Sabtu, 08 Desember 2012

Bab 15

cerpen, novel

Nadia




Ada yang aneh. Sesudah semua shock beruntun ini aku akhirnya mendapatkan cincinku. Tapi kenapa masih saja ada yang kurang? Padahal seharusnya semua sudah tamat. Happy ending. Tapi kenapa? Kenapa aku merasa masih belum selesai?
Aku akhirnya sampai di rumah. Rumah putih bertingkat dua yang biasa-biasa saja. Nggak ada satu mobilpun di sana. Dimana kedua orang itu? Biarlah. Selama perjalanan, aku terus memikirkan apa yang salah dalam rencanaku ini.
Sampai aku berpikir, kenapa aku merasa marah melihat Vinci dan Vina berciuman. Aku nggak tahu pasti, tapi begitu melihat mereka bersama, rasa iri langsung muncul. Iri, marah, dan shock. Mungkin tiga kata itu yang paling tepat. Tapi kenapa?
Mereka kan memang tunangan. Apalagi mereka sama seperti aku, yang kalau ingat Vinci rasanya nggak mungkin punya pacar. Berarti mereka lama terpisah, sama seperti aku dan kakak. Jadi... kenapa aku bisa marah melihat mereka?
Dan bisa-bisanya aku berpikiran bodoh. Aku senang, mendengar mereka memasangkan aku dan Vinci. Padahal, dia sama sekali nggak sayang padaku. Orang yang dingin, angkuh, nggak banyak omong, tapi kalau ngomong bicaranya ketus melulu. Apa bagusnya orang kayak dia?
“Nadia, kita harus bicara.” Kak Juno tiba-tiba sudah ada di belakangku.
“Ya.” Jawabku. Aku mencari cincin yang diberikan Vinci. “Aku sudah menepati janjiku. Aku sudah berhasil mendapatkan cincin ayah. Sekarang, giliran kakak.”
“Nadine, apa betul ini yang kau inginkan?” Tanya kak Juno.
“Setelah semua yang aku lakukan demi cincin ini kakak masih meragukanku?!! Aku serius! Yang kuinginkan Cuma kakak!! Aku mau kita berdua bisa hidup bersama! Apa kakak mau ingkar janji?” Emosiku naik. Aku nggak bisa bicara tenang.
“Kau adikku satu-satunya. Aku paham kau luar dalam. Aku juga tahu, kau berubah karena tahu status kita yang sebenarnya, tapi...” Ucapan kak Juno menggantung. Dia ragu meneruskannya. “Aku menyukai orang lain. Nadia, aku...”
“Kakak jahat! Ini sama saja seperti waktu itu!! Kakak tetap pembohong seperti dulu!!!” Aku berlari dan cepat mencari kamar. Begitu masuk aku langsung menguncinya. Ya Tuhan... apa dosaku? Kenapa semuanya jadi rumit begini?
Apa ini hukuman dengan kemarahan yang kukeluarkan di rumah Vinci waktu itu?
Bukan... setelah aku kembali ke kamarku karena kaget, aku teringat dengan tujuanku yang semula. Aku cepat berkemas, dan berharap sesuatu akan terjadi. Tunggu, aku lupa. Apa yang kuharapkan waktu itu? Bukan. Aku tidak lupa. Aku Cuma... tidak tahu persis apa yang kuharapkan. Tapi....
“Nadia!! Aku tidak bohong!!! Kaulah yang lari dari rumah karena tidak mau menerima kenyataan itu kan? Apa kau tahu betapa paniknya aku waktu menyadari kau hilang waktu itu? Terlebih waktu itu baru mulai liburan panjang!” Kata kak Juno dari balik pintu.
“Aku tahu, kakak sampai sakit karena mencariku. Soal itu... maaf.”
“Kumohon, keluarlah.”
Aku keluar, yang pertama kali kulihat adalah kak Junoku yang cemas, yang memelukku begitu aku membuka pintu. Dia begitu baik, begitu perhatian. Bagaimana aku nggak jatuh cinta padanya?
Pelukan kak Juno membuatku teringat dengan Vinci, yang tanpa banyak kata juga memelukku. Brengsek, kenapa harus ingat dia saat seperti ini? Aku teringat besar badannya. Sepertinya pelukan itu ada artinya. Tapi apa?
“Kakak... Aku...”
