Vinci
Sial, sial sial!!! Ini semua
benar-benar menyebalkan! Kenapa semua jadi rumit seperti ini?
Sebenarnya, darimana letak kesalahanku sampai aku merasa semua serba rumit. Maksudku, ayolah. Ini kan bukan soal rumus matematika, ataupun praktek menyebalkan itu. Tapi...
Sebenarnya, darimana letak kesalahanku sampai aku merasa semua serba rumit. Maksudku, ayolah. Ini kan bukan soal rumus matematika, ataupun praktek menyebalkan itu. Tapi...
Agak kaget juga waktu ulang tahun anak
i—Nadia, ternyata lewat tanpa dirayakan. Apa masalahnya sih, kalau beritahu aku
sekali saja? Aku memang pernah melihat dia meniup kue ulangtahun, tapi saat
kutanyakan dia jawab itu untuk kakaknya. Dan anehnya, itu justru membuatku
bertambah kesal. Aku lupa, dalam otaknya selalu ada orang itu. Jun...
Hm... rasanya, kalau berbuat sesuatu
sekarangpun percuma. Malah rasanya mencurigakan. Kalau melihat dia yang nggak
ada kesusahan apapun saat ini, kurasa nggak masalah. Yah, dia ceria-ceria aja
seperti biasa. Dan itu sudah cukup menyakinkan kalau dia sehat. Yang paling
menyebalkan, dia akhirnya makin bersenang-senang sama si banci itu.
“Mario itu nggak banci!” Tegas Nadia
jengkel waktu aku nggak sengaja bilang. “Dia sekarang makin keren kok, dengan
penampilan barunya.”
Jujur, dalam benakku penuh pertanyaan.
Apa sih, kerennya Mario? Apa Nadia nggak sadar kalau Mario itu cowok super
duper aneh bin ajaib? Dasar anak lugu, betul-betul nggak bisa dibilang. Aku
juga, kenapa aku sampai bilang seperti itu? Dasar bodoh!! Nadia kan jadi heran
dengernya. Apa dia sangka aku nggak suka sama Mario? Mudah-mudahan begitu. Ya
sudah, biarlah.
Akhir-akhir ini aku sering sakit
kepala. Penyebabnya pasti anak itu. Karena merasa harus merayakan ulangtahunnya
meskipun sudah lewat, aku mengajaknya keluar kota. Dan mulai mengajaknya
wisata. Waktu kutanya mau wisata apa sehari itu, dia bilang mau wisata makan!
Anak itu benar-benar gembul. Akhirnya malam tiba, dan aku bisa membawanya ke
planetarium. Sesuai dugaanku, nggak ada yang mengenaliku waktu kubawa dia ke
sana.
Rasanya lega sekali waktu dia bilang,
dia juga sangat senang melihat bintang. Yang membuatku jengkel menit
berikutnya, dia bilang itu juga kesukaan kakaknya. Aku jadi nggak tahan.
“Kak Jun itu kakakmu kan? Brother
complex ya?” Tanyaku akhirnya. Nadia tertegun, dia tersenyum malu.
“Mungkin... kalau ingat bagaimana kami
bersama, mungkin aku seorang brother complex. Ngomong-ngomong, darimana kamu
tahu soal kak Jun?” Tanya Nadia.
“Kamu pernah bilang.... tanpa sadar.”
Jawabku pelan. Nadia kayaknya percaya aja.
“Berarti aku memang kangen berat sama
kak Jun.” Kata Nadia. Berlahan dia jadi sedih. “Mungkin Vinci nggak ingat, aku
pernah cerita soal kakak. Malam itu.”
Aku ingat seratus persen soal itu. Terus,
kenapa?
“Aku... sejak ibu nggak ada, tinggal
bertiga dengan ayah dan kakak. Tapi sebenarnya, aku Cuma tinggal berdua dengan
kakak.” Kata Nadia lagi. Apalagi maksudnya?
