“Ibumu dan adikmu cantik banget ya? Mereka tinggal di mana sekarang?”
“Tinggal di Aussie.”
“Baru kali ini aku melihat wanita yang anggun dan cantik seperti adikmu. Namanya siapa sih?”
“Vina... dia...”
“Hah? Apa?”
“Tidak bukan apa-apa.”

Aku mendengarnya dengan jelas waktu itu. Tapi aku tidak percaya.
‘Vina itu... tunanganku’.

Dan sekarang, aku melihat mereka... berciuman dengan mesra di depanku.
Kenapa? Kenapa dadaku jadi sesak begini?


* * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?