Sabtu, 08 Desember 2012

Bab 12

cerpen, novel

Vinci




Sial, sial sial!!! Ini semua benar-benar menyebalkan! Kenapa semua jadi rumit seperti ini?
Sebenarnya, darimana letak kesalahanku sampai aku merasa semua serba rumit. Maksudku, ayolah. Ini kan bukan soal rumus matematika, ataupun praktek menyebalkan itu. Tapi...
Agak kaget juga waktu ulang tahun anak i—Nadia, ternyata lewat tanpa dirayakan. Apa masalahnya sih, kalau beritahu aku sekali saja? Aku memang pernah melihat dia meniup kue ulangtahun, tapi saat kutanyakan dia jawab itu untuk kakaknya. Dan anehnya, itu justru membuatku bertambah kesal. Aku lupa, dalam otaknya selalu ada orang itu. Jun...
Hm... rasanya, kalau berbuat sesuatu sekarangpun percuma. Malah rasanya mencurigakan. Kalau melihat dia yang nggak ada kesusahan apapun saat ini, kurasa nggak masalah. Yah, dia ceria-ceria aja seperti biasa. Dan itu sudah cukup menyakinkan kalau dia sehat. Yang paling menyebalkan, dia akhirnya makin bersenang-senang sama si banci itu.
“Mario itu nggak banci!” Tegas Nadia jengkel waktu aku nggak sengaja bilang. “Dia sekarang makin keren kok, dengan penampilan barunya.”
Jujur, dalam benakku penuh pertanyaan. Apa sih, kerennya Mario? Apa Nadia nggak sadar kalau Mario itu cowok super duper aneh bin ajaib? Dasar anak lugu, betul-betul nggak bisa dibilang. Aku juga, kenapa aku sampai bilang seperti itu? Dasar bodoh!! Nadia kan jadi heran dengernya. Apa dia sangka aku nggak suka sama Mario? Mudah-mudahan begitu. Ya sudah, biarlah.
Akhir-akhir ini aku sering sakit kepala. Penyebabnya pasti anak itu. Karena merasa harus merayakan ulangtahunnya meskipun sudah lewat, aku mengajaknya keluar kota. Dan mulai mengajaknya wisata. Waktu kutanya mau wisata apa sehari itu, dia bilang mau wisata makan! Anak itu benar-benar gembul. Akhirnya malam tiba, dan aku bisa membawanya ke planetarium. Sesuai dugaanku, nggak ada yang mengenaliku waktu kubawa dia ke sana.
Rasanya lega sekali waktu dia bilang, dia juga sangat senang melihat bintang. Yang membuatku jengkel menit berikutnya, dia bilang itu juga kesukaan kakaknya. Aku jadi nggak tahan.
“Kak Jun itu kakakmu kan? Brother complex ya?” Tanyaku akhirnya. Nadia tertegun, dia tersenyum malu.
“Mungkin... kalau ingat bagaimana kami bersama, mungkin aku seorang brother complex. Ngomong-ngomong, darimana kamu tahu soal kak Jun?” Tanya Nadia.
“Kamu pernah bilang.... tanpa sadar.” Jawabku pelan. Nadia kayaknya percaya aja.
“Berarti aku memang kangen berat sama kak Jun.” Kata Nadia. Berlahan dia jadi sedih. “Mungkin Vinci nggak ingat, aku pernah cerita soal kakak. Malam itu.”
Aku ingat seratus persen soal itu. Terus, kenapa?
“Aku... sejak ibu nggak ada, tinggal bertiga dengan ayah dan kakak. Tapi sebenarnya, aku Cuma tinggal berdua dengan kakak.” Kata Nadia lagi. Apalagi maksudnya?
“Terus?”
“Semua teman-temanku menyangka aku nggak bakal sebrother complex ini kalau Cuma tinggal bersama selama tiga tahun. Tapi sebenarnya aku tinggal bersama dengan kakak lebih dari tiga tahun. Jadi kau paham maksudku kan?” Tanya Nadia. Aku diam. Tapi aku mengerti apa maksudnya.
