Sabtu, 08 Desember 2012

Bab 14

cerpen, novel

Vinci




“PRAANGG!!!!” Terdengar suara keramik yang pecah di depan pintu kamarku. Dan apa yang kulihat waktu kupalingkan wajahku, betul-betul membuat jantungku langsung berhenti seketika.
Nadia!!!

* *

Hari yang benar-benar sial. Nadia sudah pergi waktu kuterima telpon dari Martin soal anak itu. Dengan panik kutelepon dia yang malah dijawab dengan nada sambung yang selalu saja nggak diangkat. Bahkan dianggap di luar jaringan?! Kurang kerjaan!! Apa yang dilakukan anak itu?
Akhirnya aku langsung memilih pergi ke kantor dan berunding dengan Martin. Saat-saat yang menyebalkan terjadi. Mereka dengan setia menunggu di parkiran kantor. Berapa kali harus kukatakan ‘no comment’ sama orang-orang keras kepala itu? Apa mereka nggak bisa nyari bahan berita lain? Kepungan mereka selalu bikin sesak, bahkan beberapa orang sekuriti nggak bisa menahan mereka. Orang-orang sering bilang, kalau rasa ingin tahu sudah muncul, biarpun yang muncul hantu tetap bakal dilawan juga. Ini salah satu buktinya. Oh iya, darimana aku dengar kalimat ini ya?
“Jadi, bagaimana caramu mempertanggungjawabkan semua ini?” Tanya si nenek sihir itu menghempas semua kertas yang dari tadi di pegangnya. Isi semua kertas-kertas itu adalah hasil print berbagai gosip murahan di internet.
“Yang benar saja, masa begitu stress hanya gara-gara gosip murahan ini?” Tanyaku menghempas semua kertas-kertas itu. Martin Cuma geleng-geleng kepala.
“Vinci, sudah sombong kau rupanya. Gosip itu, biarpun Cuma gosip murahan pengaruhnya sama ke semua orang!! Jangan lupakan itu! Gara-gara gosip, banyak yag sudah mundur dari dunia entertaiment. Bahkan gara-gara gosip, ada pasangan yang sudah puluhan tahun menikah bisa cerai!! Kau itu artis no 1 kami, imagemu berpengaruh besar pada perusahaan manajemen ini!” Kata si nenek cerewet. Aku paham itu, tapi...
“Bagaimanapun juga, kita memang harus melakukan sesuatu untuk gosip ini. Gosip yang satu ini sama sekali nggak jelek, tapi...” Kata Martin yang langsung dipotong si nenek.
“Sudah kuduga anak itu nggak boleh ada di kehidupanmu! Anak yang nggak jelas asal-usulnya, masih dibawah umur dan kalian tinggal bersama!! Itu sudah cukup untuk membawamu ke lubang kehancuran!!! Apalagi imagemu sebagai single man. Semua itu akan hancur dalam sekejap. Apa yang harus kita lakukan? Konferensi pers?”
“Tapi sebelumnya, apa kita nggak cari tahu dulu siapa yang menyebar gosip ini?” Tanyaku sebelum nenek itu jadi gila. Dia menatapku seolah aku ini bodoh, lalu mengalihkannya ke Martin.
“Yang sudah diketahui sampai sejauh ini, gosip ini pertama kali muncul di internet hari ini jam setengah tiga subuh di sebuah room chat. Room chatnya... room chat untuk para fan’s mu. Menurut catatan chatnya, awalnya para fan’smu tidak percaya. Tapi si penyebar gosip ini siap memberikan bukti-bukti berupa foto, dan salah satunya sudah beredar pagi ini. Foto Nadia Anastasia L, umur saat ini 17 tahun. Tapi dalam foto diperkenalkan sebagai Vina. Dan sekarang, sudah diberitakan di semua media entertaiment.
“Aneh juga kalau dia tahu soal Vina.” Kataku pelan.
“Dan yang paling parah, si penyebar ini akan memberikan bukti kalau kalian tunangan dan bukti kalau kalian tinggal bersama.” Kata Martin lagi.
“Si penyebar ini sudah tahu kalau kau punya tunangan, dan bernama Vina. Ditambah, dia tahu soal anak itu dan kenyataan kalian hidup bersama. Kalau dia tahu soal itu, keuntungan apa yang dia dapat? Dia sama sekali tidak mengancammu. Dia mengincar kehancuranmu!!!”
“Martin, kau tahu soal aku selama ini kan?”
“Yah, waktu debut kamu masih single, dan pertunanganmu dilakukan waktu kau masih baru. Setelah itu Vina langsung melanjutkan kuliah di Australia, dan kau meneruskan kuliah dan kerjaanmu. Karena kalian yang amat sangat jarang ketemu kecuali dia yang datang ke sini atau kau yang datang ke sana, jadi banyak yang mengira kalian sudah putus.”
“Aku punya kemungkinan siapa si penyebar ini. Cuma, kemungkinannya masing-masing kurang dari 50%. Kecuali kalau si penyebar ini berkomplot, aku tahu pasti siapa mereka.” Kataku pada mereka.
“Siapa? Kenapa kau ragu?”