“Istirahatlah, kita bicarakan lagi besok pagi.” Kata kak Jun lembut. Dia membelai kepalaku. “Sesudah tidur, aura negatif  kita pasti berganti menjadi aura positif.”
“Selalu saja dengan istilah aneh.”
“Baiklah, selamat tidur.”
“Selamat tidur.”

* * *

Pagi yang begitu cerah di hari Minggu. Aku pun menyiapkan sarapan. Selagi memandang semua pekerjaan, aku teringat lagi soal rumah. Bagaimana makan Vinci ya? Dia kan sudah terbiasa sarapan. Apa Vina sudah tahu?
Kutatap telepon yang ada di atas meja. Hah, Apa yang ku pikirkan? Vinci kan sudah ada yang ngurus!! Aku sudah nggak kerja lagi sama dia! Kenapa mikir yang nggak-nggak?
Kegelisahan menghinggapiku. Untungnya pekerjaan yang menantiku masih banyak, semoga rasa gelisah ini cepat hilang.
Kami pergi ke Gereja. Untuk pertama kalinya, aku bisa pergi ke Gereja lagi. Apalagi orang-orang di sini jarang nonton berita gosip. Berarti kecil kemungkinan mereka menyadari kemiripanku dengan cewek internet itu. Bersama Vinci, rasanya hari Minggu dan hari biasa sama saja. Bahkan ke Gereja pun, sehabis ibadah banyak saja yang meminta ini dan itunya pada Vinci. Jadi dia jarang ke Gereja.
Kok, begini lagi? Sudah!! Sudah!!!!
Akhirnya kami pulang. Kakak berencana pergi lagi. Aku memutuskan untuk membereskan rumah hari ini. Selama empat bulan lebih di tinggal dan nggak terurus, pasti banyak debu. Empat bulan...
Rumah Vinci tampak dalam ingatanku. Bagaimana repotnya aku harus mengurus semuanya, karena dia orang yang menuntut kesempurnaan.
Astaga, aku harus berhenti. Aku harus berhenti memikirkannya. Oh iya. Nonton! Pasti jam-jam segini ada film yang seru. Sempurna. Kuambil remote dan kunyalakan TV.
“Akhirnya, hari ini Vinci akan mengadakan konferensi pers!! Setelah menghilang sejak wawancara pertamanya karena gosip pertunangannya itu, Vinci akan mengadakan konferensi pers. Apakah benar, gadis bernama Vina yang fotonya muncul di internet itu adalah tunangan Vinci?” Suara pembawa acara infotaiment mengagetkanku. Vinci, apa yang akan kau lakukan?
Kulihat agenda yang terletak di kamar kakak. Nggak kamar kakak, ataupun kamar Vinci. Keduanya selalu rapi. Vinci jarang menyuruhku masuk ke wilayah kekuasaannya meski kadang dia butuh dibangunkan. Apa kehadiranku jadi memanjakannya? Jadi dia biasa dibangunkan? Oh iya, agenda.
Agenda kakak selalu penuh dengan tulisan. Dia pernah bilang kalau dia mau merencakan semuanya sampai kedetil-detilnya supaya waktunya tidak terbuang sia-sia. Dia selalu bisa jadi teladanku. Kak Juno the best of the best man. Ng? Apa ini?
Sebuah foto jatuh ke lantai. Begitu kulihat, aku luarbiasa terkejut.
Foto kak Juno dan kak Vina yang berpose berdua. Mereka tertawa riang dan sangat akrab. Apa kak Juno dan kak Vina saling kenal? Kubalik foto itu, dan kulihat tulisan kak Juno yang rapi ‘First picture me and my love (dicoret) my best friend’.
Aku jamin, kak Juno nggak mengizinkan siapapun melihatnya. Apa maksudnya ini? Apa... apa cewek yang disukai kak Juno adalah kak Vina? Jadi... kak Vina dan kak Juno..
Nggak. Nggak mungkin. Kak Vina sangat mencintai Vinci. Jadi, kak Juno cintanya bertepuk sebelah tangan? Pada kak Vina?
Beruntungnya Vina. Vinci tunangannya, pasti mencintainya. Kak Juno... juga mencintainya. Cewek cantik yang tinggi dan langsing, kulit putih, senyum lembut dengan rambut  halus dan lembut berwarna coklat tua yang ikal. Dia juga baik, meskipun tahu aku tinggal bersama tunangannya, dia tetap baik padaku. Bahkan dia mengucapkan terima kasih karena sudah mengurus Vinci selama ini.
