Nadia
Ada yang aneh. Sesudah semua shock
beruntun ini aku akhirnya mendapatkan cincinku. Tapi kenapa masih saja ada yang
kurang? Padahal seharusnya semua sudah tamat. Happy ending. Tapi kenapa? Kenapa
aku merasa masih belum selesai?
Aku akhirnya sampai di rumah. Rumah
putih bertingkat dua yang biasa-biasa saja. Nggak ada satu mobilpun di sana.
Dimana kedua orang itu? Biarlah. Selama perjalanan, aku terus memikirkan apa
yang salah dalam rencanaku ini.
Sampai aku berpikir, kenapa aku merasa
marah melihat Vinci dan Vina berciuman. Aku nggak tahu pasti, tapi begitu
melihat mereka bersama, rasa iri langsung muncul. Iri, marah, dan shock.
Mungkin tiga kata itu yang paling tepat. Tapi kenapa?
Mereka kan memang tunangan. Apalagi
mereka sama seperti aku, yang kalau ingat Vinci rasanya nggak mungkin punya
pacar. Berarti mereka lama terpisah, sama seperti aku dan kakak. Jadi... kenapa
aku bisa marah melihat mereka?
Dan bisa-bisanya aku berpikiran bodoh.
Aku senang, mendengar mereka memasangkan aku dan Vinci. Padahal, dia sama
sekali nggak sayang padaku. Orang yang dingin, angkuh, nggak banyak omong, tapi
kalau ngomong bicaranya ketus melulu. Apa bagusnya orang kayak dia?
“Nadia, kita harus bicara.” Kak Juno
tiba-tiba sudah ada di belakangku.
“Ya.” Jawabku. Aku mencari cincin yang
diberikan Vinci. “Aku sudah menepati janjiku. Aku sudah berhasil mendapatkan
cincin ayah. Sekarang, giliran kakak.”
“Nadine, apa betul ini yang kau
inginkan?” Tanya kak Juno.
“Setelah semua yang aku lakukan demi
cincin ini kakak masih meragukanku?!! Aku serius! Yang kuinginkan Cuma kakak!!
Aku mau kita berdua bisa hidup bersama! Apa kakak mau ingkar janji?” Emosiku
naik. Aku nggak bisa bicara tenang.
“Kau adikku satu-satunya. Aku paham
kau luar dalam. Aku juga tahu, kau berubah karena tahu status kita yang
sebenarnya, tapi...” Ucapan kak Juno menggantung. Dia ragu meneruskannya. “Aku
menyukai orang lain. Nadia, aku...”
“Kakak jahat! Ini sama saja seperti
waktu itu!! Kakak tetap pembohong seperti dulu!!!” Aku berlari dan cepat
mencari kamar. Begitu masuk aku langsung menguncinya. Ya Tuhan... apa dosaku?
Kenapa semuanya jadi rumit begini?
Apa ini hukuman dengan kemarahan yang
kukeluarkan di rumah Vinci waktu itu?
Bukan... setelah aku kembali ke
kamarku karena kaget, aku teringat dengan tujuanku yang semula. Aku cepat
berkemas, dan berharap sesuatu akan terjadi. Tunggu, aku lupa. Apa yang
kuharapkan waktu itu? Bukan. Aku tidak lupa. Aku Cuma... tidak tahu persis apa
yang kuharapkan. Tapi....
“Nadia!! Aku tidak bohong!!! Kaulah
yang lari dari rumah karena tidak mau menerima kenyataan itu kan? Apa kau tahu
betapa paniknya aku waktu menyadari kau hilang waktu itu? Terlebih waktu itu
baru mulai liburan panjang!” Kata kak Juno dari balik pintu.
“Aku tahu, kakak sampai sakit karena
mencariku. Soal itu... maaf.”
“Kumohon, keluarlah.”
Aku keluar, yang pertama kali kulihat
adalah kak Junoku yang cemas, yang memelukku begitu aku membuka pintu. Dia
begitu baik, begitu perhatian. Bagaimana aku nggak jatuh cinta padanya?
Pelukan kak Juno membuatku teringat
dengan Vinci, yang tanpa banyak kata juga memelukku. Brengsek, kenapa harus
ingat dia saat seperti ini? Aku teringat besar badannya. Sepertinya pelukan itu
ada artinya. Tapi apa?
“Kakak... Aku...”
“Istirahatlah, kita bicarakan lagi
besok pagi.” Kata kak Jun lembut. Dia membelai kepalaku. “Sesudah tidur, aura
negatif kita pasti berganti menjadi aura
positif.”
