Sabtu, 08 Desember 2012

Bab 10

cerpen, novel

Vinci




“Sukses!!! Terima kasih banyak!” Semua orang menyalamiku.
Aku baru saja menjadi bintang tamu untuk berkalaborasi dengan satu grupband. Aku Cuma menyanyikan tiga lagu karena aku sama sekali belum gladibersih dengan mereka. Tapi biarlah.
“Syukurlah!! Syukurlah semuanya baik-baik saja.” Martin seperti mau menangis. Dia mennyalamiku kuat-kuat. Aku paham perasaannya. Dia tadi panik banget.
“Mana anak itu?” Tanyaku. Aku mau cepat pulang, rasanya aneh banget hari ini. Martin menunjuk ke pojok, dimana ada deretan kursi. Anak itu memang duduk di sana. Kelihatannya dia tenang banget. Aku cepat-cepat ganti baju dan menyusulnya. Aku duduk sebentar di sampingnya, melihat kesibukan orang-orang yang masih meneruskan konser.
“Makasih, karena sudah capek-capek sejauh ini demi aku.” Tiba-tiba keluar saja dari mulutku. Kenapa? “Ah, sudahlah. Ayo kita pulang.”
Anak itu nggak menjawab. Apa dia mau ngerjain aku karena sudah bilang yang seperti itu?
“Woi, ayo kita pulang...” Kataku mempertegas. Anak ini diam lagi. Apa dia lagi tertawa. Kalau mikir itu, jadi hilang kesabaran.
“Bangun...” Anak itu jatuh!! Kepangkuanku! Ada yang aneh. Wajahnya pucat, penuh keringat. Badannya panas!! Jangan-jangan... demam?!
Mustahil!!! Ini gara-gara tadi? Gara-gara menembus hujan tadi?
“Martin!!” Teriakku cepat. Aku langsung membopong anak itu dan mulai keluar. Martin bertemu denganku. “Cepat siapkan mobil. Anak ini demam!!”
Untunglah jalan menuju rumah sakit nggak melewati jalan yang ada kecelakaan itu. Martin yang mudah panik langsung ngebut sejadi-jadinya. Dalam waktu singkat, anak itu sudah diurus oleh perawat dan dokter lainnya.
“Sudah kutempatkan dia di VIP.” Kata Martin. Dia sepertinya mau bilang sesuatu. “Vinci, bisakah kamu pulang sekarang?”
Aku agak bingung. Kupandangi dia.
“Kalau seorang Vinci datang ke rumah sakit hanya demi gadis kecil, bisa-bisa mengundang berita, kan? Nanti Rianna bakal komentar macam-macam. Dan kalau itu terjadi... Vina... Vina bisa datang ke sini.” Kata Martin pelan. Betul juga... Vina.
Aku tahu itu. Tapi... rasanya... aku harus...
“Kalau begitu, aku mau lihat kondisi anak itu dulu.” Kataku cepat. Bagaimanapun juga, dia sakit itu gara-gara aku.
Dalam ruang VIP kulihat anak itu terbaring lemah. Kata dokter panasnya mencapai 38,8 derajat. Mungkin besok baru bisa sembuh. Penyebabnya karena terlalu banyak kegiatan, kurang tidur dan ditambah kena hujan yang nggak langsung dikeringkan. Kompleks. Ini terlalu lengkap untuk sakitmu.
“Jun?” Terdengar igauan anak itu. Matanya sedikit terbuka, dan sepertinya dia nggak melihatku jelas. “Tanganmu... dingin...”
Aku sama sekali nggak menjawab. Kenapa hanya Jun yang dipikirkan sampai saat ini? Siapa sih Jun itu? Pacarnya?
“Maaf... maafkan aku Jun. Aku nggak peduli sama sekali, padahal kau sampai sakit karena aku... maaf...” Suaranya bergetar, airmatanya mengalir deras. Ini kedua kalinya aku melihatnya menangis. Aku meraih tangannya yang terasa membakar itu.
“Aku Vinci... bukan Jun.” Kataku akhirnya. Aku nggak tahu, kenapa aku harus mengaku kayak gitu. Tapi aku merasa aku harus... “Tenanglah...”
“Vinci? Ternyata Vinci ya...” anak itu terdengar lega. “betul juga, dia nggak mungkin datang ke sini.”
“Kamu...”
“Nadia...” Kata anak itu ngawur. Dia kedengaran ngambek. “Selama ini, Vinci nggak pernah manggil aku Nadia, kan? Namaku Nadia...”
“Kamu juga nggak pernah manggil aku kakak.”
“NADIA!!” Katanya ngotot. Aku Cuma bisa menghembuskan napas pasrah.
