Vinci
“Sukses!!! Terima kasih banyak!” Semua
orang menyalamiku.
Aku baru saja menjadi bintang tamu untuk berkalaborasi dengan satu grupband. Aku Cuma menyanyikan tiga lagu karena aku sama sekali belum gladibersih dengan mereka. Tapi biarlah.
Aku baru saja menjadi bintang tamu untuk berkalaborasi dengan satu grupband. Aku Cuma menyanyikan tiga lagu karena aku sama sekali belum gladibersih dengan mereka. Tapi biarlah.
“Syukurlah!! Syukurlah semuanya
baik-baik saja.” Martin seperti mau menangis. Dia mennyalamiku kuat-kuat. Aku
paham perasaannya. Dia tadi panik banget.
“Mana anak itu?” Tanyaku. Aku mau
cepat pulang, rasanya aneh banget hari ini. Martin menunjuk ke pojok, dimana
ada deretan kursi. Anak itu memang duduk di sana. Kelihatannya dia tenang
banget. Aku cepat-cepat ganti baju dan menyusulnya. Aku duduk sebentar di
sampingnya, melihat kesibukan orang-orang yang masih meneruskan konser.
“Makasih, karena sudah capek-capek
sejauh ini demi aku.” Tiba-tiba keluar saja dari mulutku. Kenapa? “Ah,
sudahlah. Ayo kita pulang.”
Anak itu nggak menjawab. Apa dia mau
ngerjain aku karena sudah bilang yang seperti itu?
“Woi, ayo kita pulang...” Kataku
mempertegas. Anak ini diam lagi. Apa dia lagi tertawa. Kalau mikir itu, jadi
hilang kesabaran.
“Bangun...” Anak itu jatuh!!
Kepangkuanku! Ada yang aneh. Wajahnya pucat, penuh keringat. Badannya panas!!
Jangan-jangan... demam?!
Mustahil!!! Ini gara-gara tadi?
Gara-gara menembus hujan tadi?
“Martin!!” Teriakku cepat. Aku
langsung membopong anak itu dan mulai keluar. Martin bertemu denganku. “Cepat
siapkan mobil. Anak ini demam!!”
Untunglah jalan menuju rumah sakit
nggak melewati jalan yang ada kecelakaan itu. Martin yang mudah panik langsung
ngebut sejadi-jadinya. Dalam waktu singkat, anak itu sudah diurus oleh perawat
dan dokter lainnya.
“Sudah kutempatkan dia di VIP.” Kata
Martin. Dia sepertinya mau bilang sesuatu. “Vinci, bisakah kamu pulang
sekarang?”
Aku agak bingung. Kupandangi dia.
“Kalau seorang Vinci datang ke rumah
sakit hanya demi gadis kecil, bisa-bisa mengundang berita, kan? Nanti Rianna
bakal komentar macam-macam. Dan kalau itu terjadi... Vina... Vina bisa datang
ke sini.” Kata Martin pelan. Betul juga... Vina.
Aku tahu itu. Tapi... rasanya... aku
harus...
“Kalau begitu, aku mau lihat kondisi
anak itu dulu.” Kataku cepat. Bagaimanapun juga, dia sakit itu gara-gara aku.
Dalam ruang VIP kulihat anak itu
terbaring lemah. Kata dokter panasnya mencapai 38,8 derajat. Mungkin besok baru
bisa sembuh. Penyebabnya karena terlalu banyak kegiatan, kurang tidur dan
ditambah kena hujan yang nggak langsung dikeringkan. Kompleks. Ini terlalu
lengkap untuk sakitmu.
“Jun?” Terdengar igauan anak itu.
Matanya sedikit terbuka, dan sepertinya dia nggak melihatku jelas. “Tanganmu...
dingin...”
Aku sama sekali nggak menjawab. Kenapa
hanya Jun yang dipikirkan sampai saat ini? Siapa sih Jun itu? Pacarnya?
“Maaf... maafkan aku Jun. Aku nggak
peduli sama sekali, padahal kau sampai sakit karena aku... maaf...” Suaranya
bergetar, airmatanya mengalir deras. Ini kedua kalinya aku melihatnya menangis.
Aku meraih tangannya yang terasa membakar itu.
“Aku Vinci... bukan Jun.” Kataku
akhirnya. Aku nggak tahu, kenapa aku harus mengaku kayak gitu. Tapi aku merasa
aku harus... “Tenanglah...”
“Vinci? Ternyata Vinci ya...” anak itu
terdengar lega. “betul juga, dia nggak mungkin datang ke sini.”
“Kamu...”
“Nadia...” Kata anak itu ngawur. Dia
kedengaran ngambek. “Selama ini, Vinci nggak pernah manggil aku Nadia, kan?
Namaku Nadia...”