“Selalu saja dengan istilah aneh.”
“Baiklah, selamat tidur.”
“Selamat tidur.”
* * *
Pagi yang begitu cerah di hari Minggu.
Aku pun menyiapkan sarapan. Selagi memandang semua pekerjaan, aku teringat lagi
soal rumah. Bagaimana makan Vinci ya? Dia kan sudah terbiasa sarapan. Apa Vina
sudah tahu?
Kutatap telepon yang ada di atas meja.
Hah, Apa yang ku pikirkan? Vinci kan sudah ada yang ngurus!! Aku sudah nggak
kerja lagi sama dia! Kenapa mikir yang nggak-nggak?
Kegelisahan menghinggapiku. Untungnya
pekerjaan yang menantiku masih banyak, semoga rasa gelisah ini cepat hilang.
Kami pergi ke Gereja. Untuk pertama
kalinya, aku bisa pergi ke Gereja lagi. Apalagi orang-orang di sini jarang
nonton berita gosip. Berarti kecil kemungkinan mereka menyadari kemiripanku
dengan cewek internet itu. Bersama Vinci, rasanya hari Minggu dan hari biasa
sama saja. Bahkan ke Gereja pun, sehabis ibadah banyak saja yang meminta ini
dan itunya pada Vinci. Jadi dia jarang ke Gereja.
Kok, begini lagi? Sudah!! Sudah!!!!
Akhirnya kami pulang. Kakak berencana
pergi lagi. Aku memutuskan untuk membereskan rumah hari ini. Selama empat bulan
lebih di tinggal dan nggak terurus, pasti banyak debu. Empat bulan...
Rumah Vinci tampak dalam ingatanku.
Bagaimana repotnya aku harus mengurus semuanya, karena dia orang yang menuntut
kesempurnaan.
Astaga, aku harus berhenti. Aku harus
berhenti memikirkannya. Oh iya. Nonton! Pasti jam-jam segini ada film yang
seru. Sempurna. Kuambil remote dan kunyalakan TV.
“Akhirnya, hari ini Vinci akan
mengadakan konferensi pers!! Setelah menghilang sejak wawancara pertamanya
karena gosip pertunangannya itu, Vinci akan mengadakan konferensi pers. Apakah
benar, gadis bernama Vina yang fotonya muncul di internet itu adalah tunangan
Vinci?” Suara pembawa acara infotaiment mengagetkanku. Vinci, apa yang akan kau
lakukan?
Kulihat agenda yang terletak di kamar
kakak. Nggak kamar kakak, ataupun kamar Vinci. Keduanya selalu rapi. Vinci
jarang menyuruhku masuk ke wilayah kekuasaannya meski kadang dia butuh
dibangunkan. Apa kehadiranku jadi memanjakannya? Jadi dia biasa dibangunkan? Oh
iya, agenda.
Agenda kakak selalu penuh dengan
tulisan. Dia pernah bilang kalau dia mau merencakan semuanya sampai
kedetil-detilnya supaya waktunya tidak terbuang sia-sia. Dia selalu bisa jadi
teladanku. Kak Juno the best of the best man. Ng? Apa ini?
Sebuah foto jatuh ke lantai. Begitu
kulihat, aku luarbiasa terkejut.
Foto kak Juno dan kak Vina yang
berpose berdua. Mereka tertawa riang dan sangat akrab. Apa kak Juno dan kak
Vina saling kenal? Kubalik foto itu, dan kulihat tulisan kak Juno yang rapi
‘First picture me and my love (dicoret) my best friend’.
Aku jamin, kak Juno nggak mengizinkan
siapapun melihatnya. Apa maksudnya ini? Apa... apa cewek yang disukai kak Juno
adalah kak Vina? Jadi... kak Vina dan kak Juno..
Nggak. Nggak mungkin. Kak Vina sangat
mencintai Vinci. Jadi, kak Juno cintanya bertepuk sebelah tangan? Pada kak
Vina?
Beruntungnya Vina. Vinci tunangannya,
pasti mencintainya. Kak Juno... juga mencintainya. Cewek cantik yang tinggi dan
langsing, kulit putih, senyum lembut dengan rambut halus dan lembut berwarna coklat tua yang
ikal. Dia juga baik, meskipun tahu aku tinggal bersama tunangannya, dia tetap
baik padaku. Bahkan dia mengucapkan terima kasih karena sudah mengurus Vinci
selama ini.