“Terus?”
“Semua teman-temanku menyangka aku
nggak bakal sebrother complex ini kalau Cuma tinggal bersama selama tiga tahun.
Tapi sebenarnya aku tinggal bersama dengan kakak lebih dari tiga tahun. Jadi
kau paham maksudku kan?” Tanya Nadia. Aku diam. Tapi aku mengerti apa
maksudnya.
“Baguslah kalau kamu ngerti.” Kata
Nadia lagi. Hei, jangan bicara seolah-olah kau tahu isi hatiku! Nadia teris
menatap langit. “Dimataku, dia selalu menjadi kakak laki-laki yang hebat. Dia
selalu melindungiku dari bahaya apapun. Dia lembut, penyayang, dan selalu
memperlakukan aku seperti tuan putrinya seorang. Rasanya, aku sangat bahagia.
Sampai akhirnya... ayah meninggal.”
Nadia menunduk. Kayaknya dia mau
nangis.
“Dan meninggalnya itupun dengan
meninggalkan hutang yang besar. Kakakpun mulai bekerja sambilan dengan sedikit
memalsukan umur. Itu dugaanku, dan dia sangat keren!! Dia mengumpulkan semua
uang kerja sambilannya dan mulai membeli saham. Aku nggak percaya waktu dia
bilang dia bisa melunasi semua hutang ayah. Dan kau tahu Vinci, berkat
suksesnya itulah yang membuatnya kuliah di luar negeri. Seorang direktur
perusahaan yang pernah bertemu dengannya ingin bekerja sama dengannya dan mau
menjadikan kakak pegawainya. Hm... menyekolahkannya diluar negeri dan itu
betul-betul tawaran yang menarik. Kakak nggak mau membuang waktu dan hampir
semua uang saham dan modalnya kami pakai untuk melunasi seluruh hutang kami.
Betul-betul cerita yang dramatis kan?”
Betul, cerita yang terlalu dramatis.
Susah dipercaya, dan terdengar mengada-ada.
“Aku percaya, ceritamu benar. Sampai
sekarangpun kamu masih menyayangi dan merindukan kakakmu kan?” Tanyaku
malas-malasan melihat ke langit.
“Aku mencintainya.”
“Hah?” Apa aku nggak salah dengar? Apa
dia bilang tadi?
“Aku... aku sangat menyukai kakakku.
Selama ini kan kami selalu bersama.”
“Terus, kenapa kamu kabur dari rumah?
Masa benar-benar karena cincin ini?”
“Apa semuanya harus kuceritakan
padamu? Nggak usahkan? Tapi aku nggak bohong. Cincin itulah inti dari
pertengkaranku dengan kakakku.” Kedengarannya Nadia betul-betul jengkel.
Kuputuskan nggak bertanya lebih jauh lagi.
“Kamu senang? Melihat semua ini?”
Tanyaku mengalihkan pembicaraan. Dia mengangguk.
“Aku senang, di hari ulangtahunku, aku
bisa jalan-jalan dan ke sini.”
“Tunggu dulu. Katanya ulangtahunmu
sudah lewat?” Tanyaku kaget. Nadia langsung heran.
“Siapa bilang? Ulangtahunku hari ini
kok! Darimana kamu dengar aku ulangtahun sudah lewat? Kamu nanya? Oh iya, aneh
juga Vinci mengajakku jalan-jalan dan pergi ke planetarium ini.
Jangan-jangan...”
“Sudahlah. Anggap aja hadiah
ulangtahunmu. Selamat.” Potongku cepat. Rasanya sangat... sangat memalukan
melihatnya menatapku seperti itu. Apa yang dia pikirkan?
“Yah, okelah. Pulang yuk.” Ajak Nadia.
Aku merasa lega, dia nggak memikirkan apapun. Soalnya dia lamban sih. Sejak
saat itu, nggak ada kejadian apapun yang membuatnya agak geer.