“Baguslah kalau kamu ngerti.” Kata Nadia lagi. Hei, jangan bicara seolah-olah kau tahu isi hatiku! Nadia teris menatap langit. “Dimataku, dia selalu menjadi kakak laki-laki yang hebat. Dia selalu melindungiku dari bahaya apapun. Dia lembut, penyayang, dan selalu memperlakukan aku seperti tuan putrinya seorang. Rasanya, aku sangat bahagia. Sampai akhirnya... ayah meninggal.”
Nadia menunduk. Kayaknya dia mau nangis.
“Dan meninggalnya itupun dengan meninggalkan hutang yang besar. Kakakpun mulai bekerja sambilan dengan sedikit memalsukan umur. Itu dugaanku, dan dia sangat keren!! Dia mengumpulkan semua uang kerja sambilannya dan mulai membeli saham. Aku nggak percaya waktu dia bilang dia bisa melunasi semua hutang ayah. Dan kau tahu Vinci, berkat suksesnya itulah yang membuatnya kuliah di luar negeri. Seorang direktur perusahaan yang pernah bertemu dengannya ingin bekerja sama dengannya dan mau menjadikan kakak pegawainya. Hm... menyekolahkannya diluar negeri dan itu betul-betul tawaran yang menarik. Kakak nggak mau membuang waktu dan hampir semua uang saham dan modalnya kami pakai untuk melunasi seluruh hutang kami. Betul-betul cerita yang dramatis kan?”
Betul, cerita yang terlalu dramatis. Susah dipercaya, dan terdengar mengada-ada.
“Aku percaya, ceritamu benar. Sampai sekarangpun kamu masih menyayangi dan merindukan kakakmu kan?” Tanyaku malas-malasan melihat ke langit.
“Aku mencintainya.”
“Hah?” Apa aku nggak salah dengar? Apa dia bilang tadi?
“Aku... aku sangat menyukai kakakku. Selama ini kan kami selalu bersama.”
“Terus, kenapa kamu kabur dari rumah? Masa benar-benar karena cincin ini?”
“Apa semuanya harus kuceritakan padamu? Nggak usahkan? Tapi aku nggak bohong. Cincin itulah inti dari pertengkaranku dengan kakakku.” Kedengarannya Nadia betul-betul jengkel. Kuputuskan nggak bertanya lebih jauh lagi.
“Kamu senang? Melihat semua ini?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan. Dia mengangguk.
“Aku senang, di hari ulangtahunku, aku bisa jalan-jalan dan ke sini.”
“Tunggu dulu. Katanya ulangtahunmu sudah lewat?” Tanyaku kaget. Nadia langsung heran.
“Siapa bilang? Ulangtahunku hari ini kok! Darimana kamu dengar aku ulangtahun sudah lewat? Kamu nanya? Oh iya, aneh juga Vinci mengajakku jalan-jalan dan pergi ke planetarium ini. Jangan-jangan...”
“Sudahlah. Anggap aja hadiah ulangtahunmu. Selamat.” Potongku cepat. Rasanya sangat... sangat memalukan melihatnya menatapku seperti itu. Apa yang dia pikirkan?
“Yah, okelah. Pulang yuk.” Ajak Nadia. Aku merasa lega, dia nggak memikirkan apapun. Soalnya dia lamban sih. Sejak saat itu, nggak ada kejadian apapun yang membuatnya agak geer.
Satu hal lagi yang kuketahui soal hidup Nadia. Setiap detil dalam hidupnya selalu membuatku penasaran. Rasanya, meskipun dia orang yang easy going dan ramah, dia lebih misterius daripada aku. Kenapa aku jadi penasaran begini sih?