“Nadia...” Panggilku. Anak itu tersenyum. Dia senang banget, seperti menang lomba.
“Makasih. Vinci baik ya?” Katanya sengau. Dia mulai menggenggam tanganku erat. “Tangan Vinci dingin, sejuk banget. Vinci juga ada di sini, menjagaku. Makasih... makasih ya? Aku senang...” Kata anak itu tepat sebelum dia tertidur. Genggaman tangannya melonggar.
“Vinci... kita nggak bisa mengulur waktu lebih lama lagi. Ayo, cepatlah pulang. Pakai mobilku. Biar aku yang menjaganya.” Kata Martin. Entah kenapa, rasanya jadi nggak rela. Tadi aku berencana mau melihatnya sebentar saja. Tapi sekarang aku mau menjaga sedikit lebih lama.
Begitu sampai di rumah, terdengar dering HP. Di display tertulis nama Vina. Aku lansung menyambutnya.
“Vina...”
“Vincent!! Katanya tadi kamu nyanyi ya? Aku dikirimi videomailnya sama temenku. Kamu keren banget!”
“Makasih...” Kataku. Vina terdiam. “Kenapa?”
“Ah, nggak. Hei, bagaimana kalau liburan Natal nanti aku ke sana? Aku kangen...” Tanya Vina. Bagaimana? Sekarang tinggal enam bulan lebih. Natal tinggal tiga bulan lagi. Bagaimana kalau Vina dan Nadia ketemu?
“Terserah kamu saja. Cuma... mungkin Natal nanti aku punya job paling banyak. Kamu nggak apa kan?” Kataku pada Vina.
“Nggak masalah. Aku senang bisa melihatmu bekerja. Aku pasti datang.” Suara Vina memang lembut. Hm... aku bisa dalam masalah kalau dalam tiga bulan nggak menyingkirkan Nadia dari sini.
Dalam waktu dua hari, Nadia diperbolehkan pulang. Martin memang meminta istirahat total untuk Nadia. Tadinya Nadia nggak mau nurut, tapi entah kenapa Martin bisa menyakinkannya.
“HELLO!! My darling!” Suara ini... Mario. Aku dan Nadia sudah nggak melihat dia lagi sejak aku terima job untuk movie itu. Dia juga sibuk dengan urusan keartisannya. Huh! Kenapa dia muncul disaat-saat seperti ini?
“Ngapain ke sini?” Tanyaku jengkel. Sudah sibuk, Martin juga sibuk mengurus Nadia, aku juga, ditambah dia datang ke sini disaat aku butuh sendirian!!!
“Sudah jelas kan? Aku kangen banget sama kamu, Vin!!” Kata Mario gelayutan. Ihhh!!! Dasar orang aneh. Kalau nggak ingat dia satu angkatan denganku dulu, sudah kutendang dia dari rumah ini. Dia terlihat memperhatikan sekitar, lalu bertanya. “Mana Nadia?”
“Sakit. Dia kena demam.” Jawabku singkat. Mau apalagi cowok ini dengan Nadia.
“Demam? Dimana dia? Di rumah sakit mana? Kok dia bisa sakit?” Tanya Mario beruntun. Cowok ini mau ketemu aku atau ketemu Nadia?
“Entahlah, kata dokter dia kecapean.” Jawabku malas-malasan.
“That must because of you! Kau terlalu memerasnya sih!” Kata Mario marah padaku. Orang ini...
Dia mau membuatku merasa bersalah?
“Yah... mungkin juga...” Jawabku, teringat kejadian yang sudah-sudah.
“Vinci?”
“Tapi apa boleh buat, aku saja sama sekali nggak bisa menjenguknya.” Kataku pelan, sementara pikiranku terus berada di tempat Nadia dirawat. Martin bilang nggak usah khawatir, tapi...
Saat tersadar, kulihat Mario dengan ekspresi kebingungan, menatapku. Kutanya dia, “Apa?”
“Eh, nggak. Nggak ada apa-apa. Jadi nggak bisa ke sana ya. Jadi dia sendirian?” Tanya Mario lagi. Kenapa sikapnya berubah?
“Martin yang menjaganya. Aku nggak bisa karena aku seorang aktor terkenal, dan itu bisa mengundang wartawan. Tapi sebentar lagi dia pulang.” Jawabku. Mario terlihat berpikir sebentar.
“Aku pulang!!!!” Terdengar teriakan penuh keceriaan di depan. Suara ini... pasti dia. Nadia datang dengan semangat full yang luar biasa dan berlari sampai ruang tengah, tempat aku dan Mario. “Loh, Mario juga ada ya?”