Memang mengurus Vinci itu agak repot dan membuat cemas. Pagi hari makan, mengurus cuciannya, merapikan ranjangnya, mengurus keperluaannya di lokasi syuting, makan malam, dan bahkan harus mendengarnya menghapalkan naskah. Vinci hebat sekali. Sekali dia menghapalkan naskah, dia langsung hapal semua isi naskah itu. Beberapa orang butuh latihan beberapa kali, tapi dia tidak. Vinci lagi.
“Aku pulang. Wow, bersih.” Kata kak Juno begitu malam. Kayaknya urusannya panjang. Aku senang. Aku sudah menyiapkan makan malam. Makan malam.... ini sudah jam tujuh lewat. Moga-moga Vinci sudah makan obat maagnya.
“Makanmu juga hebat. Sejak kapan kamu jadi pengurus rumah tangga super begini?” Tanya kak Juno.
“Vinci itu orangnya sempurna. Supaya cincin itu cepat diberi padaku, aku berusaha mengambil hatinya dengan bekerja lebh giat dari yang lain. Dia juga makannya sangat teratur. Jadi aku selalu membuatkan makanan tepat waktu. Rumahnya juga bersih begitu aku datang, jadi pasti dia orang yang sangat rapi. Jadi aku selalu berusaha semua pekerjaan beres begitu dia datang. Agak kaget juga waktu melihat dia punya banyak persediaan obat maag di kamarnya, padahal dia makan begitu teratur dan tepat waktu. Dan tenaganya kuat!! Dia mampu menyelesaikan semua jobnya hingga mampu menabung beberapa waktu luang beberapa hari. aku belum pernah melihat orang lain selain kakak yang seperti dia.”
“Dalam waktu yang singkat, kalian jadi akrab ya?”
“Eh? Apa maksud kakak?”
“Nggak. Cuma gambarannya berbeda dari yang kudengar.”
Pasti dengarnya dari kak Vina. Hidungku sakit, dadaku sesak. Tanpa terasa, airmataku mengalir.
“Ke, kenapa Nadine?” Kudengar suara kak Juno yang panik. Tapi wajahnya kabur karena airmataku.
“Aku tahu...” Kataku pelan. “Cewek yang kakak sukai itu... kak Vina kan?”
Benar, lagi-lagi Vina. Vina benar-benar hebat. Bahkan kakakpun jatuh cinta padanya. Kak Juno terdiam, seakan membenarkan ucapanku.
“Kira-kira aku ini... apa kurangnya dari Vina ya? Oh iya. Pasti banyak. Aku sama sekali  nggak ada satupun yang sama seperti Vina yang sempurna. Tidak ada...”
“Jangan begini Nadia...”
“Tapi benar kan, karena itu kakak mencintainya. Aku harus apa ya, supaya bisa seperti Vina yang sempurna.”
“Nadia!” Potong kak Juno. Mukanya memerah karena marah. “Jangan bicara seperti ini lagi!! Kamu itu tidak bisa dibandingkan dengan Vina. Kamu itu satu-satunya adikku yang tidak bisa kubandingkan dengan siapapun. Kamu itu adikku yang berharga!”
“Tapi tetap saja, kakak tidak bisa mencintaiku kan?” Tanyaku cepat. Aku nggak mau pikir macam-macam. “Aku harus bagaimana? Kalau begini, aku harus bagaimana supaya kakak mencintaiku?”
“Nadia, cinta itu tidak bisa dipaksa.” Kata kak Juno. Aku tahu, dia sudah susah payah menghadapiku yang manja ini. “Kalau kamu bisa memaksaku, berarti aku juga bisa memaksa Vina supaya mencintaiku. Dan mungkin, Vinci juga bisa...”
Vinci? Juga bisa apa? Memaksa cinta? Pada siapa?
“Apa maksud kakak dengan Vinci? Memangnya dia memaksa siapa?”
“Entahlah... kurasa aku tak bisa apa-apa. Kumohon... jangan seperti ini. Kau kan Nadia yang ceria. Jangan karena aku, Nadia yang hebat berubah 180%.”
Malam akhirnya mulai larut. Aku menelpon Nia.
“Nia.”
“Nadia. Lo... nggak bareng Vinci lagi ya? Sayang banget.” Nia langsung nyerocos.
“Aku... apa bisa sekola ya, besok?” Tanyaku pada Nia. Nia terdiam.
“Kurasa bisa.”