Satu hal lagi yang kuketahui soal
hidup Nadia. Setiap detil dalam hidupnya selalu membuatku penasaran. Rasanya,
meskipun dia orang yang easy going dan ramah, dia lebih misterius daripada aku.
Kenapa aku jadi penasaran begini sih?
Hari ini dia amat-sangat telat.
Biasanya dia langsung datang dan mulai bekerja. Ke mana lagi anak itu sekarang?
Apa masih di sekolah? Atau lagi di jalan? Jangan-jangan ada semacam kecelakaan
lagi? Ayo Vinci, jangan mikir yang aneh-aneh!! Atau....
“Lagi mikirin siapa?” Tanya seorang
cewek yang sangat familiar dan sangat menyebalkan.
“Rianna.” Kataku waktu menyadari
kehadirannya. Dia duduk disampingku dan minum. Rianna nggak bakal melakukan
sesuatu tanpa alasan jelas, termasuk duduk di dekatku dan minum dengan santai
seperti itu. Aku menatapnya, mencoba mencari tahu ekspresi wajahnya. “Ada yang
mau diomongin?”
“Hm... ketahuan ya?” Tanya Rianna
dengan ekspresi bosan. Sengaja. “Yah... mau tahu aja. Lagi mikirin siapa?”
“Nggak lagi mikirin siapa-siapa.”
“Terus, kenapa terus melihat jam baru
itu dan mengetuk-ngetuk pelan hp? Seperti orang yang khawatir. Kamu mau
menelpon kan?”
“Nggak ada yang dikhawatirin dan
ditelepon sama sekali.”
“Anak itu nggak kelihatan ya? Di mana
dia? Belum pulang sekolah? Dia masih SMA kan?” Tanya Rianna lebih jauh lagi.
Brengsek, apa sebenarnya mau cewek licik ini.
“Mana ku tahu? Bukan urusanku.”
“Memangnya aku nggak tahu siapa dia?
Dia bekerja sebagai asistenmu kan?”
“Diminta sama Martin. Dia sibuk, jadi
minta tolong sama anak itu.”
“Oh... begitu.” Kata Rianna pelan. “Mungkin
aku yang salah sangka, karena melihat kalian yang sangat dekat. Bahkan
karaktermu yang mulai berubah.”
“Aku? Berubah?” Jangan bercanda!
“Kamu nggak sadar kalau kamu sudah
berubah? Nggak sadar dengan orang-orang yang bingung di sekelilingmu? Ya sudahlah,
kalau begitu. Ku sangka anak itu yang mengubahku. Tapi, aku penasaran...”
Rianna bangkit dari kursi dan membelakangiku. Matanya melirik penuh misteri dan
senyum liciknya mengembang. “Bagaimana tanggapan Vina kalau dia tahu ini?”
Vina! Beraninya dia!!! Rianna mau
mengancamku? Kenapa cewek itu nggak pernah bosan memusuhiku seperti itu? Rianna
sudah melenggang anggun menjauh dariku. Aku duduk dan mencoba menjernihkan
pikiran. Apanya yang berubah dariku? Aku merasa semua biasa-biasa saja. Dan
Cuma dua orang yang agak kaget begitu bicara padaku. Mario dan Vina. Tapi itu
juga nggak kentara. Perubahan macam apa yang terlihat dariku? Perubahan apa
yang dilihat sama Rianna sinting itu?
Ini sudah terlalu sore. Mungkin anak
itu ketiduran. Aku harus telepon dia. Begitu disambut, terdengar suara cewek
yang galak meskipun samar. “Siapa ini?”
Ada apa ini?
“Nadia, apa yang kau lakukan?! Kau
sudah telat!!” Tanyaku cepat.