“Kamu sudah sehat ya?” Tanya Mario. Nadia mengangguk cepat-cepat.
“Aku sehat bugar kok! Tapi dokternya aneh, masa dia bilang aku demam gara-gara kecapean. Padahal aku Cuma ketiduran gara-gara ngantuk aja kok!” Jawab Nadia.
“Bodoh. Mana ada orang yang ngantuk badannya panas dan tidurnya sampai dua hari?” Tukasku kesal. Dia menggampangkan kesehatannya!
“Begitu ya?” Tanya Nadia seperti nggak tahu apa-apa. Sudahlah, terserah saja.
“Jadi bagaimana Nadia, kamu mau terus? Kalau kamu mau mundur sekarang, uangmu akan kami bayar, tapi benda itu nggak akan kembali. Kalau kamu terus, kamu harus pikirkan bagaimana cara agar kejadian seperti ini nggak terulang lagi.” Kata Martin pelan dan tegas.
“Ada apaan sih?” Tanya Mario yang kebingungan. Nadia terdiam dan berpikir sebentar.
“Aku nggak bakal mundur.” Kata Nadia tegas. “Aku akan mengusahakan waktu yang lebih efesien, tapi untuk itu biarkan aku berpikir sebentar. Besok aku juga bakal sekolah. Aku pantang mundur kalau sudah tanggung begini.”
“Kenapa sih kalian?” Tanya Mario cerewet. Aku menatap Martin, dan sesuai dugaanku, dia menggeleng.
“Nggak bisa ngasih tahu ke kamu, ember bocor!” Jawabku cepat.
“Enak aja! Siapa bilang aku ember bocor!”
“Kalo gitu diem aja gih!”
“Maaf ya, Mario. Ini memang nggak bisa diberitahukan dengan orang lain.” Kata Martin dengan sikap memohon.
Mario diam saja, tapi apa betul dia menyerah?
Akhirnya Martin dan Mario pulang. Martin bilang dia sudah email lagi ke laptopku apa saja jobku mulai besok. Belum habis job A, datang lagi job B. Nggak ada habis-habisnya. Tapi ini masih mendinglah daripada dulu, yang sampai-sampai nggak punya waktu tidur.
Begitu malam, Nadia sudah membuat makan malam. Dia dengan cerianya makan semua makanan itu. Aku juga agak merasa terganggu. Apa sebegitu mudahnya dia ceria sesudah sakit. Tapi itu memang hal yang harus disyukuri sih.
“Apa kamu selalu cerah ceria seperti itu?” Tanyaku akhirnya. Nadia terdiam, lalu dia tersenyum malu.
“Masa? Padahal banyak orang bilang aku pendiam kok!” Katanya senang. Apa benar? “Aku ini orangnya biasa-biasa saja. Tapi kalau teman-temanku, orangnya betul-betul heboh!! Waktu itu ada beberapa orang yang datang ke Bali dan bersamaku. Orang-orang sampai terganggu karena mereka. Tapi waktu itu teman-temanku belum lengkap dan mereka baru aja ngobrol. Wah... gimana kalau kami semuanya ngumpul ya? Pasti berisik banget”
Aku ingat, cewek-cewek berisik itu. Jadi itu belum semuanya? Dan tahap ngobrol saja? Dia dan teman-temannya ini mencurigakan. Sudahlah.
“Pak Martin baik sekali ya, dia menjagaku selama di rumah sakit. Katanya dia yang mengantarku sampai-sampai ngebut membawa mobil ya? Pak Martin bilang, kamu pulang duluan. Syukurlah kamu sempat pulang. Kan aneh kalau kamu juga ikut mengantarkan? Eh, kenapa aku berpikiran seperti itu? Biarlah.” Kata Nadia.
“Kamu nyindir aku ya, nggak ngantarin kamu ke rumah sakit?” Kataku. Apa dia nggak ingat kalau aku yang mengantarnya? Kalau nggak dilarang, akulah yang menjagamu bodoh! Apa dia betul-betul lupa, atau pura-pura lupa?
“Nadia...” Panggilku. Nadia tertegun.
“Apa? Kamu manggil aku apa?” Tanya Nadia heran. “Biasanya kan kamu manggil aku anak kecil?”
“Lupakan!” kataku cepat. Kenapa aku merasa malu begini?
“Nggak!! Itu kan bagus. Ayo, panggil aku ‘Nadia’ lagi!” Kata anak itu bersemangat. Dia terus aja mengusikku seperti itu. Sepanjang sisa hari itu kami habiskan untuk itu saja.


* * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?