“Benarkah?”
“Ya. Di internet ada blog yang nulis opini buat kasusnya Vinci. Walopun fotonya lo, tapi namanya beda. Dan kayaknya sih... di chat room banyak yang nggak percaya kalo cewek kayak lo bisa jadi ceweknya Vinci. Kalo gue sih, percaya. He he...”
“Nggak lucu! Aku udah nggak ada apa-apa lagi ma Vinci. Kan cincinnya udah ketemu. Cincinnya udah ketemu, tapi malah nggak bisa skul gara-gara gosip. Awas aja kalo ketemu biang keroknya, dikasih pelajaran dulu kali ya.”
“Ya udah. Sampai ketemu besok ya.”
Lega rasanya, aku bisa sekolah lagi besok. Sekarang sudah jam 10 kurang. Aku tidur lebih cepat dari biasanya. Dulu, sayup-sayup bisa terdengar suara Vinci yang berlatih skrip meskipun Cuma satu kali. Hebatnya, suaranya yang menghapa naskah itu bagaikan suara yang sedang mendongengkan. Penuh alur, beremosi, dan sangat lancar. Aku bisa tertidur mendengarnya. Apalagi suaranya bagus, meskipun berteriak tapi semua terasa pas. Menyenangkan.
“Selamat pagi...” sapaku begitu sudah selesai bersiap. Kakak lagi sibuk nelpon.
“I know, sir.” Kakak menyadariku dan melambai. Dia jadi semakin sibuk dengan teleponnya. “Yes, I will do my best. No, I not take a long time. Yes. Thank you very much. Yes. Bye.”
Aku mengambil teh dan melihat ke arah jam. Pukul 6.41.
“Sudah siap? Wow.”
“Yang tadi siapa?”
“Hm.... yang mengurusku selama aku di Aussie. Sebenarnya aku Cuma sebentar ke sini, dan harus kembali lagi ke Aussie. Jadi...”
“Ya. Aku mengerti.”
Selama perjalanan, aku Cuma bisa diam. Kakak mengantarku sampai ke pintu gerbang, dan membuat semua cewek-cewek berteriak surprise karena cowok ganteng ini. Kakakku.
Kakak yang selalu baik padaku, dan Cuma memikirkanku sudah nggak ada lagi. Haruskah aku menyerah? Melihat kakak pergi dengan mobilnya itu membuat dadaku sesak, waktu kusadari aku sudah tidak punya harapan. Kenyataan yang menyakitkan. Bagaimana ini... aku sama sekali nggak mau menyerah. Tapi kenyataannya... apa yang harus kulakukan?
“Kakak lo bikin heboh terus ya.” Tanya Nia di sampingku. Aku mengangguk. Aku nggak bisa bicara sekarang, nanti kedengaran suaraku yang serak karena mau menangis. “BTW, alasan kedua lo aman turun skul adalah...”
Karena semua orang sekarang fokusnya Cuma ke konferensi persnya Vinci. Yang lainnya lewat. Cukup menguntungkan sekaligus sedih. Sekarang, Vinci jadi pembicaraan di mana-mana. Sekarang, tidak ada satu menitpun terlewat tanpa ada nama Vinci yang tertangkap pendengaranku. Jujur, ini amat sangat menyiksa.
Sampai kapan Vinci, Vinci, Vinci dan Vinci ini hilang dari peredaran? Vinci ini, Vinci itu, kenapa selalu ada namanya? Aku nggak tahan.
“Nadia, kamu nggak apa-apa?” Seseorang menepuk bahuku. Ternyata si ketua kelas.
“Ris...” Haris kelihatannya cemas. Apa dia mencemaskan aku? “Aku baik-baik saja kok. Mungkin karena gerah kali ya.”
“Oh ya? Ku kira cuaca makin mendung. Udaranya juga makin dingin.” Kata Haris sambil menatap ke langit. Aku mengangguk cepat.
“Oh iya! Mungkin juga. Aku sampai ketuker. Ya sudah. Duluan, kalo gitu.” Kataku cepat. Gawat, aku mulai melantur. Dimana-mana ada Vinci terus sih!
Aku jadi nggak konsen sama sekali. Bahkan di saat pelajaranpun, cewek-cewek aneh itu berbisik-bisik menyebar gosip dan kemungkinan-kemungkinan yang ngaco. Capeknya... betul-betul capek.