“Kamu juga nggak pernah manggil aku
kakak.”
“NADIA!!” Katanya ngotot. Aku Cuma
bisa menghembuskan napas pasrah.
“Nadia...” Panggilku. Anak itu
tersenyum. Dia senang banget, seperti menang lomba.
“Makasih. Vinci baik ya?” Katanya
sengau. Dia mulai menggenggam tanganku erat. “Tangan Vinci dingin, sejuk
banget. Vinci juga ada di sini, menjagaku. Makasih... makasih ya? Aku
senang...” Kata anak itu tepat sebelum dia tertidur. Genggaman tangannya
melonggar.
“Vinci... kita nggak bisa mengulur
waktu lebih lama lagi. Ayo, cepatlah pulang. Pakai mobilku. Biar aku yang
menjaganya.” Kata Martin. Entah kenapa, rasanya jadi nggak rela. Tadi aku
berencana mau melihatnya sebentar saja. Tapi sekarang aku mau menjaga sedikit
lebih lama.
Begitu sampai di rumah, terdengar
dering HP. Di display tertulis nama Vina. Aku lansung menyambutnya.
“Vina...”
“Vincent!! Katanya tadi kamu nyanyi
ya? Aku dikirimi videomailnya sama temenku. Kamu keren banget!”
“Makasih...” Kataku. Vina terdiam.
“Kenapa?”
“Ah, nggak. Hei, bagaimana kalau
liburan Natal nanti aku ke sana? Aku kangen...” Tanya Vina. Bagaimana? Sekarang
tinggal enam bulan lebih. Natal tinggal tiga bulan lagi. Bagaimana kalau Vina
dan Nadia ketemu?
“Terserah kamu saja. Cuma... mungkin
Natal nanti aku punya job paling banyak. Kamu nggak apa kan?” Kataku pada Vina.
“Nggak masalah. Aku senang bisa melihatmu
bekerja. Aku pasti datang.” Suara Vina memang lembut. Hm... aku bisa dalam
masalah kalau dalam tiga bulan nggak menyingkirkan Nadia dari sini.
Dalam waktu dua hari, Nadia
diperbolehkan pulang. Martin memang meminta istirahat total untuk Nadia. Tadinya
Nadia nggak mau nurut, tapi entah kenapa Martin bisa menyakinkannya.
“HELLO!! My darling!” Suara
ini... Mario. Aku dan Nadia sudah nggak melihat dia lagi sejak aku terima job
untuk movie itu. Dia juga sibuk dengan urusan keartisannya. Huh! Kenapa dia muncul
disaat-saat seperti ini?
“Ngapain ke sini?” Tanyaku jengkel.
Sudah sibuk, Martin juga sibuk mengurus Nadia, aku juga, ditambah dia datang ke
sini disaat aku butuh sendirian!!!
“Sudah jelas kan? Aku kangen banget
sama kamu, Vin!!” Kata Mario gelayutan. Ihhh!!! Dasar orang aneh. Kalau nggak
ingat dia satu angkatan denganku dulu, sudah kutendang dia dari rumah ini. Dia
terlihat memperhatikan sekitar, lalu bertanya. “Mana Nadia?”
“Sakit. Dia kena demam.” Jawabku
singkat. Mau apalagi cowok ini dengan Nadia.
“Demam? Dimana dia? Di rumah sakit
mana? Kok dia bisa sakit?” Tanya Mario beruntun. Cowok ini mau ketemu aku atau
ketemu Nadia?
“Entahlah, kata dokter dia kecapean.”
Jawabku malas-malasan.
“That must because of you!
Kau terlalu memerasnya sih!” Kata Mario marah padaku. Orang ini...
Dia mau membuatku merasa bersalah?
“Yah... mungkin juga...” Jawabku,
teringat kejadian yang sudah-sudah.
“Vinci?”
“Tapi apa boleh buat, aku saja sama
sekali nggak bisa menjenguknya.” Kataku pelan, sementara pikiranku terus berada
di tempat Nadia dirawat. Martin bilang nggak usah khawatir, tapi...
Saat tersadar, kulihat Mario dengan
ekspresi kebingungan, menatapku. Kutanya dia, “Apa?”
“Eh, nggak. Nggak ada apa-apa. Jadi
nggak bisa ke sana ya. Jadi dia sendirian?” Tanya Mario lagi. Kenapa sikapnya
berubah?
“Martin yang menjaganya. Aku nggak
bisa karena aku seorang aktor terkenal, dan itu bisa mengundang wartawan. Tapi
sebentar lagi dia pulang.” Jawabku. Mario terlihat berpikir sebentar.
“Aku pulang!!!!” Terdengar teriakan
penuh keceriaan di depan. Suara ini... pasti dia. Nadia datang dengan semangat
full yang luar biasa dan berlari sampai ruang tengah, tempat aku dan Mario.