“Orang yang tahu hubunganku tidak mungkin menyebarkannya di internet. Dan orang yang menyebarkannya... Well, pokoknya aku tidak yakin mereka bisa akur. Aku sama sekali nggak bisa bilang. Kalau aku salah langkah, ini kehancuran untuk perusahaan ini. Nenek nggak mau kalau itu terjadi kan?”
“Jangan panggil aku nenek!! Jangan mengalihkan pembicaraan.”
“Kau memang nenekku kan? Sudah umur hampir lima...”
“Diam!!!” dia mengeluarkan lagi aura mautnya yang bisa membangkitkan lahar di gunung yang sudah mati masa aktifnya.
“Kalau mau menyalahkan, salahkan kenapa keluarga kita terlalu besar.” Kataku lagi.
“Ja, jadi... apa yang harus kita lakukan?” Tanya Martin takut-takut.
“Oh iya. Lanjutkan pelacakan, dan mungkin kita memang harus mempersiapkan konferensi pers. Kalau begini... Vinci, kau memilih yang mana? Mengumumkan pertunanganmu atau menyangkal semuanya?”
“Kenapa tanya ke aku? Bukankah biasanya kalian yang menentukan segalanya?”
“Kali ini berbeda. Aku nggak mau cari masalah dengan keluarga Vina. Kau tahu itu. Dan aku juga sekarang merasa tidak bisa memilih jalan terbaik untukmu. Kau keras kepala dan pembangkang. Jadi... semua jalan yng kuberikan untukmu pun kurasa percuma.”
Kami semua terdiam. Si nenek mulai melihat jam, dan menyuruh Martin membereskan sisanya.
“Akan kubuktikan perkataanku nanti. Sekarang lebih baik kita makan siang dulu. Ayo!” Katanya bergegas.
“Aku mau pulang.” Kataku sambil memakai jaket dan yang lainnya. Si nenek hanya menatapku saja. Dia langsung menepuk bahu Martin dan mengajaknya pergi. Okelah. Ayo.
Begitu sampai di rumah, kulihat rumah yang sepi itu. Aku harus membuat keputusan. Kuatlah, Vinci! Ini pasti terjadi dalam kehidupanmu! Nanti kupikirkan. Sekarang, lebih baik aku mandi.
Mendinginkan kepala dengan air salah satu kesukaanku. Rasanya semua masalah luntur bersama air dan menghilang selamanya. Juga membuat kita merasa lebih segar. Sudah lama nggak begini. Pertama kali bertemu dengan dia juga saat-saat seperti ini.
Akhirnya, aku Cuma bisa terduduk mulai memikirkan apa-apa yang harus kulakukan. Apa aku harus mikir sebuah cara atau menyerahkan semuanya pada nenek itu? Oh iya, aku harus bagaimana dengan Nadia. Dia kan kabur dari rumah... oh iya, kalau nggak salah dia punya kakak kan? Lebih baik dia pulang saja ke kakaknya.
“Wah, wah, wah. Coba lihat bagaimana Vinci sekarang? Kasihan sekali. Apa ada yang membuatmu susah?” Terdengar suara cewek yang familiar. Suara yang jernih dan lembut. Kulihat dia, wanita yang ditakdirkan untukku oleh keluarga payah ini.
“Vina.” Ucapku begitu melihat dia yang ada di depan kamarku. Wajahnya terlihat begitu lega melihatku. Aku mempersilahkannya masuk. “Duduklah di sana.”
“Sudah lama aku nggak ke sini. Dan di sini lebih bersih dari yang dulu. Dan sepertinya... ada ceweknya.” Kata Vina pelan. Rambutnya yang panjang dan dicatnya coklat tua digerainya. Rambut itu bergelombang.
“Yah... aku mempekerjakan pengurus. Sebenarnya, ada apa sampai kau datang ke sini?” Tanyaku berusaha nggak perduli meskipun aku yakin apa jawabannya.
“Ada gosip yang berkembang soal pertunangan kita. Aku datang untuk mengecek keadaanmu dan menanyakan apa tindakan kalian selanjutnya.” Jawab Vina.
“Itu masih kami diskusikan. Tapi kurasa yang pertama adalah mencari tahu siapa penyebar gosip itu. Kurasa aku tahu siapa orangnya, tapi...”
“Tapi?”
“Tapi aku nggak mau percaya pada analisisku sendiri. Aku sama sekali tidak mau memikirkannya
kalau betul dialah orangnya. Aku... mungkin aku takut.
“Vinci...” Terdengar suara Vina yang prihatin. Kutatap wajahnya. Dia mendekatiku. “Sudah kuduga kau mulai berubah. Apa yang terjadi padamu? Apa yang kau takutkan? Jangan begini...”
Suaranya terdengar memohon. Apa yang harus kukatakan? Melihatku yang tidak mengatakan apa-apa, membuatnya semakin sedih.
“Sebenarnya... aku datang ke sini, karena aku mau... kau mengumumkan pertunangan kita. Bukankah... ini saat yang tepat, untuk melakukannya kan? Kita pasti bisa, karena kita saling mencintai...”
Aku sama sekali tidak sadar apa yang terjadi, dan semuanya berlalu begitu saja sampai kudengar suara pecahnya keramik itu.