“Nadia, sekarang nggak sibuk kan?” Tanya Haris begitu pulangan. Aku mengangguk. Aku nggak punya bos lagi, dan artinya nggak ada kerjaan lagi. Jadi aku lagi bebas-bebasnya. Haris kesenangan. “Kuantar, bagaimana?”
Kakak mungkin akan menjemput. Apa sebaiknya kutolak saja? Tapi kan sudah terus-terusan kutolak. Bagaimana kalau dia marah? Aku kan nggak punya kerjaan lagi?
“Aku nggak tahu bisa atau nggak. Mungkin kakakku bakal jemput.”
“Yang mengantarmu tadi pagi ya?”
Aku mengangguk.
“Kalau gitu, bareng sampai pintu gerbang, bagaimana?” Tanya Haris lagi. Yah, bolehlah. Nggak masalah. Kayaknya ada yang mau Haris omongin. Kira-kira apa ya?
Kami terus jalan bareng. Sambil ngobrol juga soal sehari-hari.
“Kayaknya sekarang kamu nggak sibuk ya? Apa bisa aku ngajak kamu jalan-jalan lagi?” Tanya Haris. Dia masih kepikiran?
“Aku nggak sibuk. Tapi...”
“Tapi?”
“Nggak. Heran aja, kayaknya aku terus-terusan diajak jalan ya? Hm... apa kamu punya banyak waktu senggang? Ah, bukan. Kayaknya bukan itu. Apa ya? Haris?” Ternyata Haris berhenti. Kayaknya dia merasa aneh dengan omonganku.
“Soalnya...” Omongan Haris menggantung. Kayaknya dia mencari kata-kata yang tepat. “Soalnya... Nadia nggak seperti biasanya. Aku... aku mau menghibur Nadia sekali saja.”
“Apa? Aku baik-baik saja kok. Apa yang perlu dihibur?”
“Aku menyukaimu, Nadia.” Haris bilang itu dengan tegas.
APA?!
“Aku sudah tahu semuanya, soal Vinci dan yang lainnya. Apalagi soal pertunangan itu. Pasti capek kan?” Tanya Haris. Bagaimana ini?
“Haris... aku...”
“Nadine!!” Terdengar kak Juno yang memanggilku. Secara reflek, aku berpaling menuju kak Juno. Haris langsung meraih tanganku.
“Nadia, pikirkan saja. Kalau bersamaku, kamu nggak bakal berurusan dengan mereka semua lagi.” Kata Haris tegas. Aku nggak bisa bilang apa-apa kalau begini. Kak Juno juga nggak menyadari apa-apa. Kami langsung pulang.
“Itu Haris kan?” Tanya kak Juno waktu kami dalam perjalanan menuju rumah. Aku mengangguk sebagai jawaban. Raut wajah kak Juno terlihat nggak senang sama sekali. “Dia berubah ya. Bagaimana menurutmu?”
“Dia jadi perhatian banyak orang, apalagi cewek-cewek.” Jawabku. Kak Juno terdiam, menatap ke depan.

Sampai di rumah, aku langsung mengurung diri di kamar. Kata-kata Haris betul-betul mengganggu. Apa yang harus kulakukan?
Bagaimana kalau aku bersama Haris? Kak Juno yang kusukai mencintai orang lain. Vinci... ah, nggak ada hubungannya sama dia. Kenapa lagi harus ada Vinci dalam pikiranku?
Apa lebih baik aku melupakan kak Juno? Apalagi sikapnya yang tak pernah berubah bahkan setelah aku berhasil mendapatkan cincin. Aku harus menyerah sekarang? Menyerah setelah semua yang kulakukan demi mendapatkan kak Juno kembali? Bahkan nekat bekerja untuk orang sadis seperti Vinci? Dan masalah yang timbul bahkan sesudah aku nggak punya hubungan apa-apa dengan dia lagi?
Kalau dipikir lagi, aneh kalau hanya demi masalah sepele seperti ini aku harus terlibat dengan berbagai macam peristiwa. Bahkan bertemu dengan Mario, Pak Martin, Ibu Direktur, Vina, bahkan Vinci.
Vinci, Vinci, Vinci, Vinci. Semua kehilangan dia. Katanya Vinci menghilang untuk sementara waktu sampai adanya konferensi pers. Akhirnya... hidupku juga berhias warna Vinci. Aduh... aku mulai mikir ngelantur.
Vinci.... lagi ngapain dia sekarang? Menghilang kemana...


* * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?