Vinci
“PRAANGG!!!!” Terdengar suara
keramik yang pecah di depan pintu kamarku. Dan apa yang kulihat waktu
kupalingkan wajahku, betul-betul membuat jantungku langsung berhenti seketika.
* *
Hari yang benar-benar sial. Nadia
sudah pergi waktu kuterima telpon dari Martin soal anak itu. Dengan panik
kutelepon dia yang malah dijawab dengan nada sambung yang selalu saja nggak
diangkat. Bahkan dianggap di luar jaringan?! Kurang kerjaan!! Apa yang
dilakukan anak itu?
Akhirnya aku langsung memilih
pergi ke kantor dan berunding dengan Martin. Saat-saat yang menyebalkan
terjadi. Mereka dengan setia menunggu di parkiran kantor. Berapa kali harus
kukatakan ‘no comment’ sama orang-orang keras kepala itu? Apa mereka nggak bisa
nyari bahan berita lain? Kepungan mereka selalu bikin sesak, bahkan beberapa
orang sekuriti nggak bisa menahan mereka. Orang-orang sering bilang, kalau rasa
ingin tahu sudah muncul, biarpun yang muncul hantu tetap bakal dilawan juga.
Ini salah satu buktinya. Oh iya, darimana aku dengar kalimat ini ya?
“Jadi, bagaimana caramu
mempertanggungjawabkan semua ini?” Tanya si nenek sihir itu menghempas semua
kertas yang dari tadi di pegangnya. Isi semua kertas-kertas itu adalah hasil
print berbagai gosip murahan di internet.
“Yang benar saja, masa begitu
stress hanya gara-gara gosip murahan ini?” Tanyaku menghempas semua
kertas-kertas itu. Martin Cuma geleng-geleng kepala.
“Vinci, sudah sombong kau rupanya.
Gosip itu, biarpun Cuma gosip murahan pengaruhnya sama ke semua orang!! Jangan
lupakan itu! Gara-gara gosip, banyak yag sudah mundur dari dunia entertaiment.
Bahkan gara-gara gosip, ada pasangan yang sudah puluhan tahun menikah bisa
cerai!! Kau itu artis no 1 kami, imagemu berpengaruh besar pada perusahaan
manajemen ini!” Kata si nenek cerewet. Aku paham itu, tapi...
“Bagaimanapun juga, kita memang
harus melakukan sesuatu untuk gosip ini. Gosip yang satu ini sama sekali nggak
jelek, tapi...” Kata Martin yang langsung dipotong si nenek.
“Sudah kuduga anak itu nggak boleh
ada di kehidupanmu! Anak yang nggak jelas asal-usulnya, masih dibawah umur dan
kalian tinggal bersama!! Itu sudah cukup untuk membawamu ke lubang
kehancuran!!! Apalagi imagemu sebagai single man. Semua itu akan hancur dalam
sekejap. Apa yang harus kita lakukan? Konferensi pers?”
“Tapi sebelumnya, apa kita nggak
cari tahu dulu siapa yang menyebar gosip ini?” Tanyaku sebelum nenek itu jadi
gila. Dia menatapku seolah aku ini bodoh, lalu mengalihkannya ke Martin.
“Yang sudah diketahui sampai
sejauh ini, gosip ini pertama kali muncul di internet hari ini jam setengah
tiga subuh di sebuah room chat. Room chatnya... room chat untuk para fan’s mu.
Menurut catatan chatnya, awalnya para fan’smu tidak percaya. Tapi si penyebar
gosip ini siap memberikan bukti-bukti berupa foto, dan salah satunya sudah
beredar pagi ini. Foto Nadia Anastasia L, umur saat ini 17 tahun. Tapi dalam
foto diperkenalkan sebagai Vina. Dan sekarang, sudah diberitakan di semua media
entertaiment.
“Aneh juga kalau dia tahu soal
Vina.” Kataku pelan.
“Dan yang paling parah, si
penyebar ini akan memberikan bukti kalau kalian tunangan dan bukti kalau kalian
tinggal bersama.” Kata Martin lagi.
“Si penyebar ini sudah tahu kalau
kau punya tunangan, dan bernama Vina. Ditambah, dia tahu soal anak itu dan
kenyataan kalian hidup bersama. Kalau dia tahu soal itu, keuntungan apa yang
dia dapat? Dia sama sekali tidak mengancammu. Dia mengincar kehancuranmu!!!”
“Martin, kau tahu soal aku selama
ini kan?”