Memang mengurus Vinci itu agak repot
dan membuat cemas. Pagi hari makan, mengurus cuciannya, merapikan ranjangnya,
mengurus keperluaannya di lokasi syuting, makan malam, dan bahkan harus
mendengarnya menghapalkan naskah. Vinci hebat sekali. Sekali dia menghapalkan
naskah, dia langsung hapal semua isi naskah itu. Beberapa orang butuh latihan
beberapa kali, tapi dia tidak. Vinci lagi.
“Aku pulang. Wow, bersih.” Kata kak
Juno begitu malam. Kayaknya urusannya panjang. Aku senang. Aku sudah menyiapkan
makan malam. Makan malam.... ini sudah jam tujuh lewat. Moga-moga Vinci sudah
makan obat maagnya.
“Makanmu juga hebat. Sejak kapan kamu
jadi pengurus rumah tangga super begini?” Tanya kak Juno.
“Vinci itu orangnya sempurna. Supaya
cincin itu cepat diberi padaku, aku berusaha mengambil hatinya dengan bekerja
lebh giat dari yang lain. Dia juga makannya sangat teratur. Jadi aku selalu
membuatkan makanan tepat waktu. Rumahnya juga bersih begitu aku datang, jadi
pasti dia orang yang sangat rapi. Jadi aku selalu berusaha semua pekerjaan
beres begitu dia datang. Agak kaget juga waktu melihat dia punya banyak
persediaan obat maag di kamarnya, padahal dia makan begitu teratur dan tepat
waktu. Dan tenaganya kuat!! Dia mampu menyelesaikan semua jobnya hingga mampu
menabung beberapa waktu luang beberapa hari. aku belum pernah melihat orang lain
selain kakak yang seperti dia.”
“Dalam waktu yang singkat, kalian jadi
akrab ya?”
“Eh? Apa maksud kakak?”
“Nggak. Cuma gambarannya berbeda dari
yang kudengar.”
Pasti dengarnya dari kak Vina.
Hidungku sakit, dadaku sesak. Tanpa terasa, airmataku mengalir.
“Ke, kenapa Nadine?” Kudengar suara
kak Juno yang panik. Tapi wajahnya kabur karena airmataku.
“Aku tahu...” Kataku pelan. “Cewek
yang kakak sukai itu... kak Vina kan?”
Benar, lagi-lagi Vina. Vina
benar-benar hebat. Bahkan kakakpun jatuh cinta padanya. Kak Juno terdiam,
seakan membenarkan ucapanku.
“Kira-kira aku ini... apa kurangnya
dari Vina ya? Oh iya. Pasti banyak. Aku sama sekali nggak ada satupun yang sama seperti Vina yang
sempurna. Tidak ada...”
“Jangan begini Nadia...”
“Tapi benar kan, karena itu kakak
mencintainya. Aku harus apa ya, supaya bisa seperti Vina yang sempurna.”
“Nadia!” Potong kak Juno. Mukanya
memerah karena marah. “Jangan bicara seperti ini lagi!! Kamu itu tidak bisa
dibandingkan dengan Vina. Kamu itu satu-satunya adikku yang tidak bisa
kubandingkan dengan siapapun. Kamu itu adikku yang berharga!”
“Tapi tetap saja, kakak tidak bisa
mencintaiku kan?” Tanyaku cepat. Aku nggak mau pikir macam-macam. “Aku harus
bagaimana? Kalau begini, aku harus bagaimana supaya kakak mencintaiku?”
“Nadia, cinta itu tidak bisa dipaksa.”
Kata kak Juno. Aku tahu, dia sudah susah payah menghadapiku yang manja ini.
“Kalau kamu bisa memaksaku, berarti aku juga bisa memaksa Vina supaya
mencintaiku. Dan mungkin, Vinci juga bisa...”
Vinci? Juga bisa apa? Memaksa cinta?
Pada siapa?
“Apa maksud kakak dengan Vinci?
Memangnya dia memaksa siapa?”
“Entahlah... kurasa aku tak bisa
apa-apa. Kumohon... jangan seperti ini. Kau kan Nadia yang ceria. Jangan karena
aku, Nadia yang hebat berubah 180%.”
Malam akhirnya mulai larut. Aku
menelpon Nia.
“Nia.”
“Nadia. Lo... nggak bareng Vinci lagi
ya? Sayang banget.” Nia langsung nyerocos.
“Aku... apa bisa sekola ya, besok?”
Tanyaku pada Nia. Nia terdiam.
“Kurasa bisa.”
“Benarkah?”