* *


“Ma, maaf! Aku akan segera membereskannya. Kalian tidak akan terganggu lagi. Maafkan aku!!” Nadia cepat-cepat membungkuk dan membereskan semua beling-beling itu. Sempat kulihat wajahnya yang pucat dan tatapannya yang kosong. Dia dengan terburu-buru pergi dari situ.
“Na...” Harus cepat kususul! Jangan sampai dia...
“Vinci... anak itu... siapa?” Tanganku cepat digenggam erat. Begitu berpaling, kulihat Vina yang cemas dan agak ketakutan. Benar...
Vina adalah tunanganku. Nadia adalah asistenku. Semudah itu. Tapi kenapa?
Kenapa aku jadi gelisah begini?

*

“Nadia!!! Nadine!!!” Terdengar seorang cowok menerobos masuk ke ruang tengah. Dia melihat ke sekeliling sampai akhirnya melihatku.
“Juno!!” Terdengar suara riang Vina di belakangku. Apa? Siapa cowok ini? Dia kenal dengan Vina?
“Vina!! Rupanya kamu di sini. Jadi... di mana Nadia?” Tanya cowok itu. Nadia... Juno... kakak beradik itu?
“Perkenalkan. Juno L. Kakak Nadia. Aku tadi menghubunginya. Jadi kurasa semua akan baik-baik saja.” Kata Vina. Jadi dia Juno kakak si complex brother itu? Vina melihat ke tangga. Matanya berbinar. “Ah, Nadia!!”
“Kak Vina.” Sapa Nadia. Dia turun membawa koper besar. Senyumlah langsung berubah begitu dia melihat siapa yang di samping Vina. “Kak... Juno?”
“Nadia!! Akhirnya aku menemukanmu.” Juno langsung bergerak mendekati Nadia. Nadia meringsut menjauh.
“Jangan mendekat!!" Nadia berseru lantang. "Aku nggak mau pulang bersama kakak! Kakak tahu alasan aku kabur kan?"
“Tapi itu tidak mungkin kan? Pokoknya, ayo pulang. Kalian sudah ketahuan tinggal bersama. Bisa jadi masalah kalau Nadia tetap tinggal di sini kan?” Tanya Juno mencoba menyakinkan Nadia. Nadia menatapku.
“Aku akan pergi.” Kata Nadia tegas setelah dia menghembuskan napas panjang. “Tapi tidak akan bersama kakak. Aku pergi ke rumah Nia.”
“Kau tidak serius kan?”
“Aku serius!!” Seru Nadia. Dia lagi-lagi seperti orang yang mau menangis. “Aku serius dengan semua ucapanku. Aku serius menyukai kakak. Aku serius mau menikah dengan kakak!!!”
 Juno wajahnya sepucat kertas. Semua orang tidak ada yang bisa berkata-kata. Hei, sebenarnya ada apa ini? Cinta terlarang antara kakak beradik? Apa Nadia sudah gila? Dia mencintai kakaknya?
Aku teringat lagi waktu di planetarium itu. Ternyata ucapannya serius. Dia mencintai kakaknya. Sekarang... apa yang harus kulakukan? Kalau begini terus... lebih baik...
“Namamu Juno? Pakai apa kamu ke sini? Kamu harus pulang. Vina, antarkan dia.” Kataku mendekat ke Vina. Aku berbisik, “Tanyakanlah sebenarnya ada apa ini.”
Vina sepertinya masih belum mengerti. Tapi dia tetap menurut juga. Begitu mobil mereka sudah tak terlihat lagi, aku mulai menanyakannya ke Nadia.
“Pernyataan yang luar biasa, Nadia. Tapi kenapa? Jadi selama ini kamu mencintai kakakmu?” Tanyaku. Aku sama sekali nggak ngerti arti dari semua ini. Dia mengorbankan apapun demi kakaknya? Sebesar itukah dia mencintai kakaknya?