“Aku Romi, temen Nadia. Jangan
memperbudak teman kami untuk semua pekerjaan konyolmu, dasar bos sialan!” Kata
cewek itu datar, dan langsung memutuskan hubungan. Teman? Teman apa? Apa mereka
semua teman sekelompoknya Nadia? Apa yang mereka lakukan?
Semua pertanyaan itu terjawab begitu
aku sampai di rumah. Nadia menjelaskannya dengan berkali-kali minta maaf.
Bahkan dia membuat makanan kesukaanku, yang lagi-lagi aku nggak tahu kapan dan
dari mana dia dapat informasi itu.
“Nadia, kamu menyesal?” Tanyaku waktu
kami makan malam. Nadia terdiam. Heran.
“Mungkin bukan Cuma mereka dan masalah
ini saja yang muncul selain sakitmu karena kau terlalu sibuk bekerja padaku.
Bahkan masalah kita yang tinggal serumah ini...”
“Aku tahu kok. Kalau Cuma hal-hal
sepele, masih bisa kutangani. Kalau masalah kita tinggal serumah...” Anak itu
memelankan suaranya, tanda lagi berpikir. “Bagaimana kalau kamu cari pacar
saja? Dan suruh dia tinggal serumah sama kita.”
A, apa?
“Jujur, pertama kali aku mau tinggal
di rumah ini karena kupikir kau tinggal bersama keluarga. Tapi ternyata Vinci
tinggal sendirian. Yang kedua, begitu ada Mario... kupikir kalian gay. Tapi
Mario bilang dia Cuma bercanda. Jadi... yang terakhir kupikirkan Cuma... kau
kan 20 tahun, idola terkenal pula. Jadi mana mungkin kau suka padaku? Itu sudah
jelas kan?”
Anak.... ini... OTAKNYA NGGAK BERES!!!
Jadi semua pemikiran itu yang membuatnya yakin mau tinggal bersamaku?!! Kenapa
bisa-bisanya dia pikir aku homo, dan segala hal yang nggak masuk akalnya itu?
“Bukannya kau sudah biasa tinggal
berdua dengan kakakmu?”
“Yah... memang. Tapi, kamu kan bukan
kakakku?” Tanya Nadia polos. Dia ternyata punya sikap hati-hati. “Tapi kalau
ingat sudah banyak waktu yang kita lewati, kurasa kau memang nggak minat sama
anak kecil. Jadi nggak masalah.”
“Hm... darimana kau tahu aku nggak
suka anak kecil? Aku dan kau tinggal sendirian, aku bukan gay, dan kaupun juga
bukan banci. Cewek tetap saja cewek, biar bagaimanapun umurnya.” Kataku asal.
Rupanya dia memang cewek yang ceroboh.
“Iya ya. Jangan-jangan, sekarang ini
Vinci suka padaku?” Jantungku copot. Anak itu kalau tanya nggak ngira-ngira.
“Jangan konyol. Aku Cuma nanya saja
kok.” Kataku cepat.
“Oh... gitu. Kalau aku sih, suka
banget sama Vinci.”
Rasanya sangat menyenangkan, mendengar
ucapan setulus itu. Hei, kenapa aku jadi sentimentil begini? Rasanya jadi
banyak pertanyaan.
“Harus kujawab apa?” Tanya Martin.
Kali ini sikapnya serius. Tidak ceroboh ataupun lembut. Benar-benar serius. Apa
moodnya jelek hari ini? Nggak juga. Dia orang yang paling kalem yang pernah
kukenal.
“Apapun menurut pendapatmu.”
“Kurasa percuma saja. Kau itu keras
kepala.” Kata Martin lagi. Kuamati ruang kerjanya yang sedikit demi sedikit
semakin rapi. Meskipun beberapa kertas tetap bertebaran dengan gambar dan
tulisan yang nggak jelas. Hobi yang selalu tersalurkan meskipun sibuk.
“Aku keras kepala?” Tanyaku agak
heran. “Katakan saja sesuai perasaanmu, dan kita lihat apa yang terjadi.”