“Ya. Di internet ada blog yang nulis
opini buat kasusnya Vinci. Walopun fotonya lo, tapi namanya beda. Dan kayaknya
sih... di chat room banyak yang nggak percaya kalo cewek kayak lo bisa jadi
ceweknya Vinci. Kalo gue sih, percaya. He he...”
“Nggak lucu! Aku udah nggak ada
apa-apa lagi ma Vinci. Kan cincinnya udah ketemu. Cincinnya udah ketemu, tapi
malah nggak bisa skul gara-gara gosip. Awas aja kalo ketemu biang keroknya,
dikasih pelajaran dulu kali ya.”
“Ya udah. Sampai ketemu besok ya.”
Lega rasanya, aku bisa sekolah lagi
besok. Sekarang sudah jam 10 kurang. Aku tidur lebih cepat dari biasanya. Dulu,
sayup-sayup bisa terdengar suara Vinci yang berlatih skrip meskipun Cuma satu
kali. Hebatnya, suaranya yang menghapa naskah itu bagaikan suara yang sedang
mendongengkan. Penuh alur, beremosi, dan sangat lancar. Aku bisa tertidur
mendengarnya. Apalagi suaranya bagus, meskipun berteriak tapi semua terasa pas.
Menyenangkan.
“Selamat pagi...” sapaku begitu sudah
selesai bersiap. Kakak lagi sibuk nelpon.
“I know, sir.” Kakak
menyadariku dan melambai. Dia jadi semakin sibuk dengan teleponnya. “Yes, I will do my best. No, I not take a
long time. Yes. Thank you very much. Yes. Bye.”
Aku mengambil teh dan melihat ke arah
jam. Pukul 6.41.
“Sudah siap? Wow.”
“Yang tadi siapa?”
“Hm.... yang mengurusku selama aku di
Aussie. Sebenarnya aku Cuma sebentar ke sini, dan harus kembali lagi ke Aussie.
Jadi...”
“Ya. Aku mengerti.”
Selama perjalanan, aku Cuma bisa diam.
Kakak mengantarku sampai ke pintu gerbang, dan membuat semua cewek-cewek
berteriak surprise karena cowok ganteng ini. Kakakku.
Kakak yang selalu baik padaku, dan
Cuma memikirkanku sudah nggak ada lagi. Haruskah aku menyerah? Melihat kakak
pergi dengan mobilnya itu membuat dadaku sesak, waktu kusadari aku sudah tidak
punya harapan. Kenyataan yang menyakitkan. Bagaimana ini... aku sama sekali
nggak mau menyerah. Tapi kenyataannya... apa yang harus kulakukan?
“Kakak lo bikin heboh terus ya.” Tanya
Nia di sampingku. Aku mengangguk. Aku nggak bisa bicara sekarang, nanti
kedengaran suaraku yang serak karena mau menangis. “BTW, alasan kedua lo aman
turun skul adalah...”
Karena semua orang sekarang fokusnya
Cuma ke konferensi persnya Vinci. Yang lainnya lewat. Cukup menguntungkan
sekaligus sedih. Sekarang, Vinci jadi pembicaraan di mana-mana. Sekarang, tidak
ada satu menitpun terlewat tanpa ada nama Vinci yang tertangkap pendengaranku.
Jujur, ini amat sangat menyiksa.
Sampai kapan Vinci, Vinci, Vinci dan
Vinci ini hilang dari peredaran? Vinci ini, Vinci itu, kenapa selalu ada
namanya? Aku nggak tahan.
“Nadia, kamu nggak apa-apa?” Seseorang
menepuk bahuku. Ternyata si ketua kelas.
“Ris...” Haris kelihatannya cemas. Apa
dia mencemaskan aku? “Aku baik-baik saja kok. Mungkin karena gerah kali ya.”
“Oh ya? Ku kira cuaca makin mendung.
Udaranya juga makin dingin.” Kata Haris sambil menatap ke langit. Aku
mengangguk cepat.
“Oh iya! Mungkin juga. Aku sampai
ketuker. Ya sudah. Duluan, kalo gitu.” Kataku cepat. Gawat, aku mulai melantur.
Dimana-mana ada Vinci terus sih!
Aku jadi nggak konsen sama sekali.
Bahkan di saat pelajaranpun, cewek-cewek aneh itu berbisik-bisik menyebar gosip
dan kemungkinan-kemungkinan yang ngaco. Capeknya... betul-betul capek.
“Nadia, sekarang nggak sibuk kan?”