“Yah, waktu debut kamu masih
single, dan pertunanganmu dilakukan waktu kau masih baru. Setelah itu Vina
langsung melanjutkan kuliah di Australia, dan kau meneruskan kuliah dan
kerjaanmu. Karena kalian yang amat sangat jarang ketemu kecuali dia yang datang
ke sini atau kau yang datang ke sana, jadi banyak yang mengira kalian sudah
putus.”
“Aku punya kemungkinan siapa si
penyebar ini. Cuma, kemungkinannya masing-masing kurang dari 50%. Kecuali kalau
si penyebar ini berkomplot, aku tahu pasti siapa mereka.” Kataku pada mereka.
“Siapa? Kenapa kau ragu?”
“Orang yang tahu hubunganku tidak
mungkin menyebarkannya di internet. Dan orang yang menyebarkannya... Well,
pokoknya aku tidak yakin mereka bisa akur. Aku sama sekali nggak bisa bilang.
Kalau aku salah langkah, ini kehancuran untuk perusahaan ini. Nenek nggak mau
kalau itu terjadi kan?”
“Jangan panggil aku nenek!! Jangan
mengalihkan pembicaraan.”
“Kau memang nenekku kan? Sudah
umur hampir lima...”
“Diam!!!” dia mengeluarkan lagi
aura mautnya yang bisa membangkitkan lahar di gunung yang sudah mati masa
aktifnya.
“Kalau mau menyalahkan, salahkan
kenapa keluarga kita terlalu besar.” Kataku lagi.
“Ja, jadi... apa yang harus kita
lakukan?” Tanya Martin takut-takut.
“Oh iya. Lanjutkan pelacakan, dan
mungkin kita memang harus mempersiapkan konferensi pers. Kalau begini... Vinci,
kau memilih yang mana? Mengumumkan pertunanganmu atau menyangkal semuanya?”
“Kenapa tanya ke aku? Bukankah
biasanya kalian yang menentukan segalanya?”
“Kali ini berbeda. Aku nggak mau
cari masalah dengan keluarga Vina. Kau tahu itu. Dan aku juga sekarang merasa
tidak bisa memilih jalan terbaik untukmu. Kau keras kepala dan pembangkang.
Jadi... semua jalan yng kuberikan untukmu pun kurasa percuma.”
Kami semua terdiam. Si nenek mulai
melihat jam, dan menyuruh Martin membereskan sisanya.
“Akan kubuktikan perkataanku
nanti. Sekarang lebih baik kita makan siang dulu. Ayo!” Katanya bergegas.
“Aku mau pulang.” Kataku sambil
memakai jaket dan yang lainnya. Si nenek hanya menatapku saja. Dia langsung
menepuk bahu Martin dan mengajaknya pergi. Okelah. Ayo.
Begitu sampai di rumah, kulihat
rumah yang sepi itu. Aku harus membuat keputusan. Kuatlah, Vinci! Ini pasti
terjadi dalam kehidupanmu! Nanti kupikirkan. Sekarang, lebih baik aku mandi.
Mendinginkan kepala dengan air
salah satu kesukaanku. Rasanya semua masalah luntur bersama air dan menghilang
selamanya. Juga membuat kita merasa lebih segar. Sudah lama nggak begini.
Pertama kali bertemu dengan dia juga saat-saat seperti ini.
Akhirnya, aku Cuma bisa terduduk
mulai memikirkan apa-apa yang harus kulakukan. Apa aku harus mikir sebuah cara
atau menyerahkan semuanya pada nenek itu? Oh iya, aku harus bagaimana dengan
Nadia. Dia kan kabur dari rumah... oh iya, kalau nggak salah dia punya kakak
kan? Lebih baik dia pulang saja ke kakaknya.
“Wah, wah, wah. Coba lihat
bagaimana Vinci sekarang? Kasihan sekali. Apa ada yang membuatmu susah?” Terdengar
suara cewek yang familiar. Suara yang jernih dan lembut. Kulihat dia, wanita
yang ditakdirkan untukku oleh keluarga payah ini.
“Vina.” Ucapku begitu melihat dia
yang ada di depan kamarku. Wajahnya terlihat begitu lega melihatku. Aku
mempersilahkannya masuk. “Duduklah di sana.”
“Sudah lama aku nggak ke sini. Dan
di sini lebih bersih dari yang dulu. Dan sepertinya... ada ceweknya.” Kata Vina
pelan. Rambutnya yang panjang dan dicatnya coklat tua digerainya. Rambut itu
bergelombang.