Hari ini dia amat-sangat telat. Biasanya dia langsung datang dan mulai bekerja. Ke mana lagi anak itu sekarang? Apa masih di sekolah? Atau lagi di jalan? Jangan-jangan ada semacam kecelakaan lagi? Ayo Vinci, jangan mikir yang aneh-aneh!! Atau....
“Lagi mikirin siapa?” Tanya seorang cewek yang sangat familiar dan sangat menyebalkan.
“Rianna.” Kataku waktu menyadari kehadirannya. Dia duduk disampingku dan minum. Rianna nggak bakal melakukan sesuatu tanpa alasan jelas, termasuk duduk di dekatku dan minum dengan santai seperti itu. Aku menatapnya, mencoba mencari tahu ekspresi wajahnya. “Ada yang mau diomongin?”
“Hm... ketahuan ya?” Tanya Rianna dengan ekspresi bosan. Sengaja. “Yah... mau tahu aja. Lagi mikirin siapa?”
“Nggak lagi mikirin siapa-siapa.”
“Terus, kenapa terus melihat jam baru itu dan mengetuk-ngetuk pelan hp? Seperti orang yang khawatir. Kamu mau menelpon kan?”
“Nggak ada yang dikhawatirin dan ditelepon sama sekali.”
“Anak itu nggak kelihatan ya? Di mana dia? Belum pulang sekolah? Dia masih SMA kan?” Tanya Rianna lebih jauh lagi. Brengsek, apa sebenarnya mau cewek licik ini.
“Mana ku tahu? Bukan urusanku.”
“Memangnya aku nggak tahu siapa dia? Dia bekerja sebagai asistenmu kan?”
“Diminta sama Martin. Dia sibuk, jadi minta tolong sama anak itu.”
“Oh... begitu.” Kata Rianna pelan. “Mungkin aku yang salah sangka, karena melihat kalian yang sangat dekat. Bahkan karaktermu yang mulai berubah.”
“Aku? Berubah?” Jangan bercanda!
“Kamu nggak sadar kalau kamu sudah berubah? Nggak sadar dengan orang-orang yang bingung di sekelilingmu? Ya sudahlah, kalau begitu. Ku sangka anak itu yang mengubahku. Tapi, aku penasaran...” Rianna bangkit dari kursi dan membelakangiku. Matanya melirik penuh misteri dan senyum liciknya mengembang. “Bagaimana tanggapan Vina kalau dia tahu ini?”
Vina! Beraninya dia!!! Rianna mau mengancamku? Kenapa cewek itu nggak pernah bosan memusuhiku seperti itu? Rianna sudah melenggang anggun menjauh dariku. Aku duduk dan mencoba menjernihkan pikiran. Apanya yang berubah dariku? Aku merasa semua biasa-biasa saja. Dan Cuma dua orang yang agak kaget begitu bicara padaku. Mario dan Vina. Tapi itu juga nggak kentara. Perubahan macam apa yang terlihat dariku? Perubahan apa yang dilihat sama Rianna sinting itu?
Ini sudah terlalu sore. Mungkin anak itu ketiduran. Aku harus telepon dia. Begitu disambut, terdengar suara cewek yang galak meskipun samar. “Siapa ini?”
Ada apa ini?
“Nadia, apa yang kau lakukan?! Kau sudah telat!!” Tanyaku cepat.
“Aku Romi, temen Nadia. Jangan memperbudak teman kami untuk semua pekerjaan konyolmu, dasar bos sialan!” Kata cewek itu datar, dan langsung memutuskan hubungan. Teman? Teman apa? Apa mereka semua teman sekelompoknya Nadia? Apa yang mereka lakukan?
Semua pertanyaan itu terjawab begitu aku sampai di rumah. Nadia menjelaskannya dengan berkali-kali minta maaf. Bahkan dia membuat makanan kesukaanku, yang lagi-lagi aku nggak tahu kapan dan dari mana dia dapat informasi itu.
“Nadia, kamu menyesal?” Tanyaku waktu kami makan malam. Nadia terdiam. Heran.
“Mungkin bukan Cuma mereka dan masalah ini saja yang muncul selain sakitmu karena kau terlalu sibuk bekerja padaku. Bahkan masalah kita yang tinggal serumah ini...”
“Aku tahu kok. Kalau Cuma hal-hal sepele, masih bisa kutangani. Kalau masalah kita tinggal serumah...” Anak itu memelankan suaranya, tanda lagi berpikir. “Bagaimana kalau kamu cari pacar saja? Dan suruh dia tinggal serumah sama kita.”
A, apa?
“Jujur, pertama kali aku mau tinggal di rumah ini karena kupikir kau tinggal bersama keluarga. Tapi ternyata Vinci tinggal sendirian. Yang kedua, begitu ada Mario... kupikir kalian gay. Tapi Mario bilang dia Cuma bercanda. Jadi... yang terakhir kupikirkan Cuma... kau kan 20 tahun, idola terkenal pula. Jadi mana mungkin kau suka padaku? Itu sudah jelas kan?”
Anak.... ini... OTAKNYA NGGAK BERES!!! Jadi semua pemikiran itu yang membuatnya yakin mau tinggal bersamaku?!! Kenapa bisa-bisanya dia pikir aku homo, dan segala hal yang nggak masuk akalnya itu?
“Bukannya kau sudah biasa tinggal berdua dengan kakakmu?”
“Yah... memang. Tapi, kamu kan bukan kakakku?” Tanya Nadia polos. Dia ternyata punya sikap hati-hati. “Tapi kalau ingat sudah banyak waktu yang kita lewati, kurasa kau memang nggak minat sama anak kecil. Jadi nggak masalah.”
“Hm... darimana kau tahu aku nggak suka anak kecil? Aku dan kau tinggal sendirian, aku bukan gay, dan kaupun juga bukan banci. Cewek tetap saja cewek, biar bagaimanapun umurnya.” Kataku asal. Rupanya dia memang cewek yang ceroboh.
“Iya ya. Jangan-jangan, sekarang ini Vinci suka padaku?” Jantungku copot. Anak itu kalau tanya nggak ngira-ngira.
“Jangan konyol. Aku Cuma nanya saja kok.” Kataku cepat.
“Oh... gitu. Kalau aku sih, suka banget sama Vinci.”
Rasanya sangat menyenangkan, mendengar ucapan setulus itu. Hei, kenapa aku jadi sentimentil begini? Rasanya jadi banyak pertanyaan.