Tanya Haris begitu pulangan. Aku mengangguk. Aku nggak punya bos lagi, dan
artinya nggak ada kerjaan lagi. Jadi aku lagi bebas-bebasnya. Haris kesenangan.
“Kuantar, bagaimana?”
Kakak mungkin akan menjemput. Apa
sebaiknya kutolak saja? Tapi kan sudah terus-terusan kutolak. Bagaimana kalau
dia marah? Aku kan nggak punya kerjaan lagi?
“Aku nggak tahu bisa atau nggak.
Mungkin kakakku bakal jemput.”
“Yang mengantarmu tadi pagi ya?”
Aku mengangguk.
“Kalau gitu, bareng sampai pintu
gerbang, bagaimana?” Tanya Haris lagi. Yah, bolehlah. Nggak masalah. Kayaknya
ada yang mau Haris omongin. Kira-kira apa ya?
Kami terus jalan bareng. Sambil
ngobrol juga soal sehari-hari.
“Kayaknya sekarang kamu nggak sibuk
ya? Apa bisa aku ngajak kamu jalan-jalan lagi?” Tanya Haris. Dia masih
kepikiran?
“Aku nggak sibuk. Tapi...”
“Tapi?”
“Nggak. Heran aja, kayaknya aku
terus-terusan diajak jalan ya? Hm... apa kamu punya banyak waktu senggang? Ah,
bukan. Kayaknya bukan itu. Apa ya? Haris?” Ternyata Haris berhenti. Kayaknya
dia merasa aneh dengan omonganku.
“Soalnya...” Omongan Haris
menggantung. Kayaknya dia mencari kata-kata yang tepat. “Soalnya... Nadia nggak
seperti biasanya. Aku... aku mau menghibur Nadia sekali saja.”
“Apa? Aku baik-baik saja kok. Apa yang
perlu dihibur?”
“Aku menyukaimu, Nadia.” Haris bilang
itu dengan tegas.
APA?!
“Aku sudah tahu semuanya, soal Vinci
dan yang lainnya. Apalagi soal pertunangan itu. Pasti capek kan?” Tanya Haris.
Bagaimana ini?
“Haris... aku...”
“Nadine!!” Terdengar kak Juno yang
memanggilku. Secara reflek, aku berpaling menuju kak Juno. Haris langsung
meraih tanganku.
“Nadia, pikirkan saja. Kalau
bersamaku, kamu nggak bakal berurusan dengan mereka semua lagi.” Kata Haris
tegas. Aku nggak bisa bilang apa-apa kalau begini. Kak Juno juga nggak
menyadari apa-apa. Kami langsung pulang.
“Itu Haris kan?” Tanya kak Juno waktu
kami dalam perjalanan menuju rumah. Aku mengangguk sebagai jawaban. Raut wajah
kak Juno terlihat nggak senang sama sekali. “Dia berubah ya. Bagaimana
menurutmu?”
“Dia jadi perhatian banyak orang,
apalagi cewek-cewek.” Jawabku. Kak Juno terdiam, menatap ke depan.
Sampai di rumah, aku langsung mengurung
diri di kamar. Kata-kata Haris betul-betul mengganggu. Apa yang harus
kulakukan?
Bagaimana kalau aku bersama Haris? Kak
Juno yang kusukai mencintai orang lain. Vinci... ah, nggak ada hubungannya sama
dia. Kenapa lagi harus ada Vinci dalam pikiranku?
Apa lebih baik aku melupakan kak Juno?
Apalagi sikapnya yang tak pernah berubah bahkan setelah aku berhasil
mendapatkan cincin. Aku harus menyerah sekarang? Menyerah setelah semua yang
kulakukan demi mendapatkan kak Juno kembali? Bahkan nekat bekerja untuk orang
sadis seperti Vinci? Dan masalah yang timbul bahkan sesudah aku nggak punya
hubungan apa-apa dengan dia lagi?
Kalau dipikir lagi, aneh kalau hanya
demi masalah sepele seperti ini aku harus terlibat dengan berbagai macam
peristiwa. Bahkan bertemu dengan Mario, Pak Martin, Ibu Direktur, Vina, bahkan
Vinci.
Vinci, Vinci, Vinci, Vinci. Semua
kehilangan dia. Katanya Vinci menghilang untuk sementara waktu sampai adanya
konferensi pers. Akhirnya... hidupku juga berhias warna Vinci. Aduh... aku
mulai mikir ngelantur.
Vinci.... lagi ngapain dia sekarang?
Menghilang kemana...
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?