“Loh, Mario juga ada ya?”
“Kamu sudah sehat ya?” Tanya Mario.
Nadia mengangguk cepat-cepat.
“Aku sehat bugar kok! Tapi dokternya
aneh, masa dia bilang aku demam gara-gara kecapean. Padahal aku Cuma ketiduran
gara-gara ngantuk aja kok!” Jawab Nadia.
“Bodoh. Mana ada orang yang ngantuk
badannya panas dan tidurnya sampai dua hari?” Tukasku kesal. Dia menggampangkan
kesehatannya!
“Begitu ya?” Tanya Nadia seperti nggak
tahu apa-apa. Sudahlah, terserah saja.
“Jadi bagaimana Nadia, kamu mau terus?
Kalau kamu mau mundur sekarang, uangmu akan kami bayar, tapi benda itu nggak
akan kembali. Kalau kamu terus, kamu harus pikirkan bagaimana cara agar
kejadian seperti ini nggak terulang lagi.” Kata Martin pelan dan tegas.
“Ada apaan sih?” Tanya Mario yang
kebingungan. Nadia terdiam dan berpikir sebentar.
“Aku nggak bakal mundur.” Kata Nadia
tegas. “Aku akan mengusahakan waktu yang lebih efesien, tapi untuk itu biarkan
aku berpikir sebentar. Besok aku juga bakal sekolah. Aku pantang mundur kalau
sudah tanggung begini.”
“Kenapa sih kalian?” Tanya Mario
cerewet. Aku menatap Martin, dan sesuai dugaanku, dia menggeleng.
“Nggak bisa ngasih tahu ke kamu, ember
bocor!” Jawabku cepat.
“Enak aja! Siapa bilang aku ember
bocor!”
“Kalo gitu diem aja gih!”
“Maaf ya, Mario. Ini memang nggak bisa
diberitahukan dengan orang lain.” Kata Martin dengan sikap memohon.
Mario diam saja, tapi apa betul dia
menyerah?
Akhirnya Martin dan Mario pulang.
Martin bilang dia sudah email lagi ke laptopku apa saja jobku mulai besok.
Belum habis job A, datang lagi job B. Nggak ada habis-habisnya. Tapi ini masih
mendinglah daripada dulu, yang sampai-sampai nggak punya waktu tidur.
Begitu malam, Nadia sudah membuat
makan malam. Dia dengan cerianya makan semua makanan itu. Aku juga agak merasa
terganggu. Apa sebegitu mudahnya dia ceria sesudah sakit. Tapi itu memang hal
yang harus disyukuri sih.
“Apa kamu selalu cerah ceria seperti
itu?” Tanyaku akhirnya. Nadia terdiam, lalu dia tersenyum malu.
“Masa? Padahal banyak orang bilang aku
pendiam kok!” Katanya senang. Apa benar? “Aku ini orangnya biasa-biasa saja.
Tapi kalau teman-temanku, orangnya betul-betul heboh!! Waktu itu ada beberapa
orang yang datang ke Bali dan bersamaku. Orang-orang sampai terganggu karena
mereka. Tapi waktu itu teman-temanku belum lengkap dan mereka baru aja ngobrol.
Wah... gimana kalau kami semuanya ngumpul ya? Pasti berisik banget”
Aku ingat, cewek-cewek berisik itu.
Jadi itu belum semuanya? Dan tahap ngobrol saja? Dia dan teman-temannya ini
mencurigakan. Sudahlah.
“Pak Martin baik sekali ya, dia
menjagaku selama di rumah sakit. Katanya dia yang mengantarku sampai-sampai
ngebut membawa mobil ya? Pak Martin bilang, kamu pulang duluan. Syukurlah kamu
sempat pulang. Kan aneh kalau kamu juga ikut mengantarkan? Eh, kenapa aku
berpikiran seperti itu? Biarlah.” Kata Nadia.
“Kamu nyindir aku ya, nggak ngantarin
kamu ke rumah sakit?” Kataku. Apa dia nggak ingat kalau aku yang mengantarnya?
Kalau nggak dilarang, akulah yang menjagamu bodoh! Apa dia betul-betul lupa,
atau pura-pura lupa?
“Nadia...” Panggilku. Nadia tertegun.
“Apa? Kamu manggil aku apa?” Tanya
Nadia heran. “Biasanya kan kamu manggil aku anak kecil?”
“Lupakan!” kataku cepat. Kenapa aku
merasa malu begini?
“Nggak!! Itu kan bagus. Ayo, panggil
aku ‘Nadia’ lagi!” Kata anak itu bersemangat. Dia terus aja mengusikku seperti
itu. Sepanjang sisa hari itu kami habiskan untuk itu saja.
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa yang harus dilakukan untuk cerita kali ini?