“Yah... aku mempekerjakan
pengurus. Sebenarnya, ada apa sampai kau datang ke sini?” Tanyaku berusaha
nggak perduli meskipun aku yakin apa jawabannya.
“Ada gosip yang berkembang soal
pertunangan kita. Aku datang untuk mengecek keadaanmu dan menanyakan apa
tindakan kalian selanjutnya.” Jawab Vina.
“Itu masih kami diskusikan. Tapi
kurasa yang pertama adalah mencari tahu siapa penyebar gosip itu. Kurasa aku
tahu siapa orangnya, tapi...”
“Tapi?”
“Tapi aku nggak mau
percaya pada analisisku sendiri. Aku sama sekali tidak mau memikirkannya
kalau betul dialah orangnya.
Aku... mungkin aku takut.
“Vinci...” Terdengar suara Vina
yang prihatin. Kutatap wajahnya. Dia mendekatiku. “Sudah kuduga kau mulai
berubah. Apa yang terjadi padamu? Apa yang kau takutkan? Jangan begini...”
Suaranya terdengar memohon. Apa
yang harus kukatakan? Melihatku yang tidak mengatakan apa-apa, membuatnya
semakin sedih.
“Sebenarnya... aku datang ke sini,
karena aku mau... kau mengumumkan pertunangan kita. Bukankah... ini saat yang
tepat, untuk melakukannya kan? Kita pasti bisa, karena kita saling
mencintai...”
Aku sama sekali tidak sadar apa
yang terjadi, dan semuanya berlalu begitu saja sampai kudengar suara pecahnya
keramik itu.
* *
“Ma, maaf! Aku akan segera
membereskannya. Kalian tidak akan terganggu lagi. Maafkan aku!!” Nadia
cepat-cepat membungkuk dan membereskan semua beling-beling itu. Sempat kulihat
wajahnya yang pucat dan tatapannya yang kosong. Dia dengan terburu-buru pergi
dari situ.
“Na...” Harus cepat kususul!
Jangan sampai dia...
“Vinci... anak itu... siapa?”
Tanganku cepat digenggam erat. Begitu berpaling, kulihat Vina yang cemas dan
agak ketakutan. Benar...
Vina adalah tunanganku. Nadia
adalah asistenku. Semudah itu. Tapi kenapa?
Kenapa aku jadi gelisah begini?
*
“Nadia!!! Nadine!!!” Terdengar
seorang cowok menerobos masuk ke ruang tengah. Dia melihat ke sekeliling sampai
akhirnya melihatku.
“Juno!!” Terdengar suara riang
Vina di belakangku. Apa? Siapa cowok ini? Dia kenal dengan Vina?
“Vina!! Rupanya kamu di sini.
Jadi... di mana Nadia?” Tanya cowok itu. Nadia... Juno... kakak beradik itu?
“Perkenalkan. Juno L. Kakak Nadia.
Aku tadi menghubunginya. Jadi kurasa semua akan baik-baik saja.” Kata Vina.
Jadi dia Juno kakak si complex brother itu? Vina melihat ke tangga. Matanya
berbinar. “Ah, Nadia!!”
“Kak Vina.” Sapa Nadia. Dia turun
membawa koper besar. Senyumlah langsung berubah begitu dia melihat siapa yang
di samping Vina. “Kak... Juno?”
“Nadia!! Akhirnya aku
menemukanmu.” Juno langsung bergerak mendekati Nadia. Nadia meringsut menjauh.
“Jangan mendekat!!" Nadia
berseru lantang. "Aku nggak mau pulang bersama kakak! Kakak tahu alasan
aku kabur kan?"
“Tapi itu tidak mungkin kan?
Pokoknya, ayo pulang. Kalian sudah ketahuan tinggal bersama. Bisa jadi masalah
kalau Nadia tetap tinggal di sini kan?” Tanya Juno mencoba menyakinkan Nadia.
Nadia menatapku.
“Aku akan pergi.” Kata Nadia tegas
setelah dia menghembuskan napas panjang. “Tapi tidak akan bersama kakak. Aku
pergi ke rumah Nia.”
“Kau tidak serius kan?”
“Aku serius!!” Seru Nadia. Dia
lagi-lagi seperti orang yang mau menangis. “Aku serius dengan semua ucapanku.
Aku serius menyukai kakak. Aku serius mau menikah dengan kakak!!!”
Juno wajahnya sepucat
kertas. Semua orang tidak ada yang bisa berkata-kata. Hei, sebenarnya ada apa
ini? Cinta terlarang antara kakak beradik? Apa Nadia sudah gila? Dia mencintai
kakaknya?