“Aku...”
“Kenapa?” Tanyaku bingung. Dalam hatiku penuh dengan pertanyaan. Dia betul-betul membuatku galau seperti ini. Apa dia senang membuatku susah? “Kenapa kau sampai mencintai kakakmu sendiri? Kenapa tidak menyukai orang lain saja? Apa hebatnya dia? Aku lebih...”
Aku lebih? Apa barusan yang mau kubilang?
“Dia... bukan kakakku.”
“Apa maksudmu?”
“Kami ini bersaudara tiri. Aku menemukan buku diari mama. Semuanya tertulis di situ. Jadi aku mengeceknya. Ibu dan ayah menikah dua bulan sesudah kelahiranku. Aku...”
Omongannya jadi ngelantur dan nggak berurutan.
“Lebih baik kau pulang. Bagaimanapun juga, kau harus tetap bersama kakakmu.”
“Aku nggak bisa. Hari aku kembali ke kakakku adalah sebagai istrinya. Aku sudah bilang pada kakakku, aku serius. Kalau aku sudah mendapatkan cincin itu dan mengembalikan ke kakakku, dia harus mau menikah denganku!”
Anak yang sangat keras kepala.
“Sebenarnya kau mau bilang apa, Vincent?” Tanya Nadia. Dan baru kusadari nada sinis yang keluar dari mulutnya itu untuk pertama kalinya menyebut nama asliku. “Kudengar omonganmu terputus kan? Selama ini, selalu saja...”
“Nadia...”
“Enaknya jadi Vinci, bisa punya tunangan yang cantik, baik, dan bahkan bisa bertemu kapanpun kalian mau. Bahkan kalian berciuman mesra di depanku. Wow...”
“Nadia, kau jangan...”
“Baik!! Aku pulang. Tapi, tolong... cincinnya.”
Aku merasa sangat putus asa. Buru-buru kulepas cincin itu meskipun susah. Dan kuletakkan ke tangannya. Begitu menutup tangannya supaya menggenggam cincin itu, aku betul-betul merasa ada yang lepas, Renggang, dan harus kucegah. Hilang, lenyap, dan mungkin tidak akan kembali lagi.
“Terima kasih.” Tak kulihat dia waktu dia melepaskan tanganku. Vinci, apa yang kau lakukan? Kau harus melakukan sesuatu!! Dia memang lamban, tapi kau tidak!!! Buatlah dia sadar, kalau kau...
Tidak, tidak, tidak. Apa-apaan ini? Kau sudah punya Vina, dan Nadia juga suka sama kakaknya. Buat apa kau lakukan itu? Kau mau berkhianat?
Sial.
Begitu tersadar, aku sudah memeluk Nadia. Menyadari ternyata begitu hangat badannya, dan dia sama sekali tidak mungil untuk ukuran anak kecil. Yah, benar. Dia sudah berumur tujuh belas tahun. Tujuh belas tahun yang keras dan tegas. Harusnya dari dulu dia kupanggil Nadia. Seharusnya dari dulu aku baik padanya. Seharusnya... seharusnya... banyak yang bisa kami lakukan daripada...
Daripada yang selama ini kami lakukan.
“Semoga berbahagia dengan Vina.” Hanya itu yang diucapkan Nadia.
Pada akhirnya, aku, Vinci Cuma seorang pecundang yang membiarkan cewek yang disukainya pergi. Pecundang, dan pengecut. Takut menyadari perasaannya, sampai semuanya terlambat.


* * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?