“Harus kujawab apa?” Tanya Martin. Kali ini sikapnya serius. Tidak ceroboh ataupun lembut. Benar-benar serius. Apa moodnya jelek hari ini? Nggak juga. Dia orang yang paling kalem yang pernah kukenal.
“Apapun menurut pendapatmu.”
“Kurasa percuma saja. Kau itu keras kepala.” Kata Martin lagi. Kuamati ruang kerjanya yang sedikit demi sedikit semakin rapi. Meskipun beberapa kertas tetap bertebaran dengan gambar dan tulisan yang nggak jelas. Hobi yang selalu tersalurkan meskipun sibuk.
“Aku keras kepala?” Tanyaku agak heran. “Katakan saja sesuai perasaanmu, dan kita lihat apa yang terjadi.”
Martin akhirnya mengalihkan wajahnya dari depan komputer dan menatapku. Tangan meraih pensil dan memain-mainkannya tanpa maksud jelas.  Dia bersandar dan menatap ke langit-langit. Tanda bersiap.
“Sudah lama kita berkerjasama sebagai rekan kerja, dan kuibaratkan sebagai rasa pertemanan. Dan selama itu, aku sudah berusaha keras untuk memahamimu luar dan dalam, bahkan sampai ke kebiasaanmu yang jarang dilihat orang. Mungkin kalau aku fans biasa, aku sudah dicap penguntit.”
Lagi-lagi kata pembuka yang bertele-tele. Sudah kebiasaan kalau sudah mengambang.
“Aku, ibu direktur, Mario, dan bahkan Vina, sudah pasti melihat bagaimana kau selama ini. Aku rasa aku sudah cukup mengenalmu, sampai akhirnya... kau bertanya padaku. Akhirnya apa yang kutakutkan muncul tanpa sengaja, dan aku yang mendengarnya sendiri.”
“Apa?”
“Selama kita berteman, aku tidak pernah melihatmu bimbang dengan perasaanmu sendiri. Dengar Vinci, dalam benakmu selalu muncul berbagai macam pertanyaan. Dan itu wajar, karena karaktermu yang mudah curiga. Tapi pertanyaan apalagi sekarang? Kau mempertanyakan sikapmu sendiri! Kau begitu bimbang dengan perasaan sampai akhirnya kau menanyakanya pada orang lain! Vinci yang ku kenal selalu penuh percaya diri, tidak pernah bimbang dengan apa yang diputuskan dan apa yang dilakukannya. Tapi sekarang? Yah... kira-kira itulah yang ada dalam pikiranku.”
Aku terdiam. Kata-katanya benar, aku mulai mempertanyakan diriku sendiri. Astaga, apa yang sudah kulakukan?
“Vinci,” kata Martin pelan. “Anak itulah yang paling kukhawatirkan. Dia sama sekali nggak tahu apa-apa, lebih baik kamu serahkan saja cincin itu dan pulangkan dia. Kasihan sekali kalau sampai dia kena masalah karena kita.”
“Aku tahu, tapi cincin ini... Vina bisa...”
“Jangan jadikan Vina alasan. Cincin tunangan masih bisa dibeli lagi! Sebenarnya bukan hanya cincin itu alasanmu kan? Vinci, tolong... koreksi perasaanmu. Sebelum segalanya terlambat.”

Malam begitu larut. Koreksi perasaan? Perasaan apa? Apa yang harus kulakukan? Kuhempaskan badanku dan mencoba berpikir tenang. Satu hal yang kusadari setelah mendengar semua pidato menyebalkan itu. Aku ini cowok paling brengsek se dunia. Apa yang sudah kupikirkan selama ini? Aku sudah berbuat kesalahan. Aku... apa aku menyukai anak kecil itu? Benarkah? Semua ini membuatku pusing. Lebih baik kupikirkan semuanya sesudah tidur.
“Selamat pagi!!” Sapa anak itu sambil masak.
“Pagi juga.” Jawabku.
Mungkin tindakan dan pikiranku salah. Aku masih harus membuktikan pada Martin kalau aku nggak bimbang lagi. Mungkin juga ini akan membawa masalah besar dan melibatkan banyak orang. Mungkin ini menyakitkan hati. Mungkin ini juga adalah tindakan paling bodoh. Mungkin... semuanya serba mungkin. Bahkan kemungkinannya sangat tinggi, tapi...
Melihat wajahnya, mendengar dan mengetahui cerita hidupnya selalu membatku senang. Aku tahu aku egois, tapi....
Aku mau berada di dekatnya lebih lama lagi.


* * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?