Aku teringat lagi waktu di
planetarium itu. Ternyata ucapannya serius. Dia mencintai kakaknya. Sekarang...
apa yang harus kulakukan? Kalau begini terus... lebih baik...
“Namamu Juno? Pakai apa kamu ke
sini? Kamu harus pulang. Vina, antarkan dia.” Kataku mendekat ke Vina. Aku
berbisik, “Tanyakanlah sebenarnya ada apa ini.”
Vina sepertinya masih belum
mengerti. Tapi dia tetap menurut juga. Begitu mobil mereka sudah tak terlihat
lagi, aku mulai menanyakannya ke Nadia.
“Pernyataan yang luar biasa,
Nadia. Tapi kenapa? Jadi selama ini kamu mencintai kakakmu?” Tanyaku. Aku sama
sekali nggak ngerti arti dari semua ini. Dia mengorbankan apapun demi kakaknya?
Sebesar itukah dia mencintai kakaknya?
“Aku...”
“Kenapa?” Tanyaku bingung. Dalam
hatiku penuh dengan pertanyaan. Dia betul-betul membuatku galau seperti ini.
Apa dia senang membuatku susah? “Kenapa kau sampai mencintai kakakmu sendiri?
Kenapa tidak menyukai orang lain saja? Apa hebatnya dia? Aku lebih...”
Aku lebih? Apa barusan yang mau
kubilang?
“Dia... bukan kakakku.”
“Apa maksudmu?”
“Kami ini bersaudara tiri. Aku
menemukan buku diari mama. Semuanya tertulis di situ. Jadi aku mengeceknya. Ibu
dan ayah menikah dua bulan sesudah kelahiranku. Aku...”
Omongannya jadi ngelantur dan
nggak berurutan.
“Lebih baik kau pulang.
Bagaimanapun juga, kau harus tetap bersama kakakmu.”
“Aku nggak bisa. Hari aku kembali
ke kakakku adalah sebagai istrinya. Aku sudah bilang pada kakakku, aku serius.
Kalau aku sudah mendapatkan cincin itu dan mengembalikan ke kakakku, dia harus
mau menikah denganku!”
Anak yang sangat keras kepala.
“Sebenarnya kau mau bilang apa,
Vincent?” Tanya Nadia. Dan baru kusadari nada sinis yang keluar dari mulutnya
itu untuk pertama kalinya menyebut nama asliku. “Kudengar omonganmu terputus
kan? Selama ini, selalu saja...”
“Nadia...”
“Enaknya jadi Vinci, bisa punya
tunangan yang cantik, baik, dan bahkan bisa bertemu kapanpun kalian mau. Bahkan
kalian berciuman mesra di depanku. Wow...”
“Nadia, kau jangan...”
“Baik!! Aku pulang. Tapi,
tolong... cincinnya.”
Aku merasa sangat putus asa.
Buru-buru kulepas cincin itu meskipun susah. Dan kuletakkan ke tangannya.
Begitu menutup tangannya supaya menggenggam cincin itu, aku betul-betul merasa
ada yang lepas, Renggang, dan harus kucegah. Hilang, lenyap, dan mungkin tidak
akan kembali lagi.
“Terima kasih.” Tak kulihat dia
waktu dia melepaskan tanganku. Vinci, apa yang kau lakukan? Kau harus melakukan
sesuatu!! Dia memang lamban, tapi kau tidak!!! Buatlah dia sadar, kalau kau...
Tidak, tidak, tidak. Apa-apaan
ini? Kau sudah punya Vina, dan Nadia juga suka sama kakaknya. Buat apa kau
lakukan itu? Kau mau berkhianat?
Sial.
Begitu tersadar, aku sudah memeluk
Nadia. Menyadari ternyata begitu hangat badannya, dan dia sama sekali tidak
mungil untuk ukuran anak kecil. Yah, benar. Dia sudah berumur tujuh belas
tahun. Tujuh belas tahun yang keras dan tegas. Harusnya dari dulu dia kupanggil
Nadia. Seharusnya dari dulu aku baik padanya. Seharusnya... seharusnya...
banyak yang bisa kami lakukan daripada...
Daripada yang selama ini kami
lakukan.
“Semoga berbahagia dengan Vina.”
Hanya itu yang diucapkan Nadia.
Pada akhirnya, aku, Vinci Cuma
seorang pecundang yang membiarkan cewek yang disukainya pergi. Pecundang, dan
pengecut. Takut menyadari perasaannya, sampai semuanya terlambat.
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?