Martin akhirnya mengalihkan wajahnya
dari depan komputer dan menatapku. Tangan meraih pensil dan memain-mainkannya
tanpa maksud jelas. Dia bersandar dan
menatap ke langit-langit. Tanda bersiap.
“Sudah lama kita berkerjasama sebagai
rekan kerja, dan kuibaratkan sebagai rasa pertemanan. Dan selama itu, aku sudah
berusaha keras untuk memahamimu luar dan dalam, bahkan sampai ke kebiasaanmu
yang jarang dilihat orang. Mungkin kalau aku fans biasa, aku sudah dicap
penguntit.”
Lagi-lagi kata pembuka yang
bertele-tele. Sudah kebiasaan kalau sudah mengambang.
“Aku, ibu direktur, Mario, dan bahkan
Vina, sudah pasti melihat bagaimana kau selama ini. Aku rasa aku sudah cukup
mengenalmu, sampai akhirnya... kau bertanya padaku. Akhirnya apa yang
kutakutkan muncul tanpa sengaja, dan aku yang mendengarnya sendiri.”
“Apa?”
“Selama kita berteman, aku tidak
pernah melihatmu bimbang dengan perasaanmu sendiri. Dengar Vinci, dalam benakmu
selalu muncul berbagai macam pertanyaan. Dan itu wajar, karena karaktermu yang
mudah curiga. Tapi pertanyaan apalagi sekarang? Kau mempertanyakan sikapmu
sendiri! Kau begitu bimbang dengan perasaan sampai akhirnya kau menanyakanya
pada orang lain! Vinci yang ku kenal selalu penuh percaya diri, tidak pernah
bimbang dengan apa yang diputuskan dan apa yang dilakukannya. Tapi sekarang?
Yah... kira-kira itulah yang ada dalam pikiranku.”
Aku terdiam. Kata-katanya benar, aku
mulai mempertanyakan diriku sendiri. Astaga, apa yang sudah kulakukan?
“Vinci,” kata Martin pelan. “Anak
itulah yang paling kukhawatirkan. Dia sama sekali nggak tahu apa-apa, lebih
baik kamu serahkan saja cincin itu dan pulangkan dia. Kasihan sekali kalau
sampai dia kena masalah karena kita.”
“Aku tahu, tapi cincin ini... Vina
bisa...”
“Jangan jadikan Vina alasan. Cincin
tunangan masih bisa dibeli lagi! Sebenarnya bukan hanya cincin itu alasanmu
kan? Vinci, tolong... koreksi perasaanmu. Sebelum segalanya terlambat.”
Malam begitu larut. Koreksi perasaan?
Perasaan apa? Apa yang harus kulakukan? Kuhempaskan badanku dan mencoba
berpikir tenang. Satu hal yang kusadari setelah mendengar semua pidato
menyebalkan itu. Aku ini cowok paling brengsek se dunia. Apa yang sudah
kupikirkan selama ini? Aku sudah berbuat kesalahan. Aku... apa aku menyukai
anak kecil itu? Benarkah? Semua ini membuatku pusing. Lebih baik kupikirkan
semuanya sesudah tidur.
“Selamat pagi!!” Sapa anak itu sambil
masak.
“Pagi juga.” Jawabku.
Mungkin tindakan dan pikiranku salah.
Aku masih harus membuktikan pada Martin kalau aku nggak bimbang lagi. Mungkin
juga ini akan membawa masalah besar dan melibatkan banyak orang. Mungkin ini
menyakitkan hati. Mungkin ini juga adalah tindakan paling bodoh. Mungkin...
semuanya serba mungkin. Bahkan kemungkinannya sangat tinggi, tapi...
Melihat wajahnya, mendengar dan
mengetahui cerita hidupnya selalu membatku senang. Aku tahu aku egois, tapi....
Aku mau berada di dekatnya lebih lama
lagi.
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?